Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
12 pages
1 file
Semenjak Sekolah Dasar (SD) atau bahkan ketika masih duduk di Taman Kanak-Kanak (TK), telah terdoktrin dalam pikiran semua orang bahwa Indonesia adalah negara agraria. Begitu pula dalam buku-buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial atau IPS, Geografi, hingga Sejarah, selalu tertulis bahwa Indonesia adalah negara agraria. Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia mempunyai pencaharian di bidang pertanian atau bercocok tanam. Data statistik pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 45% penduduk Indonesia bekerja di bidang agrikultur. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa negara ini memiliki lahan seluas lebih dari 31 juta ha yang telah siap tanam, dimana sebagian besarnya dapat ditemukan di Pulau Jawa (Wikipedia, 2012). Bahkan karena julukannya itu, Indonesia pernah menjadi Macan Asia. Indonesia menjadi egara yang begitu ditakuti dan disegani. Semua bahan-bahan pangan begitu tercukupi dan bahkan bisa diekspor ke negara-negara lain. Pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat pesat. Bahan-bahan pokok murah dan terjangkau. Kesejahteraan merata pada semua rakyat Indonesia. Petani menjadi kaya dan bisa lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya. Akan tetapi dewasa ini keadaan tersebut hanyalah memoar masa lalu. Kenangan kejayaan masa lalu yang mulai memudar meninggalkan jejak-jejak bayangan julukan Macan Asia. Indonesia dianggap tidak pantas lagi menyandang status negara agraria. Semenjak Indonesia bergabung dengan World Trade Organization (WTO) bisa dilihat memang Indonesia mengalami peningkatan pada perdagangan Internasionalnya akan tetapi aspek pertanian menuai banyak masalah bahkan menjadi konflik sehingga agrikultur yang menjadi ciri Indonesia sebagai negara agraria semakin luntur dan mungkin saja bisa hilang di masa yang akan datang.
Artikel ini mengkaji penyelesaian sengketa perdagangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) antara Indonesia dan Amerika Serikat pada isu hortikultura pada tahun 2018. Amerika Serikat melaporkan Indonesia ke Dispute Settlement Body (DSB) WTO karena Indonesia dinilai telah menerapkan sejumlah kebijakan impor produk pertanian yang menimbulkan hambatan perdagangan produk AS. Artikel ini akan menjelaskan penyebab kerugian Indonesia dalam sengketa tersebut dengan menggunakan konsep structural power oleh Susan Strange. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan sumber data diperoleh melalui sumber data sekunder. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia kalah dalam sengketa tersebut karena melanggar aturan pembatasan kuantitatif dalam pasal XI. I GATT 1994. Amerika Serikat menggunakan kekuatan struktural pengetahuannya, seperti keberadaan studi dan penelitian ilmiah, untuk memperkuat argumennya. Indonesia tidak bisa menandingi struktur pengetahuan yang dimiliki Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari kelemahan kapasitas hukum Indonesia dan ketidakmampuan untuk menunjukkan fakta berdasarkan penelitian dan kajian ilmiah mengenai tindakan Indonesia.
Dibentuknya World Trade Organization (WTO) menggantikan GATT, secara otomatis membawa sektor pertanian masuk dalam kerangka perdagangan multilateral lewat Agreement on Agriculture (AoA). Dengan adanya keterikatan dengan rezim AoA-WTO, menyebabkan perdagangan komoditas pertanian yang merupakan komoditas sensitif dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia harus diliberalisasikan, yang artinya hambatan perdagangan tarif dan non-tarif, dan insentif-insentif pertanian harus dihapuskan. Harapan Indonesia untuk mendapatkan keuntungan dari ekonomi perdagangan internasional melalui mekanisme keuntungan komparatif tidak sepenuhnya tercapai. Yang terjadi justru sebaliknya. Keinginan untuk mengamankan suplai barang di dalam negeri dengan meningkatkan impor produk-produk tertentu justru berdampak negatif dengan meningkatnya ketergantungan terhadap produk asing. Murahnya harga produk asing di pasar dalam negeri pun telah menggerus pendapatan petani-petani dalam negeri, terutama petani kecil, yang harus berjuang menghadapi kompetisi global di pasar domestik tanpa perlindungan dari pemerintah. Kondisi yang demikian tentunya menjauhkan Indonesia dari keberhasilan program ketahanan pangan yang seharusnya menjadi prioritas dalam liberalisasi perdagangan dan reformasi sektor pertanian.
JOURNAL OF GOVERNMENT (Kajian Manajemen Pemerintahan dan Otonomi Daerah), 2020
Indonesia is one of the countries that has the potential for agrarian conflicts considering the many problems and interests for land tenure and so on. This paper examines the history and dynamics of agrarian conflicts in Indonesia along with the challenges and hopes of agrarian reform.
Sejak awal dilantik, Menteri Pertanian dan para menteri bidang ekonomi seringkali berakrobatik. Untuk menenangkan hati presiden, mereka kerap menyuguhkan berbagai proyek bombastis seperti swasembada pangan. Celakanya, Jokowi tak berdaya mengendalikan proyek yang memanjakan kaum pengusaha itu.
Jurnal Bina Praja, 2012
Mekanisme sistem dunia seperti yang diperkenalkan oleh Wallerstein, meletakkan harapan akan adanya kemakmuran dan kesejahteraan serta upaya survive dalam perkembangan dan kemajuan dunia adalah dengan mengikuti sistem dunia yang hadir melalui sistem pasar yang merupakan mekanisme terjadinya globalisasi di dunia. Desentralisasi dengan peletakkan kebijakan pada hak asasi dan partisipasi, akan memudahkan agen negara maju untuk melakukan hegemoni dan penetrasi ke wilayah pertahan terakhir negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, dikarenakan lemahnya posisi bargaining pada mekanisme tukar yang dalam konteks ekonomi berdiri pada modal dan investasi atas nama pembangunan. Upaya setiap daerah untuk mengejar pundi-pundi kesejahteraan dengan masuk dalam mekanisme global adalah sesuatu yang terlalu terburu-buru disebabkan kondisi ketidaksimbangan yang dialami daerah dalam mekanisme tersebut. Berbagai aturan, yang dalam konteks politik pemerintahan negara pasti akan menempatkan dirinya sebagai bagian yang diuntungkan menyebabkan negara-negara terkebelakang selalu tidak memiliki kemampuan untuk membargaining hasil produksinya melalui diplomasi yang ulet. Organisasi dunia merupakan alat bagi langgeng dan dominanya sebuah kekuatan terlepas bahwa ada sebagian kecil negara yang dapat menikmati hal tersebut meskipun dalam waktu yang sementara. Kata kunci: desentralisasi, globalisasi, kebijakan, internasionalisasi.
Sarah Joseph (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Dalam bab ini, dampak aturan WTO terhadap aksesibilitas hak atas pangan akan dikaji. Hak fundamental atas pangan akan dijabarkan terlebih dahulu. Selanjutnya diikuti oleh gambaran statistik kelaparan dunia dewasa ini. Dampak bias aturan perdagangan internasional saat ini antara perdagangan komoditas pertanian negara maju dan berkembang/terbelakang, sebagaimana telah disajikan di Bab V, akan dibahas lebih rinci. Masalah perdagangan bebas dan pertanian kemudian juga akan dibahas, seperti dampak negatif dari fluktuasi pasar, kartelisasi dan spesialisasi, dan jalan alternatif untuk memberdayakan para petani kecil juga akan diketengahkan. Selanjutnya, menganalisis dampak TRIPS terhadap hak atas pangan sebelum beranjak pada simpulan bab ini yang berisi rekomendasirekomendasi akan perlunya reformasi dalam tubuh WTO. Secara umum, sebagian besar analisis yang disuguhkan dalam bab ini terfokus pada aturan-aturan WTO dan kebijakan perdagangan bebas, apakah telah menghasilkan atau menciptakan kondisi tertentu bagi negara, utamanya negara tertinggal/ berkembang, supaya mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap pemenuhan hak atas pangan. Karena itu, sebagian besar analisis di sini nantinya menyangkut hubungan instrumental antara aturan WTO dan perdagangan bebas dalam konteks perlindungan HAM ketimbang membahas implementasi pemberlakukan aturan-aturan WTO secara langsung dan perdagangan bebas terhadap hak atas pangan.
Kegiatan manusia tidak bisa dilepaskan dari aktivitas perdagangan. Sudah dari zaman dahulu manusia melakukan aktivitas perdagangan ini. Pada mulanya perdagangan manusia dilakukan dengan sistem barter antar barang yang dirasa mempunyai nilai yang setara. Seiring berlalunya waktu, cara berdagang ini pun
Integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh di beberapa wilayah Indonesia. Gotong-royong serta toleransi antar suku, budaya, agama terjalin dengan baik. Didasarkan pada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun pada kenyataannya masih banyak konflik yang terjadi disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi bangsa.
This study aims to determine the phenomenon of land conversion that occurs due to the new airport development policy in Temon, Kulon Progo. At least five villages affected from this airport development, which led to agricultural land in each village converted to the new airport. In addition to the purpose of the study mentioned above, researchers intend to examine the social problems that arise in the form of social conflict in society as a result of the construction of the airport. This research uses descriptive qualitative research method. The sampling technique using purposive sampling techniques. The source of the data obtained by researchers from several speakers, namely; affected communities, either pro or con the airport, the local government of Kulon Progo, BPN, and of Angkasa Pura I as the initiator of the new airport. In addition, researchers also use secondary data in the form of documentation from the parties involved, and of print media such as newspapers and journals. The validity of the data used by the researchers are using a triangulation of data sources and data analysis techniques using data analysis model Miles and Huberman. Results from this study showed that the phenomenon of land conversion that occurs in Temon, Kulon Progo result of the new airport development policy poses some social impact. As for the impact that the shifting of agricultural land into the airport, the loss of agricultural land as a source of livelihood of surrounding communities, attitude in the pros and cons in the community, and social conflict. As for the social conflict between the pro with the community cons (horizontal conflict), and the public counter with local governments Kulon Progo (vertical conflicts). Cons communities belonging to the group Wahana Trinity. The attitude of people who refuse because they fear the loss of agricultural land which has been the main source of their livelihood, either as farmers (landowners) or farm workers (tenants). Meanwhile the pro airports they are mostly landowners once tenants. They are pro the airport to ask some requirements of them; compensation for their land and land compensation PAG, labor issues, and free relocation. Keywords: land use, development, community, conflict
WTO menjadi rezim perdagangan internasional baru setelah GATT, yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan perdagangan internasional mencakup hingga ke hak kekayaan intelektual dalam persaingan industri dan perdagangan. Jika tarik kembali pada tahun 2001, yakni kesepakatan Doha, di dalamnya terbentuk serangkaian peraturan yang secara khusus mengatur perdagangan produk-produk agraria. Dari sini dapat dikaitkan dengan keberadaan salah satu negara yang merupakan penghasil produk-produk pertanian yakni Indonesia. Peraturan-peraturan ini meski juga atas andil dari Indonesia, namun membuat Indonesia berada di posisi yang rawan dalam menjaga konsekuensi produknya di pasar internasional. Sehingga Indonesia harus mencari celah dalam memperjuangkan kepentingannya di bidang pertanian. Nasib petani yang belum sejahtera dihadapkan dengan realita bahwa produk-produk agraria dalam negeri yang seharusnya dapat diekspor pada akhirnya harus mengalah dengan produk-produk impor yang membanjiri Indonesia. Upaya-upaya yang dilakukan dalam WTO adalah seperti bergabung dalam kelompok negara-negara berkembang yang sama-sama memperjuangkan kebijakan proteksionisme terhadap hasil pertanian mereka, agar akses pasar pertanian dapat dilindungi. Teori Kepemimpinan dalam Organisasi Internasional Secara umum kepemimpinan lebih merupakan konsep yang berdasarkan pengalaman. Arti kata-kata ketua atau raja yang dapat ditemukan dalam beberapa bahasa hanyalah untuk menunjukkan adanya diferensiasi antara kelas-kelas dalam masyarakat. Mengingat terdapat banyak konsep definisi kepemimpinan yang berbeda, maka penulis mengacu pada tulisan Joseph C. Rost (1993) bahwa kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling memengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya. Dari teori ini penulis dapat mengelaborasikannya dalam sebuah ilustrasi. Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian melalui Kepemimpinan dalam Kelompok G33 di dalam WTO.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Forum penelitian Agro Ekonomi, 2016
Cakrawala Hukum: Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma
Konservasi dalam Perspektif Lingkungan, Reforma Agraria, dan Pendidikan Karakter, 2022
Ni Komang Intan Kumala Sari, 2021
Perekonomian Indonesia Pertanian, 2024