Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
Al-Adl : Jurnal Hukum
…
16 pages
1 file
The marriage of polygamy is a marriage bond to which one of the parties to which a man has / marries several opposite sexes at the same time. And the marriage of a child in this marriage is legally so long as this marriage is recorded and performed in accordance with the legitimate requirements of marriage. In the division the inheritance of a child born of a polygamous marriage is determined the origin of the property whether the property left by the parent is a congenital treasure or a gifted property of the marriage.In article 94 paragraph (1) of Law number 1 year 1974 concerning marriage in which the implementation of inheritance in marriage can be done by agreement between all parties of heir. This will give many benefits to all heirs. If no agreement is reached then the division of inheritance in polygamous marriages can be done by filing a lawsuit inheritance in the Court. The obstacles in the division of inheritance in polygamous marriage is due to the unrecorded marriage in polygamous marriage, and polygamous marriage never entered into a marriage agreement and deliberated for division Inheritance often occurs due to obstacles or caused frequent unfairness in polygamous marriage.
Jurnal Hukum Magnum Opus, 2021
Abstract The purpose of the research from this journal is to determine how the position of extramarital child in inheritance law applies in Indonesia. Then afterwards, it will appear how the inheritance law in the Indonesian state regulates the inheritance rights of the out-of-wedlock child. From this research, various problems will also arise that arise as a result of the position of extramarital children who have inheritance rights which must also be recognized, which will then be offered solutions through this journal research based on the laws and regulations that have legally regulated it. The purpose of marriage is to form a happy, eternal and prosperous family. A harmonious family life also arises when a child is blessed. However, some people prefer to have children without a marriage bond. This causes problems in terms of inheritance distribution. In this matter it has been conveyed in accordance with Law Number 1 of 1974 concerning marriage, many have touched on family iss...
2017
In the three legal systems of inheritance, the position of women as well as their rights as heirs there are quite striking differences. The heir of a woman in the Civil Code of the West, is not distinguished from the male heirs, in terms of his position or the amount of his portion. This happens because the law of Inheritance of Western Civil is only known classification of heirs based on blood relations. One side of the legal weakness of the Western Civil Inheritance is the placement of the biological mother as second heirs so that if the heir leaves husband, wife and / or child, the mother does not get any inheritance at all. This is contrary to the culture of society who holds that the birth mother is the closest person. In Islamic law of inheritance, there is no distinction between the position of women and men as heirs. This paper further examines the position and rights of women as heirs in the perspective of inheritance law in Indonesia
Mahakim, 2018
Islam allows the marriage of more than one partner, provided that the husband can be fair and get permission from the first wife. As a result of polygamous marriages, there is legal uncertainty about joint assets, both in the first, second, third and fourth wives. The purpose of this paper is to find out the legal certainty of shared assets in polygamous marriages. The method used is a normative legal research method, using a regulatory approach, both Islamic law, Law Number 1 of 1974 and KHI. As a result, there is legal uncertainty especially for the first wife based on the Compilation of Islamic Law, specifically legal protection for the property with the wife brought in by her husband’s second marriage. According to Law No. 1 of 1974, each wife gets a second share, whereas according to Islamic law the status of a woman’s property does not change with the marriage. Keywords: polygamy, shared assets
2021
Hukum Waris Islam disebut juga Hukum Faraidz, yang bersumber kepada al Quran dan hadist. Bagi setiap muslim tidak terkecuali apakah dia lakilaki atau perempuan yang tidak mengerti hukum waris Islam, maka wajib baginya untuk mempelajari hukum waris Islam. Dan sebaliknya, siapa yang telah memahami hukum waris Islam, berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain. Dalam mengerjakan pembagian harta warisan menurut hukum waris Islam, harus melalui tahapan tahapan yang benar. Apabila tahapantahapannya telah benar, maka bagaimana pun rumitnya akan dapat segera diselesaikan. Penulis berpendapat, ketentuan tentang harta warisan yang terdapat di dalam Al Quran dan hadist adalah ketentuan hukum yang bersifat memaksa, dan karenanya wajib bagi setiap pribadi muslim untuk melaksanakannya. Topik yang penulis angkat adalah tentang kedudukan pewaris pengganti. Kasus yang terjadi seorang perempuan meninggal dunia sebelum harta peninggalan orang tuanya di bagi. Oleh karena itu anak perempuannya mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama untuk menuntut hak ibunya. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 178 ayat 2, pasal 181,182 dan pasal 185 KHI mengatakan ahli waris pengganti dibatasi pada ahli waris berdasarkan hubungan darah dalam keturunan garis lurus kebawah hingga derajat cucu, dan ahli waris lakilaki dapat diduduki baik oleh anak lakilaki maupun perempuan. Maka majelis Hakim menetapkan bagian ahli waris M.Nur Syafii dan Umi Kalsum sebagai berikut : 1. Nur Syahril (anak laki-laki) mendapat 2/7 bagian; 2. Nur Syahrul (anak laki-laki) mendapat 2/7 bagian; 3. Nur Syahruddin (anak lakilaki) mendapat 2/7 bagian. 4.Tengku Deka Sari (cucu dari anak perempuan/ahli waris pengganti) mendapat 1/7 bagian.
Kedudukan Hak Waris Wanita dalam Hukum Adat Bali, 2023
Hukum adat di Bali memiliki sistem pewarisan yang unik dan kompleks, yang sering kali mencerminkan norma dan nilai-nilai budaya yang khas. Namun, dalam sistem pewarisan tersebut, anak perempuan sering menghadapi keterbatasan dalam memperoleh hak waris yang setara dengan anak laki-laki. Dalam masyarakat Bali, terdapat sistem kekeluargaan patrilineal di mana hanya anak laki-laki yang diakui memiliki hak waris, sementara anak perempuan tidak mendapatkan hak yang sama. Kondisi ini menciptakan ketidakadilan yang dirasakan oleh anak perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami secara mendalam kedudukan hak waris anak perempuan dalam hukum adat Bali, serta faktor-faktor sosial, budaya, dan hukum yang mempengaruhinya. Metode Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Melalui studi literatur dan analisis yang cermat, penulis melakukan penyelidikan terhadap perubahan dalam praktik pewarisan di Bali, serta upaya yang dilakukan untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam hal warisan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam konteks hukum adat di Bali, perempuan tidak diakui sebagai ahli waris secara resmi. Meskipun demikian, perempuan memiliki hak untuk menerima sejumlah harta peninggalan dari orang tua mereka. Oleh karena itu, terdapat beberapa opsi yang dapat diambil untuk memastikan bahwa anak perempuan juga mendapatkan bagian dari warisan orang tua mereka, seperti melalui hibah atau pemberian dalam bentuk hadiah perkawinan yang disebut jiwa dana, tetadan, atau bebaktan.
Jurnal Komunikasi Hukum (JKH)
Introduction to the Problem: Substitute heirs have problems in the form of their implementation in Islamic Law which is rooted in the unclear existing rules, this is based on the status of the successor heirs in obtaining inheritance rights from heirs who have died are not known in the type of inheritance distribution. In Islam, as the successor heir still has direct blood ties (nasab), siblings, and partners in the marriage bond (husband / wife) of the deceased heirs. know clearly and completely, regarding the position of a substitute heir fundamentally in obtaining the inheritance obtained from the rights of a person who has died. Design / Methodology / Approach: Through KHI as tangible as Presidential Instruction No.1 of 1991 contains provisions regarding the position of the successor heirs, so that it becomes the basic instrument for the author in determining legal rules and forms of legal rules for replacement heirs in terms of distribution of appropriate inheritance with Islam...
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law, 2021
Abstrak: Harta warisan adalah semua peninggalan pewaris yang berupa hak dan kewajiban atau semua harta kekayaan yang ditinggalaki-lakian untuk dibagikan kepada yang berhak (ahli waris). Dalam pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan juga perlu adanya asas keadilan tanpa mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan. Berbeda pada masa jahiliyyah, pembagian warisan hanya berlaku pada laki-laki saja dan terhadap anak yang belum dewasa, anak perempuan atau kaum perempuan tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Setelah Islam sempurna pembagian warisan tidak lagi pembedaan antara ahli waris anak-anak, perempuan, dan orang dewasa dalam memperoleh hak-haknya untuk menerima warisan. Dalam hukum Islam, tentang pembagian warisan telah ditetapkan dalam Q.S. al-Nisā’ ayat 11, khususnya tentang bagian laki-laki dan perempuan. KHI mengatur kewarisan dalam pasal 174 yang termasuk golongan laki-laki yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-...
Perspektif, 2017
Hukum kewarisan nasional yang dicita-citakan dan yang sedang direncanakan dewasa ini bersumber pada Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Perdata. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui cara penetapan, kedudukan dan akibat hukum dari orang yang diduga meninggal dunia atau si yang tidak hadir atau afwezigheid, serta perlindungan hukum untuk ahli warisnya menurut Hukum Perdata. Penetapan oleh Pengadilan Negeri tentang afwezigheid dalam perspektif Hukum Waris Perdata, yaitu mereka sebagai ahli waris yang berkepentingan, apabila 5 (lima) tahun telah lewat semenjak kepergian si yang tidak hadir dari tempat tinggalnya, dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri akan memeriksa dan melakukan pemanggilan kepada si yang tidak hadir, dan apabila si yang tidak hadir tidak datang/hadir tanpa memberi kuasa kepada seorang wakil, maka Pengadilan Negeri akan melakukan pemanggilan secara umum dalam jangka waktu selama sedikitnya 3 (tiga) bulan (Pasal 467 BW). Jika si yang tidak hadir/wakilnya tetap tidak hadir, maka Pengadilan Negeri akan menetapkan bahwa si yang tidak hadir diduga telah meninggal dunia. Dengan penetapan itulah ahli waris dapat menguasai harta warisan dari si yang tidak hadir dan jika diperlukan saat itu yang ditinggalkan dapat melangsungkan perkawinan yang baru dengan orang lain (Pasal 495 BW).
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, 2018
Jurnal Konstruksi Hukum
Jurnal Ilmiah Ahwal Syakhshiyyah (JAS)
Jurnal Ilmiah Ahwal Syakhshiyyah (JAS)
Usratuna: Jurnal Hukum Keluarga Islam
El-Furqania : Jurnal Ushuluddin dan Ilmu-Ilmu Keislaman, 2018
Jurnal Wawasan Yuridika, 2016
NUR EL-ISLAM : Jurnal Pendidikan dan Sosial Keagamaan, 2021
Jurnal Panorama Hukum, 2019
SYARIATI, 2019
Jurnal An-Nahl, 2021
Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, 2015