Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
2020, Sion Saputra
…
17 pages
1 file
ABSTRAK Gereja hidup di tengah-tengah dunia yang majemuk, dan gereja berada di tengah-tengah pluralisme agama. Pluralisme agama dalam perjalanannya telah banyak kali menjadi sumber terjadinya ketegangan - ketegangan dan bahkan menjadi memicu terjadinya berbagai peperangan. Hal ini disebabkan oleh setiap agama yang memiliki klaim - klaim kebenaran masing - masing sehingga dengan demikian memaksakan pemahamannya ini kepada individu - individu bahkan komunitas-komunitas. Tidak hanya itu, dengan menyatakan bahwa hanya diri sendiri yang benar, maka dengan demikian menganggap yang lainnya salah. Padahal pada hakekatnya, tidak ada individu yang mau menerima mentah-mentah bahwa agama yang telah dianutnya salah. Oleh sebab itu gereja perlu menjaga kerukunan antar umat beragama. Supaya kerukunan dan toleransi antar umat beragama, maka diperlukan cara yang efektif yaitu dialog antar umat beragama untuk permasalahan yang mengganjal antar masing-masing kelompok umat beragama. Sehingga tedapat titik temu atau benang merah dalam komunikasi yang hangat. Karena mungkin selama ini konflik yang timbul angtar umat beragama terjadi karena terputusnya jalinan informasi yang benar di antara pemeluk agama dari satu pihak ke pihak lain sehingga timbul prasangka-prasangka negatif. Gereja perlu memperlengkapi diri supaya tidak mudah terseret arus namun juga tetap terbuka dan menghormati pandangan dari agama-agama yang lainnya tanpa menghakimi antara satu dengan yang lainnya. Kata Kunci: Gereja, Agama, Pluralisme
Sebentar lagt manusia akan memasuki millenium ketiga. Masyarakat modern akan mengalami perubahan-perubahan sosial yang semakin cepat. Tidak hanya dalam bentuk produk-produk baru dan rrendy,. tapi apa yang disebut sebagai globalisasi informasr setiap saat akan menverbu manusia dan pelbagai belahan dunia yang semakrn "menyempit" sehingga menjadikannya sebagai desa buana lglobal villcge) atau kota buana (glohut crrr ). Sebagai konsekuensi logisnya, pelbagai pertredaan pandangan, sikap, dan tradisr apalagi agama yang dianut segera terkuak secara "ielas. Pluralisme (kemajemukan) tersebut sesungguhnya bukanlah merupakan fenomena baru bagi lslarn karena ia tumbuh di sebuah masyarakat Arab yang pluralistik (Yahuid, Knsten" dan tradisi lain). Bahkan, pluralisme merupakan bagian dan sunnatullch yang perennial dan imutable.l Namun, di samping karena persentuhannya dengan arus modernisasi yang menyebabkannya menjadi problema yang semakin kompleks.: J,rga karena agama menyangkut kesadaran teologrs yang p€rsonal yang bercinkan religittus truth claim (klaim kebenaran agama) sehinga pluralisme yang muncul pun sering tidah disikapi dengan inklusirntas keagamaan, sikap arif, terbrik4 lapang dada, tapi telah dipresentasi oleh suatu pemikiran keagamaan yang bercinkan eksklusivitas, absolusitas, terh$up, dan rigrd. Di Indonesia sendiri, perkernbangan terakhir hubungan antaragama telah menunjukkan fenomena yang kurang-untuk tidak mengatakan sama sekali '"tidak"-s€hat. Tragedi Ambon yang terfadi semenyak awal tahun lggg dan tragedi Kryang misalnya, yang menelan koqban jiw4 material, maupun psikologrs telah mengajukan stratu problerna yang tidak hanya harus ditaati secara insfitusional, namun meniscayakan ssrnua rmat beragama, termasuk lslam, unfuk menyeruak dari kedalaman kesadaran keyakirun secara individual 1,ang berbasiskan teologis untuk merdefinisikan sikapnya yang tepst terhadap agama lain. ')Penulis adalah mahasiswa progrann pascasarjana IAIN sui-a] Kalijaga YogSrakarta dalam Program studi Agama dan Filsafal 46 Wardani, Pluralisme Agamg dun$gloSJ39!9gE 47 Menyadari akan kompleksitas permasalahan yang dibahas, tulisan rnt
This script writing against the background of social conditions in South Kalimantan diverse in terms of ethnicity, or religion. We take the example of religious pluralism in South Kalimantan. This religious pluralism condition often we term Religious Pluralism. Religious Pluralism succession plays a very important to maintain the diversity and creating understanding of the harmony that lately in various areas, especially in Indonesia being tested. Religious pluralism is a perspective of religious harmony. This understanding of the role in order to be more effective is to educate every student either by teachers, lecturers and other teaching staff in order to achieve that purpose. Both from the Primary Education, Secondary, to university, both from High school and College of General. Results of field interviews showed that religious pluralism is understood by some of the Faculty of Islamic Theology and Humanities IAIN Antasari is a pluralism that if no further interpreted it leads to liberalism even to relativism and nihilism. However, if seen from what has been interpreted by some leaders of Religious Pluralism, then pluralism itself be accepted as a philosophy in building harmony. While others say that sociologically Religious Pluralism has to be accepted by Muslims without having interpreted the deeper, because Pluralism itself is not relativism, or even nihilism. Meanwhile, partially-Lecturer Lecturer STT Borneo Evangelical Church (GKE) views of Religious Pluralism in context pluralistic society will be criticized for some faiths who are intolerant of other religions. While others consider only limited Religious Pluralism understand the differences and cooperation in specific social issues, without any compromise in theology, leading to the elimination of the role of God in life.
AGAMA JALUR TENGAH Apipudin, S.Th.I.,MA.Hum Dosen: Universitas Gunadarma A. Pendahuluan Agama merupakan kebutuhan manusia. Setiap manusia membutuhkan agama. Agama mengatur kehidupan manusia. Baik kehidupan yang berhubungan dengan Tuhan, maupun kehidupan yang berhubungan dengan manusia lain, bahkan dengan alam sekitar. Agama menjanjikan kehidupan setelah hidup di dunia, yang merupakan akibat dari kehidupan di dunia. Dengan janji-janji yang diberikan agama kepada umatnya, maka umat beragama menjadi tentram, karena merasa kebutuhan jiwanya terpenuhi.
2020
Dalam masa penantian kedatangan Kristus yang kedua kali ini, orang percaya mengemban tugas penting diamanatkan-Nya sebelum kenaikan-Nya ke sorga yaitu "menjadikan segala bangsa (panta ta etne) menjadi murid-Nya" (Mat 28:19-20). Dipertegas lagi dengan kehadiran Roh Kudus yang memberi kuasa (dunamos) untuk menjadi saksi-Nya di Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ke ujung bumi (Kis 1:8). Sejak itu pengikut Kristus terus memberitakan Injil-Nya ke seantero penjuru dunia. Kini orang percaya Kristus mencapai 2,2 milyar (32%) dari penduduk dunia. Itu berarti masih ada 68% yang menantikan kabar baik-Nya. Tugas misi belum tuntas. Sepanjang sejarah gereja, orang Kristen tidak pernah absen melaksanakan tugas Misi, meskipun mengalami fluktuasi dalam praktiknya. Gereja telah menunjukkan beragam sikap dalam hubungannya dengan orang lain, yaitu sikap antagonistik, akomodatif, dualistis, dominatif dan transformatif. Sikap-sikap tersebut bersesuaian dengan tuntutan paradigma zamannya. Seminar ini memikirkan dan mendiskusikan pendekatan Misi yang bersikap 'persuasif' dan 'transformatif'. Mengapa harus bersikap 'persuasif dan transformatif'? Apa dasar alkitabiahnya? Bagaimana sikap 'persuasif dan transformatif' tersebut diwujudkan dalam Misi Kristen masa kini. Untuk itu seminar ini memaparkan: pertama, mengaktualisasi realitas konteks masyarakat masa kini. Kedua, menggali prinsip-prinsip dasar Alkitabiah apa perlu digunakan sebagai dasar bersikap. Ketiga, menetapkan karakteristik Misi yang 'persuasif dan transformatif'. Dengan demikian diharapkan terbangun pemahaman tentang konteks secara faktual, tergali landasan tekstual dan teraktualisasi karakteristik PI yang santun. Masyarakat Global. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kemajuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) bukan saja telah meningkatkan kualitas hidup manusia, namun juga menghantarkannya ke era Globalisasi. John Naisbitt menyebut dunia yang mengglobal ini sebagai Global Village (dusun besar), di mana manusia hidup di dalamnya dengan gaya hidup global. 1 Akibatnya manusia terkondisi dalam inter dependensi satu dengan yang lain. Tidak ada lagi satu masyarakat pun yang dapat hidup dalam isolasi relatif selain harus lebur dalam realitas global. Negara manapun yang tidak sedia terlibat dalam proses globalisasi akan tertinggal, terkucilkan, miskin dan kehilangan kesempatan menjadi besar. Arus globalisasi telah merasuk ke seluruh sektor hidup manusia seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Anthony Giddens memilah globalisasi dalam
Tinjauan Teologis Etis-Sosiologis mengacu untuk mengetahui dan memahami aktivitas yang penuh kepribadian melalui motif Pancasila dan Pluralis sudut pandang Bhinneka Tunggal Ika merujuk kepada Kemajemukan Masyarakat Gereja dengan Agama.
pluralisme bukanlah sebuah momok yang menakutkan sebagaimana sejauh ini menjadi asumsi banyak orang. bahkan, ide pluralisme yang baik dapat menjadi sumber perdamaian antar umat beragama khususnya di indonesia
Fenomena keragaman agama merupakan salah satu persoalan yang dihadapi oleh pemikiran keagamaan. Eksistensi komunitas yang di dalamnya orang-orang dari berbagai tradisi agama hidup bersama, dan ekspansi hubungan sosial berikut komunikasi di gerbang dunia ke tiga merupakan alasan-alasan untuk memperhatikan isu penting ini. Persoalan utamanya adalah bagaimana cara untuk memahami dan menjelaskan secara lebih baik ihwal keragaman agama tersebut? Apakah salah satu dari agama yang ada merupakan agama yang autentik, sempurna, dan hakiki sementara agama lain tidak sah? Atau mungkinkah kita melihat cahaya kebenaran di semua agama dunia sehingga mereka dianggap sebagai cermin-cermin yang berbeda yang memantulkan cahaya kebenaran dan keselamatan? Apabila hanya penganut salah satu agama tertentu yang bisa meraih keselamatan, maka bagaimana halnya dengan rahmat, cinta, petunjuk Tuhan dapat difahami? Di sisi lain, jika kemungkinan keselamatan mencakup semua penganut agama yang berbeda tadi, maka bagaimana bisa orang-orang yang berbeda dengan keyakinan agama yang berbeda secara radikal meraih keselamatan? Pertanyaan-pertanyaan penting dan problematis tersebut merupakan kontroversi dan merupakan masalah-masalah utama keragaman agama. Dewasa ini, kenyataan akan pluralisme agama semakin disadari, meskipun dalam perspektif pemikiran yang berbeda, beberapa tokoh dan cendekiawan telah berusaha menjawab pertanyaan rumit ini tentunya dengan kecendrungan latar belakang intelektualitas masing-masing, namun belum ada yang secara sempurna menjelaskan dan memberi solusi yang solutif terhadap problem ini. Terhadap faham pluralisme ini setidaknya ada tiga unsur yang harus diuji dan dikritisi. Pertama, asal-usul gagasan pluralisme, kedua, kebenaran gagasan pluralisme, dan ketiga, efektifitas peran pluralisme dalam membangun tata hubungan masyarakat yang adil dan terbuka tanpa menafikan realitas perbedaan-perbedaan yang ada dan melekat pada masyarakat tersebut.
Dua sebab utama yang berkait-rapat mencetuskan falsafah pluralisme agama ialah faham ekslusivisme Barat Kristian ( Western Christian ) dan pengaruh Pencerahan ( Enlightenment) terhadap disiplin pengkajian agama ( religious studies). Menggunakan pendekatan sejarah, kertas kerja ini tidak bersifat deskriptif semata-mata. Sebaliknya ia menilai dengan kritis kewibawaan falsafah pluralisme agama berpandukan sejarah, asal-usul dan latar belakang tercetus dan berkembangnya falsafah ini semenjak akhir kurun yang ke20.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Cut Syafira Aldina, 2021