Epistemologi

Present study aims at asserting the philosophical mysticism of Shihab al-Din Yahya Suhrawardi (1154-1191 A.D.), the philosopher-mystic and the founder of the School of Illumination (Ishraqi), who is universally known as Shaykh al-Ishraqi. This paper also highlights the origin of the theory of Illumination (Ishraqi), its' nature and role towards the philosophical sufi's thought. Additionally, it concludes with stating the influential necessity of this doctrine in the present world to revive and purify our soul to accomplish the success in this life and hereafter with the critical evaluation of others. The methodologies applied in the study are critical and analytical.

Present study aims at asserting the philosophical mysticism of Shihab al-Din Yahya Suhrawardi (1154-1191 A.D.), the philosopher-mystic and the founder of the School of Illumination (Ishraqi), who is universally known as Shaykh al-Ishraqi. This paper also highlights the origin of the theory of Illumination (Ishraqi), its' nature and role towards the philosophical sufi's thought. Additionally, it concludes with stating the influential necessity of this doctrine in the present world to revive and purify our soul to accomplish the success in this life and hereafter with the critical evaluation of others. The methodologies applied in the study are critical and analytical.

Sistematika filsafat terdiri dari 3 model: Ontologi (wujud/hakikat), Epistemologi (teori pengetahuan) dan Aksiologi (nilai/guna). Terkadang 3 model sistematika filsafat itu dimasukkan pula ke dalam aliran, mazhab atau cabang-cabang dalam filsafat. Digabungkan dengan metafisika, etika, logika dan lain-lain.

Buku “Epistemologi Minangkabau” berupaya mengungkap masalah seputar epistemologi dalam filsafat adat Minangkabau melalui penelusuran terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam ungkapan pepatah-petitih adat Minangkabau. Sebuah diskursus yang diperlukan dan menjadi penting agar konsep epistemologi yang terungkap dalam pepatah-petitih tersebut tidak sekedar ungkapan verbal, bahan retorika dan nostalgia masa lampau, serta kehilangan hubung-kaitnya dengan masa kini dan masa depan. Agar membumi dan menjawab realitas yang ada, maka pembahasan konsep epistemologi Minangkabau ini dilihat dalam konteks praktek musyawarah adat di Minangkabau.

lmajinasi memang sering keliru ditafsirkan. Daerahnya
dibatasi tak lebih jauh dari fantasi dan khayalan.
Akibatnya, kekuatan imaji sebagai karakter fundamental
pemikiran dan metodologi dikesampingkan dari wilayah
ilmu-ilmu pengetahuan. Buku ini menghadirkan kembali
karakter tersebut, mempertajam pemahaman kita akan
imajinasi, serta membuka sebuah khazanah yang
selama ini tersembunyi di balik pemikiran manusia.

Melalui perspektif postmodern, buku ini mengkaji ulang
pertanyaan-pertanyaan menggelitik seputar proses
pengetahuan manusia. Pengetahuan bukan hanya
dilahirkan oleh rasio. melainkan oleh bayangan imaji-imaji
yang demikian kuat, juga di dalam proses berpikir
manusia. Dengan itu penulis serentak merancang
sebuah sketsa ke arah Filsafat lmajinasi, sebuah
pemikiran yang mengandalkan dan mengolah kolase
imajerial realitas. Bila selama ini lebih sering dilihat
sebagaifaktor sampingan, sudah saatnya kini imajidan
imajinasi kita perhitungkan sebagai titik sentral dalam
ilmu pengetahuan.

Cabang-cabang Ilmu filsafat banyak sekali di antaranya yang ada dalam pembahasan makalah ini adalah, aksiologi,ontologi dan epistemologi ,
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Pembahasan aksiologi menyangkut masalah  nilai kegunaan  ilmu, Didalam ontologi banyak sekali yang berpendapat tentang definisi ontologi intu sendiri. 
Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan linkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Dalam pembahasan kali ini saya akan membahas beberapa point diantaranya adalah : Pengertian Epistemologi,Metode Induktif,Metode Deduktif, Metode Positivisme, Metode Kontemplatif, Metode Dialektis
Dan untuk lebih jelasnya penulis telah memaparkan ini dan penjelasan yang sangat akurat dalam bab yang telah disediakan di bawah ini.

Simandan D (2005) "Pragmatic Scepticism and the Possibilities of Knowledge" Timisoara, Editura Universitatii de Vest/West University Press, 256 pp.

This book distiled my own way of understanding the relation between epistemology, ontology, and politics, and the best name I found for labelling that way is pragmatic scepticism. Throughout the book, I stay away from the temptation to give a dictionary-like definition of this philosophy. I do not even like to think of it as a philosophy. Instead, I see pragmatic scepticism as a way of being and as a way of relating. A way of being human, i.e. enmeshed in language and limited by our senses; and a way of relating, i.e. crafted by the happy and sad encounters with theories, things, and lifeís happenings. The book is structured in three parts, which together give a sense of the potentials of pragmatic scepticism: as a way of thinking about the world, as a way of approaching theoretical dilemmas, as a way of mapping one's inner contradictions. The first part of the book introduces pragmatic scepticism in relation to the general questions underwriting the philosophy of knowledge and the study of science. The second part is more specific in that it deploys the pragmatic sceptical attitude to the central metatheoretical questions of the discipline of geography. The last part of the book groups under the heading "philosophies of struggle" two more applied essays on the political economy and the political epistemology of conflicts over knowledge in the globalised landscape of higher education in general and geography in particular.

The quest to provide a fundamental understanding and explanation of reality is an ambitious one. Perhaps it is too ambitious. The possible restrictions for such an enterprise to be successful must be inquired in order to determine the issue. Section 1 explores one’s understanding in reaching (scientific) conclusions: to what extent does a successful account testify to understanding? Section 2 focuses on the other side of such an account: does it provide an explanation in a more fundamental sense than pointing out causes of phenomena, or is it restricted to such a task? A critical stance vis-à-vis the (scientific) enterprise of unearthing reality’s structure remains necessary in order not to confuse a consistent and productive theory with one that demonstrates an understanding and explanation in the sense of this article.

This article is focused on answering the question to what extent one can be a sceptic. Sextus Empiricus’s Outlines of Scepticism serves as a guide. In section 1, it is investigated whether three logical laws have a certain foundation or are subject to doubt. In section 2, Sextus’s way to deal with these laws is examined; the question arises how dogmatic his approach is. After that, a possible ‘reply’ by Sextus to the criticism receives attention. Section 3 is concentrated on a possible alternative to Sextus’s approach. Besides logical laws, some important methods are concerned.

Reviewer mengambil buku ini sebagai bahan review dikarenakan ia menganggap bahwa pemikiran epistemologi merupakan hal yang krusial untuk dibahas saat ini. Selain itu reviewer juga menemukan bahwa buku ini membahas mengenai perbandingan epistemologi dari cara pandang dua tokoh yang berlandaskan pada dasar epistemologi berbeda, yaitu epistemologi Parennialis (Schuon) dan epistemologi Islam (Al Attas). Buku ini merupakan hasil disertasi dari Dinar Dewi Kania, seorang penulis dan peneliti yang sering membahas mengenai Oksidentalisme dan kritik Orientalisme. Beliau juga tergabung dalam INSIST (Institute for Study of Islamic Thought and Civilization) Jakarta bersama dengan pemikir-pemikir Islam Indonesia yang menurut reviewer reliable untuk dijadikan rujukan seperti; Hamid Fahmy Zarkasyi, Adnin Armas, Adian Husaini, Syamsuddin Arif, dan lain-lain.

Snapshot of Islamic Education in this country can be explained through the historical reality, starting from developmental era to reformation era nowadays. Therefore, Islamic transformation whether thought aspect or movement, which can be understood clearly through explanation about: the first, innovation science epistemology, which emphasizes on religion science and general science have the same embryo is the unity of God. The second, the modern institution especially high education level relating with real institution condition that Islamic education is subordinate. The third, educational contemporary issues that including Islamic education generally.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: Filsafat Ilmu: Topik-Topik Epistemologi Dosen pengampu : Dr. Alim Roswantoro, M.Ag. Disusun oleh: Fahmy Farid Purnama NIM: 1420510019 KONSENTRASI FILSAFAT ISLAM JURUSAN AGAMA DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2015 | 2 [Abstraksi] Hegemoni otoritas turâts telah membelenggu nalar masyarakat Arab pada era kontemporer. Pemahaman keagamaan yang sejatinya adalah hasil kerja budaya, kemudian menubuh sejak era kodifikasi, telah dipahami tidak sebagaimana mestinya. Ada aspek historisitas yang terlupakan. Lain pada itu, kukuhnya tradisi bayâni yang hanya berkutat seputar nash keagamaan, ataupun nalar `irfâni yang hanya berusaha melakukan mitologisasi agama dengan kesadaran irrasionalnya turut memicu stagnasi kebudayaan Arab. Maka, usaha Al-Jabiri melakukan kritik nalar yang menyasar pada aspek epistemologi, semata agar peradaban Arab keluar dari keterpurukannya. I. Prolog Keterpurukan bangsa Arab di tengah hegemoni peradaban Barat, baik secara pemikiran, sosial, politik, hingga ekonomi, memantik banyak intelektual Arab untuk meneliti sebab-sebab dan solusi pemecahannya. Pelbagai proyek kebangkitan diwacanakan, namun selalu saja mengalami kebuntuan. Bangsa Arab seolah kebingungan untuk menemukan jalan terbaik agar keluar dari keterpurukan; dengan memutus total tradisi lalu beralih pada paradigma modernisme Barat, ataukah kembali kepada nilai-nilai tradisi bangsa Arab-Islam perdana sebagai paradigma alternatif dan orisinil. Al-Jabiri melihat bahwa pada dasarnya polemik pemikiran Arab kontemporer hanya berkutat pada persoalan pilihan, belum menyentuh prinsip dasarnya. Kecenderungan dikotomik intelektual Arab dalam upaya keluar dari keterpurukannya ini terejawantahkan ke dalam tiga tipologi dasar. Pertama, sikap modernis (al-`ashrâniyyah) yang menjadikan capaian Barat modern sebagai model paradigma peradaban masa kini dan masa depan. Kedua, sikap tradisionalis (salafiyyah) yang menganggap bahwa capaian peradaban Arab-Islam perdana, sebelum terjadi-sebagaimana diasumsikan mereka-pelbagai penyimpangan dan kemunduran, dianggap sebagai model paling relevan dalam menghadapi modernitas. | 3 Ketiga, sikap ekletis (intiqâiyyah) yang berusaha mencari unsur-unsur terbaik dari paradigma Barat modern dan capaian peradaban Arab-Islam klasik, kemudian memadukan keduanya dalam sebuah paradigma baru. Menurut Al-Jabiri, kemunculan tiga model paradigma intelektual Arab ini bukan cara pandang ataupun sikap semata. Ketiganya merupakan dampak langsung perseteruan ideologis antara fundamentalisme dengan modernisme, liberalisme dengan sosialisme, hingga regionalisme dengan nasionalisme, yang berusaha mengukuhkan diri di tengah arus modernitas. 1 Dengan demikian, ia memandang perlunya satu paradigma kebangkitan yang lebih fundamental. Sebagai salah satu intelektual Arab yang memiliki perhatian atas cita-cita kebangkitan bangsa Arab, Al-Jabiri melihat gagalnya proyek kebangkitan Arab bukan sekedar persoalan pilihan atau usaha pemaduan dua paradigma belaka. Persoalannya justru terletak pada sikap bangsa Arab yang hanya menduplikasi (al-izdiwâjiyyah) peradaban modern pada tataran realitas material semata, seperti ekonomi, sosial, politik dan pendidikan. Maksudnya, sebagaimana bangsa Arab melestarikan tradisinya atas nama orisinilitas identitas suatu bangsa, pengembangan peradabannya hanya sebatas mengadopsi sektor-sektor material peradaban Barat modern saja. Sedangkan pada tataran pemikiran dan spirit modernitas, bangsa Arab masih terkungkung dalam kebingungan, lalu terjebak dalam perseteruan paradigma antara modernis, tradisionalis, dan ekletis. 2 Dipicu oleh kegagalan bangsa Arab dalam proyek kebangkitannya, Al-Jabiri tergugah untuk turut terlibat dalam upaya tersebut. Jika banyak pemikir yang masih larut dalam perseteruan ideologis, penekanan proyek Al-Jabiri justru terletak pada aspek yang lebih mendasar, yaitu kritik nalar (naqd al-`aqli). Baginya usaha kebangkitan Arab harus mendasarkan pada nalar yang 'terjaga', nalar yang mampu melakukan evaluasi mendasar terhadap mekanisme, pemahaman, dan cara pandang 1 Muhammad Abed Al-Jabiri, Isykâliyât Al-Fikr Al-`Arabi Al-Mu`âshir, (Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-`Arabiah: Beirut, cet. VI, 2010), hlm. 15-17 2 Ibid., hlm. 19 | 4 suatu peradaban. Dengan demikian, kritik nalar merupakan permulaan terpenting dalam setiap proyek kebangkitan. 3 Dengan melakukan kritik nalar Arab, proyek Al-Jabiri tengah memasuki tataran yang lebih prinsipil dan fundamental, yaitu kritik atas sejarah formulasi dan struktur epistemologi nalar Arab. Kritik nalar Arab Al-Jabiri mengambil titik tolak pada turâts (tradisi). Menurutnya, setiap upaya kebangkitan tidak bisa dicerabut dari turâts, karena turâts merupakan unsur kebudayaan yang merawat dan melestarikan identitas suatu bangsa. Dengan memijak pada turâts-bukan dalam pemaknaan sebagai fondasi dasar yang harus dimunculkan kembali sebagaimana adanya dalam kesadaran modern, tapi sebagai landasan dasar dan fokus kajian kritis proyek kebangkitan-kebangkitan suatu peradaban tidak akan mengalami pemenggalan ataupun keterputusan identitas. 4 Untuk itu, proyek kritik nalar Arab Al-Jabiri memfokuskan pada ulasan proses kesejarahan nalar Arab, dengan melakukan analisa formatif (al-tahlîl al-takwîni) dan analisa strukturasi (al-tahlîl al-binyawi) nalar Arab. Melalui proyek kritik nalarnya, Al-Jabiri berusaha membebaskan kesadaran bangsa Arab dari kungkungan otoritas turâts yang diarasanya terlalu menghegemoni. Banyak yang tidak sadar akan aspek historisitas dan cara kerja struktur nalar Arab yang memproduksi kemudian menubuh kukuh dalam sejarah panjang kebudayaan Arab. Dengan demikian, kritik nalar di sini dimaksudkan untuk membebaskan) nalar Arab dari hegemoni turâts, kemudian memulainya lagi dari realitas budaya Arab-Islam itu sendiri, tanpa harus terbebani dengan perspektif mayoritas/dominan yang telah mengakar sedemikian lama dalam kesadaran bangsa Arab. 5 Karena perhatiannya terhadap turâts inilah, Al-Jabiri termasuk salah satu pemikir post-tradisionalis yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran Arab kontemporer. Capaian terbesarnya terletak pada keberhasilan mengurai epistemologi nalar Arab-Islam yang terpetakan ke dalam tiga tipologi

Paper ini membahas pandangan Feyerabend dalam meletakkan ilmu pengetahuan sebagai justifikasi kebenaran. Bagaimana cara kaum objektifis bekerja, pengaruh politik terhadap kebenaran dan bagaimana demokrasi relativis bekerja dalam mempengaruhi realitas di dalam masyarakat.

Apa itu kebenaran? Bagaimana suatu pernyataan dikatakan benar? Syarat-syarat apa yang menyebabkan suatu pernyataan dikatakan benar? Kata "kebenaran" dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan. Dan jika subyek menyatakan kebenaran, proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik dan nilai. Karena kebenaran tidak bisa lepas dari kualitas, sifat, hubungan dan nilai itu sendiri. Dengan adanya berbagai macam katagori sebagaimana tersebut di atas, maka tidak salah jika pada saatnya nanti setiap subyek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengetahuan yang berbeda satu dengan lainnya. Setidaknya ada tiga hal yang berkaitan dengan teori kebenaran, yaitu; Pertama, kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Kedua, kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik bagaimana cara atau dengan alat apa yang digunakan seseorang dalam membangun pengetahuannya. Ketiga, nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan antara subyek dan obyek mana yang dominan dalam membangun pengetahuan itu.

Oleh: Marianus Ivo Meidinata, O.Carm. Pengantar Pengetahuan semakin banyak yang tidak benar. Banyak orang menciptakan pengetahuan baru, tanpa menguji kebenarannya. Kebenaran hanya diuji berdasarkan kebenaran pribadi dan bukan kebenaran universal. Alhasil, pengetahuan yang berkembang adalah pengetahuan yang sesat karena tidak dilihat berdasarkan kebenaran universal. Hal ini berdampak pada bangsa Indonesia. Banyak kelompok menciptakan pengetahuan sesat dan berusaha mempengaruhi masyarakat. Masyarakat pun mudah percaya tanpa mempertanyakan kembali. Akhirnya terjadi banyak kasus yang menghambat kemajuan Indonesia, seperti pemfitnahan dalam dunia politik, radikalisme, dan kebodohan masyarakat. Maka dari itu, bangsa Indonesia perlu mengenal metode induksi menurut Francis Bacon dalam melihat pengetahuan. Jika tidak dimulai dari sekarang, di masa depan Indonesia akan tetap bersikap yang sama: mudah percaya tanpa mengujinya terlebih dahulu. Realitas Pengetahuan (Adanya Idola) Sebelum melangkah lebih jauh pada realitas bangsa Indonesia, perlu diketahui terlebih dulu realitas pengetahuan menurut Francis Bacon. Dia mengatakan bahwa pengetahuan yang sesat diakibatkan oleh 'idola-idola' yang berkembang dalam individu-individu. 'Idola-idola' ini seperti penghalang bagi individu untuk melihat kebenaran dalam setiap pengetahuan. 'Idola' adalah kecenderungan-kecenderungan dalam pikiran manusia yang menghambatnya memperoleh kebenaran. Mereka seperti penyakit dalam otak, sehingga perlu dibersihkan sebelum manusia memulai berpikir. 'Idola' menjadi rintangan bagi kemajuan pengetahuan manusia. Masyarakat semakin bodoh sehingga kemajuan dan perkembangan berhenti. 'Idola' adalah unsur yang dibanggakan oleh manusia sehingga mereka enggan untuk melepaskannya. Ketidakmurnian pemikiran manusia adalah sumber segala kesalahan yang ada. Padahal untuk berpikir logis dibutuhkan pikiran yang murni. Maka dari itu, berpikir logis pun tidak mampu menangkal 'idola' yang ada. Perlu pembersihan 'idola' sebelum manusia berpikir secara logis. Di bawah ini akan dibahas 'idola-idola' yang mempengaruhi setiap pemikiran manusia. Ada empat macam 'idola'. Pertama adalah idola tribus. Idola tribus adalah pikiran manusia yang cenderung sama dengan masyarakat pada umumnya.1 Bacon melihat bahwa manusia cenderung percaya dan membenarkan semua kepercayaan publik tanpa mau menelitinya kembali. Akibatnya manusia sulit percaya pada hal-hal yang berlawanan dengan dengannya, padahal di balik kontradiksi itu terdapat kebenaran. Selain itu, manusia juga lebih percaya dengan apa yang dianggapnya benar, dan cenderung untuk menolak sesuatu hal yang menentangnya. Manusia tidak ingin direpotkan oleh kebenaran baru yang akan menghambat idealismenya. Inilah yang terkandung dalam idola tribus bahwa manusia cenderung terfokus pada persoalan pribadi dan berusaha mencari kebenaran semu yang mendukungnya. 'Idola' yang kedua adalah 'idola' specus. 'Idola' ini adalah paham sesat yang muncul dari latar belakang hidup, pendidikan, budaya dan pengaruh lain di sekitarnya.2 Faktor-faktor tersebut membuat manusia memiliki cara pandang yang berbeda-beda. 'Idola' ini dapat 1 1Gregorius Ari Nugrahanta, The Instauration of Human Dominion Over Nature In Francis Bacon Novum Organum, dalam: Orientasi Baru. Volume 19 (No. 1): hlm. 36. 2 Ibid. hlm. 37.

This essay argues that acknowledging the existence of mind-independent facts is a matter of vital importance, in that acquiescence before the layout of the world is something demanded of knowing agents from the most elementary empirical deliverance to the most abstract construct. Building on the idea that normativity requires the presence of more than one option to choose from, the essay shows how the cessation of one's life is the disjunctive alternative of any experiential episode. This much has been missed, it argues, because of a generalized failure to appreciate how even the simplest atomic contents embroil their subjects in acts of assent. Its account thus casts a new light on relativism and skepticism, revealing them to be provisional luxuries supported only by the cognitive labor of others.

Agents require a constant flow, and a high level of processing, of relevant semantic information, in order to interact successfully among themselves and with the environment in which they are embedded. Standard theories of information, however, are silent on the nature of epistemic relevance. In this paper, a subjectivist interpretation of epistemic relevance is developed and defended. It is based on a counterfactual and metatheoretical analysis of the degree of relevance of some semantic information i to an informee/agent a, as a function of the accuracy of i understood as an answer to a query q, given the probability that q might be asked by a. This interpretation of epistemic relevance vindicates a strongly semantic theory of information, according to which semantic information encapsulates truth. It accounts satisfactorily for several important applications and interpretations of the concept of relevant information in a variety of philosophical areas. And it interfaces successfully with current philosophical interpretations of causal and logical relevance.

Terdapat beberapa poin yang akan dikomparasikan antara pengetahuan intelektif dengan rasio komunikatif, diantaranya adalah: Pertama, jika Habermas mengkritik rasio instrumental dan membangun rasio komunikatif, maka Hardono Hadi memaparkan bahwa adanya beberapa kekurangan dari pengetahuan inderawi, dan memberikan tempat istimewa bagi pengetahuan intelektif. Dimana kebenaran pengetahuan intelektif semakin melengkapi kekurangan dari pengetahuan inderawi yang subjektif. Hardono Hadi (1996: 89-90) memaparkan bahwa terdapat beberapa bentuk kegiatan pengetahuan intelektif, antara lain:

A correct understanding of the fundamental elements in the Islamic studies vision is a prerequisite for the development of it. This article begins by putting forward a conceptual understanding of the fundamental elements of knowledge which include the worldview and epistemology. The role of worldview and epistemology to construct the methodology also became the one of the topic. The article argues that due to differences in the Islamic studies vision to those of western, coupled with the epistemological and methodological framework in Islamic scholarships, the development of Islamic thought (and consequently policy prescriptions) differs. While internal logic, coherence and consistency are necessary conditions for scientific exposition, Islamic studies should be evaluated within its own framework and using its own criteria. However, in another side we cannot neglect the position of positive sciences in the process of developing Islamic studies. PENDAHULUAN Epistemologi dan worldview menjadi kajian yang selalu menarik dalam filsafat, apalagi bila dikaitkan dengan peran keduanya dalam membangun metodologi keilmuan. Keterkaitan antara epistemologi dan worldview sangat erat karena keduanya membentuk pola pikir manusia. Meskipun demikian, persoalan bagaimana keduanya bekerja dalam pikiran manusia memang tidak mudah untuk diuraikan. Epistemologi merupakan kajian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi, dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan. Dapat dipahami bila epistemologi sangat menentukan karakter pengetahuan, karena ia menentukan batasan-batasan dari kajian itu sendiri. Istilah epistemologi pertamakali diperkenalkan oleh J.F. Ferier pada 1854 untuk menggambarkan pengetahuan yang sistematik tentang ilmu. Sistematika dalam hal ini dimaksudkan sebagai akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metodologis, teknis, dan normatif akademis. 108 Selanjutnya, secara sederhana dapat dikatakan bahwa akumulasi ilmu pengetahuan manusia tersebut akan membentuk worldview-nya, selanjutnya worldview akan membentuk tradisi ilmiah dalam masyarakat dan kemudian lahirlah disiplin ilmu. Pengembangan disiplin ilmu membutuhkan teori dan metodologi keilmuan yang tepat. Teori ilmu pengetahuan (theory of knowledge) inilah yang kemudian disebut sebagai epistemologi. Dengan demikian terlihat bahwa ketiga unsur tersebut memiliki kesalingterkaitan yang tidak terpisahkan. Ide sentral yang membatasi studi Islam, dan yang menempatkannya berbeda dengan yang lain adalah desakannya untuk memasukkan secara eksplisit nilai-nilai etika yang didasarkan pada agama dalam suatu framework analisis yang terpadu. Ini dapat dipahami dari berbagai definisi ilmu-ilmu Islam yang dikemukakan oleh para pakar. 109 Sebagai contoh, dalam hal ekonomi Islam, M. A. Mannan menulis, " Islamic economics is a social science which studies the economic problems of people imbued with the values of Islam. " 110 Secara lebih tegas Naqvi menyatakan bahwa perbedaan ekonomi Islam dengan konvensional adalah internalisasi nilai-108 Mukhtar Latif, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 197.

Abstrak : Pada karya ilmiah ini penulis berusaha ingin menjelaskan betapa pentingnya mempelajari teologi dalam ilmu kalam. Terutama pada teologi kalam yakni aliran Mu'tazilah. Membahas teologi dengan berbagai macam dialektika pembahasan tentu tidak akan ada habisnya. Agar penulis dan pembaca bisa menambah wawasan dan melihat sisi lain persepektif yang berbeda mengenai fikrah teologi mu'tazilah, yang kemudian dapat menghasilkan konklusi dan wacana baru dalam mengkajinya. Tulisan ini juga ingin mengelaborasi peranan penting teologi mu'tazilah dalam sejarah peradaban dunia Islam. Jasa-jasa yang telah diberikan oleh aliran ini tampaknya dilupakan begitu saja oleh umat Islam, bahkan ia menjadi teologi yang dimusuhi dan ditindas. Namun, terlepas dari semua itu, mu'tazilah juga sudah berjasa besar dalam melakukan pembelaan terhadap serangan-serangan yang ingin menghancurkan Islam. Untuk memahami tentang teologi kalam dan mengenali pemikiran-pemikiran dalam dalam penyusunan penulisan karya ilmiah, penulis menggunakan dua metode yakni yang pertama, membaca e-book dan menggunakan buku-buku rujukan terkait yang menunjang kajian pustaka, kemudian metode yang kedua ditinjau dengan jurnal-jurnal yang diakses melalui sarana internet sebagai tambahan referensi.

Puji syukur yang dalam penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya lah makalah ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Dalam karya ilmiah ini, penulis membahas mengenai "Epistemologi Olahraga." Hanya kepada Tuhan Maha Esa jugalah penulis memohon doa sehingga bantuan dari berbagai pihak bernilai ibadah. Penulis menyadari bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekurangan sehingga hanya yang demikian sajalah yang dapat penulis berikan. Penulis juga sangat mengaharapkan kritikan dan saran dari para pembaca sehingga penulis dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam penyusunan makalah selanjutnya.

El presente artículo expone algunas de claves analíticas más significativas implicadas en la construcción del conocimiento de la educación inclusiva. El objetivo de este trabajo es analizar las trayectorias analíticas que permiten sostener que la educación inclusiva no pertenece con exactitud a la regionalización signada como educación especial. Si esta errónea vinculación ha sido establecida se debe exclusivamente a los persistentes errores de aproximación de los investigadores a su objeto y término. La inclusión no se limita a ningún campo en específico, no así, la educación inclusiva. La naturaleza del conocimiento del campo devela un conjunto de articulaciones heurísticas que inauguran una peculiar convergencia post-disciplinar. El método empleado es el de revisión documental crítica. Entre sus conclusiones, se observa que sus fuerzas definitorias asumen un carácter epistemológico neo-materialistas, una forma de escape a los sistemas logo-céntricos de producción del saber.

PERLUNYA MENERAPKAN PENGETAHUAN MENGENAI "EPISTEMOLOGI" DALAM KEHIDUPAN RINI GAYATRI FARIANSYAH (Akuntansi Syari'ah / Ekonomi dan Bisnis Islam [email protected]) SOFIYAH (Akuntansi Syari'ah / Ekonomi dan Bisnis Islam [email protected]) Abstrak Ilmu pengetahuan memiliki peran yang sangat penting bagi manusia. Bagaimana tidak? Tanpa pengetahuan, manusia tidak dapat hidup. Dari hal sederhana, bagaimana kita bisa berinteraksi dengan sesama manusia apabila tidak ada ilmu pengetahuan? Namun, sebenarnya ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan salah satu cabang dari filsafat, yaitu filsafat ilmu. Namun dalam pembahasan kali ini, kami tidak akan membahas mengenai ilmu pengetahuan dan filsafat secara rinci. Melainkan yang akan kami bahas adalah "epistemologi" yang merupakan salah satu cabang dari filsafat ilmu. Selama hidupnya, tidak dapat disangkal bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari epistemologi. Baik kita menyadarinya maupun tidak. Mungkin bagi mereka yang menyangkal, pengetahuan mereka tentang epistemologi masih kurang. Padahal, apabila dipelajari, kita dapat memetik berbagai manfaat yang akan kita rasakan dalam jangka panjang. Epistemologi bisa dikatakan sebagai akar jawaban dari ilmu pengetahuan dilihat dari pengertiannya, yaitu epistemologi merupakan pengetahuan dari pengetahuan. A. Pendahuluan Manusia pada dasarnya ialah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari kebenaran yang sesungguhnya. Dari jawaban yang didapat, tidak jarang manusia tidak menerimanya begitu saja. Harus disertai dengan pembuktian-pembuktian yang nyata. Berbagai metode digunakan untuk menguji apakah jawaban yang ia terima benar secara ilmiah, bukan sekedar benar karena pembenaran dari seseorang. Ada kaitannya antara mencari kebenaran yang sebenar-benarnya dengan kata epistemologi. Namun, kata epistemologi mungkin merupakan kata baru nan membingungkan bagi sebagian orang yang bisa dikatakan sebagai orang awam. Padahal, tanpa disadari, mereka sering menggunakan ilmu ini dalam kehidupannya. Hanya saja karena tidak tahu menahu tentang keilmuannya, seolah itu hal yang sudah ada secara alamiah, tanpa dasar atau acuan tertentu. Padahal, epistemologi membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa dijadikan sebagai acuan dan dapat diterima dan digunakan oleh masyarakat. Epistemologi itu sendiri adalah cabang filsafat yang di dalamnya membahas tentang perbedaan pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang salah. Bisa dikatakan sebagai pencarian kebenaran yang sebenar-benarnya. Tidak hanya puas dengan jawaban yang tersedia tanpa pembuktian ilmiah. Misalkan, pembenaran tentang tidak masalah jika kita menanam padi di musim kemarau, pasti akan tetap tumbuh dengan syarat nutrisi pupuk, cahaya dan air tercukupi. Namun setelah dibuktikan, ditemukan bahwa secara ilmiah menanam padi tidak bisa di sembarang musim karena tanaman padi membutuhkan asupan air yang banyak, dan juga faktor cuaca juga berpengaruh. Jadi sangat cocok menanam padi pada musim penghujan, dan itu sudah terbukti. Pembutian ilmiah itulah yang disebut dengan

Resumen. Este artículo tiene como objetivo esclarecer la relación de la verdad y la justi cación en las  losofías de Jürgen Habermas y Richard Rorty a partir de sus debates. La tesis que de endo es que la relación entre verdad y justi cación depende de los supuestos ontológicos y epistemológicos que cada uno mantiene y no es una cuestión de condiciones del discurso como a rma Habermas.

Palabras clave: Epistemología, Jürgen Habermas, justificación, pragmatismo americano, Richard Rorty, verdad.

This paper argues that there is a conflict between two theses held by John McDowell, namely i) the claim that we are under a standing obligation to revise our beliefs if reflection demands it; and ii) the view that veridical experience is a mode of direct access to the world. Since (i) puts no bounds on what would constitute reasonable doubt, it invites skeptical concerns which overthrow (ii). Conversely, since (ii) says that there are some experiences which we are entitled to trust, it undermines the prescriptive scope of (i). Drawing on C. S. Peirce’s distinction between genuine and contrived doubt, I maintain that critical revisions of beliefs should be triggered only by unwanted disruptions of habits, thereby restoring unity between McDowell’s two theses.

Human action is seen as behavior of organisms that are subject to the law of effect (the law of effect) through the process of reinforcement and punishment, stimulus-response mechanism, learning by trial, and the laws of Biochemistry and physiological. Mullâ Shadrâ has brought us to a new consciousness that we are over this as if asleep because it doesn't realize that all our actions including sensory perception is our soul's activity directly. Epistemolois and methodological implications of the theory of perception Shadrâ this potentially to do a revolution in psychology, that relives live, i.e. as a single agent – holistic in all the actions of our perception and cognition.

Pengetahuan merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia. Tanpa pengetahuan, manusia tak ubahnya binatang. Dengan pengetahuan itulah manusia mampu mengelola seluruh potensi yang ada di dalam maupun luar dirinya. Lantas apa yang dimaksud dengan pengetahuan? Dan bagaimana manusia memperoleh pengetahuannya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang akan dijelaskan dalam penelitian ini. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metode memperoleh pengetahuan perspektif epistemologi Barat dan Islam. Penulisan ini bertumpu kepada metode kepustakaan yang mengkaji epistemologi. Guna memahami perbedaan tersebut, dalam tulisan ini akan dijelaskan tentang (1) epistemologi pengetahuan; pengertian epistemologi; sumber-sumber pengetahuan; Jenis-jenis pengetahuan (2) aliran-aliran epistemologi; epistemologi Barat; rasionalisme, empirisme, kritisime dan intuisionalisme, aliran-aliran epistemologi Islam; bayani, burhani dan irfani. Adapun Objek material kajian ini adalah pengetahuan, yang diteropong dengan menggunakan epistemologi Barat dan Islam sebagai objek formalnya. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah pembaca mampu mendapat gambaran yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan pengetahuan dan bagaimana manusia memperoleh pengetahuannya, khususnya dari perspektif Barat dan Islam.

At the beginning, the development of 'kalam' tradition is to understand the activity of 'thinking' as a 'discussion', not an effort to 'proving' logically (demonstration). So the logical structure of Islamic theology functions as activities rhetorical-dialectic (dialectical theology). Rapidly, 'Kalam' discourse intersection with Aristotle syllogism has brought a new dynamic in the face of Islamic theology. Although the development of logical structure of Islamic theology is quite dynamic, but according to Josef van Ess, the philosophy of Aristotle had never really 'conquered' the influence of Stoicism in designing Islamic theology. Discourse 'kalam' always confined within the framework of 'bayani.' 'Kalam' is being stuck in 'bayani' itself get various lawsuits. 'Qiyas bayani' considered cannot explain inimitable (incomparable) at all, the reality of God. Epistemology study about 'kalam' done by Josef van Ess, gives an understanding that Islamic tradition has a distinctive character of its rationality. Thus, assuming no growth of rationality in Islam refuted itself. Nevertheless, 'kalam' cannot be separated from the affect of various shades of reasoning that develops in time.

Filsafat merupakan bidang ilmu yang menjadi induk segala ilmu pengetahuan. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang terdiri dari kata "philos" berarti cinta. Sedangkan, kata "shopia" berarti kebijaksanaan. Dengan begitu bisa kita simpulkan bahwa filsafat adalah ilmu yang mencintai kebijaksanaan. Kata kebijaksanaan itu bisa diartikan sebagai kebenaran di dalam perbuatan atau hakikat sebenarnya.

PENDAHULUAN Artikel ini akan mengkaji tentang " Epistemologi Tasawuf " .Kajian ini menggunakan metode deskriptif analitis. Tasawuf dalam artian umum adalah sebuah ilmu akhlak yang menuntun untuk lebih meningkatkan ibadah serta akhlak dengan penyucian diri untuk mencapai puncak ketauhidan dan keimanan dihadapan-Nya. Epistemologi Tasawuf dalam intelektual Islam,yaitu hati manusia itu sendiri sebagai subsistem jiwa untuk bisa bisa ikhlas dalam menjalankan ilmu tasawuf.Istilah hati ini telah banyak dimuat dalam Alquran dan hadits dalam berbagai bentuk. Maka dari itu Epistemologi Tasawuf mulai dimuat dalam tafsir yang berdasar pada ulama terdahulu dari sumber buku yang tepercaya.

Thomas Aquinas merupakan salah satu filsuf sekaligus teolog yang memiliki peran penting dalam filsafat abad pertengahan. Pemikirannya memiliki corak kekristenan yang kuat. Sebagai salah satu pemikir Abad Pertengahan yang tersohor, ia menjadikan pemikiran Aristotelian dan Neoplatonis sebagai dasar untuk membela argumen teologis Kristen. Ia membuat suatu sintetis yang hebat dari kedua pemikiran tersebut dan memandangnya dengan konteks Kristiani1. Hal tersebut memiliki dua dampak bagi filsafatnya di Abad Pertengahan: 1) filsafatnya dapat diterima dengan baik di gereja dan 2) filsafatnya tercampur dengan teologi.

Ketika Socrates berada di penjara Athena, Krito datang mengunjunginya. Dalam kunjungan ini, Krito ingin membujuk Socrates supaya mau mengikuti keinginannya untuk membebaskan diri dari penjara. Namun Socrates tidak mengikuti ajakan dari Krito. Dialog mereka, pagi itu, malah menjurus dan membawa pembicaraan pada tema kebenaran.

Maka dari itu, pemikiran tidak bisa dicari hanya melalui perumusan teoritis seperti dalam filsafat atau ilmu pengetahuan; ia bisa dan harus dianalisis melalui cara berperilaku, berbicara, dan bertindak di mana para individu muncul dan bertindak sebagai subjek belajar, subjek etis atau yuridis, dan sebagai subjek yang sadar akan diri sendiri dan orang lain."