Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
1935, Eiji Yoshikawa
…
210 pages
1 file
"LAPANGAN RENDAIJI... hari kesembilan bulan pertama...." Membaca kata-kata itu membuat darah Musashi menggelegak. Namun perhatiannya terganggu oleh rasa nyeri tajam dan menikam pada mata kirinya. Ketika ia mengangkat tangan setinggi kelopak mata, kelihatan ada jarum kecil menancap pada lengan kimononya, dan ketika lebih saksama diperhatikannya ternyata ada empat ataulima lagi bersarang seperti potongan-potongan es kena cahaya pagi. "Oh, ini dia!" serunya sambil mencabut satu di antaranya dan mengamat-amatinya. Besarnya seperti jarum jahit kecil, tapi tak berlubang, dan bentuknya bukan bulat, tapi segi tiga. "Anjing perempuan!" katanya jijik sambil menatap ke arah perahu. "Aku sudah dengar tentang jarum semburan macam ini, tapi siapa sangka perempuan jelek tua itu yang menembakkannya? Sungguh nyaris."
Eiji Yoshikawa, 1935
buku 2 : A i R bagian 4 Perguruan Yoshioka HIDUP hari ini, yang tak kenal hari esok.... Di Jepang, pada awal abad tujuh belas, kesadaran orang mengenai hidup yang hanya selintas terdapat pada orang kebanyakan maupun pada golongan elite. Jenderal terkenal Oda Nobunaga, yang telah meletakkan dasar-dasar bagi Toyotomi Hideyoshi dalam mempersatukan Jepang, menyimpulkan pandangan ini dalam sebuah sajak pendek:
Eiji Yoshikawa, 1935
DI seberang celah, salju Gunung Koma berkilauan berupa jalur-jalur seperti lembing, sedangkan lewat pucuk-pucuk pohon yang sedikit kemerahan, tampak salju di Gunung Ontake terhampar, berupa petak-petak berserakan. Warna hijau muda yang menandakan datangnya musim semi seolah gemerlapan di sepanjang jalan raya dan di perladangan. Otsu melamun. Jotaro seperti tanaman yang barn tumbuh, keras kepala dan tegar. Sukar sekali menundukkan dan tetap menguasainya dalam waktu lama. Akhir-akhir ini Jotaro tumbuh pesat. Kadang-kadang Otsu merasa seperti menangkap kilasan seorang pria dewasa.
EIJI YOSHIKAWA, 1935
bagian 1 Takezo terbaring di antara mayat-mayat itu. Ribuan jumlahnya. “Dunia sudah gila,” pikirnya samar. “Manusia seperti daun kering, yang hanyut ditiup angin musim gugur.” Ia sendiri seperti satu di antara tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di sekitarnya. Ia mencoba mengangkat kepala, tapi hanya dapat mengangkatnya beberapa inci dari tanah. Ia tak ingat, apakah pernah merasa begitu lemah. “Sudah berapa lama aku di sini?” ia bertanya-tanya.
Eiji Yoshikawa, 1935
SEBELUM makan pagi, Yang Dipertuan Hosokawa Tadatoshi memulai acara hariannya dengan mempelajari buku-buku klasik Kong Hu-Cu. Kewajiban-kewajiban resmi yang sering kali menuntut kehadirannya di Benteng Edo menghabiskan sebagian besar waktunya, tetapi manakala ia dapat memasukkannya dalam jadwal acaranya, ia berlatih seni bela diri. Malam hari, manakala mungkin, ia habiskan bersama para samurai muda yang bekerja padanya. Suasana di antara mereka agak seperti suasana keluarga yang harmonis, duduk melingkari kepala keluarga. Tentu saja tidak sepenuhnya tidak resmi, karena memang tidak hendak ditanamkan bahwa Yang Dipertuan sederajat dengan mereka. Namun tata krama yang biasanya keras itu dikendurkan sedikit. Tadatoshi, yang bersantai mengenakan kimono dari kain rami ringan, mengundang pertukaran pendapat, yang sering kali mencakup desas-desus terakhir. "Okatani," kata Yang Dipertuan, khusus kepada salah seorang lelaki yang paling tegap. "Ya, Pak."
Eiji Yoshikawa, 1935
BAYANGAN cabang pohon prem yang jatuh ke dinding berplester putih akibat sorotan matahari pucat itu indah dan tenang, bagai lukisan tinta hitam-putih. Waktu itu awal musim semi di Koyagyu. Keadaan sunyi, dan cabang-cabang pohon prem seolah menunjuk ke arah selatan, pada burungburung bulbul yang segera berkumpul ke dalam lembah. Tidak seperti burung, para shugyosha yang datang ke pintu gerbang benteng itu tidak kenal musim. Mereka selalu datang berduyun-duyun kesana, untuk mencoba memperoleh pelajaran dari Sekishusai, atau untuk mengadu kekuatan dengannya. Kalimat yang mereka perdengarkan tidak jauh berbeda, "Izinkanlah, satu pertarungan saja." "Izinkanlah saya bertemu dengannya," "Saya satu-satunya murid si ini atau si itu, yang mengajar di tempat ini atau itu".
Mau Ini Apa Itu? (buku), 2014