Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
2019, PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
…
11 pages
1 file
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektris maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penulis dan Penerbit.
Ketidakberdayaan sistem ekonomi kapitalis, sosialis dan berbagai jenis sistem lainnya telah memberikan peluang bagi perkembangan ekonomi yang bernuansa syariah. Sistem ekonomi syariah merupakan sistem ekonomi yang mandiri, bukan diadopsi dari ekonomi liberal, komunis, kapitalis dan sebagainya. Sistem
Assalamu"alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahirobbil "alamin. Segala puji bagi Allah, Rabb sekalian alam, yang telah melimpahkan nikmat, kesempatan dan kekuatan sehingga buku ini dapat terbit dan sampai di hadapan sidang pembaca yang budiman. Peradilan Agama di samping sebagai "institusi hukum" (aspek yuridis) yang menegakkan kepastian hukum dan keadilan (aspek filosofis) juga sebagai "institusi sosial", yaitu mengakomodir dinamika perkembangan sosial atau masyarakat dari aspek hukum yang berakibat putusan hakim Peradilan Agama mempunyai nilai manfaat (aspek sosiologis).
Abstrak Peradilan Agama pada awalnya diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di berbagai peraturan. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dan telah dirubah sebanyak dua kali.Dengan adanya perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang kekuasaan atau kewenangan mengadili di pengadilan pada lingkungan Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap keberadaan peradilan agama di Indonesia sehingga menjadi mandiri dan berdiri sama tinggi dengan pengadilan-pengadilan lainnya. Dengan berlakunya UU No. 7 Tahun 1989, hierarki pengadilan dalam lingkungan peradilan agama memiliki hubungan ganda, yakni: (1) hubungan fungsional dengan Mahkamah Agung, yaitu segi yuridiksi-administrasi peradilan; (2) hubungan struktural dengan Departemen Agama, yaitu segi administrasi umum, yang meliputi organisasi, kelembagaan, kepegawaian, sarana, dan finansial. Kata kunci : Sejarah pengadilan agama, kekuasaan pengadilan agama. PENDAHULUAN Kehadiaran peradilan agama di Indonesia telah ada jauh sebelum Indonesia medeka. Meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana dan penamaan/ penyebutannya berbeda-beda, namun eksistensinya tetap dibutuhkan oleh masyarakat muslim Indonesia. Hal ini mengingat, ia tidak hanya berfungsi sebagai medan akhir dalam proses penyelesaian sengketa yang terjadi pada masyarakt muslim, namun sekaligus juga sebagai penjaga eksistensi dan keberlangsungan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Itulah sebabnya, di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia, keberadaannya merupakan oditio sine qua non dan melekat serta berbanding lurus dengan eksistensi masyarakat muslim itu sendiri.
Makalah , 2018
Manusia adalah zoon politicon, yakni makhluk yang tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi satu sama lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam melakukan hubungan dengan manusia lain sudah pasti ada persamaan dan perbedaan dalam kepentingan. Perbedaan ini dapat melahirkan perselisihan, pertentangan (conflict), atau dispute. Pertentangan atau konflik dapat dimaknai sebagai suatu kondisi di mana pihak yang satu menghendaki agar pihak yang lain berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan keinginannya, tetapi pihak lain menolak keinginan itu. Konflik jika dibiarkan saja dapat mengganggu keharmonisan interaksi sosial, keamanan, atau bahkan perdamaian. Oleh karena itu, setiap adanya konflik membutuhkan penyelesaian, baik melalui pengadilan (litigasi) maupun melalui penyelesaian di luar pengadilan (non litigasi). Salah satu tempat untuk menyelesaikan konflik adalah Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang. Peradilan Agama merupakan salah satu lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung. Peradilan Agama diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989. Peradilan Agama merupakan salah satu di antara peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadli perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini, peradilan agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak termasuk bidang pidana dan hanya untuk orang-orang beragama Islam di Indonesia (yang dimaksud orang beragama Islam di sini adalah orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama).
A. Pendahuluan Perceraian merupakan sesuatu yang dapat timbul atau terjadi karena adanya suatu ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan seperti halnya disebutkan dalam KHI yang menyebutkan bahwa " perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah." 1 , dan undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi " Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". 2 Akan tetapi, proses kehidupan yang terjadi terkadang tak jarang yang tidak sesuai dengan apa yang diimpikan. Hambatan serta rintangan pun bermacam-macam dan datang dari segala penjuru. Apabila dalam perkawinan, sepasang suami dan istri tidak kuat dalam menghadapinya, maka biasanya jalan yang ditempuh adalah dengan cara bercerai atau berpisah yang secara hukum dikenal dengan sebutan perceraian. Adanya pengaturan mengenai perkawinan seperti KHI dan UU No 1 Tahun 1974 adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi adanya hubungan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan resmi yang disebut sebagai ikatan perkawinan. Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa adanya perkawinan dapat menimbulkan suatu akibat-akibat yang oleh karena akibat tersebut membutuhkan suatu hukum yang mengaturnya agar tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan di kemudian hari.
Oleh : Salamah Noorhidayati ABSTRAKSI Perkawinan antar agama merupakan diskursus yang cukup relevan dalam suatu tata masyarakat dunia yang komplek dan plural. Daya relevansinya terletak pada adanya silang pendapat yang tak berkesudahan disatu pihak, dan adanya dorongan untuk kembali kepada ajaran dan sekaligus sumber Islam yang utama yaitu al-Quran dan al-Hadis, di pihak yang lain. Tulisan ini akan mendiskusikan persoalan perkawinan antar agama dalam frame tafsir maudhu'i (tematik) dengan tidak meninggalkan kecenderungan pembahasan legal formal sebagaimana lazimnya dalam wacana fiqh. Pendekatan maudhu'i dipilih karena ia merupakan salah satu metode yang baku dan baik untuk membiarkan al-Quran berbicara sendiri tentang suatu masalah. Dalam banyak tulisan yang hampir semuanya bernuansa kontroversi, para sarjana Islam dalam mendekati persoalan banyak mengedepankan aspek fiqhiyyah dengan kadangkala merujuk kepada tafsir al-Quran yang dikarang oleh seorang jurist yang akibatnya hasil dan kesimpulannya akan memakai tolok ukur hukum yang berlaku. Sebaliknya, tulisan ini akan berupaya menemukan penafsiran lain yang sebenarnya kembali terhadap teks asli sendiri yaitu bahwa perkawinan antar agama baik yang dilakukan oleh pria Muslim dengan wanita non-Muslim maupun antara pria non-Muslim dengan wanita Muslimah merupakan hal yang sah adanya asalkan mereka bukan politeis (musyrik/musyrikah) sebagaimana yang dimaksud oleh al-Quran. Yang memebedakan kajian ini dengan hasil kajian yang lain adalah: pertama, fakta bahwa selama ini penafsiran terhadap al-Quran khususnya ayat tentang perkawinan antar agama selalu dalam bingkai fiqh; kedua, ayat-ayat spesifik yang dimaksud sangat reinterpretable karena keadaan umat Islam dan realitas sosial telah berubah dan membutuhkan tafsir ulang yang sesuai.
KESIMPULAN CERAI TALAK PENGADILAN AGAMA, 2022
KESIMPULAN CERAI TALAK PA MM