2022, takhrij hadis
Sumber pokok ajaran Islam adalah al Qur`an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Kedua sumber itu tidak hanya dipelajari dilembaga-lambaga pendidikan saja, tetapi juga disebarluaskan ke berbagai lapisan masyarakat. Seluruh ayat yang terkandung dalam al Qur`an tidak dimasalahkan oleh umat Islam dalam segi periwayatannya. Seluruh lafal yang tersusun dalam setiap ayat tidak pernah mengalami perubahan, baik pada zaman Nabi maupun pada zaman setelah Nabi. Jadi, kajian yang banyak dilakukan oleh umat Islam terhadap al Qur`an adalah kandungan dan aplikasinya, serta yang sehubungan dengannya. Untuk hadis Nabi, yang dikaji tidak hanya kandungan dan aplikasi petunjuknya, serta yang berhubungan dengannya saja, tetapi juga periwayatannya. Penelitian terhadap periwayatan Hadis menjadi sangat penting karena sebagian dari apa yang dinyatakan oleh masyarakat sebagai hadis Nabi, ternyata saja setelah diteliti dengan seksama, pernyataan-pernyatan tersebut sangat lemah (dha`if) untuk dinyatakan sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi. Bahkan tidak sedikit juga jumlah pernyataan yang dikatakan sebagai hadis Nabi, ternyata menurut hasil penelitian, pernyataan-pernyatan itu sama sekali tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai hadis Nabi; dalam Ilmu Hadis pernyataan-pernyataan tersebut disebut sebagai hadis palsu atau hadis maudhu`. Dalam hadis Nabi juga ada yang menyebutkan tentang interaksi antara berbagai kaum, termasuk kaum Muslimin, Yahudi, Nasrani, dan orang-orang kafir lainnya. Sejarah telah menginformasikan bahwa jauh sebelum kedatangan agama Islam dipelataran Makkah dan Madinah, umat Yahudi dan Nasrani sudah giat dan semangat menyebarkan agama yang telah turun kepada mereka. Begitu pula al Qur`an telah menginformasikan bahwa Nabi Isa telah mengajak kaum Yahudi untuk memeluk agama yang dibawanya, agama yang mempunya hubungan “emosional” dengan agama yang dibawa Nabi Musa yang diajarkan kepada kaum Yahudi Kontak antara ketiga agama ini terjalin sejak zaman Nabi Muhammad. Dan mendapatkan kondisi dan situasi yang produktif dan efektif ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Komunitas Yahudi dan Nasrani kala itu sudah menempati Jazirah Arabia. Posisi yang strategis dan dominan dimiliki oleh kaum Yahudi di Madinah dan Khaibar. Sedangkan kaum Nasrani mempunyai kekuatan dan pengaruh yang cukup kuat didaerah Najran. Sebagai salah satu bukti dari interaksi itu dapat diketahui dengan peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Diantaranya adalah peristiwa yang dialami Nabi Muhammad SAW ketika menerima wahyu pertama di gua Hira`. Waraqah ibn Naufal, seorang pendeta Nasrani mengetahui dan memahami bahwa yang datang kepada Muhammad adalah Malikat Jibril yang juga pernah datang kepada Nabi Musa dan Nabi Isa. Hal tersebut diperolehnya dari informasi yang diasamapaikan oleh kitab sucinya, Injil. Disisi lain Nabi Muhammad juga membangun perjanjian dan kesepakatan dalam menghadapi umat yang heterogen tersebut. Perjanjian itu memuat tentang peraturan hidup antar komunitas, antar agama, ras dan budaya yang berbeda di Madinah. Perjajian itu dikenal dengan piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Banyak para pemikir yang menyatakan bahwa perjanjian ini adalah yang pertama kali dalam sejarah kedupan manusia. Dari kisah ini ada sebuah catatan penting bahwa perbedaan agama dalam kehidupan mereka tidak menjadi faktor pemecah belah persatuan dan kesatuan, api penyala konflik, dan perpecahan antar sesama. Tetapi realitas yang dijalani oleh masyarakat ini mempunyai rasa penghormatan yang tinggi terhadap keyakinan seseorang terhadap agama. Disisi lain, terdapat sebuah hadis yang menyatakan tentang tasyabuh (menyerupai) dengan suatu kaum (kafir), maka orang yang menyerupai termasuk kaum tersebut. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana validitas hadis tersebut, bagaimana latar belakang sosio-historisnya. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis melakukan takhrij sederhana terhadap hadis tersebut.