Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
35 pages
1 file
tasikmalaya
• Dimakamkan : Blitar, Jawa-Timur Bung Karno adalah nama populer dari Soekarno. Lahir pada 6 Juni 1901 di Blitar, Jawa Timur. Ketika Soekarno kecil, ia tidak tinggal bersama dengan orang tuanya yang berada di Blitar. Ia tinggal bersama dengan kakeknya yang bernama Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur. Soekarno bahkan sempat mengenyam sekolah disana walau tidak sampai selesai, karena harus ikut bersama dengan orang tuanya yang pada waktu itu pindah ke Mojokerto. Di Mojokerto, Soekarno kemudian disekolahkan di Eerste Inlandse School dimana ayahnya juga bekerja disitu sebagai guru. Akan tetapi kemudian ia dipindahkan pada tahun 1911 ke ELS yang setingkat sekolah dasar untuk dipersiapkan masuk di HBS yang ada di Surabaya. Setelah tamat dan bersekolah di HBS tahun 1915, Soekarno kemudian tinggal di rumah Haji Oemar Said
dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan "merdeka". Merdeka buat saya ialah: " p o l i t i c a l i n d e p e n d e n c e ", p o l i t i e k e o n a f h a n k e l i j k h e i d. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Menurut aplikasi KBBI dari smartphone Lumia saya, kata Hagiografi mempunyai makna: Buku atau tulisan yang memuat riwayat hidup dan legenda orang-orang suci, singkatnya yaitu riwayat hidup orang-orang suci. Perlu adanya penegasan, bukan dalam artian sosok Soekarno pun Soeharto yang akan menjadi tema dalam pembahasan ini sebagai orang yang suci. Coretan ini akan lebih menekankan bagaimana perlakuan rezim Orde Baru terhadap Soekarno selepas tragedi tahun 1965 yang semula seorang pemimpin besar revolusi, menjadi pengkhianat revolusi. Juga lebih menjelaskan tentang monopoli pemerintahan Soeharto serta penyelewengan pancasila yang merupakan warisan Soekarno di era rezim Orde Baru. Prabu Dampal mengatakan pada era Orde Baru terdapat banyak desoekarnoisasi, (Ngobrol, 23 April 2016) karena terdapat banyak sekali kejanggalan-kejanggalan pada waktu itu. Misal, penggantian Stadion Gelora Bung Karno di Jakarta menjadi Stadion Senayan, bahkan pelegitimasian Pancasila yang semula Soekarno sebagai pencetusnya digantikan oleh Muhammad Yamin serta adanya larangan peringatan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila pada tahun 1970 oleh Kopkamtib. Konon, segala hal yang berbau Soekarno pada masa itu di haramkan. Ungkapan Prabu diamini oleh Asvi Warman Adam seorang Sejarawan LIPI mengatakan bahwa Soeharto untuk mencapai puncak kekuasaanya, selain membubarkan partai yang mendukung Soekarno pun memperkecil pengaruh Soekarno dengan mengharamkan segala sesuatu yang berbau Soekarnoistik. Gagasan tersebutlah yang menjadi titah bagi saya untuk membuat coretan sebagai pengantar diskusi. Penelusuran bukti yang otentik sesuai dengan fakta sejarah dari referensi yang sesuai kiranya diperlukan agar pembahasan dalam diskusi tidak hanya sekadar wacana atau omong kosong belaka.
Uang kertas Indonesia yang pertama kali diterbitkan oleh pemerintah Republik Indonesia (RI) adalah Oeang Republik Indonesia atau kita kenal dengan ORI. Tepatnya pada 30 Oktober 1946 ORI pertama kali diedarkan kepada masyarakat luas menggantikan Uang Kertas terbitan pemerintah pendudukan Jepang, uang kertas, dan uang logam terbitan pemerintah kolonial Belanda yang sebelumnya digunakan oleh masyarakat Indonesia. Sebelumnya pada Maret 1946 pemerintah darurat sipil Hindia Belanda yang disebut NICA yang telah tiba kembali di wilayah Indonesia telah mengeluarkan uang kertas baru yang kemudian dikenal dengan Uang NICA atau uang merah, merujuk pada pecahan sepuluh Gulden yang berwarna merah dan paling popular di peredaran. Sebenarnya pemerintah Indonesia telah berencana menerbitakan mata uang RI tidak lama setelah kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, tapi tentu dalam keadaan perang rencana itu tidak dengan mudah terlaksana. Dan akhirnya setelah melalui berbagai usaha terbitlah ORI sebagai mata uang resmi RI dengan kurs 1:50 atas uang kertas Jepang yang banyak beredar saat itu. Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI, sehari sebelum beredarnya ORI mengatakan dalam pidatonya " sejak mulai besok, kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh Republik kita. " Dibalik optimisme itu, kehadiran ORI juga diiringi kecemasan beberapa pemimpin negara yang bertanya tanya apakah ORI dapat diterima oleh masyarakat luas di seluruh wilayah Indonesia? Sjafruddin Prawiranegara salah seorang inisiator penerbitan ORI mengatakan " keluarnya ORI bukan berarti kita nanti boleh bergoyang kaki dan hidup senang-senang saja, bahkan sebaliknya sekaranglah baru tiba saatnya untuk bekerja segiat-giatnya secara teratur dan sistematis. " Sjafruddin ingin memberi nasehat kepada masyarakat bahwa terbitnya ORI tidak akan begitu saja membuat rakyat menjadi makmur secara ekonomi. Banyak pekerjaan yang masih harus dikerjakan oleh pemerintah RI yang baru saja lahir itu dalam segala bidang, termasuk dalam ekonomi moneter demi kesejahteraan rakyat. Namun demikian, sejarah mencatat hadirnya ORI disambut dengan kegembiraan yang sangat besar oleh seluruh rakyat Indonesia. Bagi sebagian besar rakyat Indonesia saat itu, ORI tidak hanya alat penukaran, alat pengukur harga, atau alat pembayaran yang sah yang menggantikan mata uang Jepang. Lebih dari itu ORI adalah uang Republik Indonesia, negara yang baru saja merdeka dengan segala cita-cita yang dimilikinya telah menjelma dalam tiap lembar ORI yang mereka miliki. Sebelumnya rakyat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang merdeka belum pernah merasakan memiliki uang kertas atau logam dengan gambar seseorang tokoh pemimpin dari bangsanya sendiri. Hingga akhirnya terbitlah ORI uang kertas pertama yang dimiliki bangsa Indonesia yang berhasil menyatukan mereka di bawah naungan Rupiah, dan tentu saja gambar pemimpin negara yang menjadi symbol pemersatu, yaitu Presiden Soekarno.
Beberapa tahun belakangan ini isu nasionalisme begitu marak lagi muncul ke permukaan baik dalam wacana global, regional, maupun local sehingga cukup menarik dan actual serta sangat penting untuk dicermati lebih jauh fenomena "Nasionalisme", tersebut dengan asumsi bahwa beberapa tahun belakangan ini muncul berbagai gejala dis -integrasi di berbagai Negara dibelahan bumi ini, terutama di Indonesia. Dimana fenomena dis -integrasi tersebut sangat terkait dengan konsep "nasionalisme" yang mana pengaruh nasionalisme merupakan suatu topic yang amat luas untuk diperbincangkan. Justru, penulis telah memilih nasionalisme sebagai suatu tema kajian dalam proses penulisan. Didalamnya ia membicarakan tentang defenisi, pembahasan serta pandangan para intelektual baik Indonesia, Asia, maupun Islam serta Barat. Dimana nasionalisme juga berhubungan erat dengan berbagai fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara. Tepatnya, nasionalisme menjadi suatu fenomena social -budaya, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan yang mengancam keutuhan suatu bangsa dan Negara. Sehingga terjadi pergolakan di berbagai daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, pergolakan tersebut diakibatkan oleh telah bergesernya rasa patriotism atau nasionalisme yang dimiliki oleh setiap individu di daerah tersebut atau bahkan memiliki rasa patriotism atau nasionalisme yang chauvinism atau kedaerahan sehingga ingin lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masyarakat yang tidak percaya sangat bertolak belakang dengan konsep pembangunan masyarakat sipil yang kuat. Dan fakta yang terjadi bahwa tiap -tiap wilayah mulai menuju dalam suatu proses dis -integrasi terhadap bangsa, semakin diperparah lagi dengan mengikisnya rasa nasionalisme masyarakat bangsa sehingga mengakibatkan meningkatnya semangat nasionalisme kedaerahan di masyarakat. Dimana nasionalisme kedaerahan terbentuk dari identitas -identitas primordial, seperti etnis, suku, dan ras. Membicarakan suku bangsa sebagai kondisi dasar berarti menempatkan konsep -konsep bangsa, Negara, dan nasionalisme secara politis. Dengan memahami suku bangsa sebagai kondisi dasar, diharapkan pemahaman kita tentang bangsa, kebangsaan, dan nasionalisme akan menjadi lebih simpatik dan jernih. Hal ini dikarenakan nasionalisme berawal dari kecintaan atau rasa patriotism kedaerahan. Ketika nasionalisme kedaerahan tumbuh dan berkembang menjadi suatu doktrin yang melekat pada satu kelompok masyarakat yang merasa memiliki perbedaan budaya, sejarah, maupun prinsip -prinsip hidup tersendiri dan ketika
2015
The spectacle of 2014 Indonesian Presidential Election was not solely a collection of Prabowo’s self-image, but more likely of social relation which were mediated through Soekarno’s image. Social relation has shifted further into commodity relation, where the heroic, anti-capitalist Soekarno’s self-image; being used as political commodity for Prabowo’s interest in taking over all aspects of Soekarno’s life. Prabowo has impressed his admirer to copy and reproduce his self image during the campaign. The image that Prabowo has tried to present, as to dressed up similarly to Soekarno, was just a political performance in a battle to win the presidential seat.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Bhakti, Ikrar Nusa, Diandra Putri Mengko, & Sarah Nuraini Siregar (Ed.). 2018. Intelijen dan Politik Era Soekarno. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Press.
Jurnal Kewarganegaraan