Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
2015, KARSA: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman
Wacana kepemimpinan perempuan tidak pernah berakhir didiskusikan. Beberapa pertimbangan teologis Islam selalu menjadi alasan utama untuk mendukung kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Artikel ini mencoba untuk menyajikan analisis tekstual dan kontekstual tentang kepemimpinan perempuan di ranah publik. Hal ini karena berdasarkan pemahaman secara tekstual terhadap sunah Nabi dan opini dari sebagian ulama Muslim secara buruk menyatakan bahwa kepemimpinan perempuan dalam urusan publik dilarang. Namun berdasarkan pemahaman secara kontekstual tidak demikian dengan syarat mampu mengemban amanah. Sejarah Islam mencatat "Â`isyah, al-Syifâ, dan Ratu Balqis termasuk segelintir pemimpin perempuan yang menduduki jabatan publik. Oleh karena itu, dalam memahami masalah kepemimpinan perempuan, pemahaman secara kontekstual harus terlebih dahulu dipertimbangkan.
2015
Many groups are calling to apply the Islamic values. Both in social issues, economy, country and politics. But they are not able to create a balancing of the values of Islam itself. Because in general, they actually limit the scope of women's movement. They do not give chance to women to participate in the world holding the reins of supreme leadership.If the excuse put forward is that Islamic values can be applied in general, why not give the right to limit even to women? In fact Islam devoted to men and women.However, when the raging spirit has been created, the power has been awakened, when the women had to roll up his sleeves to participate in social, political and matters relating to life, why the sudden sheet of voiced speech with a loud "O woman returned to the house each of you ", an appeal which it seems so unfair to discredit. Therefore, re-examine the traditions that are considered to discredit the woman, for Hadith Prophet Muhammad saw. ill only textually bu...
Jurnal Al-Mubarak: Jurnal Kajian Al-Qur'an dan Tafsir
Perempuan sama-sama makhluk yang juga sama spesialnya dengan lelaki di mata Allah. Takwalah kemudian yang membedakan antara keduanya. Penelitian ini mengkaji tentang pemimpin perempuan dalam tinjauan hadis Nabi Saw. Pembahasan ini penting untuk mengetahui jangkauan kepemimpinan perempuan, apakah hanya sebatas domestik ataukah perempuan boleh memimpin secara publik. Jenis kepustakaan dipilih sebagai jenis penelitian dengan menggunakan pendekatan tematik hadis. Hadis-hadis tentang pemimpin perempuan ditemukan melalui aplikasi al-maktabah asy-syamilah. Setelah hadis-hadis terkait ditemukan, kemudian dilakukan analisa isi untuk menemukan hasil dan kesimpulan yang komprehensif. Sebagai penutup, penelitian ini menemukan bahwa perempuan berposisi sama di mata Allah, juga dalam hal kompetensi dan kredibilitas. Hadis-hadis yang ditemukan juga mengarahkan kepada kesimpulan bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin di wilayah publik.
Jurnal Keislaman
This study aims to find out and further analyze how the capacity of women to become leaders in the modern era using the perspective of hadith. In addition, it also aims to determine the capacity of women to become leaders in the modern era by using hadith as a research reference. Women's leadership is still a matter of unresolved debate. Al-Quran verses and hadiths that help the scholars in terms of leadership are still a complicated idea. Cleric's interpretation often says that even the capacity for opportunity to become a leader has a narrow range of motion. The method used in this research is qualitative with a systematic literature review model. The results of this study indicate that women have the capacity to lead, even though they are not in leadership and must have the ability to lead. In addition, it shows that the hadith used as the basis for prohibiting women from leading does not actually say that women are prohibited from becoming leaders only by the presence of...
Artikel Tafsir Maudhu'i, 2023
Dewasa ini, agama sering dituduh sebagai sumber terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat, termasuk ketidakadilan relasi antara laki-laki dan perempuan yang sering disebut ketidakadilan gender. Sementara, saat ini peran perempuan semakin dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Banyak perempuan yang mulai ikut berkiprah dalam kepemimpinan di masyarakat terutama di Indonesia, perempuan saat ini benar-benar muncul diberbagai peran dan posisi strategis dalam ranah biokrasi maupun pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa kaum perempuan dapat menunjukkan dirinya sebagai kaum yang kuat dan berproses.
FIKRI : Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya, 2018
This paper discusses the hermeneutical perspective of the prohibition for women to become leaders hadith narrated by Abu Bakrah. The factor that became the background of this study is that there are still many people who understand that women are the second creature, namely "konco wingking". So, they are not deserve to be a leader for people. One of the normative bases is the hadith narrated by Abu Bakrah. The textual-literal understanding of the hadith has implications for the role of women in the public sphere so that there needs to be someone who can answer and place women to their proper degree. This study uses a qualitative method with Schleiermacher hermeneutics approach.The results of this research are the Hadith about the ban on women becoming leaders who narrated by Abu Bakrah through grammatical hermeneutics and psychological perspective cannot be applied in General. Thus, there are no restrictions for women today to be a leader for the people because they curren...
2008
Until now, there is a dilemma about woman leadership in Islam. In one side, there is a belief that the best woman activity is being home, take care her husband and children, cooking, cleaning up, and other activity that have domestic character. At the other side, today’s woman demanded to play active role outside home. Patriarchal understanding and culture that dominant at that era still affect position about woman leadership in Islamic thought discourse, not surprising if their thought’s product inclined to man interest. However, today’s woman have broad opportunity to have role on every domain, include became a leader. This is perfectly appropriate with Islamic teaching because al-Qur’an did not differentiate human except his/her deed
Alfian fahmi, 2023
This writing aims to find out about feminism or gender equality according to the perspective of hadith. Since the beginning of creation between women and men are the same, because Allah has decreed that there is no difference between them. In the view of Islam, women also have the same rights and obligations as men. However, over time, feminism has led to regular liberation in women's lives. This is what ultimately contradicts the concept of equal rights and obligations between men and women in Islam. Men feel that they have advantages compared to women, but we need to remember that between men and women there are definitely disadvantages as servants of Allah SWT. Both of them are creatures and servants of Allah, so that the rights and obligations given are in accordance with their respective instincts and natures. This is confirmed in the word of Allah the Qur'an, Surah At Tawbah verse 71.
At-Tafkir
The purpose of this study was to determine the law of female leadership according to the perspective of the Langsa City Ulama in the local elections for the mayor and to identify the factors that influence the different views of the Langsa City Ulama about female leadership in the Langsa City. The method used in this study is a qualitative descriptive research method that produces data in the form of written and spoken words from the subject under study. The main target of this research is the ulama of Langsa city. Data collection techniques are by observation, in-depth interviews and documentation. The data validity used is data triangulation technique. Data analysis includes 4 things, namely data collection, data reduction, data presentation, and concluding. The result of this research is that the ulama of Langsa city show that women can be leaders in the public sector, but the concept of understanding ideal leadership in Islamic teachings that they understand places men as the to...
2019
Islam dan kepemimpinan perempuan Tulisan ini merupakan sebuah inti sari dari buku " Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas" yang ditulis oleh dosen saya tercinta Ibu Neng Dara Affiah. Terdapat tiga bab dalam buku tersebut dan yang membuat saya tertarik adalah apa yang ditulis oleh Bu Neng pada bab pertama, yang beliau beri judul " Islam dan Kepemimpinan Perempuan". Berbicara mengenai perempuan, pasti selalu dikonotasikan sebagai feminisme. Saya membenarkan akan hal itu pada apa yang akan dibahas oleh tulisan ini. Namun yang perlu diingat bahwa feminisme bukanlah sebuah gagasan yang menghendaki kesetaraaan anatara laki-laki dan perempuan yang direalisasikan dengan "laki-laki melakukan pekerjaan perempuan" dan sebaliknya. Feminisme dalam arti yang sesungguhnya yaitu yang menghendaki kesetaraan atau keadilan gender dengan tidak memposisikan baik laki-laki maupun perempuan diposisi paling tinggi, yang kemudian mempengaruhi hak-hak yang seharusnya didapatkannya. Gender dalam kacamata Islam Pertama-tama saya akan membahas isu ini melalui kacamata agama, yang mana justru seringkali dalil-dalil agama inilah yang dijadikan argumentasi untuk menolak peran perempuan terutama dalam hal kepemimpinan. Dalam salah satu ayat alqur'an, tepatnya surah Al-Hujurat ayat 13 disebutkan secara jelas akan kesetaraan manusia baik berdasarkan kasta, ras, dan jenis kelamin. Rasulullah SAW sang nabi mulia pun mecerminkan dalam perilakunya akan hak-hak perempuan, walaupun beliau hidup pada masa dimana perempuan dianggap sebagai aib dan diremehkan. Dalam alqur'an surah Al-Baqarah ayat 30 Allah menciptakan manusia, laki-laki maupun perempuan sebagai khalifah (pemimpin) dibumi. Kepemimpinan disini tentunya memiliki arti yang sangat luas. Bisa saja menjadi pemimpin pemerintahan, pemimpin Pendidikan, pemimpin keluarga, dll. Namun yang perlu dicatat disini adalah manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri yang mana memiliki tanggung jawab dan harus dilaksanakan dengan amanah. Jika meninjau dari ayat tersebut, islam tidaklah membatasi siapapun untuk menjadi pemimpin, baik laki-laki maupun perempuan meiliki derajat yang sama dalam hal kepemimpinan. Salah satu ayat alqur'an yang sering dijadikan sebagai argumen untuk menolak kepemimpinan perempuan yakni surah An-Nisa ayat 34 yang berbunyi "laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan". Yang menjadi pangkal perdebatan adalah kata qowwam yang sering diasumsikan bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab, kekuasaan dan wewenang atas fisik dan moral prempuan serta memiliki kelebihan diatas yang lain. Dari pemaknaan diatas Nampak jelas bahwa pria ada pada posisi superior, sementara perempuan pada posisi yang inferior. Argument superioritas laki-laki ini didasarkan pada asumsi bahwa pihak laki-laki memiliki asset kekayaan yang dapat membiayai kehidupan perempuan. Selain itu, laki-laki dianggap memiliki kelebihan penalaran (al-aql), tekad yang kuat (al-hazm), kekuatan (al-quwwah), kemampuan tulisan (al-kitabah), dan keberanian (al-furusiyyah wa al-ramy). Menurut ahli tafsir yang brspektif feminis, makna dari kata "kelebihan" pada ayat tersebut tergantung pada kuaitas masing-masing individu yang tidak didasarkan pada gender. Begitu pula Amina Wadud Muhsin menyatakan bahwa "kelebihan" tersebut tidak bersifat hakiki, melainkan fungsional. Jadi, diebut superior selama yang bersangkutan memiliki kriteria alqur'an yakni memiliki kelebihan dan memberi nafkah, tentu saja ini tidak terbatas baik laki-laki maupun perempuan. Selain melihat dari tafsiran ayatnya, perlu kita ketahui pula konteks kelahiran ayat tersebut. Pertama, ayat ini turun dalam konteks hubungan suami istri. Kedua, melarang perempuan menjadi pemimpin bertentangan dengan konsep dasar Tuhan menciptakan semua makhluk denga derajat yang sama. Ketiga, adanya kekerasan domestik pada masyarakat arab pra islam. Nama: Firol Mustaqimah NIM : 11181110000023
Bolehkah memilih pemimpin wanita didalam Islam ? Oleh : Armansyah Ilustrasi Pemilihan kepala negara sama artinya dengan memilih Khalifah pada masa awal kematian Nabi dahulu, semuanya harus tetap mengacu pada aturan main yang ditetapkan oleh Islam.
Abstrak: Kepimpinan Wanita Menurut Perspektif Hamka. Riset ini membahas pendirian Hamka terkait soal kepimpinan wanita. Ia mengkaji pandangannya tentang urusan kepimpinan wanita dan perbandingannya dengan pandangan ulama yang lain berhubung keabsahan dan pendirian syariat terhadapnya. Metode kajian adalah bersifat deskriptif, analitis dan komparatif dengan meninjau ijtihad Hamka tentang soal kepimpinan ini dalam karya-karya falsafah, fiqh dan tafsirnya yang muktabar dan perbandingannya dengan pendapat ulama Islam yang lain. Ia merumuskan pemahaman Hamka yang kritis tentang batas-batas yang khusus yang digariskan syariat yang telah meletakkan kepimpinan wanita dalam konteks yang tepat dan praktikal dan sewajarnya, sesuai dengan sifat, pembawaan, keperibadian dan kedudukan mereka sebagai pemimpin, serta selaras dengan keupayaan dan naluri dan fitrah kewanitaan yang sebenar. Dapatan kajian menemukan fikrah Hamka yang luas yang menafsirkan nas-nas syarak terkait prinsip kepemimpinan wanita ini dari sudut yang positif yang mempertahankan keabsahannya yang didukung dengan hujah-hujah dan keterangan dalil yang kukuh dan sebagai yang dibuktikan dalam kenyataan sejarah dan tradisi Islam. Adapun masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana kajian kepemimpinan wanita berdasarkan sudut pandang Hamka. Sedangkan tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui kajian kepemimpinan wanita berdasarkan sudut pandang Hamka. Untuk menjawab dan mendeskripsi atas rumusan masalah dalam tulisan ini penulis menggunakan teknik mengumpulkan teori yang didapat dari beberapa referensi baik berupa buku, majalah, internet, dan karya ilmiah lainnya lalu disesuaikan dengan kajian bahasan yang diangkat dalam tulisan ini. Dalam perbahasan tentang asas kepimpinan wanita Islam ini, Hamka telah menggariskan beberapa kriteria penting yang mengisbatkan hak dan status wanita sebagai pemimpin. Beliau mempertahankan kemerdekaan mereka sebagai pemimpin dan menekankan tentang tanggungjawab yang sama yang mesti dipikul dalam menegakkan kepimpinan ini. Ini dibahaskan dalam konteks dan skop yang luas daripada prinsip Islam yang memberi ruang kepada mereka untuk melibatkan diri dalam pemerintahan dan perencanaan undang-undang, dan menyumbang dalam meninggikan kedudukan dan martabat umat. Kata kunci: Hamka, kepimpinan wanita, keluarga, fitrah. Abstract: Women's Leadership According to Hamka's Perspective. Women's Leadership According to an Islamic Perspective. This paper discusses Hamka's stance regarding women's leadership. He examines his views on the affairs of women's leadership and its comparison with the views of other scholars regarding the validity and stance of the Shari'a against it. The study method is descriptive, analytical and comparative by reviewing Hamka's ijtihad on this leadership issue in his works of philosophy, fiqh and muktabar interpretation and comparison with the opinions of other Islamic scholars. He formulated Hamka's critical understanding of the specific boundaries outlined by the Shari'a which have placed women's leadership in an appropriate and practical and proper context, in accordance with their character, nature, personality and position as leaders, and in line with their desires and instincts and nature. true femininity. The study obtained a broad fikrah Hamka that interprets the syarak passages related to the principle of female leadership from a positive angle that maintains its validity which is supported by strong arguments and evidence and as proven in the reality of Islamic history and tradition. The problem in this paper is how to study women's leadership based on Hamka's point of view. Meanwhile, the purpose of this paper is to determine the study of women's leadership based on Hamka's point of view. To answer and describe the formulation of the problem in this paper, the writer uses the technique of collecting theory which is obtained from several references in the form of books, magazines, the internet, and other scientific works and then adjusted to the study of the discussion raised in this paper. In discussing the principles of leadership for Islamic women, Hamka has outlined several important criteria that describe the rights and status of women as leaders. He maintained their independence as leaders and emphasized the same responsibility that must be taken in upholding this leadership. This is discussed in a broad context and scope of Islamic principles which provide space for them to involve themselves in government and statutory planning, and contribute to elevating the position and dignity of the Ummah.
Jurnal Ilmiah Spiritualis: Jurnal Pemikiran Islam dan Tasawuf, 2020
Kepemimpinan wanita dalam kancah politik menuai kontroversi di dalam Islam. Hal ini disebabkan oleh nas{ hadis sahih yang menyatakan bahwa suatu kaum tidak akan beruntung jika dipimpin oleh wanita. Bagi ulama konservatif, akan memahami hadis tersebut apa adanya (tekstual). Namun bagi ulama yang moderat akan memahaminya dari sisi kontekstual. Agama Islam berpedoman kepada al-Qur’an dan hadis, oleh sebab itu, tidak adil kiranya jika hanya memotret dari sisi hadis saja dan mengesampingkan al-Qur’an. Artikel ini akan membahas tentang kepemimpinan wanita dari sisi al-Qur’an, hadis, biologis wanita dan sosiologis bangsa Indonesia. Kesimpulan artikel ini adalah al-Qur’an melegitimasi kepemimpinan wanita lewat kisah ratu Saba’ (Bilqi>s). Hadis tentang kepemimpinan wanita dapat dipahami sebagai ‘komentar’ Nabi terhadap pergantian kepemimpinan di Persia dan memiliki muatan lokal-temporal. Wanita memiliki kelemahan biologis pada saat menstruasi dan hamil, kelemahan fisik dibandingkan laki-l...
Pada masa klasik Islam, untuk mendapatkan pemahaman (understanding) dan pemaknaan (meaning) sebuah hadis nabi saw. maka lab otentisitasnya cukup melalui ‘ilm al-Rija>l al-H}adi>th dan al-Jarh} wa al-Ta’di>l, semua bisa dianggap final karena telah diperoleh hukum kualitas hadis; boleh jadis sahih, hasan, atau mungkin daif. Namun demikian, sejak berlalunya abad pertengahan dan memasuki modern-kontemporer, kebenaran hadis secara otentik diuji kembali bahkan terkoyak validitasnya alias disangsikan, karena pemahaman dan pemkanaan yang diproduksi terkadang turut serta mendorong pemahaman dan pemaknaan merendahkan wanita, menunjukan diskrimansi, beraroma domestikasi. Demikian ini, terjadi pada kaum perempuan jika dikaitkan dengan wacana keagamaan menarik untuk dikaji mengingat adanya asumsi bahwa pemahaman agama seperti teks-teks hadis, dianggap telah menjadi pemicu berbagai ketidakadilan terhadap perempuan. Hadis tentang kepemimpinan wanita atau wanita menjadi pemimpin sebagai salah satu contohnya. Oleh karenanya, tulisan ini mencoba mengkaji bagaimana Nabi saw. memposisikan perempuan dalam urusan kepemimpinan, karena seringkali hadisi ini digunakan sebagai alasan teologis atau dalil keagamaan dalam Islam khususnya menjelang pilpres atau pilkada. Kata Kunci : Pemahaman, Pemaknaan, Hadis Kepemimpinan Perempuan, Hermenetika-Gender
Kepemimpinan perempuan dalam Islam merupakan persoalan yang masih kontroversial. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor, yakni perbedaan penafsiran para pakar (ulama) dalam menafsirkan nash sebagai dalil pembolehan ataupun pelarangan wanita menjadi pemimpin. persoalan ini menarik untuk dikaji ditengah maraknya persamaan gender.
Syariah Jurnal Hukum dan Pemikiran, 2018
Terjadinya kontroversi dalam masalah kepemimpinan perempuan dalam Islam berasal dari perbedaan ulama dalam menafsiri sejumlah ayat dan hadis Nabi. Secara umum jika dianalisa kualitas hadis riwayat al-Bukhârî, al-Turmuzî, dan al-Nasâ`î serta Imam Ahmad tentang kepemimpinan perempuan secara umum adalah shahîh li dzâtihi. Sanadnya memenuhi kaidah kesahihan sanad hadis, yaitu sanadnya bersambung, periwayatnya bersifat tsiqah, dan terhindar dari syudzûdz dan ‘illah. Matannya juga memenuhi kaidah kesahihan matan hadis, yakni terhindar dari syudzûdz dan ‘illah.Secara tekstual, hadis tersebut menunjukkan larangan bagi perempuan menjadi pemimpin dalam urusan umum. Oleh karena itu, mayoritas ulama secara tegas menyatakan kepemimpinan perempuan dalam urusan umum dilarang. Namun secara kontekstual hadis tersebut dapat dipahami bahwa Islam tidak melarang perempuan menduduki suatu jabatan atau menjadi pemimpin dalam urusan umum. Bahkan menjadi kepala negara, dengan syarat sesuai dengan kriteria ...
2017
The main task of humans as the Caliph on earth, cause consequences for human beings able to account for every action in life. At least, man must be a "leader" for himself, and in a social community,he can be a leader too. Through thematic studies, using the term ra'in , khalifa , amir , and imam , it is found that there are at least 5 criteria of good leaders according to the Prophet, that is has a good leadership, professional, has the ability to perform tasks well, adjust to aspirations of the community, and musyawarah .
Lathaif: Literasi Tafsir, Hadis dan Filologi
Claims that women are weak, not authoritative, and tend to use their feelings, make women discriminated against in the public sphere. Even in Islamic history, women are considered worthless so when a baby girl is born, it is considered a disgrace, and many are buried alive. Thus, in accordance with the times and knowledge, this paper will review the roles and gait of women, especially in their capacity as leaders. This paper will examine the text of the prophet's hadith about women's leadership and try to contextualize it with Indonesian reality. The conclusion of this article is that women are given things and obligations to become leaders as long as they have the capacity, capability, and quality to carry out their duties and responsibilities. So, in the context of 'worldly' leadership, it is not seen from gender, but from the qualifications, capabilities, and qualities possessed by a person.
Ushuluna: Jurnal Ilmu Ushuluddin, 2020
This study discusses the Hadith of Abī Bakrah, by relating it to the issue of women becoming public leaders. In understanding a hadith, it is necessary to research the hadith from the perspective of matan, asbabul wurud, and analysis of some ulama opinions related to the hadith. Using descriptive analytic methods, this study discusses how leadership in the time of Abī Bakrah and its relevance to the leadership of women that occurred in Indonesia, especially when Megawati became President of Indonesia. This study finds that women's leadership has always been a source of controversy in a variety of views, especially if it seen from the Hadith’s information.
Diskusi mengenai peran publik perempuan dalam sudut pandang Islam memang menarik dan banyak perdebatan. Apalagi tentang kepemimpinan perempuan. Sejarah panjang Islam dan Indonesia juga menceritakan tentang tokoh-tokoh perempuan dalam hal kepemimpinan publik. Namun kepemimpinan mereka bukanlah tanpa benturan. Makalah ini berusaha untuk mengumpulkan argumen penentang kebolehan kepemimpinan perempuan (yang diwakili oleh kaum tradisionalis), untuk kemudian dijawab oleh penafsir dan ulama moderat yang membolehkan perempuan untuk memimpin dalam kegiatan politik.
An-Nisa' : Jurnal Kajian Perempuan dan Keislaman, 2019
A woman has great potential, as well as a man, it can be seen from the various roles of woman needed in society, including: the role of reproduction, economic, social, political and Islamic leadership. However, in Islamic leadership, most women are only members of the management in social organizations, because they are deemed not have brave characteristics like men, except the social organization that all of the members are women. this is because women's interests are not accommodated in various political decisions. Education is the main factor that determines the activeness of women as administrators of political parties, obstacle experienced by women in political parties, including through a number of issues such as; education, employment, justice and gender equality, domestic roles, patriarchal culture, religion and family relationship. Woman, who has the competence to lead the country, could be heads of state in the modern society context, because the modern government syst...
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.