Fenomena Nasionalisme sering dikonotasikan dengan aspek-aspek emosional, kolektif dan idola serta memori historis. Nasionalisme selalu melibatkan dimensi eomosi, rasa, seperti perasaan sepenanggungan, seperantauan dan senasib. Faktor memoris historis adalah faktor kecenderungan yang di bangun untuk menumbuhkan perasaan ''bersatu'' dalam sebuah konsep kebangsaan. Sebagai upaya menumbuhkan rasa nasionalisme di Indonesia di awali dengan pembentukan identitas nasional yaitu, dengan ada nya penggunaan istilah ''Indonesia'' untuk menyebut negara kita. Dimana selanjutnya istilah Indonesia dipandang sebagai identitas nasional, lambang mempersatungkan bangsa dalam menentang penjajahan. Kata yang mampu mempersatukan bangsa dalam melakukan perjuangan dan pergerakan melawan penjajah, sehingga segala bentuk perjuangan dilakukan demi kepentingan Indonesia bukan atas nama daerah. Di dalam proses menuju revolusi Indonesia terdapat empat tokoh pendiri bangsa Indonesia yaitu Soekarno, Muhammad Hatta, Sultan Sjahrir dan Tan Malaka. Berbeda dengan tiga tokoh lain nya dalam hal revolusi Tan Malaka adalah orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia.Muhammad Yamin menjulukinya ''Bapak Republik Indonesia''. Soekarno menyebutnya ''seorang yang mahir dalam revolusi''. Tan Malaka seorang yang telah melukis Indonesia dengan bergelora. Di sepanjang hidupnya, Tan telah memenempuh berbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Tan Malaka merupakan tokoh pertama yang mengggas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dahulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije 1928, dan Soekarno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka pada tahum 1933. Buku Naar de Republiek dan Massa Actice(1926) yang ditulis dari tanah pelarian telah menginspirasi tokoh pergerakan di Indonesia. W.R.Supratman salah satunya, tokoh pergerakan yang memasukan kalimat ''Indonesia tanah tumpah darah ku'' ke dalam lagu Indonesia Raya yang dikutip dalam buku Massa Actie. Di seputar Proklamasi Tan Malaka menorehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada, 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan masih sebatas catatan di atas kertas. Pada 17 Agustus 1945 terjadi keruntuhan,keruntuhan itu bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tidak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang runtuh adalah sebuah wacana. Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tetapi yang berfungsi di sini sekedar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno,adalah "menjebol dan membangun". Wacana kolonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut "Hindia Belanda" jebol, berantakan. Dan "kami, bangsa Indonesia" kian menegaskan diri. Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang hendak membuat negeri ini "Hindia Belanda" kembali. Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi; sebuah revolusi besar sedang terjadi, "revolusi jiwa dari jajahan hamba menjadi jajahan jiwa merdeka". Hasil dari perjuangan tersebut adalah sebuah subjek "jiwa merdeka", makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi tulang yang berserakan. Sebab subjek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero. Dalam hal ini Tan Malaka benar: "Revolusi bukanlah suatu pendapat otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa". Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Massa Actie yang terbit 1926.