IJMA 2(11)

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan hidayahnya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang "DALIL HUKUM IJTIHADI". Sholawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungann kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya dan para sahabatnya semoga kita mendapat syafaatnya kelak di hari kiamat nanti, Amin.! Selanjutnya kami ucapkan terimakasih kepada dosen Pengajar dan teman-teman yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik, dan kami sangat menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kelancaran tugas-tugas selanjutnya. Demikian yang dapat kami sampaikan dan kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan bagi pembaca khususnya.

Ovaj rad, u cjelini, predstavlja napor ne samo da se predstavi Mevdudijevo razumijevanje sunneta, nego i kritički preispituje njegove stavove. Iako Mevdudi nije bio klasični muhaddis, neupitno je njegovo interesovanje za hadisku literaturu i njeno istraživanje. Stoga, predmet interesovanja ovog rada je, prije svega, Mevdudijevo dvojako razumijevanje sunneta. U prvom životnom razdoblju Mevdudi je nastojao sačuvati autoritet sunneta od teologa, koji su zagovarali tezu da se Kur'an može razumjeti bez hadisa Poslanika, s.a.v.s., te sekte ahmedija koji su autoritet Poslanika, s.a.v.s., ograničili na njegovo vrijeme. U kasnijem životnom dobu Mevdudi ukazuje na opreznost u slijeđenju hadiske literature kroz kritiku sakupljača hadisa i njihovih zbirki. Mevdudi dijeli sunnet Poslanika, s.a.v.s., na riječi i djela koja su produkt poslaničke i ljudske osobnosti. Samim tim, po njemu, prva ima normativan karakter, a druga nema. Također, on sve hadise dijeli na kolektivne (mutevatir), bez obzira bile praktičkog ili usmenog karaktera, i pojedinačne (ahad). Za razliku od muhaddisa, Mevdudi u ocjeni vjerodostojnosti hadisa prednost daje smislu teksta samog hadisa u odnosu na niz njegovih prenosilaca. S tim u vezi, Mevdudi ponekad ne prihvata ni one najrelevantnije predaje zabilježene u Sahihima. Osnova njegovih preispitivanja nepouzdanosti u hadiskoj literaturi jeste priroda ljudske pogrešivosti. Takva razmišljanja natjerat će ga da pribjegne metodologiji (diraje) ocjene pouzdanosti određene predaje na osnovu izgrađenog ličnog senzibiliteta.

As sovereignty underscores governance in human society, Hakimiyyah serves as a platform to argue that Islam is both state and religion. Theoretically, ijmāʿ has been the most potent factor in defining the meaning of the other uṣūl and thus in formulating the doctrine and practice of the Muslim community. It is a part of traditional authority but, over the ages, its validity had been a subject of theoretical and empirical discussion, suggesting perhaps, a possible ‘chemical reaction’ of Islamic jurisprudence. Islamic law was “jurists’ and people’s law” in that its content was determined by the jurist-scholars, accepted and observed by the people. It was also State law in that it had a mechanism of being enforced by the state. The neglect of application of the law by the state with tacit approval of scholars with consensus of the people and stiff resistance against the dissenting voices are giving rise to emergence of radical groups. Egypt has a track record in the development of Islamic law. Its people also have played significant role in the struggle for its application. What followed the Arab Spring in Egypt has served as a re-enactment of the aged-long struggle against colonialism, and certainly, a serious challenge not only to the concept of ijmāʿ, but also to the modern concept of democracy. This paper intends to explore the relevance of the principles of ijmāʿ and democracy in the political and religious metamorphosis of Egypt by applying an interpretive methodology to examine various stakeholders’ roles and responsibilities within relevant theoretical framework.

For full article please visit
http://tafhim.ikim.gov.my/index.php/tafhim/article/view/86

Kata Qiyas (قياس ) berasal dari akar kata qaasa - yaqishu - qiyaasan (قاس يقيس قياسا ). Makna Qiyas secara sederhana adalah pengukuran (تقدير ). Secara bahasa Qiyas memiliki pengertian mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain yang kemudian di samakan atau menyamakan antara keduanya.  Menurut para ulama pengertian Qiyas adalah menerangkan suatu hukum yang tidak ada nash nya didalam Al-Quran dan Hadits dengan cara membandingkanya dengan sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya secara nash.  Dalam definisi lain qiyas memiliki artian  menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat hukum’.

Pengertian Ijma’ dan Qiyas
Kata ijma’ secara bahasa berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan atau kesepakatan tentang suatu masalah.Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam masa setelah wafat Rasulullah SAW atas hukum syara’.

Qiyas secara bahasa adalah ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Qiyas juga bias berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum.

Syarat-syarat Ijma’ dan Qiyas:
Syarat-syarat Ijma’
a. Yang telibat dalam pembahasan hukum syara’
    melalui Ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid.
b.Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan
    hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada
    pada masa tersebut dari berbagai belahan
    dunia islam.
c.Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing
  mujtahid mengemukakan pandangannya.
d.Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’
  yang bersifat actual dan tidak ada hukumnya
  secara rinci dalam Al-Qur’an.
e.Sandaran hukum Ijma’ tersebut secara haruslah
  Al-Qur’an dan atau hadits Rasulullah SAW.

Syarat-syarat Qiyas:
a.Adanya semua ahli Ijtihad ketika terjadi suatu
  kejadian, karena kebulatan pendapat tidak
  mungkin terjadi tanpa adanya beberapa
  pendapat yang masing-masing terdapat
  persesuaian.
b.Kebulatan pendapat ahli ijtihad itu diiringi
  dengan pendapat-pendapat mereka masing-
  masing secara jelas mengenai kejadian, baik
  yang dikemukakan secara qauli (perkataan),
  maupun secara fi’li (perbuatan).
c.Pribadi dan setelah pendapat-pendapat mereka
  terkumpul tampak melahirkan kebulatan
  pendapat sepakat atau menampilakan
  pendapatnya secara kelompok, maka
  terdapatlah secara kelompok, maka terdapat
  ijma’.
d.Kesepakatan para ahli ijtihad itu dapat
  diwujudkan dalam suatu hukum, apabila
  sebagian para ahli ijtihad telah mengadakan
  kesepakatan. Dan adakalanya ijma’ itu tidak
  dapat ditetapkan dengan jumlah kesepakatan
  mayoritas, manakala jumlah yang tidak
  sependapat itu minoritas dan jumlah yang
  sepakat mayoritas.

Dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih lagi maha penyayang, puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Sumber Hukum (Ijma' dan Qiyas)".

Dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih lagi maha penyayang, puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Sumber Hukum (Ijma' dan Qiyas)".

Kata-kata "sumber hukum Islam" merupakan terjemahan darii lafazh Masadir al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalaam kitab-kitab hukum Islam yangg ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untukk menjelaskan arti 'sumber hukum Islam', mereka menggunakan aladillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir al-Ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yangg dimaksudkan ialah searti dengaan istilah al-Adillah al-Syar'iyyah. Yangg dimaksud Masadir al-Ahkam ialah dalil-dalil hukum syara' yangg diambil (diistinbathkan) dariipadanya untukk menemukan hukum. Sumber hukum dalaam Islam, ada yangg disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yangg masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yangg disepakati jumhur ulama ialah Al Qur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengaan urutan dalil-dalil tersebut. Qiyas merupakan sumber hukum Islam yangg keempat. Qiyas juga merupakan suatu cara penggunaan ra'yu untukk menggali hukum syara' dalaam hal-hal yangg nash al-Qur'an dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Keterkaitan dengaan qiyas sangan erat sekali dengaan hukum dan sebab. Dalam menentukan hukum suatu perkara dalam agama islam, agama islam berpedoman pada Al-Qur'an, Hadis, dan Ijtihad. Selain ketiga hukum tersebut sering juga mengambil hukum dengan jalan qiyas. Dan pada kesempatan ini pemakalah akan menjelaskan mengenai pengertian qiyas, dasar hukum qiyas, rukun qiyas serta macam-macam dari qiyas. Untuk lebih

Kasus Poligami menjadi menarik saat ini karena datang dari figur yang selama ini seringkali menyodorkan indahnya berumah tangga, nah..mengingat sebagaian umat ada yang terlalu berharap banyak pada tokoh panutannya, dan secara kebetulan tokoh tersebut seringkali membahas (menghindari kata memamerkan) indahnya kerukunan rumah tangganya, maka munculah 2 kelompok di masyarakat. Hal ini terlihat dari adanya komentar dari yang pro pada tokoh tersebut,  ada kelompok yang menganggap poligami itu sunat sebagai pembelaan pada tokoh panutannya, dan yang kontra beranggapan poligami itu tidak boleh. Argumentasi yang disampaikan oleh 2 kelompok ini seringkali menggunakan bahasa agama sebagai sebuah pembenaran atas pendapatnya.


Mengingat argumentasi yang ada seringkali menggunakan bahasa agama, maka menjadi sangat penting dipahami tujuan dari syari'at (maqoshidu asy-asyar'i) itu sendiri, yaitu:

1. Memelihara Agama (hifdzu ad-diin),
2. Memelihara harta (hifzdu al-maal),
3. Memelihara jiwa (hifdzu an-nafsi),
4. Memlihara kehormatan (hifdzu al-'irdl),
5. Memelihara keturunan (hifdzu an-nasl)

Sebagain besar ulama mujtahid berpendapat bahwa sumber hukum islam ada 4 yaitu Al-Qur'an, Hadits (Sunnah Nabi), Ijma' (Konsensus ulama), dan Qiyas (analogi hukum).

Kembali kepada masalah poligami, dalam menyikapi Poligami, perlu didahului dengan pemahaman yang jelas tentang makna SUNNAH Nabi. Betul bahwa Poligami memang SUNNAH Nabi, tapi tidak serta merta poligami itu hukumnya sunat, karena definisi dari Sunnah Nabi adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan) Nabi. Dari Sunnah nabi itulah akan melahirkan 5 hukum bagi ummatnya yaitu wajib, sunat, makruh, haram, dan mubah (boleh).

Jika hukum poligami dianggap sunat, maka akan berakibat pada pemahaman bahwa yang berpoligami mendapat pahala karena poligaminya an sich, sebaliknya jika hukum poligami dianggap haram (terlarang), maka yang melakukan poligami akan dianggap berdosa.  Dari kedua pemahaman ini melahirkan anggapan miring pada nilai-nilai keislaman sebagai sebuah Agama.

Lain halnya jika hukum poligami dianggap sebagai sebuah perbuatan yang MUBAH (boleh) saja, maka keterkaitan pahala atau dosanya bukan pada perbuatan poligaminya itu sendiri, melainkan dilihat dari apa penyebab yang mendorong seseorang melakukan poligami dan akibat yang ditimbulkannya.

Berdasarkan faktor penyebab dan akibat inilah akan berdampak pada hukumnya. Wallahu 'alam

Prije govora o karakteru i poruci same Objave, koja na brojne načine svjedoči o vlastitoj vjerodostojnosti i besprimjernosti, osvrnut ću se na moguće nedoumice i eventualne sumnje u pogledu toga je li Kur'an uistinu Božija objava, Njegova riječ, nepatvorena i kompletna u svome izvornom obliku.