FAKTOR-FAKTOR INTERNAL YANG BERPERAN DALAM
KEBERHASILAN TERAPI PASIEN TERHADAP PENYAKIT MORBUS
HANSEN DI KOTA BANDAR LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
SITI ZAHNIA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL YANG BERPERAN DALAM
KEBERHASILAN TERAPI PASIEN TERHADAP PENYAKIT MORBUS
HANSEN DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh
SITI ZAHNIA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
ABSTRACT
INTERNAL FACTORS THAT PLAY A ROLE UPON THE SUCCESSFUL
THERAPY OF MORBUS HANSEN DISEASE'S PATIENTS
IN BANDAR LAMPUNG
By
SITI ZAHNIA
Background: Morbus Hansen (MH) is a chronic infectious disease caused by
Mycobacterium leprae. Morbus Hansen's disease is a national public health problem in
Indonesia. The cure rate in Lampung in 2014 is about 83.3% for PB and 60.1% for MB.
The cure rate has not yet reached the target release from treatment, which is >90%. Low
achievement of MH cure rate can be caused by patients who’re not regularly taking the
medication. The lack of MH cure rate can be caused by several factors, including
irregular patients taking the drugs, less potential of drugs, irregular drug storage, drug
resistance and patients forget to take medication.
Objectives: This study aimed to determine the internal factors that associated with
therapy success of Morbus Hansen's disease in Bandar Lampung
Method: This study is an observational study with cross sectional design. The sample in
this study is MH patients who take medication to Puskesmas in Bandar Lampung region,
about 42 patients. Bivariate data analysis using chi-square test.
Results: The results analysis showed that out of 42 respondents, the success of MH
therapy is bigger on the child's age, female gender, higher education, not working,
medication adherence, good knowledge and good socio-economic. From the bivariate
analysis, it’s known that there is influence of age (p=0,017), knowledge (p=0,030) and
socio-economic on the successful of therapy (p=0.002), while gender, education and
employment do not affect the success of the therapy (p = 0.190; p = 0.064; p = 0.355).
Conclusion: The internal factors that associated to the successful treatment of patients
against Morbus Hansen's disease is age, knowledge and socio-economic.
Keywords: Morbus Hansen, Therapeutic success
ABSTRAK
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL YANG BERPERAN DALAM
KEBERHASILAN TERAPI PASIEN TERHADAP PENYAKIT MORBUS
HANSEN DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh
SITI ZAHNIA
Latar Belakang: Morbus Hansen (MH) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit Morbus Hansen merupakan masalah
nasional kesehatan masyarakat di Indonesia. Angka kesembuhan di Lampung pada tahun
2014 untuk PB sebesar 83,3% dan MB sebesar 60,1%. Angka kesembuhan ini belum
mencapai target release from treatment, yaitu >90%. Rendahnya pencapaian angka
kesembuhan MH dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penderita tidak
teratur minum obat, potensi obat kurang, penyimpanan obat tidak teratur, adanya
resistensi obat dan penderita lupa minum obat.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor internal yang
berhubungan dengan keberhasilan terapi penyakit Morbus Hansen di Bandar Lampung.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional desain cross sectional.
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien MH yang melakukan pengobatan ke
Puskesmas di wilayah Kota Bandar Lampung, sebanyak 42 orang. Analisis data bivariat
menggunakan uji chi-square.
Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 42 responden, keberhasilan terapi MH
lebih besar pada usia anak, jenis kelamin perempuan, pendidikan tinggi, tidak bekerja,
pengetahun baik dan sosio-ekonomi baik. Dari analisis bivariat diketahui bahwa terdapat
hubungan usia (p=0,017), pengetahuan (p=0,030) dan sosio-ekonomi (p=0,002) terhadap
keberhasilan terapi sedangkan jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan tidak berpengaruh
terhadap keberhasilan terapi (p=0,190; p=0,064; p=0,355).
Kesimpulan: Faktor-faktor internal yang berhubungan dengan keberhasilan terapi pasien
Morbus Hansen adalah usia, pengetahuan dan sosio-ekonomi.
Kata kunci: Keberhasilan terapi, Morbus Hansen.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Metro, Lampung pada tanggal 31 Oktober 1995,
sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari Bapak Supandi dan Ibu
Renggogeni.
Pedidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Aisyiyah Bustanul
Athfal I Metro Pusat pada tahun 2001, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD
Muhammadiyah Kota Metro pada tahun 2007, Sekolah Menengah Pertama (SMP)
diselesaikan di SMP Negeri 9 Kota Metro pada tahun 2010, dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 2 Kota Metro pada tahun
2013.
Tahun 2013, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SBMPTN). Selama menjadi mahasiswa, Penulis pernah aktif pada
organisasi Forum Studi Islam (FSI) Ibnu Sina FK Unila.
Karya Sederhana ini merupakan
sebagian peluh dan derai keringat
yang kupersembahkan untuk:
Kedua Orang Tua Ku…
Bapak H. Supandi, Mama Hj.
Renggogeni yang telah merawat, mendidik,
menjaga, mendukung, memotivasi, memberi kasih
sayang dan mengorbankan segalanya untukku..
Adikku…
Aulia Putri yang selalu memberi
dukungan, do’a dan selalu ada untukku..
SANWACANA
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT, Allah yang Maha Pengasih, Allah yang Maha
Penyayang, yang tiada habis memberikan kepada kita kasih dan sayang-Nya,
nikmat dan karunia-Nya, seingga penelitian ini dapat saya selesaikan. Shalawat
dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebaik-baik
manusia di muka bumi dengan keteladanan yang abadi hingga kini.
Alhamdulillah atas kehendak dan pertolongan Allah SWT, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor – Faktor Internal yang
Berperan dalam Keberhasilan Terapi Pasien Terhadap Penyakit Morbus Hansen
di Kota Bandar Lampung” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.
Penulis meyakini penelitian skripsi ini tidak akan selesai tanpa dukungan dan
bantuan dari banyak kalangan. Maka dengan ini penulis sampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung;
2. Dr. dr. Muhartono, [Link], [Link], [Link], selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung;
3. dr. Tri Umiana Soleha, [Link]., [Link], selaku Pembimbing Utama atas
waktu dan kesediaannya untuk memberikan ilmu, bimbingan, saran, dan
kritik yang membangun dalam proses serta penyelesaian skripsi ini;
4. dr. Ety Apriliana, [Link]., [Link], selaku Pembimbing Pendamping
atas waktu dan kesediaannya untuk memberikan ilmu, bimbingan, saran,
dan kritik yang membangun dalam proses serta penyelesaian skripsi ini;
5. dr. Susianti, [Link]., M. Sc, selaku Penguji Utama atas waktu, ilmu,
bimbingan, saran, dan kritik yang membangun yang telah diberikan;
6. dr. T.A. Larasati, [Link], [Link], selaku Pembimbing Akademik dari
semester awal hingga akhir di Fakultas Kedokteran yang telah meluangkan
waktu diantara kesibukannya;
7. Bapak Supandi dan Ibu Renggogeni, kedua orang tua penulis yang selalu
menyelipkan nama penulis di setiap doa mereka, yang selalu memberikan
restu dan ridha di setiap keputusan yang penulis ambil, kasih sayang dan
dukungan yang tak pernah putus, serta semangat dan motivasi yang tak
pernah habis sehingga penulis dapat melewati seluruh proses pembelajaran
dan penyelesaian skripsi ini, semoga kelak penulis bisa menjadi salah satu
sumber kebahagiaan mama papa di dunia dan di akhirat;
8. Adik Aulia Putri, sebagai saudara penulis. Terima kasih atas do’a,
dukungan, semangat, dan kebahagiaan yang senantiasa muncul saat
bersama yang menjadi motivasi bagi penulis, semoga kita dapat
berkumpul lagi di surga-Nya;
9. Seluruh staf pengajar Program Studi Pendidikan Dokter Unila atas ilmu
yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang
menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;
10. Seluruh Staf Tata Usaha, Akademik, pegawai, dan karyawan FK Unila;
Mbak Lisa, Mbak Iin, Mbak Qori, Mbak Ida, Mas Seno, Pak Pangat dan
civitas akademik lainnya yang telah memberikan doa, semangat, motivasi,
dan nasihat selama pembelajaran di FK Unila;
11. Nenek dan Kakek ku tercinta, Marzualnis dan Irman Rahman, yang tidak
henti-hentinya memberikan doa, bantuan, dukungan, kasih sayang.
Semoga Allah selalu melindungi dan memberikan ladang pahala di akhirat
kelak;
12. Tante ku Yolmi Satri dan Putri Reno Mila, yang telah menemani,
merawat, dan memberikan doa serta bantuan dalam menjalani masa
orientasi di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.. Semoga Allah
selalu melindungi dan menjadikan ladang pahala di akhirat kelak;
13. Sunardi, kakak, sahabat terbaik yang tidak henti-hentinya memberikan
semangat, doa, dukungan dan bantuan;
14. Sahabat Seperjuangan saya Kandita Mahran Nisa dan Glenys Yulanda
yang saling membantu, menemani dalam suka dan duka, berbagi canda
tawa, berbagi kebahagiaan dan memberikan semangat atas kegiatan selama
perkuliahan maupun dalam proses penelitian serta pembuatan skripsi ini;
15. Sahabat yang menjadi keluarga kesekian di FK Unila Shesy Sya’haya,
Lisa Ayu Pratiwi, Rika Oktaria, Nisa Arifa yang selalu menjadi pelipur
lara dan membersamai setiap proses perjalanan menuntut ilmu dalam
perantauan;
16. Seluruh sahabat, teman angkatan 2013 CERE13LLUMS yang tidak bisa
disebutkan satu persatu atas kekompakan, canda, tawa, maupun masalah
selama ini yang telah memberikan warna serta makna tersendiri. Semoga
kebersamaan dan kekompakkan selalu terjalin baik sekarang maupun ke
depan nanti;
17. Sahabat-sahabat SD sampai SMA Livia Indriani, Rafika khoirrunisa, Anita
Yuliani untuk segala do’a dan dukungannya. Kembangkan sayap,
terbanglah tinggi, dan lihatlah dunia;
18. Dan semua pihak yang turut berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas segala
kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan, namun penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat
dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Semoga segala
perhatian, kebaikan, dan keikhlasan yang diberikan selama ini mendapat balasan
dari Allah SWT. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bandar lampung, Februari 2017.
Penulis
Siti Zahnia
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................. i
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. v
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... vi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morbus Hansen .................................................................................. 8
2.1.1 Definisi ..................................................................................... 8
2.1.2 Etiologi ..................................................................................... 8
2.1.3 Epidemiologi ............................................................................ 9
2.1.4 Cara Penularan.......................................................................... 14
2.1.5 Diagnosis dan Tanda Klinis...................................................... 16
2.1.6 Klasifikasi Morbus Hansen ...................................................... 19
2.1.7 Tatalaksana .............................................................................. 21
2.1.8 Pencegahan dan Pemberantasan ............................................... 23
2.1.9 Evaluasi Pengobatan ................................................................. 25
2.2 Keberhasilan Pengobatan Morbus Hansen ........................................ 26
2.3 Faktor-Faktor Internal yang Berperan dalam Keberhasilan Terapi
Morbus Hansen .................................................................................. 26
2.4 Kerangka Teori ................................................................................... 29
2.5 Kerangka Konsep ................................................................................ 30
2.6 Hipotesis ............................................................................................. 30
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian .......................................................................... 31
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 31
3.3 Populasi dan Sampel ........................................................................... 31
i
3.4 Kriteria Penelitian ............................................................................... 32
3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ................................... 32
3.6 Prosedur Penelitian.............................................................................. 34
3.7 Alur Penelitian .................................................................................... 35
3.8 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................. 36
3.8.1 Pengolahan Data ....................................................................... 36
3.8.2 Analisis Data ............................................................................ 36
3.9 Etika Penelitian ................................................................................... 37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ................................................................................... 38
4.1.1 Analisis Univariat................................................................... 39
4.1.2 Analisis Bivariat ..................................................................... 41
4.2 Pembahasan ......................................................................................... 44
4.2.1 Kriteria Penderita ................................................................... 44
4.2.2 Hubungan Faktor – faktor Internal dengan Keberhasilan
Terapi Pasien Terhadap Penyakit Morbus Hansen ................ 46
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 51
5.2 Saran ................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Situasi Morbus Hansen di Provinsi Lampung tahun 2009–2014.............. 12
2. Klasifikasi MB menurut Ridley & Jopling .............................................. 19
3. Klasifikasi PB menurut Ridley & Jopling ............................................... 20
4. Pedoman Utama untuk Menentukan Klasifikasi/Tipe Penyakit
Morbus Hansen Menurut WHO................................................................ 21
5. Definisi operasional ......................................................................................... 33
6. Karakteristik Pasien Morbus Hansen ........................................................ 39
7. Keberhasilan Terapi Pasien Morbus Hansen ............................................ 40
8. Pengaruh Usia terhadap Keberhasilan Terapi ........................................... 41
9. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Keberhasilan Terapi ........................... 41
10. Pengaruh Pendidikan terhadap Keberhasilan Terapi ............................... 42
11. Pengaruh Pekerjaan terhadap Keberhasilan Terapi .................................. 42
12. Pengaruh Pengetahuan terhadap Keberhasilan Terapi .............................. 43
13. Pengaruh Sosio-ekonomi terhadap Keberhasilan Terapi .......................... 43
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Prevalensi Morbus Hansen di dunia ........................................................ 9
2. Angka penemuan kasus baru di dunia ..................................................... 10
3. Angka prevalensi dan penemuan kasus baru Morbus Hansen tahun
2008-2014 di Indonesia ............................................................................. 11
4. Penemuan kasus baru Morbus Hansen di Lampung tahun 2014 ............. 13
5. Distribusi kasus Morbus Hansen di Bandar Lampung tahun 2010-2014 . 14
6. Kerangka Teori ........................................................................................ 29
7. Kerangka Konsep ..................................................................................... 30
8. Alur Penelitian ......................................................................................... 35
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Etika Penelitian
2. Surat Izin Penelitian dari FK Unila
3. Surat Izin Penelitian dari KESBANGPOL Kota Bandar Lampung
4. Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung
5. Lembar Informed Consent
6. Kuesioner Penelitian
7. Lampiran Analisis Univariat
8. Lampiran Analisis Bivariat
9. Dokumentasi Penelitian
10. Data Penelitian
v
DAFTAR SINGKATAN
1. BTA : Basil Tahan Asam
2. [Link] : Mycobacterium leprae
3. MB : Multibasiler
4. MDT : Multiple Drug Therapy
5. MH : Morbus Hansen
6. NCDR : New Case Detection Rate (Angka penemuan kasus baru
Morbus Hansen)
7. PB : Pausibasiler
8. RFT : Release From Treatment
9. WHO : World Health Organization
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae ([Link]). [Link] menyerang hampir semua organ
tubuh terutama saraf tepi dan kulit, serta organ tubuh lainnya seperti mukosa
mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot dan
(Harahap, 2000). Morbus Hansen di kenali di masyarakat dengan sebutan kusta
atau lepra. Seseorang yang terinfeksi Morbus Hansen dapat menyebabkan
kecacatan pada sistem saraf motorik, otonom, atau sensorik (Khafiludin, 2010).
World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa jumlah pasien baru
Morbus Hansen di dunia pada tahun 2011 sebesar 219.075 penderita, dengan
penderita terbanyak di Asia Tenggara dengan jumlah kasus 160.132 penderita,
Amerika 36.832 penderita, Afrika 12.673 penderita, dan sisanya berada di
regional lain di dunia. Indonesia menduduki peringkat ke tiga di dunia dengan
jumlah kasus 20.032 penderita di dunia setelah India (127.295 penderita) dan
Brazil (33.955 penderita) (WHO, 2011). Penyakit Morbus Hansen di Indonesia
merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dengan beberapa daerah di
Indonesia masih memiliki angka prevalensi yang tinggi. Prevalensi Morbus
Hansen di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 0,79 per 10.000 penduduk dan
2
ditemukan kasus baru sebesar 17.025 dengan 83,5% kasus di antaranya
merupakan tipe multibasiler (MB) (Departemen Kesehatan RI, 2015).
Penderita Morbus Hansen di Bandar Lampung sejak tahun 2012-2014 tercatat
sebanyak 162 penderita dengan angka prevalensi 0,28 per 10.000 penduduk. Pada
tahun 2014 tercatat penemuan kasus baru yaitu sebanyak 129 kasus yang terdiri
atas tipe Multibasilar (MB) sebanyak 109 (84,4%) penderita dan tipe Pausibasilar
(PB) 20 (15,6%) penderita. Bila dilihat dari distribusi kasus baru Morbus Hansen
berdasarkan kabupaten/kota, maka terlihat bahwa kasus Morbus Hansen tertinggi
ada di kabupaten Lampung Tengah sebanyak 24 kasus yang terdiri atas tipe
Multibasilar (MB) 20 (50%) dan tipe Pausibasilar (PB) 4 (10%). Sedangkan
urutan ke 2 adalah Kabupaten Lampung Timur sebanyak 22 kasus yang terdiri
atas tipe Multibasilar (MB) 19 (47,5%) dan tipe Pausibasilar (PB) 3 (7,5%). Dan
urutan ke tiga adalah Bandar Lampung sebanyak 22 kasus yang terdiri atas tipe
Multibasilar (MB) 19 (47,5%) dan tipe Pausibasilar (PB) 3 (7,5%) (Dinas
Kesehatan Lampung, 2015).
Walaupun Morbus Hansen dapat disembuhkan, namun seseorang yang
pernah menderita Morbus Hansen dapat mengalami cacat fisik. Kecacatan
Morbus Hansen dapat bermacam-macam mulai dari hanya berupa bercak-bercak
di kulit, namun hingga sebagian anggota tubuh tidak lagi lengkap, atau tidak bisa
digerakkan, bahkan ada yang kelopak mata tidak bisa ditutup. Perubahan-
perubahan fisik tersebut menyebabkan krisis pada penderita Morbus Hansen.
Mereka sulit untuk berinteraksi dengan masyarakat lain (Kartono, 2011)
3
Pengobatan pada penderita Morbus Hansen bertujuan untuk memutuskan
mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya
cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.
Pada penderita yang sudah mengalami cacat permanen, pengobatan bertujuan
untuk mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita Morbus Hansen tidak meminum
obat secara teratur maka Mycobacterium leprae dapat menjadi aktif kembali dan
dapat menimbulkan gejala-gejala baru yang akan memperburuk keadaan
penderitmea. Pengobatan Morbus Hansen dilakukan sedini mungkin dan secara
obat agar tidak timbul cacat yang baru (Departemen Kesehatan RI, 2006).
Tahun 1982, WHO memperkenalkan dan merekomendasikan rejimen
Multiple Drug Therapy (MDT) untuk pengobatan Morbus Hansen, yang terdiri
atas dapson, klofazimin, dan rifampisin (Stump et al, 2004). Rejimen terapi ini
telah terbukti efektif menurunkan angka prevalensi Morbus Hansen di dunia
dengan tingkat kekambuhan hanya 1% (Lasry-Levi, 2011). Morbus Hansen
seharusnya dapat diterapi sangat efektif dengan menggunakan rejimen MDT
apabila belum terjadi kerusakan jaringan saraf yang bersifat permanen. Meskipun
demikian, pasien Morbus Hansen sering terlambat diagnosis dan diberikan terapi
sehingga telah terjadi kecacatan walaupun pasien mendapat rejimen MDT secara
lengkap (Nascimento et al., 2012).
Angka penemuan kasus baru (NCDR) Morbus Hansen selama tahun 2009 –
2014 berfluktuasi dari 2,33 per 100.000 menjadi 1,9 per 100.000 penduduk, dan
angka ini sudah cukup baik (target <5 per 100.000 penduduk). Namun angka
kesembuhan (RFT) rate tahun 2014 di Lampung untuk PB sebesar 83,3% (12
penderita) dan MB sebesar 60,1% (82 penderita). RFT rate belum mencapai target
4
>90%. Proporsi cacat tingkat 2 tahun 2014 sebanyak 7% (target 5%). Hal tersebut
masih belum mencapai indikator standar kesembuhan RFT di Lampung (Dinas
Kesehatan Lampung, 2015). Rendahnya pencapaian angka kesembuhan
kemungkinan disebabkan oleh penderita tidak teratur minum obat, potensi obat
kurang, menyimpan obat tidak teratur, obat kadaluarsa, obat sering terlambat,
adanya resistensi obat, jumlah obat yang di minum kurang dari jumlah yang di
tentukan dan penderita lupa dalam pengambilan obat (Kemenkes RI, 2012).
Beberapa penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pengobatan Morbus Hansen telah dilakukan, namun belum diteliti tentang faktor-
faktor internal yang berperan terhadap keberhasilan pengobatan. Setiawan (2012)
menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan pasien Morbus Hansen tergantung
pada penemuan penyakit dan pengobatan secara dini, faktor karakteristik pribadi
penderita (umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan), faktor pengetahuan
pasien tentang Morbus Hansen, kepatuhan pasien untuk minum obat MDT,
dukungan keluarga dan masyarakat sekitar dan akses pelayanan kesehatan serta
peranan petugas dalam meningkatkan pemberian informasi dan edukasi kepada
penderita. Sedangkan Selum (2012) menunjukkan bahwa pasien Morbus Hansen
yang teratur minum obat tidak mengalami kecacatan yang lebih besar di
bandingkan pasien yang tidak teratur minum obat.
5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian ini adalah :
a. Apakah terdapat hubungan faktor usia dengan keberhasilan terapi Morbus
Hansen
b. Apakah terdapat hubungan faktor jenis kelamin dengan keberhasilan
terapi Morbus Hansen
c. Apakah terdapat hubungan faktor pendidikan dengan keberhasilan terapi
Morbus Hansen
d. Apakah terdapat hubungan faktor pekerjaan dengan keberhasilan terapi
Morbus Hansen
e. Apakah terdapat hubungan faktor pengetahuan dengan keberhasilan
terapi Morbus Hansen
f. Apakah terdapat hubungan faktor sosial ekonomi dengan keberhasilan
terapi Morbus Hansen
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui hubungan faktor usia dengan keberhasilan terapi Morbus
Hansen.
2. Mengetahui hubungan faktor jenis kelamin dengan keberhasilan terapi
Morbus Hansen
3. Mengetahui hubungan faktor pendidikan dengan keberhasilan terapi
Morbus Hansen
6
4. Mengetahui hubungan faktor pekerjaan dengan keberhasilan terapi Morbus
Hansen
5. Mengetahui hubungan faktor pengetahuan pasien dengan keberhasilan
terapi Morbus Hansen.
6. Mengetahui hubungan faktor sosial ekonomi dengan keberhasilan terapi
Morbus Hansen.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang penyakit Morbus
Hansen dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi terhadap
penyakit Morbus Hansen.
1.4.2 Manfaat Bagi Peneliti
Sebagai sarana penelitian untuk mengaplikasikan teori yang telah
dipelajari selama kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan
merupakan pengalaman berharga bagi peneliti dalam rangka menambah
wawasan pengetahuan serta pengembangan diri khususnya dalam bidang
penelitian.
1.4.3 Manfaat Bagi Institusi Terkait
Dapat menjadi dasar dan acuan informasi mengenai faktor-faktor
internal yang berperan dalam keberhasilan terapi Morbus Hansen sehingga
dapat menunjang keberhasilan program penanggulangan Morbus Hansen,
khususnya di Bandar Lampung.
7
1.4.4 Manfaat Bagi Penderita Morbus Hansen
Memberi pemahaman kepada penderita Morbus Hansen mengenai
faktor-faktor internal yang berperan dalam keberhasilan terapi terhadap
penyakit Morbus Hansen sehingga dapat meningkatkan keberhasilan terapi
Morbus Hansen di Bandar Lampung.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morbus Hansen (MH)
2.1.1 Definisi
Morbus Hansen (Kusta, Lepra) merupakan penyakit infeksi menahun
akibat bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium leprae yang secara primer
menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ
lainnya (WHO, 2010). Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang dapat
menimbulkan masalah kecacatan (Susanto, 2006). Masalah yang timbul tidak
hanya pada masalah kesehatan fisik saja, tetapi juga masalah psikologis,
ekonomi dan sosial bagi penderitanya (Amiruddin, 2006).
Morbus Hansen adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks (Departemen Kesehatan RI, 2006). Masalah
tersebut bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai segi sosial,
ekonomi, psikologis (Hutabarat, 2008).
2.1.2 Etiologi
Morbus Hansen disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae).
Secara umum bakteri ini memiliki bentuk pleomorf lurus, batang panjang, dan
sisi paralel dengan kedua ujung bulat; ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron; basil ini
berbentuk batang gram positif, tidak bergerak, dan tidak berspora,
9
berkembang biak secara perlahan dengan cara binary fision yang
membutuhkan waktu 11-13 hari, merupakan basil obligat intraseluler yang
terutama dapat berkembang biak di dalam sel schwann saraf dan makrofag
kulit, memiliki sifat tahan asam, namun dapat diekstraksi oleh piridin (sifat
khas Mycobacterium leprae), Mycobacterium leprae salah satu parasit
intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media buatan, dapat
bertahan hidup di luar hospes/sekret kering selama 7-9 hari dengan
temperatur yang bervariasi atau 46 hari pada temperatur kamar (Harahap,
2000).
2.1.3 Epidemiologi
Berdasarkan data WHO, prevalensi Morbus Hansen di dunia tercatat
sebesar 192.246 kasus pada tahun 2011 dan ditemukan kasus baru sebesar
228.474 selama tahun 2010. Prevalensi Morbus Hansen di dunia dicantumkan
dalam gambar berikut ini (WHO, 2011).
Gambar 1. Prevalensi Morbus Hansen di dunia
10
Gambar diatas menunjukkan tingkat prevalensi negara dan regional di
dunia yang diukur berdasarkan tingkat prevalensi per 10.000 populasi.
Sedangkan untuk angka penemuan kasus baru di dunia yang dilaporkan pada
Januari, 2011 dicantumkan pada gambar dibawah ini.
Gambar 2. Angka penemuan kasus baru di dunia
Angka penemuan kasus baru di dunia sebesar 407.791 pada tahun 2004,
menurun menjadi 228.474 pada tahun 2010 dan hanya sebesar 219.075 pada
tahun 2011. Berdasarkan proporsi kasus Morbus Hansen tipe multibasiler
(MB), negara dengan kasus tertinggi di dunia adalah Kenya sebesar 99.21%,
sedangkan di Asia Tenggara adalah Filipina sebesar 93.92% dan Indonesia
sebesar 80.96% (World Health Organization, 2011).
Target prevalensi Morbus Hansen adalah sebesar <1 per 10.000
penduduk (<10 per 100.000 penduduk), sedangkan prevalensi Morbus
Hansen di Indonesia pada tahun 2014 adalah sebesar 0,79 per 10.000
11
penduduk sehingga prevalensi Morbus Hansen di Indonesia telah mencapai
target program. Pada tahun 2014 dilaporkan 17.025 kasus baru Morbus
Hansen dengan 83,5% kasus di antaranya merupakan tipe multibasiler (MB).
Sedangkan menurut jenis kelamin, 62,6% penderita baru Morbus Hansen
berjenis kelamin laki-laki dan sebesar 37,4% lainnya berjenis kelamin
perempuan (Departemen Kesehatan RI, 2015).
Gambar 3. Angka prevalensi dan penemuan kasus baru Morbus Hansen
tahun 2008-2014 di Indonesia
Penemuan penderita baru (case finding) penyakit Morbus Hansen di
Provinsi Lampung dilaksanakan melalui penemuan aktif melalui survei
kontak dan survei kasus, serta melalui kegiatan pemeriksaaan sukarela yang
dilaksanakan secara terpadu oleh Wasor Kabupaten/Kota serta petugas
Puskesmas. Jumlah penderita baru adalah sebanyak 129 orang (MB sebanyak
109 penderita (84,4%) dan PB sebanyak 20 penderita (15,6%)) (Dinas
Kesehatan Lampung, 2015).
12
Profil kesehatan provinsi Lampung menunjukkan bahwa angka
kesakitan (prevalence) Morbus Hansen per 10.000 penduduk selama tahun
2009-2014 cenderung tetap dari 0,29 per 10.000 penduduk menjadi 0,28 per
10.000 penduduk dan angka ini sudah cukup baik karena telah dibawah target
yaitu <1 per 10.000 penduduk. Angka penemuan kasus baru (NCDR) Morbus
Hansen selama tahun 2009 – 2014 berfluktuasi dari 2,33 per 100.000 menjadi
1,9 per 100.000 penduduk, dan angka ini sudah cukup baik (target < 5 per
100.000 penduduk). Namun angka kesembuhan (RFT) rate Morbus Hansen
di Lampung pada tahun 2014 adalah sebesar 83,3% (12 penderita) untuk
pausibasiler (PB) dan MB sebesar 60,1% (82 penderita). RFT rate belum
mencapai target >90% (Dinas Kesehatan Lampung, 2015).
Tabel 1. Situasi Morbus Hansen di Provinsi Lampung tahun 2009–2014
MH
NCDR Prevalen %
Jumlah pada
RFT
Tahun Kasus per per
anak (%) Kecacatan
100.000 10.000
PB MB pddk Pddk Tingkat II PB MB
2010 36 208 3,21 0,32 7,37 4,10 58,62 51,77
2011 24 226 2,35 0,33 6,08 8,29 50,00 50,00
2012 22 156 1,84 0,31 6,63 8,29 100 69,13
2013 15 118 1,90 0,28 4,00 6,0 83,3 60,1
2014 20 122 1,77 0,28 4,60 7,0 83,3 60,1
Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Lampung
Distribusi jumlah penderita kasus baru Morbus Hansen di provinsi
Lampung menurut kabupaten/kota pada tahun 2014 dicantumkan pada
gambar dibawah ini.
13
Gambar 4. Angka penemuan kasus baru Morbus Hansen di Lampung tahun
2014
New Case Detection Rate (NCDR) atau penemuan kasus baru
penderita Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung tahun 2010-2014
cenderung meningkat. Penderita Morbus Hansen tipe pausibasiler (PB) di
Bandar Lampung selama tahun 2013 ditemukan sebanyak 5 kasus, tahun
2014 ditemukan sebanyak 3 kasus. Sedangkan untuk penderita tipe
multibasiler (MB) tahun 2013 sebanyak 24 kasus dan tahun 2014 sebanyak
19 kasus. Distribusi kasus Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung tahun 2010-
2014 tercantum dalam gambar dibawah ini (Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung,
2015).
14
Gambar 5. Distribusi kasus Morbus Hansen di Bandar Lampung tahun
2010-2014
2.1.4 Cara Penularan
Cara penularan penyakit Morbus Hansen sampai sekarang masih belum
diketahui dengan pasti, namun beberapa ahli mengatakan bahwa penyakit
Morbus Hansen menular melalui saluran pernafasan dan kulit (Chin, 2006).
Sumber penularan adalah Mycobacterium leprae utuh (solid) yang
berasal dari pasien Morbus Hansen tipe multibasiler (MB) yang belum
diobati atau tidak teratur berobat. Penyakit ini menyerang segala umur namun
jarang sekali pada anak dibawah usia 3 tahun. Hal ini diduga berkaitan
dengan masa inkubasi yang cukup lama. Namun meskipun sebagian besar
penduduk di daerah endemik lepra pernah terinfeksi M. Leprae tidak semua
akan terserang penyakit ini karena kekebalan alamiah terhadap kuman
tersebut. Diperkirakan sekitar 15% dari populasi didaerah endemis kekebalan
tubuhnya tidak cukup untuk membunuh kuman yang masuk dan
kemungkinan suatu saat bisa terserang penyakit ini (Mansjoer et al., 2000).
Masa inkubasinya antara beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Seseorang bisa saja mendapatkan penularan pada masa kanak-kanak, tetapi
gejala penyakitnya baru muncul setelah dewasa (Entjang, 2003). Timbulnya
15
penyakit Morbus Hansen pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu
ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber
penularan, Mycobacterium leprae, daya tahan tubuh, sosial ekonomi dan
iklim (Mansjoer et al., 2000).
Penyakit Morbus Hansen tidak hanya ditularkan oleh manusia tetapi
juga ditularkan oleh binatang seperti armadillo, monyet dan mangabey.
Mycobacterium leprae hidup pada suhu rendah. Bagian tubuh manusia yang
memiliki suhu lebih rendah yaitu mata, saluran pernafasan bagian atas, otot,
tulang, testis, saraf perifer dan kulit (Burn et al, 2010).
M. Leprae sebenarnya mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif. Oleh karena itu penyakit Morbus Hansen dapat disebut sebagai
penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi
selularnya daripada intensitas infeksinya (Djuanda et al, 2010).
Teori-teori tentang mekanisme penularan M. Leprae pada tubuh
manusia yang dikemukakan oleh Sehgal (2006) diantaranya adalah melalui
kontak langsung dengan penderita Morbus Hansen, sekret pernapasan yang
terinfeksi, melalui bersin, dan juga dapat ditularkan melalui tanah yang
terinfeksi M. Leprae. Perkembangan penyakit kusta pada tubuh seseorang
sangat bergantung pada tinggi rendahnya sistem imun seluler (cellular
16
mediated immune) seseorang. Penyakit Morbus Hansen akan menjadi
tuberkolid ketika seseorang mempunyai imunitas yang tinggi.
2.1.5 Diagnosis dan Tanda Klinis
Penyakit Morbus Hansen adalah penyakit menular, menahun dan
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Atas dasar definisi
tersebut maka untuk mendiagnosa Morbus Hansen dicari kelainan-kelainan
yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang
tampak pada kulit (Departemen Kesehatan RI, 2012).
Diagnosa Morbus Hansen dan klasifikasi harus dilihat secara
menyeluruh baik dari segi klinis, bakteriologis, imunologis dan
histopatologis. Pemeriksaan bakteriologis seperti kerokan dengan pisau
skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga,
dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl
Neelsen dapat dilakukan bila ada keraguan dan fasilitas yang memungkinkan.
Gambaran histologis yang khas dapat ditemukan dengan biopsi kulit atau
saraf yang menebal (Zulkifli, 2003).
Departemen Kesehatan RI (2012), untuk menetapkan diagnosis
penyakit Morbus Hansen perlu dicari tanda- tanda utama atau cardinal sign,
yaitu:
a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan
(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa
(anasthesi).
17
b. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:
i. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
ii. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan
(paralise)
iii. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak.
c. Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA
positif).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita Morbus Hansen bilamana
terdapat satu dari tanda - tanda utama di atas. Pada dasarnya sebagian besar
penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian
pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit.
Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor
atau ahli Morbus Hansen, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai
penderita yang dicurigai (suspek) (Departemen Kesehatan RI, 2012).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2012), penderita penyakit Morbus
Hansen juga memiliki tanda-tanda pada kulit yaitu sebagai berikut:
a. Kelainan pada kulit berupa bercak kemerahan, keputihan, atau benjolan
b. Kulit mengkilap
c. Bercak yang tidak gatal
d. Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat dan tidak berambut
e. Lepuh tapi tidak nyeri
18
Tanda-tanda pada syaraf adalah sebagai berikut:
a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka
b. Gangguan kerak pada anggota badan atau bagian muka
c. Adanya kecacatan (deformitas) pada bagian tubuh
d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, bakterioskopis dan
histopatologi. Diagnosis Morbus Hansen menurut WHO dapat ditegakkan
apabila terdapat satu dari tanda kardinal berikut:
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensitibilitas
Lesi kulit dapat tunggal atau multiple, biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi pada
umumnya berupa makula, papul atau nodul tetap dapat pula bervariasi.
Kehilangan sensitibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas.
Kehilangan sensitibilitas kulit dan kelemahan otot merupakan manifestasi
dari kerusakan saraf terutama saraf tepi.
2. Penebalan saraf tepi
3. BTA positif
Pada hasil kerokan jaringan kulit, ditemukan basil tahan asam pada
beberapa kasus Morbus Hansen. Kasus dianggap dicurigai dan diperiksa
ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis Morbus Hansen atau
penyakit lain apabila masih ragu-ragu dalam menentukan tanda-tanda
Morbus Hansen tersebut (Mansjoer et al., 2000).
19
2.1.6 Klasifikasi Morbus Hansen
Tujuan klasifikasi penyakit Morbus Hansen adalah untuk menentukan
rejimen pengobatan, prognosis, komplikasi dan perencanaan operasional. Bila
kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
sesuai kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem
imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik, akan tampak gambaran klinis
kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepromatosa. Menurut Agusni (2003), klasifikasi penyakit Morbus Hansen
terdiri atas klasifikasi Ridley&Jopling, madrid dan WHO.
Ridley&Jopling memperkenalkan istilah spektrum pada penyakit
Morbus Hansen yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:
a. Tuberkuloid polar (TT), bentuk yang stabil.
b. Borderline tuberculoid (BT), bentuk yang labil
c. Mid borderline (BB), bentuk yang labil
d. Borderline lepromatous (BL), bentuk yang labil
e. Lepramatosa polar (LL), bentuk yang stabil.
Tabel 2. Klasifikasi MB menurut Ridley & Jopling
SIFAT LL BL BB
Lesi
- Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrasi difus Plakat Dome-shaped (kubah)
Papul Papul Punched-out
Nodus
- Jumlah Tidak terhitung, praktis Sukar dihitung, masih ada Dapat dihitung, kulit sehat
tidak ada kulit sehat kulit sehat jelas ada
- Distribusi Simetris Hampir simetris asimetris
- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak berkilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
- Anestesia Tidak ada - tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
- Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif
Sumber :Agusni & Menaldi, 2003
20
Tabel 3. Klasifikasi PB menurut Ridley & Jopling
SIFAT TT BT I
Lesi
- Bentuk Makula saja; makula Makula dibatasi infiltrat; Hanya makula
dibatasi infiltrate infiltrat saja
- Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu Satu atau beberapa
dengan satelit
- Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
- Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
- Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
- Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
- Lesi kulit Hampir selalu negative Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) positif lemah Dapat positif lemah
atau negative
Sumber :Agusni & Menaldi, 2003
Klasifikasi Internasional (Madrid 1953) terdiri dari:
a. Indeterminate (I)
b. Tuberkuloid (T)
c. Borderline (B)
d Lepramatosa (L)
Berdasarkan WHO, Morbus Hansen tipe PB adalah Morbus Hansen
dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe-tipe
I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut
disertai BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam Morbus Hansen tipe
MB. Sedangkan Morbus Hansen tipe MB adalah semua penderita Morbus
Hansen tipe BB, BL dan LL atau adapun klasifikasi klinisnya dengan BTA
positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2012) pada tahun 1982 jenis
klasifikasi World Health Organization (WHO) yang dipakai oleh petugas
kesehatan diseluruh Indonesia untuk menentukan tipe penderita Morbus
Hansen yaitu tipe pausibasiler dan multibasiler. Pedoman untuk menentukan
21
penyakit Morbus Hansen tersebut menurut klasifikasi World Health
Organization (WHO) yaitu:
Tabel 4. Pedoman Utama untuk Menentukan Klasifikasi/Tipe Penyakit Morbus
Hansen Menurut WHO
Tanda Utama PB MB
Bercak kusta Jumlah 1 s/d 5 Jumlah >5
Penebalan saraf tepi yang
disertai dengan gangguan
fungsi (gangguan fungsi bisa
berupa kurang/mati rasa atau Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang
bersangkutan)
Sediaan apusan BTA negatif BTA positif
Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta (Depkes RI, 2012)
2.1.7 Tatalaksana
Menurut Departemen Kesehatan RI (2012), MDT merupakan dua atau
lebih obat anti Morbus Hansen, yang salah satunya harus terdiri dari atas
rifampisin sebagai anti Morbus Hansen yang sifatnya bakterisid kuat dengan
obat anti Morbus Hansen lain yang bisa bersifat bakteriostatik. Berikut ini
merupakan kelompok orang-orang yang membutuhkan MDT:
a. Penderita baru yaitu mereka dengan tanda Morbus Hansen yang belum
pernah mendapat pengobatan MDT.
b. Ulangan, termasuk didalamnya adalah:
i. Relaps penderita diobati kembali dengan regimen pengobatan PB dan
MB
22
ii. Masuk kembali setelah default adalah penderita yang datang kembali
setelah dinyatakan default (baik PB maupun MB)
iii. Pindahan (pindah masuk), harus dilengkapi dengan surat rujukan
berisi catatan pengobatan yang telah diterima hingga saat tersebut,
penderita ini hanya membutuhkan sisa pengobatan yang belum
lengkap
iv. Ganti tipe, penderita dengan perubahan klasifikasi.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO yaitu
sebagai berikut:
a. Tipe PB
Lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan
- Hari pertama (diminum didepan petugas) : 2 kapsul Rifampisin 300 mg
(600 mg) dan 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
- Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang) : 1 tablet dapson (DDS 100
mg) per hari
b. Tipe MB
Lama Pengobatan : 12 blister diminum selama 12-18 bulan
- Hari pertama (diminum di depan petugas) : 2 kapsul Rifampisin 300 mg
(600 mg), 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg) dan 1 tablet Dapsone
(DDS 100 mg)
- Pengobatan hari ke 2-28 : 1 tablet Lampren 50 mg dan 1 tablet Dapsone
(DDS 100 mg)
Penderita Morbus Hansen tipe PB dan MB setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan aturan maka dinyatakan release from treatment
23
(RFT) tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium yang artinya dianggap
sudah sembuh. Petugas harus memberikan keterangan tentang arti dan
maksud RFT kepada penderita bahwa tipe PB adalah pengobatan 6 dosis
selesai dalam waktu 6-9 bulan langsung dinyatakan sembuh, untuk tipe MB
adalah pengobatan 12 dosis selesai dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan
sembuh atau RFT. Walaupun sudah sembuh petugas tetap meyakinkan
penderita bahwa bercak yang akan ada akan berangsur hilang dan
menjelaskan cara mencengah terjadinya luka jadi terjadi kecacatan yaitu
dengan memelihara tangan dan kaki dengan baik dan bila penderita melihat
bercak kulit yang baru atau tanda – tanda baru mereka harus datang kembali
kontrol atau pemeriksaan ulang ke puskesmas.
2.1.8 Pencegahan dan Pemberantasan
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit Morbus Hansen.
Faktor pengobatan adalah amat penting dimana Morbus Hansen dapat
dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu
peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita adalah untuk menganjurkan
kepada penderita untuk berobat secara teratur (Zulkifli, 2003). Sementara itu
menurut Enjang (2000), usaha pencegahan pribadi adalah menghindari kontak
dengan penderita. Bila kontak ini tak dapat dihindari maka higiene badan
cukup menjamin pencegahannya. Higiene lingkungan yang baik dan makanan
yang sehat cukup kualitas maupun kuantitasnya. Usaha pencegahan untuk
masyarakat, dilaksanakan dengan menghilangkan sumber penularan yaitu
dengan mengobati semua penderita.
24
Pengobatan kepada penderita Morbus Hansen adalah merupakan salah
satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman M. Leprae diluar tubuh
manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini
tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas
cuaca makin cepat kuman Morbus Hansen mati. Jadi, dalam hal ini
pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya
tempat-tempat yang lembab (Zulkifli, 2003).
Mengingat bahwa pengobatan dapat menghentikan penularan, maka
pemberantasannya dilakukan dengan tiga usaha pokok yaitu:
a. Mencari dan menemukan semua penderita (case finding) dalam
masyarakat untuk diberikan pengobatan yang sebaik-baiknya.
b. Mengobati dan mengikuti penderita (case holding)
- Pengobatan dilaksanakan di poliklinik yang semudah mungkin dicapai
penderita.
- Bila penderita tidak datang berobat ke poliklinik, dilakukan kunjungan
rumah untuk diberikan pengobatan dan penerangan.
- Setiap penderita pindah alamat harus diikuti dengan teliti agar ia tidak
lepas dari pengobatan dan perawatan. Hal ini perlu dilakukan karena
jangka waktu pengobatannya sangat lama, minimal tiga tahun terus
menerus.
25
2.1.9 Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan Morbus Hansen menurut Buku Panduan
Pemberantasan Penyakit Kusta adalah sebagai berikut :
a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9
bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan
laboratorium.
b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis dalam waktu
12-24 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan
laboratorium.
c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan
pemeriksaan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas Morbus
Hansen.
d. Masa pengamatan.
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif:
- Tipe PB selama 2 tahun
- Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium
- Hilang/Out of Control (OOC)
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak
mengambil obat dan dapat dikeluarkan dari register pasien.
- Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembalisetelah pernah dinyatakan sembuh atau
RFT (Mansjoer et al., 2000)
26
2.2 Keberhasilan Pengobatan Morbus Hansen
Keberhasilan terapi pasien Morbus Hansen dinyatakan dengan RFT (Release
From Treatment). RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa harus
pemeriksaan laborotarium. Pasien PB (pausibasilar) yang telah mendapat
pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus
pemeriksaan laborotarium. Pasien MB (multibasiler) yang telah mendapat
pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT,
tanpa harus pemeriksaan laborotarium. Jika seorang pasien PB tidak mengambil
atau minum obatnya lebih dari 3 bulan dan pasien MB lebih dari 6 bulan secara
komulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu
yang ditetapkan), maka penderita Morbus Hansen dikatakan default atau lalai
dalam pengobatan (Departemen Kesehatan RI, 2012).
2.3 Faktor-Faktor Internal yang Berperan dalam Keberhasilan Terapi
Morbus Hansen
Adapun faktor-faktor internal yang berperan dalam keberhasilan terapi
Morbus Hansen, antara lain:
2.3.1 Usia
Anak-anak mempunyai tingkat kepatuhan yang lebih tinggi
dibandingkan remaja, meskipun anak-anak mendapatkan informasi
yang kurang. Untuk penderita lanjut usia, kepatuhan minum obat dapat
dipengaruhi oleh daya ingat yang berkurang, ditambah lagi apabila
penderita lanjut usia tinggal sendiri. Sedangkan orang tua atau usia
dewasa cenderung patuh minum obat karena mengikuti semua anjuran
dokter (Hutabarat, 2008).
27
2.3.2 Jenis Kelamin
Penderita wanita biasanya lebih patuh untuk minum obat karena sesuai
dengan kodrat wanita yang ingin tampak kelihatan cantik dan tidak
ingin cacat pada tubuhnya, sehingga wanita akan lebih patuh minum
obat dibandingkan dengan laki-laki (Hutabarat, 2008).
2.3.3 Pekerjaan
Penderita penyakit Morbus Hansen yang berkerja seperti biasa akan
termotivasi untuk lebih patuh minm obat demi kesembuhannya bila
dibandingkan dengan penderita yang tidak bekerja, karena pekerjaannya
adalah sumber mata pencahariannya. Pekerjaan memberikan kontribusi
paling besar terhadap kepatuhan berobat (Hutabarat, 2008).
2.3.4 Pendidikan
Tingkat kecerdasan seseorang dalam bidang pelajaran formal dapat
ditunjukkan melalui tingkat pendidikan namun tidak dapat
menunjukkan kecerdasan seseorang dalam bidang-bidang informal atau
dapat dikatakan semakin luasnya wawasan yang dimiliki termasuk
wawasannya mengenai Morbus Hansen tidak menjamin tingginya
tingkat pendidikan. Penderita mungkin akan lebih teratur minum obat
dan berkeinginan untuk sembuh apabila penderita memiliki wawasan
yang luas tentang Morbus Hansen. Pengetahuan mengenai Morbus
Hansen dapat diperoleh melalui penyuluhan petugas Morbus Hansen,
televisi, radio, internet, dan lain sebagainya (Selum, 2012).
28
2.3.5 Pengetahuan
Pengetahuan tentang kesehatan dan perilaku pencarian pengobatan
memiliki hubungan terhadap munculnya kecacatan pada penderita
Morbus Hansen (Sari, 2015). Sejalan dengan hal tersebut, pengetahuan
yang rendah tentang Morbus Hansen mengakibatkan penderita Morbus
Hansen tidak mengetahui akibat buruk yang ditimbulkan oleh Morbus
Hansen seperti cacat fisik (Manyullei, 2012). Henny menemukan
bahwa pengetahuan rendah memiliki resiko 2,89 kali untuk tidak teratur
menjalani pengobatan Morbus Hansen (Henny, 2000).
2.3.6 Sosial Ekonomi
Pengukur kesanggupan dari individu atau keluarga untuk memperoleh
pelayanan kesehatan dapat diukur dari pendapatan. Melakukan
pengobatan/perawatan untuk dirinya dapat dilakukan ketika seseorang
memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan primer
dan sekundernya. Tetapi orang yang berpendapatan rendah akan merasa
berat jika harus mengurangi waktu bekerja karena akan mengurangi
penghasilan mereka juga. Henny menemukan bahwa sosial ekonomi
rendah memiliki resiko 2,69 kali untuk tidak teratur menjalani
pengobatan Morbus Hansen (Henny, 2000).
29
2.4 Kerangka Teori
Morbus Hansen
Mycobacterium leprae
Gejala klinis: lesi pada kulit,
kerusakan saraf motorik,
sensorik atau otonom
Klasifikasi Morbus Hansen
- Pausibasiler
- Multibasiler
Pengobatan
Multi Drug Therapy
Faktor Internal Keberhasilan Terapi
Usia
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Pengetahuan
Sosial Ekonomi
Keterangan:
Variabel yang diteliti
Gambar 6. Kerangka Teori (Modifikasi Hutabarat, 2008)
30
2.5 Kerangka Konsep
1. Faktor usia
2. Faktor jenis kelamin
3. Faktor pendidikan Keberhasilan Terapi
4. Faktor pekerjaan Pasien Morbus Hansen
5. Faktor pengetahuan
6. Faktor sosial
ekonomi
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 7. Kerangka Konsep
2.6 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Terdapat hubungan antara usia dengan keberhasilan terapi Morbus
Hansen.
2. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan keberhasilan terapi
Morbus Hansen.
3. Terdapat hubungan antara pendidikan dengan keberhasilan terapi Morbus
Hansen.
4. Terdapat hubungan antara pekerjaan dengan keberhasilan terapi Morbus
Hansen.
5. Terdapat hubungan antara pengetahuan pasien dengan keberhasilan terapi
Morbus Hansen.
6. Terdapat hubungan antara sosial ekonomi dengan keberhasilan terapi
Morbus Hansen.
31
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross
sectional.
3.2 Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di beberapa Puskesmas yang berada di Bandar
Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2016 – Januari 2017.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien Morbus
Hansen yang berobat ke Puskesmas kota Bandar Lampung pada periode tahun
2013 - 2016. Sampel penelitian adalah pasien Morbus Hansen yang melakukan
pengobatan di beberapa Puskesmas Kota Bandar Lampung yang memenuhi
kriteria inklusi yang diperoleh dari anamnesis dan data laporan Dinas Kesehatan
Kota Bandar Lampung, serta bersedia ikut penelitian yang dinyatakan secara
tertulis dalam informed consent. Tehnik sampling yang digunakan adalah total
sampling dengan jumlah sampel ditentukan menggunakan rumus perhitungan
sampel:
32
n= ( , )²
n= ( , )²
n = 40,8 orang, dibulatkan menjadi 41 orang.
Keterangan:
n : Besar sampel
N : Besar populasi (penderita Morbus Hansen)
d : tingkat kepercayaan (10%)
3.4 Kriteria Penelitian
3.4.1 Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Pasien Morbus Hansen yang bersedia menjadi responden penelitian
b. Pasien Morbus Hansen yang mampu berkomunikasi dengan baik
3.4.2 Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Tidak bersedia menjadi responden penelitian
b. Pasien mengundurkan diri
c. Alamat pasien tidak lengkap
d. Pasien meninggal dunia
3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1 Identifikasi Variabel
a. Variabel independen adalah karakteristik pribadi termasuk usia, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan serta pengetahuan dan sosial
ekonomi
33
b. Variabel dependen adalah keberhasilan terapi pasien Morbus Hansen
3.5.2 Definisi Operasional
Adapun definisi operasional yang digunakan untuk memudahkan
pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas yaitu
sebagai berikut.
Tabel 5. Definisi operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Usia Jumlah tahun Kuesioner 1. Anak (<18 tahun) Ordinal
responden dihitung 2. Dewasa (18-55 tahun)
mulai tahun lahir 3. Lanjut usia (>55
sampai tahun terakhir tahun)
saat wawancara.
Jenis Kelamin Perbedaan antara laki- Kuesioner 1. Laki – laki Nominal
laki dan perempuan 2. Perempuan
berdasarkan
keterangan yang tertera
dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP).
Pendidikan Jenjang pembelajaran Kuesioner 1. Rendah (SD-SMP Ordinal
formal yang ditempuh 2. Tinggi (SMA-
responden Perguruan Tingi)
Pekerjaan Suatu kegiatan atau Kuesioner 1. Bekerja (PNS, Nominal
aktivitas responden Pegawai swasta,
sehari – hari Nelayan, Petani)
2. Tidak bekerja
Pengetahuan Tingkat kemampuan Kuesioner, 1. Baik, skor 15-24 Ordinal
responden untuk terdiri atas 6 (≥61%)
menjawab pertanyaan pertanyaan; 2. Kurang, skor 0-14 (<
dengan benar tentang a(4), b(3), 61%)
penyakit kusta. c(2), d(1),
e(0).
Sosial Pendapatan Kuesioner 1. Kurang, jika dibawah Ordinal
Ekonomi kotor yang UMK
diperoleh 2. Baik, jika diatas UMK
setelah bekerja *UMK Bandar Lampung
satu bulan = 1,8 juta (Gubernur
Lampung, 2016)
Keberhasilan Keberhasilan terapi Rekam 1. Berhasil, memenuhi Nominal
terapi pasien kusta Medis kriteria RFT yaitu telah
dinyatakan dengan mendapat pengobatan
RFT (Release From MDT 12 dosis dalam
Treatment) wakttu 12-18 bulan.
2. Gagal, tidak
memenuhi kriteria RFT
34
3.6 Prosedur Penelitian
3.6.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah skrining subyek
penelitian dan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji
validitas adalah uji untuk menilai ketepatan dan kecermatan alat ukur (tes)
sedangkan uji reliabilitas adalah uji untuk memastikan apakah kuesioner
penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data variabel penelitian
reliabel atau tidak (Dahlan, 2012).
3.6.2 Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder dengan
cara pengisian kuesioner dan dalam pengisian kuesioner dipandu oleh
peneliti.
3.6.3 Prosedur Penelitian
a. Pada tahap persiapan, peneliti menyusun proposal penelitian lalu
setelah disetujui peneliti mengurus perizinan penelitian baik ke
instansi pendidikan maupun ke lokasi penelitian. Setelah
mendapatkan surat izin penelitian, peneliti melakukan koordinasi
dan mengajukan surat izin ke Puskesmas untuk melakukan
penelitian.
b. Peneliti mencari pasien sesuai kriteria sampel di Puskesmas Kota
Bandar Lampung sebagai responden, lalu peneliti menjelaskan
tujuan dan prosedur penelitian kepada responden.
35
c. Sebelum dilakukan perlakuan, responden diminta untuk membaca
dan menandatangani lembar informed consent.
d. Peneliti mengambil data identitas pasien lalu melakukan wawancara
termbimbing dan pengisian kuesioner.
e. Setelah data hasil pengukuran diperoleh, peneliti melakukan input
data ke dalam program statistik dan melakukan analisis data baik
univariat bivariat.
3.6.4 Alat dan Instrument Penelitian
a. Lembar informed consent
b. Lembar kuesioner
3.7. Alur Penelitian
Alur penelitian ini akan dilaksanakan sebagai berikut:
Persetujuan Ethical Clearance dari Komisi Etik
Fakultas Kedokteran UNILA
Izin dengan dinas terkait (DINKES Provinsi Lampung,
Kota Bandar Lampung dan Puskesmas)
Pencarian Subyek Penelitian
Persetujuan Subyek Penelitian (informed consent)
Skrining dan Kuesioner
Pengumpulan Data
Analisis Data
Penyusunan Hasil Penelitian
Gambar 8. Alur Penelitian
36
3.8 Pengolahan dan Analisis Data
3.8.1 Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah dalam
bentuk tabel-tabel, kemudian data diolah dengan menggunakan program
microsoft excel. Tahap-tahap pengolahan data adalah sebagai berikut:
a. Editing, untuk meneliti kembali formulir data dan untuk memeriksa
kembali data yang terkumpul apakah sudah lengkap, terbaca dengan jelas,
tidak meragukan, terdapat kesalahan atau tidak dan sebagainya.
b. Coding, untuk menerjemahkan data yang dikumpulkan selama penelitian
kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.
c. Data entry, memasukkan data kedalam komputer.
d. Verifikasi, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah
dimasukkan ke komputer.
e. Output komputer, hasil analis yang telah dilakukan komputer kemudian
dicetak
3.8.2 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan software statistik dan
akan dilakukan 3 macam analisis data, yaitu analisis univariat, analisis
bivariat.
a. Analisis Data Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi
masing-masing variabel, baik bebas, dan variabel terikat. Teknik analisa
data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan perhitungan
statistik sederhana yaitu statistik deskriptif.
37
b. Analisa Bivariat
Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pribadi
termasuk usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan serta pengetahuan dan
sosial ekonomi dengan keberhasilan terapi pasien Morbus Hansen
menggunakan Uji Chi-Square.
3.9 Etika Penelitian
Penelitian ini telah disetujui dan mendapat surat keterangan layak etik
penelitian dari Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
dengan surat No : .103/UN26.8/DL/2017
51
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara usia dengan keberhasilan terapi pasien terhadap
penyakit Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung.
2. Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan keberhasilan terapi pasien
terhadap penyakit Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung.
3. Terdapat hubungan antara sosio-ekonomi dengan keberhasilan terapi
pasien terhadap penyakit Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung.
4. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan keberhasilan terapi
pasien terhadap penyakit Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung.
5. Tidak terdapat hubungan antara pendidikan dengan keberhasilan terapi
pasien terhadap penyakit Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung.
6. Tidak terdapat hubungan antara pekerjaan dengan keberhasilan terapi
pasien terhadap penyakit Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung.
52
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka peneliti ingin memberikan saran bagi :
a. Puskesmas
Diharapkan puskesmas lebih aktif untuk memeberikan himmbauan kepada
masyarakat tentang pentingnya keteraturan perawatan dan pengobatan
pada penderita Morbus Hansen baik melalui media massa maupun dengan
penyuluhan kesehatan sehingga dapat memberikan petunjuk dan
kemungkinan komplikasi yang terjadi bila penderita Morbus Hansen tidak
berhasil dalam pengobatan.
b. Keluarga
Kepada keluarga penderita selaku orang yang terdekat, diharapkan tetap
mengawasi minum obat penderita agar teratur minum obat, member
dukungan, perhatianm, dan jangan mengucilkan penderita.
c. Peneliti selanjutnya
Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terhadap faktor lain yang dapat
mempengaruhi keteraturan perawatan dan pengobatan pada penderita
Morbus Hansen missal nya jarak pelayanan kesehatan, dan dukungan
petugas kesehatan atau norma subjektif mengingat sifat stigma dari
penyakit Morbus Hansen masih ada di kalangan masyarakat.
53
DAFTAR PUSTAKA
Agusni I, Menaldi SL. 2003. Beberapa Prosedur Diagnosis Baru pada Penyakit
Kusta. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
59-65.
Amiruddin M. 2006. Penyakit Kusta di Indonesia: Masalah Penanggulangannya.
Jakarta: Hipokrates.
Burn, et al. 2010. Rook’s Textbook of Dermatology. United Kingdom: Wiley-
Blackwell.
BPOM. 2006. Kepatuhan pasien: faktor penting dalam keberhasilan terapi. Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 7(5): 1-12.
Chin J. 2006. Manual Pemberatasan Penyakit Menular. Jakarta: Infomedika.
Dahlan, MS. 2012. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Buku Pedoman Nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman Nasional Program
Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Ditjen PP & PL.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Infodatin Kusta. Tersedia di
[Link] Diakses pada 20 Mei 2016.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2014.
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. 2015. Profil Kesehatan Kota Bandar
Lampung Tahun 2014.
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Lampung
Tahun 2014.
Dewi IAP. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi pada
penderita diabetes melitus bulan oktober 2009 di rsd dr soebandi jember
[Skripsi]. Jember: Universitas Jember.
54
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, et al. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Universitas Indonesia. 73-88.
Eddington N, Shuman R. 2005. Subjective well being (happiness). Continuing
Psychology Education: 6 Continuing Education Hours. Diunduh pada 10
mei 2016 dari [Link] pdf.
Entjang I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Entjang I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung: Citra Aditya Bakti. 52-
54.
Gubernur Lampung. 2016. Penetapan Upah Minimum Kota (UMK) Bandar
Lampung Tahun 2016.
Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Henny I. 2000. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan berobat
penderita kusta di kabupaten blora. [Tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Hutabarat. 2008. Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kepatuhan
minum obat penderita kusta di kabupaten asahan tahun 2007. [Tesis].
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Kafiluddin, Moh. Erfan. 2010. Memberantas Penyakit Kusta/Lepra.
Kartono K. 2011. Patologi Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kemenkes, RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta.
Direktorat Jendral Pemberntasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta: Kemenkes RI.
Lasry-Levy E, et al. 2011. Neuropathic pain and psychological morbidity in
patients with treated leprosy: a cross-sectional prevalence study in mumbai.
Neglected Tropical Diseases. 5(3): 1-8.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardani WI, Setiowulan W, et al. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. 65-75.
Manyullei S, Utama DA, Birawida AB. Gambaran faktor yang berhubungan
dengan penderita kusta di kecamatan tamalate kota makassar. Ind J of Publ
Health. 1(1): 10-7.
Nascimento OJM, de Freitas MRG, Escada T, Junior WM, Cardoso F, Pupe C, et
al. 2012. Leprosy late-onset neuropathy: an uncommon presentation of
leprosy. Arq Neuropsiqiatr. 70(6): 404-6.
Notoatmodjo S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
153-4.
Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
55
Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Jakarta: Rineka Cipta.
Sari AN, Gustia R, Edison. Hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan
tingkat kecacatan pada penderita kusta di kabupaten padang
pariaman tahun 2013. J Kes Andalas. 2015. 4(3). 681-8.
Sehgal A. 2006. Leprosy: deadly diseases and epidemics. Diunduh dari
[Link]
_ pdf.
Selum, WCU. 2012. Faktor kecacatan pada ketidakteraturan berobat penderita
kusta di kabupaten pamekasan provinsi jawa timur. Indo J of Publ Health. 3
(8): 117-21.
Setiawan DA. 2012. Konsep Dasar Keluarga. Surakarta: Poltekes Surakarta.
Stump PR, Baccarelli R, Marciano LH, Lauris JRP, Teixeira MJ, Ura S, et al.,
2004. Neuropathic pain in leprosy patients. Internat J of Leprosy. 72(2):
134-8.
Susanto N. 2006. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kecacatan
penderita kusta (kajian di kabupaten sukoharjo). Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Tirtana. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada
pasien tuberkulosis paru dengan resistensi obat tuberkulosis di wilayah jawa
tengah [Skripsi]. Jawa Tengah: Universitas Diponegoro.
WHO. 2011. Weekly epidemiological record: global leprosy situation 2010.
Diunduh dari [Link]
Yuniarasari Y. 2013. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadiaan kusta.
[Skripsi]. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Zulkifli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. Medan:
Universitas Sumatera Utara. 1-7.