Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
112 pages
1 file
desain sampul : Salsabila Creative Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM PERDATA Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai teremahan dariburgerlijkrecht pada masa penduduka jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrechtdan privatrecht.
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini. HUKUM PERDATA Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan. Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
Mempertanggung jawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Roeslan Saleh menyatakan bahwa: "Dalam membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana, tidaklah dapat dilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandanganpandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin dengan keadilan sebagai soal filsafat." Dalam membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana berdasarkan hukum pidana negara-negara yang menganut 'common law system', pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan yang fundamental dengan 'civil law system'. Hukum pidana Inggris mensyaratkan bahwa "pada prinsipnya setiap orang yang melakukan kejahatan dapat dan dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, kecuali ada sebab-sebab yang meniadakan penghapusan pertanggungjawaban yang bersangkutan (exemptions from liability)". 1 Chairul Huda menyatakan bahwa "pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya". Tegasnya, yang
Pajak merupakan sumber pemasukan terbesar dalam APBN dimana dari tahun ke tahun perlu peningkatan, akan tetapi dalam kenyataannya terjadi kebocoran-kebocoran yang dilakukan oleh wajib pajak, aparat pajak maupun pihak ke-3 sehingga optimalisasi penerimaan tersebut tidak bisa tercapai. Untuk menimbulkan unsur jera pada pelaku maka ketentuan pidana yang ada dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Cara Perpajakan (UU No.16/2000 jo. UU No.6/83), Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU No.20/2000) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perlu diberlakukan secara selektif. Dalam praktek ketentuan-ketentuan itu tidak digunakan secara optimal oleh aparat penegak hukum, dimana Undang -Undang tentang Tindak Pidana Korupsi lebih mendominasi sehingga ketentuan pidana dalam UU No 16/2000 tidak pernah dipakai. Berdasar azas lex specialist deregat legi generalis maka ketentuan pidana dalam UU No. 16/2000 harus diberlakukan.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji perbandingan hukum perdata dan hukum pidana dalam konteks Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, komparatif, dan interdisipliner, artikel ini membahas pengertian, ruang lingkup, dasar hukum, karakteristik, tujuan, dan penerapan dari kedua cabang hukum tersebut. Hukum perdata mengatur hubungan privat antarindividu/badan hukum dengan tujuan melindungi kepentingan dan hak perseorangan, sedangkan hukum pidana mengatur hubungan individu dengan negara dan masyarakat dengan tujuan melindungi kepentingan publik. Meskipun memiliki perbedaan dalam sumber hukum, karakteristik, tujuan, dan penerapannya, hukum perdata dan pidana dapat saling bersinggungan dalam praktik. Artikel ini menyimpulkan perlunya pemahaman komprehensif tentang persamaan dan perbedaan hukum perdata dan pidana bagi aparat penegak hukum, profesional hukum, dan masyarakat untuk mendorong budaya hukum yang sehat. Selain itu, harmonisasi peraturan, penguatan sumber daya manusia dan kelembagaan, serta penafsiran dan penerapan hukum yang cermat, kontekstual, dan proporsional juga diperlukan untuk mewujudkan hukum perdata dan pidana yang berkeadilan, responsif, dan adaptif dalam kerangka negara hukum Indonesia.
Sinta Mailatul, 2024
TUGAS UTS Mata Kuliah Hukum Pidana Prodi Hukum Keluarga Universitas Hasyim Asy'ari
2023
A. PENDAHULUAN Pengaturan sanksi pidana dalam peraturan perudang-undangan di bidang perpajakan menegaskan hukum pajak sebagai hukum public yang inisiatif penegakkannya langsung dari negara, karenanya meskipun pengitungan jumlah pajak dalam system perpajakan nasional Indonesia menggunakan metode self assesment system (Pasal 12 UU KUP), namun bukan berarti fiscus tidak melakukan pengawasan sama sekali terhadap kepatuhan pembayaran pajak wajib pajak, karenanya pengaturan sanksi pidana dalam peraturan perudang-undangan di bidang perpajakan merupakan bagian integral dari politik hukum di bidang perpajakan sebagai upaya untuk menjaga kepatuhan pembayaran pajak wajib pajak. Pengaturan sanksi pidana dalam peraturan perudang-undangan di bidang perpajakan selain untuk menegaskan hukum pajak sebagai hukum publik, juga menegaskan posisi pajak yang vital sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pajak merupakan salah satu instrument kesejahteraan rakyat. Artinya pajak menjadi salah satu sumber pembiayaan negara. Sebagai contoh, belanja Negara pada APBN tahun 2021 sebesar Rp2750,0 T, yang berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1444,5 T (https://www.kemenkeu.go.id/alokasipajakmu diakses pada tanggal 21 September 2022, pukul 15.00 WITA). Lebih dari setengah APBN bersumber dari penerimaan pajak, dengan demikian pajak adalah salah satu instrument kebijakan fiscal yang sangat penting bagi pemerintah, sehingga memerlukan berbagai upaya dan pendekatan untuk menegakkan kepatuhan pembayaran pajak. Pengaturan sanksi pidana dalam peraturan perudang-undangan di bidang perpajakan dengan mengadopsi pendekatan "administrative penal law" merupakan salah satu pilihan yang sejalan dengan semangat perpajakan yang bertujuan untuk mengumpulkan pendapatan sebanyak mungkin untuk membiayai kebijakan pembangunan nasional, dengan demikian dalam konstruksi sistematis peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan mengedepankan prinsip kemanfaatan dan penegakkan kepatuhan pembayaran kewajiban pajak. Paling mutakhir dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah memperkuat karakter administrative penal law dalam pengaturan rezim hukum tindak pidana di bidang perpajakan. B. ADOPSI KONSEP ADMINISTRATIVE PENAL LAW Secara umum dari segi karakter dan bentuk peraturan perundang-undangan pidana dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu undang-undang pidana kodifikasi (KUHP),
2018
Dengan berpegang pada alasan politis, sosiologis dan praktis, kehendak untuk menggantikan KUHP dengan KUHP Baru, sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1977. Dalam pembentukan konsep KUHP baru sampai pada tahap Rancangan KUHP Baru sebagai pengganti KUHP ternyata memerlukan proses yang cukup panjang. Dalam kurun waktu tersebut telah terjadi pula beberapa kali perubahan yang terkait dengan penambahan tindak pidana baru baik yang semula tidak ada di dalam dan di luar KUHP maupun diambil dari tindak pidana yang sudah ada dan tersebar di luar KUHP sebagai langkah penyempurnaan untuk menuju pada bentuk Rancangan KUHP Baru. Untuk menyeleksi peraturan hukum pidana yang sudah ada, terutama yang terkait dengan dekriminalisasi, patokan kebijakannya masih memperhatikan pada Pasal V Undang-Undang No. 1 tahun 1946 yaitu apabila peraturan yang sudah ada itu : a. tidak dapat dijalankan; b. bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka; dan, c. tidak mempunyai arti lagi. Sedang sumber bahan dalam kebijakan melakukan perubahan dan penyusunan tindak pidana baru diambil antara lain dari : a. masukan berbagai pertemuan ilmiah simposium/seminar/lokakarya) yang berarti juga dari berbagai kalangan masyarakat luas ; b. masukan dari beberapa hasil penelitian dan pengkajian mengenai perkembangan beberapa tindak pidana khusus dalam masyarakat dan perkembangan iptek; c. masukan dari pengkajian dan pengamatan bentuk -bentuk serta dimensi baru kejahatan dalam pertemuan -pertemuan kongres internasional; d. masukan dari berbagai konvensi internasional (baik yang telah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi); dan. e. masukan dari hasil pengkajian perbandingan berbagai KUHP asing. Karena itu Crime stimulation policy dalam KUHP mendatang cukup kompleks. Hal-hal yang dipertimbangkan cukup banyak baik dari segi politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan, perkembangan teoretis dan empiris dalam bidang hukum pidana, aspek ideologi nasional, kondisi manusia, alam serta tradisi bangsa dan yang tidak kalah pentingnya adalah kecenderungan -kecenderungan internasional yang diakui oleh masyarakat beradab. Studi perbandingan hukum menjadi sangat penting dan pendekatan deduktif -hipotetis dan induktif -empiris harus dilakukan secara terpadu 1 . Metode dalam pembaruan hukum (Rancangan KUHP) yang digunakan adalah metode evolusioner dalam arti melakukan perbaikan, penyempurnaan dan amandemen terhadap peraturan -peraturan yang sudah ada dalam KUHP atau dengan metode kompromis yakni dengan menambahkan bab tersendiri mengenai tindak -tindak pidana tertentu. Sebagai contoh adalah bab tentang Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Peradilan dan bab tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan 2 . Namun perlu dipahami, bahwa seluruh langkah dan pemikiran dalam proses pcmbcntukan Rancangan KUHP diatas sesungguhnya lebih merupakan persoalan tentang Kebijakan Pidana atau Politik Hukum Pidana. Menurut Sudarto (1983), melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu serta untuk masa-masa yang akan datang. Senada dengan itu dikuatkan pula dalam kesempatan lain, bahwa melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna 3 . Kebijakan Pidana di atas mencakup baik pengetahuan maupun seni, yang terutama berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan praktis, yang memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan memberikan panduan tidak hanya bagi pembuat undang-undang, tetapi juga bagi pengadilan yang menerapkan 2 Muladi. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Dalam KUHP Mendatang, tanggal 8-23 November 1993 di Undip -Semarang. 1993. hal. 60 3 Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru. 1981. hal. 74 undang-undang tersebut dan bagi aparat koreksi (correctional agency), yang menjadikan putusan-putusan pengadilan mempunyai efek praktis 4 . Karena itu, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, oleh karena itu politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan penanggulangun kejahatan dengan hukum pidana". Selanjutnya, apabila Kebijakan atau Politik Hukum Pidana tersebut dihubungkan dengan hasil rumusan-rumusan tindak pidana yang terdapat dalam Rancangan KUHP Baru, maka yang cukup menarik mendapatkan perhatian dalam tulisan ini adalah masalah kejahatan kesusilaan khususnya tentang "perkosaan". Hal ini disebabkan pengertian "tindak pidana perkosaan" dalam Rancangan KUHP Baru telah mengalami pengembangan dan perluasan sedemikian rupa sehingga tindak pidana perkosaan bukan hanya diartikan sebatas "persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukun secara paksa terhadap seorang wanita" sebagaimana yang diatur dalam Pasal 235 KUHP. B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang menjadi pertimbangan sehingga tindak pidana perkosaan perlu diperluas dalam rumusan KUHP mendatang? 2. Bagaimana batasan rumusan delik perkosaan antara KUHP dengan Rancangan KUHP Baru beserta implikasinya? 4 Muladi. Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang. Pidato Pengukuhan Guru Besar, tanggal 24 Februari 1990 di Undip. BAB II PEMBAHASAN A. Kejahatan Perkosaan dalam Perspektif KUHP Nasional Pelaksanaan kebijakan atau politik hukum pidana dalam rangka penciptaan KUHP Baru di Indonesia, selain mendasarkan pada ketiga alasan (politis, Sosiologis, Praktis), yang perlu mendapatkan perhatian lagi dari sisi kajian komprehensif' adalah alasan adaptif yaitu bahwa KUHP nasional di masa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab. Perkembangan internasional ini pada hakikatnya rnencakup perkembangan dalam pelbagai aspek ilmu pengetahuan modern tentang kejahatan (modern criminal science) baik dalam kebijakan pidana (penal policy), kriminologi maupun dalam bidang hukum pidana 5 . Demikian pula dengan rumusan "tindak pidana perkosaan" yang ada dalam Rancangan KUHP Baru. Di mana kebijakannya tampak dipengaruhi oleh 5 Muladi. 1990. Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang. Pidato Pengukuhan Guru Besar, tanggal 24 Februari 1990 di Undip. perkembangan-perkembangan di atas. Tindak perkosaan yang menjadikan wanita sebagai korbannya, merupakan salah satu bentuk kejahatan kekerasan terhadap wanita. Perwujudan yang lain berupa pemerasan, penganiayaan, atau pembunuhan dan sebagainya. Masalah kekerasan terhadap wanita saat itu, bukan hanya merupakan masalah individual atau nasional, tetapi sudah menjadi masalah global. Dibanding jenis kejahatan kekerasan lainnya, perkosaan merupakan jenis kejahatan kekerasan terhadap wanita yang paling mencemaskan, bukan saja bagi wanita, akan tetapi juga masyarakat dan kemanusiaan. Karena itulah, kejahatan perkosaan paling potensial menimbulkan terciptanya tingkat "fear of crime" (ketakutan terhadap kejahatan) masyarakat yang tinggi, dibanding jenis kejahatan kekerasan lainnya. 6 Di samping itu juga disebut sebagai masalah global karena terkait dengan issue global tentang hak-hak asasi manusia (HAM), yang per definisi diartikan sebagai hak-hak yang melekat (inherent) secara alamiah sejak manusia dilahirkan dan tanpa itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar. Kaitan dengan HAM tampak dari pelbagai pernyataan antara lain bahwa kekerasan terhadap wanita merupakan rintangan (barrier) terhadap pembangunan, karena dengan demikian akan mengurangi kepercayaan diri dari wanita, menghambat kemampuan wanita untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan sosial, rnengganggu Kesehatan wanita, mengurangi otonomi wanita baik dalam bidang ekonomi, politik sosial budaya dan fisik. Dengan demikian kemampuan wanita untuk memanfaatkan 6 M.W Kusumah. Kejaliatan dan Penyimpangan Suatu Perspektif Kriminologi. Jakarta: YLBHI. 1988. hal. 128 kehidupannya baik fisik, ekonomi, politik dan kultural menjadi terganggu 7 . Dalam pelbagai pertemuan internasional, di antaranya Konferensi Internasional HAM PBB di Wina pada tahun 1993, mengakui kekerasan terhadap wanita adalah sebagai pengingkaran HAM wanita. Selain dari itu perlu bercermin pada upaya perekayasaan hukum dalam mengantisipasi masalah kejahatan perkosaan di Amerika Serikat yang memerlukan kurang lebih duapuluh tahun sejak dimulainya gerakan feminisme sekitar tahun 1960an. Gerakan untuk memperjuangkan undang-undang perkosaan ini dipelopori dan didukung oleh, "The Feminist Group", "Victims Rights Group" dan organisasi pendukung "Law and Orde" telah membangkitkan suatu gerakan pembaruan atas Undang-undang perkosaan (Rape Law Reform) di negara ini 8 . Sedangkan masalah hukum yang dikemukakan oleh gerakan pembaruan ini adalah: persetubuhan dengan paksaan bukanlah satu-satunya syarat untuk adanya tindak pidana perkosaan. Pertimbangan kemungkinan akan "mengandung atau hamil" akibat dari perkosaan tidak lagi dipandang yang paling penting dan dominan, karena pengertian persetubuhan (sexual intercourse) saat ini sudah bergeser tidak semata-mata adanya peraduan dua anggota kelamin laki dan wanita, akan tetapi dapat pula bersifat anal dan oral. Bahkan mencakup pula perbuatan berupa memasukan benda-benda yang bukan organ tubuh yang dimanipulasikan ke dalam vagina atau anus seseorang wanita disamakan dengan perkosaan. Di samping itu perkembangan pengertian perkosaan perlu diperinci, yakni mencakup apa yang dinamakan forcible rape dan statutory rape yang diarahkan kepada perlindungan terhadap gadis yang masih muda (di bawah usia tertentu), yang secara hukum dianggap belum mempunyai kemampuan untuk menentukan kehendaknya. Dalam hal ini "Willing participation by victim is no defence". Kemungkinan persetubuhan yang dilakukan dengan persetujuan wanita tetapi dengan unsur...
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
asto yudho kartiko, 2019
Hukum pidana khusus terhadap tindak pidana pemilu, 2020
PT MAFY MEDIA LITERASI INDONESIA, 2024
JURNAL AKTA YUDISIA 8 (2), 144-154, 2023
Law Reform, 2013
Jarot Maryono, A.Md., S.H., M.H., 2020