Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
2019
…
9 pages
1 file
United Nations (UN) plays a very important role in maintaining international peace and security. As the largest Integovernmental Organization, UN often faces a lot of complex issues, one of them is genocide crimes toward Rohingya ethnic in Myanmar. The crimes itself was done by the government of Myanmar itself. They did horrible things to Muslim people in Rohingya, such as mass murder, sexual assaults, village burning, and many more. The purpose of this article is to analyse UN’s involvement and its authority toward Muslims of Rohingya in Myanmar. This article is divided into four sections, namely introduction, factors causing the conflict, United Nation’s role and effort to help resolving the conflict, and conclusion. The author concludes that an International Organization, which is the UN, might be the best final solution for the genocide committed by the government of Myanmar toward muslim people in Rohingya. Keywords : United Nations, Rohingya, Myanmar, genocide, muslims
Pada makalah ini berusaha menjelaskan dan menganalisa pelanggaran HAM yang terjadi pada kasus Rohingya di Myanmar.
HUKUM INTERNASIONAL, 2019
Dugaan terjadinya pelanggaran HAM terhadap suku Rohingya di Myanmar telah menjadi perhatian dunia Internasional. Suku Rohingya yang telah tinggal beberapa generasi di bagian wilayah Myanmar, tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar. Bahkan selain itu, terjadi pula beberapa gelombang kekerasan yang diindikasikan bertujuan untuk menghilangkan identitas Rohingya sebagai salah satu suku yang ada di Myanmar. Sebagai sebuah negara berdaulat, Myanmar memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap warganya. Penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM terhadap warga Rohingya harus segera ditempuh oleh pemerintah Myanmar guna penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Jika tidak ada langkah-langkah efektif yang ditempuh oleh pemerintahan Myanmar dalam memberikan perlindungan terhadap suku Rohingya, maka mekanisme hukum internasional merupakan alternatif yang harus ditempuh untuk memberikab perlindungan terhadap etnis Rohigya.
Abstrak Yangon – Otoritas Myanmar menjatuhkan vonis mati terhadap seorang pria Rohingya. Putusan vonis mati ini berkaitan dengan penyerangan pos polisi di perbatasan yang menewaskan 9 personel kepolisian Myanmar sehingga memicu aparat negara untuk melakukan operasi besar-besaran terhadap kelompok minoritas muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Dari operasi pembersihan yang dilakukan pada Oktober 2016 mengakibatkan ratusan warga Rohingya tewas dan puluhan ribu lainnya melarikan diri ke Bangladesh. Laporan terbaru PBB menyebutkan bahwa pembunuhan massal terhadap warga Rohingya di Rakhine juga dibarengi dengan pemerkosaan bergiliran oleh tentara dan polisi Myanmar. Operasi pembersihan oleh aparat negara Myanmar bertujuan untuk menemukan para pelaku penyerangan pos polisi di perbatasan tersebut. Pemerintah Myanmar menduga bahwa dibalik serangan itu adalah teroris Rohingya. Ada 14 terdakwa pelaku penyerangan pos polisi di perbatasan dan salah satu terdakwa bernama Mamahdnu Aka Aulia di vonis hukuman mati. Kepala Kepolisian Sittwe, Yan Naing Lett, menyebutkan pengadilan setempat menjatuhkan vonis mati terhdapa pemimpin penyerangan pos kepolisian di perbatasan Kotankauk. Sittwe merupakan ibu kota Negara Rakhine. Vonis mati dijatuhkan pada Jumat (10/2) lalu. Yan Naing Lett kepada AFP, Senin (13/2) menuturkan bahwa Mamahdnu Aka Aulia dijatuhi vonis mati pada 10 Februari di pengadilan Sittwe atas dakwaan pembunuhan disengaja. Pria tersebut ikut serta dalam penyerangan dan memimpin penyerangan dan merencanakan penyerangan bersama terdakwa lainnya. Kendati demikian, militer Myanmar melakukan pengawasan ketat dengan melakukan operasi di wilayah Rakhine, temapt kekerasan terhadap kaum muslim khususnya Rohingya.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana kedudukan intervensi kemanusiaan dalam hukum internasional, terutama Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bagaimana pelaksanaannya dalam dunia internasional. Untuk memahami hal tersebut maka penelitian ini dimulai dengan memaparkan mengenai pengertian internvensi, kemudian dilanjutkan dengan mengkaji mengenai kedudukan intervensi kemanusiaan dalam hukum internasional. Sehubungan dengan pelaksanaan intervensi kemanusiaan, maka dalam tulisan ini dipaparkan mengenai syarat-syarat untuk melakukan intervensi kemanusiaan di dalam suatu Negara serta bagaimana pengaturan penggunaan kekuatan bersenjata (use of armed force) dan prinsip non intervensi dalam Piagam PBB. Berdasarkan hal-hal tersebut maka disimpulkan bahwa intervensi kemanusiaan merupakan penggunaan kekuatan bersenjata (armed force) dengan tujuan untuk menghentikan pelaggaran berat terhadap HAM atau hukum humaniter internasional yang terjadi di dalam wilayah suatau negara. Namun hingga saat ini tidak ada suatu instrumen hukum internasional yang secara khusus dan eksplisit mengatur mengenai masalah ini.
Bahy Jatikusumo Aji 20170510288 Pendahuluan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu topik yang sangat sensitif untuk dipelajari dan diamati diseluruh belahan dunia termasuk Asia Tenggara. Terbukti dengan meningkatnya kasus pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara anggota ASEAN. Padahal negara yang masuk menjadi anggota ASEAN memiliki kebijakan untuk mempromosikan mengenai pelanggaran HAM untuk mengurangi kasus pelanggaran HAM yang terus meningkat. Pada tahun 2012 telah terjadi konflik etnis yang terjadi di bagian barat Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Konflik terjadi antara Etnis Arakan yang mayoritas masyarakatnya beragama Budha dengan Etnis Rohingnya yang masyarakatnya mayoritas memeluk Islam. 1 Etnis rohingnya dibantai dan dipersempit ruang geraknya, dan mereka mendapatkan diskriminasi baik verbal maupun non-verbal, bahkan presiden Myanmar Thein Sein yang menjabat pada saat itu menyikapi peristiwa ini dengan mendeportasi masyarakat etnis Rohingnya yang masih tinggal di Myanmar. 2 Puncak dari konflik antara Etnis Arakan dan etnis Rohingnya terjadi pada tanggal 8-12 Juni 2012 3 , yang berdampak pada 624.000 penduduk etnis Rohingnya yang memilih untuk keluar dari Myanmar dan mencari perlindungan negara tetangga, seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Burma Citizen Law 1982 merupakan kebijakan baru yang memberikan kerugian kepada etnis Rohingnya karena mereka tidak masuk dalam daftar sebagai etnis resmi di Mynmar dengan kata lain telah dihapuskannya etnis Rohingnya yang merupakan bukan bagian daru Myanmar melainkan imigram gelap yang dating dari Bangladesh. Sampai saat ini belum ada negara yang memberikan hak kewarganegaraan kepada pengungsi etnis Rohingnya. Konflik ini mendapatkan kecaman dari berbagai komunitas internasional, seperti di Iran mereka beranggapan bahwa tindakan ini termasuk dalam upaya pembantaian umat muslim di Rakhine, Myanmar. Bahkan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh Etnik Arakan kepada minoritas Etnis Rohingnya. Di tanah air juga timbul berbagai protes dan kritik dari hampir seluruh masyarakat atas kejadian tersebut dengan melakukan aksi demonstrasi di hampir Sebagian penjuru Indonesia, Langkah tersebut 1
The conflict between Israel and Palestine has become one of the most difficult and complicated disputes, becoming One of the biggest conflicts that has become the focus of global attention is the dispute between Palestine and Israel. The role of the United Nations (UN) in resolving this conflict has become an important ingredient. This article discusses the role of the UN in overcoming the Israeli-Palestinian conflict and identifies the challenges and obstacles that make the UN appear ineffective in this context. Several factors, such as differences in diplomatic approaches, differences of opinion between members of the UN Security Council, and pressure from external factors, limit the UN's ability to provide solutions to ongoing conflicts. This article also explains why the UN is considered "helpless" in a number of these factors. The dispute between Israel and Palestine is also one of the most controversial, complex and protracted conflicts in history. This article discusses the UN's role in dealing with the conflict and identifies the challenges and obstacles that made the UN "powerless." Several factors, such as differences in diplomatic approaches, differences of opinion between members of the UN Security Council, and pressure from external actors, limit the UN's ability to provide solutions to ongoing conflicts. In conclusion, although the UN has the potential to play a more active role in achieving peace in the Middle East, a number of factors have weakened its effectiveness and led to the term "powerless". The aim of this article is to convey messages or views regarding the role of the UN in the Israeli and Palestinian conflict in language that is easier to understand.
Sabinadevi, 2019
Undang-Undang (UU) bagi para pengungsi dan mencari suaka dinilai penting bagi Indonesia sebagai negara yang menghormati hak-hak sipil dan menghargai hak asasi manusia (HAM). Pentingnya sebuah UU terkait keberadaan pengungsi dan pencuri suaka antara lain, karena UU Keimigrasian Indonesia tidak mengatur mengenai hal tersebut sehingga orang asing yang masuk tanpa disertai dokumen lengkap bakal langsung ditetapkan sebagai imigran gelap. Satu-satunya Undang-Undang yang menyingggung penanganan pengungsi asing dalam hukum nasional Indonesia adalah UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (UU Hubungan Luar Negeri). Pasal 27 Undang-Undang Hubungan Luar Negeri menyebutkan Presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan pertimbangan Menteri. Barulah pada masa Presiden Joko Widodo terbit peraturan turunan dari Undang-Undang itu, yakni Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (Perpres Pengungsi Luar Negeri), yang disahkan Presiden Joko Widod. Perpres ini memberikan dasar pelayanan yang diberikan petugas imigrasi kepada para pengungsi. Kata kunci : pengungsi, pencari suaka, Hak Asasi Manusia
Abstrak Yangon – Otoritas Myanmar menjatuhkan vonis mati terhadap seorang pria Rohingya. Putusan vonis mati ini berkaitan dengan penyerangan pos polisi di perbatasan yang menewaskan 9 personel kepolisian Myanmar sehingga memicu aparat negara untuk melakukan operasi besar-besaran terhadap kelompok minoritas muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Dari operasi pembersihan yang dilakukan pada Oktober 2016 mengakibatkan ratusan warga Rohingya tewas dan puluhan ribu lainnya melarikan diri ke Bangladesh. Laporan terbaru PBB menyebutkan bahwa pembunuhan massal terhadap warga Rohingya di Rakhine juga dibarengi dengan pemerkosaan bergiliran oleh tentara dan polisi Myanmar. Operasi pembersihan oleh aparat negara Myanmar bertujuan untuk menemukan para pelaku penyerangan pos polisi di perbatasan tersebut. Pemerintah Myanmar menduga bahwa dibalik serangan itu adalah teroris Rohingya. Ada 14 terdakwa pelaku penyerangan pos polisi di perbatasan dan salah satu terdakwa bernama Mamahdnu Aka Aulia di vonis hukuman mati. Kepala Kepolisian Sittwe, Yan Naing Lett, menyebutkan pengadilan setempat menjatuhkan vonis mati terhdapa pemimpin penyerangan pos kepolisian di perbatasan Kotankauk. Sittwe merupakan ibu kota Negara Rakhine. Vonis mati dijatuhkan pada Jumat (10/2) lalu. Yan Naing Lett kepada AFP, Senin (13/2) menuturkan bahwa Mamahdnu Aka Aulia dijatuhi vonis mati pada 10 Februari di pengadilan Sittwe atas dakwaan pembunuhan disengaja. Pria tersebut ikut serta dalam penyerangan dan memimpin penyerangan dan merencanakan penyerangan bersama terdakwa lainnya. Kendati demikian, militer Myanmar melakukan pengawasan ketat dengan melakukan operasi di wilayah Rakhine, temapt kekerasan terhadap kaum muslim khususnya Rohingya.
Indonesia merupakan negara yang menerima akan perbedaan dan kemajemukan, mulai dari kebudayaan, ras maupun agama yang saling menghormati satu dengan lainnya. Bukan hanya itu, penduduk yang menempati wilayah Indonesia sendiri tidak hanya dihuni oleh masyarakat pribumi yaitu Warga Negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI), tetapi juga oleh orang asing yang biasa dikenal dengan Warga Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA). Keberadaan WNA menjadi bukti terbukanya Indonesia terhadap masyarakat internasional, dimana WNA ini banyak diantaranya datang di Indonesia dalam rangka berlibur dalam jangka waktu pendek dan panjang, mencari pekerjaan, membuka usaha, dan beberapa diantaranya menetap di Indonesia serta menikah dengan WNI.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Fandy Achamd, 2024
PERANAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) DALAM KONFLIK ROHINGYA DI MYANMAR PADA TAHUN 2012-2018, 2018
Roudatul Wadiah, 2020
Feni Yuli Triani
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam, 2015