Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
38 pages
1 file
ook chapter ber ISBN yang sedang dihadapan pembaca ini B merupakan luaran dari Esoterik Annual International Conference (EAIC) 5th dan Call for Paper dari program tahunan yang ke-5 oleh Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus. Kegiatan tahunan ke 5 yang terselenggara di bulan Agustus 2021 melibatkan para akademisi, peneliti dan mahasiswa yang bergelut pada bidang keilmuwan th Tasawuf dan Psikoterapi. EAIC 5 ini semakin menarik karena menghadirkan pakar dari Marmara University Turki, Prof. Dr. Sulayman Derin dengan tema besar yang diusung "Sufism Today: Heritage, Art and Tradition in The Global Community". Tema yang diusung tahun ini sebenarnya tidak asing dan sudah bertahun-tahun menjadi perbincangan dalam dunia Tasawuf. Tema ini perlu dan masih layak diangkat kembali karena masih relevan terkait persolan manusia saat ini. Selain itu, Tasawuf masih perlu dibumikan lagi untuk menjawab persoalan manusia sehingga Tasawuf dapat berfungsi dan berkontribusi secara lebih nyata dalam kehidupan umat.
Ulul Albab: Jurnal Studi Islam, 2018
This paper is a comprehensive study of sufi epistemology through interpretations of natural phenomena. The study of the triagle causality relationship between God, humans, and nature can be a binocular for studying the sufistic epistemology globally. In sufistic studies, studying natural phenomena is one way to reach the essence of God. Whereas the existence of God can be studied through His signs. This paper uses an approach from a theological scholar, Patrick Masterson, who concusively found a new approach that accommodates esoteric and exoteric dimensions simultaneously. The author considers this approach feasible to use to understand the sufistic epistemology, especially those related to natural phenomena. Tulisan ini merupakan kajian komprehensif mengenai epistemologi sufi melalui penafsiran-penafsiran fenomena alam. Kajian hubungan kausalitas segitiga antara Tuhan, manusia, dan alam dapat menjadi teropong untuk mengkaji epistemologi sufistik secara global. Dalam kajian sufistik, mengkaji fenomena alam merupakan salah satu jalan untuk mencapai esensi Tuhan. Sedangkan keberadaan Tuhan dapat dikaji melalui tanda-tanda-Nya. Tulisan ini menggunakan sebuah pendekatan dari seorang sarjana teologi bernama Patrick Masterson yang secara meyakinkan telah menemukan sebuah pendekatan baru yang mengakomodir dimensi esoterik dan eksoterik secara bersamaan. Penulis menilai pendekatan ini layak
Jurnal At-Tadbir : Media Hukum dan Pendidikan, 2022
Hadis yang menyatakan bahwa al-Qur’an memiliki dimensi makna eksoteris, zâhir dan esoteris, bâtin secara historis telah berimplikasi pada keniscayaan penafsiran esoteris terhadap al-Qur’an, terutama oleh dan bagi para sufi. Namun eksistensi penafsiran ini beragam, baik dilihat dari sisi epistemologis dan metodologis. Sehingga dirasa penting bagi peneliti untuk membahas diskursus makna esoteris dalam tafsir al-Qur’an dari landasan historis, metodologis dan taksonominya serta perdebatan tentang boleh atau tidaknya penafsiran yang berpegang pada makna ini. Dengan penelitian kepustakaan serta pendekatan historis peneliti ini berkesimpulan 1) Tafsir esoteris memiliki legitimasi historis masa Rasulullah saw dan teologis dari al-Qur’an dan Sunnah; 2) Tafsir esoteris haruslah didasarkan pada makna literalitas, tekstual ayat; 3) Tafsir esoteris yang karena sumbernya adalah wijdâniyyah individu seorang sufi, maka hasil penafsirannya bukanlah kewajiban yang harus diamalkan oleh orang lain.
Al-Mustafid: Journal of Quran and Hadith Studies
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan mendeskripsikan tafsir esoterik sebagai ruang eksplorasi batin Al-Qur’an. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka. Hasil dan pembahasan dari penelitian ini menunjukkan bahwa tafsir esoterik merupakan tafsir yang secara khusus mengeksplorasi ruang batin al-Qur’an yang telah ada semenjak nabi Muhammad Saw. Terdapat banyak pro kontra terkait tafsir ini. Namun, disisi lain telah hadir syarat-syarat diterimanya tafsir esoterik oleh al-Dzahabi sebagai filter. Hal ini semakin diperkuat oleh pengklasifikasian tafsir esoterik menjadi 4 macam oleh Ahmad Khalil sebagai bentuk legitimasi. Kesimpulan yang dicapai dalam penelitian ini adalah tafsir esoterik sebagai ilmu alat yang dgunakan untuk mengeksplorasi lebih jauh terkait ruang batin Al-Qur’an.
2018
Telah terjadi perdebatan yang sangat serius mengenai bagaimana seharusnya karakteristik metode pemaknaan terhadap teks al-Quran jika ingin menempatkan teks dan konteks (pembaca) secara harmonis dan bersamaan, dengan tidak lebih memenangkan salah satu diantara keduanya. Tulisan ini berupaya secara metodologis menelusuri bagaimana konsep takwil dan tafsir menciptakan keterpaduan antara (1) pengarang teks (Allah-Muhammad-ummat Muhammad pada masa awal sebagai konteks pertama bagi teks Al-Quran), (2) Teks (objek bacaan-teks yang tertulis dan diwariskan hingga sekarang) dan (3) pembaca (subjek-dengan segala konteks yang baru). dalam hal ini akan berfokus kepada metode tafsir dan takwil sebagai pangkal epistemologi dalam penafsiran al-Quran.
Ta’wil merupakan salah satu metode untuk memahami al-Quran yang telah dirumuskan oleh para ulama klasik, selain metode tafsir. Ta’wil dibangun atas dasar pemisahan antara parole dan langue atau antara aspek lahiriah dan batiniah teks, dan karenanya sangat mungkin penafsiran al-Quran akan melahirkan pemahaman yang berbeda antara dimensi parole (kalām) dan langue (lughat) tersebut. Bahkan dalam sudut pandang ta’wil, memahami parole (kalām) jauh lebih penting daripada langue (lughat) karena ta’wīl berusaha melampaui simbol (mitsāl) untuk menembus rahasia bathin teks untuk mencapai kembali makna aslinya. Konsekuensinya, ta’wil cenderung melahirkan watak subjektivisme dalam memahami al-Quran. artinya, makna al-Quran yang sesungguhnya sangat tergantung pada siapa yang memahaminya. Karena itu, ta’wīl hanya bisa dikerjakan oleh yang berwenang (otoritas) dalam Islam yang benar-benar mengetahui bahasa simbolik dan yang telah mengembara menuju dimensi rohaniyyah (spiritual) dalam hidupnya. Dengan demikian, sumber pokok ilmu pengetahuan dan tradisi berpikir ‘irfānī adalah “experience” (pengalaman) batin yang amat mendalam, sedangkan metode memperoleh pengetahuan dilakukan dengan cara qiyās ‘irfāni; yakni berangkat dari ma‘nā menuju lafzh, dari bāthin menuju zhāhir
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, 2015
This article scrutinizes the relationship of Islamic knowledge focusing on esoteric realm and exoteric area or what so-called duality of life. Within intellectual treasures of Islam this dualism have subsequently beat each other. It is sometimes in the form of friction between the scientific and nonscientific, rational and spiritual, the sacred and the profane, theocentric and anthropocentric. However, when carefully understood, the dualism shares the same nature, namely outer and inner aspects. The outer is represented by naming, while the inner can only be understood through the process of interpretation. In other words, these two aspects are represented by two words are name (outer aspect) and meaning (inner aspect). Therefore, Islam is present and it attempts to draw both together. As can be observed in this century, the mentality of modern humans seem to be eroded far from religious norms as people have developed science which leads to religious emptying from its noble values. Therefore, it is important to bring the esoteric realm into modern thought which tends only to put emphasis on exoteric aspect.
MAGHZA, 2016
This study focuses on the question of the reconstruction of the epistemological interpretation of classical exegesis by offering model mapping study of classical interpretation. The method used is based literary exploratory-qualitative approach. Epistemology of classical interpretation rely solely on aspects of history since the time of the Prophet, his tabi'in and generations before the contemporary era that emphasizes the validity of the interpretation of history rather than on naql aspects than aql aspects (ra'yu). The Reconstruction for methodological interpretation at all times would be covered by the circumstances that surround the commentators. The method will continue to grow with different perspectives of the commentators in the condition and situation with other commentators. Interpretation will continue to move as long as science itself is constantly moving and human culture is not going nowhere.
2019
Dalam epistemologi tafsir, penafsiran Alqur’an diartikan sebagai suatu upaya untuk memahami petunjuk Allah yang tersurat di dalam kitab suci Alqur’an, sehingga apa yang tertulis di dalamnya dapat dipahami dan diamalkan oleh manusia. Terdapat beberapa metode dalam menafsirkan Alqur’an. Dan para mufassir juga menggunakan metode yang berbeda-beda dalam penafsiran mereka masing-masing. Di antaranya ada M. Yunan Yusuf dengan karyanya kitab Tafsir Juz Tabarak Khuluqun ‘Azhim, yang menafsirkan ayat-ayat Alqur’an pada Juz XXIX dengan metode tafsir Tahlili-nya. Untuk mengetahui seluk beluk kitab tafsir ini, diperlukan kajian epistemologi terhadap kitab tafsir tersebut. Sebab, epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan atau menyelidiki tentang sumber, susunan, metode, maupun validitas kebenaran yang bersangkutan. Dari latar belakang tersebut, ada tiga persoalan yang hendak dijawab dalam penelitian ini. Pertama, apa saja sumber tafsir yang digunakan oleh M. Yunan Yusuf dalam kit...
Kaca (Karunia Cahaya Allah): Jurnal Dialogis Ilmu Ushuluddin, 2019
Tulisan ini bermaksud untuk mengetahui hakikat epistemologi tasawuf dan dimensi-dimensinya. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Epistimologi tasawuf adalah studi kursus tentang keterkaitan antara syariah dan hakikat, pengalaman spiritual dengan wahyu. Sumber pengetahuan dan kemampuan potensi-potensi intelektual yang mempersepsikan objek pengetahuan. Epistemologi tasawuf mengakomodasikan pandangan empirisme terhadap realitas eksternal, mengingat status eksistensialnya sebagai data indrawi. Dalam hal ini adalah mengakui wahyu sebagai lingkup pengetahuan yang mencakup keduanya. Berkenaan dengan epistemologi tasawuf, paling tidak ada tiga dimensi, yaitu,dimensi esoterik, adalah dimensi batin manusia yang berada di hati (qalb),dimensi eksoterik,yaitu kepercayaan kepada huruf, teks, atau dogma yang bersifat formalistik, dan dimensi neo-esoterik,yaitu konsep bangunan keilmuan yang dituntut untuk lebih humanistik, empirik dan funsional (penghayatan terhadap ajaran Islam, bukan pada Tuhan).
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Kordinat: Jurnal Komunikasi antar Perguruan Tinggi Agama Islam, 2018
NUN: Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya
Jurnal Bimas Islam, 2020