Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
Selama ini debat soal istilah dan definisi masyarakat adat masih saja terus berlangsung. Ada beragam istilah yang digunakan, bahkan di dalam peraturan perundang-undangan pun digunakan berbagai istilah untuk merujuk sesuatu yang sama atau yang hampir sama itu. Mulai dari istilah masyarakat adat, masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, komunitas adat terpencil, masyarakat adat yang terpencil, sampai pada istilah desa atau nama lainnya. Sekalian istilah tersebut dapat dijumpai pada peraturan perundang-undangan mulai dari UUD sampai dengan Peraturan Menteri (lihat lampiran).
Gaung AMAN, 2019
Sejak awal kemerdekaan Indonesia, negara telah menghendaki sejumlah upaya rekayasa sosial (social engineering) melalui instrumen hukum terhadap masyarakat adat. Masyarakat adat dirancang secara normatif agar dapat hidup dan bertumbuh sesuai dengan perkembangan zaman di dalam tatanan konstitusional Indonesia. Namun demikian, "kesesuaian dengan perkembangan zaman" itu sendiri adalah suatu idealitas yang problematis, kabur syarat-syaratnya, serta gagal menangkap kelenturan istilah "modernitas".
Qureta, 2018
Secara konsep, masyarakat adat 1 di Indonesia berawal dari terma masyarakat hukum adat yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Belanda. Masyarakat hukum adat sendiri merupakan deskripsi atas komunitas-komunitas adat (adat rechtsgemeenschappen) yang berasosiasi dengan kelompok sosial pribumi di masa kolonial Hindia Belanda.
Mongabay Indonesia, 2019
Kekhasan tata sosial masyarakat adat ini, seringkali tak dipahami masyarakat luas. Persepsi umum masih diselimuti prasangka negatif tentang cara hidup mereka, misal, julukan orang udik, primitif, anti pembangunan, dan stereotip lain.
Batulis Civil Law Review
The purpose of this research is to analyze and find out the function and role of Sasi Law in the management of the environment, natural resources and ecosystems in it by the people in Negeri Seith and Negeri Ouw, Central Maluku district, and regulations in Seith and Ouw countries in maintaining the existence of Sasi law. This research method is empirical law, which is a research based on field data by taking data according to the sample and conducting an assessment of positive legal provisions and legal principles. The results of the study show that the implementation of Sasi is currently experiencing degradation because it has not been carried out as the implementation of Sasi was originally, even though Sasi has been considered as part of customary law in each Negeri. The regulation of Sasi is not regulated in a Negeri Regulation so that it binds the community and people in each Negeri, as well as being a guide for the next generation to be maintained.
Pembangunan Nasional hingga saat ini telah memperlihatkan kemajuan, tidak hanya menyangkut pembangunan di bidang ekonomi semata namun menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk pembangunan di bidang hukum. Kemajuan di bidang hukum ditandai dengan usaha untuk memperbaharui hukum itu sendiri, karena hukum sebagai salah satu penunjang utama dalam menjamin ketertiban masyarakat, diharapkan mampu mengantisipasi dan mengatasi segala tantangan, kebutuhan serta kendala yang menyangkut sarana dan prasarana, disamping itu juga harus lebih beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Meskipun seringkali secara faktual, hukum berjalan lebih lamban daripada perkembangan dan perubahan berbagai hal di masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah hukum pidana sebagai bagian dari hukum. Perubahan dan pembaharuan di bidang hukum pidana khususnya mengenai hukum pidana materiil (substantif) merupakan hal yang penting dan mendasar, karena hukum yang sekarang berlaku khususnya hukum pidana material peninggalan kolonial sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Hal ini sesuai dengan realita hukum bahwa hukum pidana atau KUHP yang sekarang berlaku bukan berasal, berakar atau bersumber dari pandangan/konsep nilai-nilai dasar dan kenyataan sosio-politik, sosioekonomi dan sosio-budaya yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Pembaharuan hukum pidana nasional merupakan salah satu masalah besar yag dihadapi bangsa Indonesia, khususnya dalam rangka mengubah dan mengganti KUHP (WvS) warisan kolonial Belanda yang sekarang berlaku karena dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, menjadi KUHP Baru yang bersifat nasional sesuai dengan pandangan hidup bangsa yang berakar pada nilai-nilai sosial, budaya dan struktur masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pembaharuan hukum pidana di Indonesia khususnya hukum pidana material, sudah dilakukan sejak tahun 1946 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Pasal 5 Undang-Undang tersebut menentukan bahwa "peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak 1
Mengapa daya ubah pembaruan hukum yang terkait pengakuan hak masyarakat adat itu, utamanya yang berkaitan dengan pengakuan hutan adat, masih begitu rendah? Bahkan, menurut Zakaria (2015), keberadaan berbagai kebijakan itu justru punya potensi ‘membunuh masyarakat adat’? Pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait pengakuan hak masyarakat adat atas tanah mengalami hambatan dari sisi kuantitas (begitu banyaknya subyek hak yang harus diakui), dan dari kualitas (kemampuan masing-masing subyek hak itu mengakses proses-proses politik legislasi dan eksekutif). Oleh sebab itu perlu dicari terobosan-terobosan hukum (daerah) yang lebih memudahkan masyarakat adat, karena pada dasarnya hak masyarakat adat atas tanah adalah hak konstitusional yang harus diupayakan pelaksanaannya oleh pemerintah.
Fiat Justisia, 2016
Recognition of the existence of legal values and sense of justice that life is constitutionally recognized as the author explained earlier. One of the key concepts that evolved form of legal recognition or live in the community is the adoption of the system of sanctions in customary law (customary criminal) in the national legal system. Recognition and protection of sanction customary law becomes an important thing in the life of indigenous peoples, for the customary sanctions, then it can be constructed or create a balance and social harmony, interests between the human race and the individual, between the alliance (group) and wider society that is the basis from the minds of traditional Indonesian nation. Recognition of the importance of values in society as customary law (customary criminal) in the renewal of the national criminal law as the national law reform agenda is a necessity and demand to the fulfillment of social justice in accordance ideals of the Indonesian nation.
PEMERINTAHAN Joko Widodo seperti panik menghadapi melambatnya ekonomi dunia yang mulai terasa di dalam negeri. Untuk mengatasinya, pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar: Cipta Lapangan Kerja dan Pemberdayaan Usaha Kecil Mikro, Kecil, dan Menengah. Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi omnibus law, yaitu satu undang-undang sekaligus merevisi beberapa undang-undang. Sekitar 70 undang-undang akan "digerogoti" demi lancarnya dua agenda prioritas itu. Perubahan yang akan terjadi dikelompokkan dalam 11 klaster isu. Salah satunya soal pengadaan lahan-satu isu pokok yang acap dituding sebagai penghalang investasi-tanpa diperiksa lebih jauh problem pokok dari mandeknya modal masuk ke dalam negeri. Sebab persoalan tanah selalu terkait dengan konflik agraria, yang di dalamnya melibatkan komunitas-komunitas adat. Akankah omnibus law menyelesaikan konflik itu atau malah memperburuknya? Saat ini momentum tepat melihat kembali salah satu cita-cita reformasi, sebagaimana yang tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pada Pasal 4 ditegaskan, antara lain, pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan dengan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia; mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam; melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; dan mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam. Pasal 5 menegaskan pula bahwa pemerintah perlu mengkaji ulang berbagai aturan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor; menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum, termasuk pengadaan lembaga dan biaya untuk mengurusnya; serta menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun 1 Dimuat dalam Rubrik Opini Majalah TEMPO, Edisi 7 Desember 2019.
Epistema Institute, 2016
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat Dalam Kawasan Tertentu (kemudian disebut Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015). Peraturan yang dikeluarkan pada 25 Mei 2015 ini semestinya diletakkan dalam rangka menjawab permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat yang selama ini dipaksa untuk melepaskan ikatannya dengan hutan, tanah, air dan kekayaan alam yang mereka miliki. Apakah peraturan baru ini mampu menjawab permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat terutama dalam kaitannya dengan hak atas sumber daya alamnya, atau sebaliknya, peraturan ini malah menambah masalah baru ?
Pandecta: Research Law Journal, 2015
Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan yang sama dalam kelompok, tinggal di satu tempat karena genealogi atau faktor geologi. Mereka memiliki hukum adat mereka sendiri yang mengatur tentang hak dan kewajiban pada barang-barang material dan immateri. Mereka juga memiliki lembaga sosial, kepemimpinan adat, dan peradilan adat yang diakui oleh kelompok. Perlindungan pada masyarakat adat yang diatur dalam Pasal 18B (2) dan Pasal 28I ayat (3) dalam Konstitusi Indonesia 1945 dan di beberapa tata hukum Indonesia tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena sangat perlu peraturan operasional. Hal ini dikarenakan amandemen UUD 1945 saat itu sarat dengan Kepentingan politik pada saat itu, sehingga kata-kata pembangunan Pasal 18B ayat (2) ambivalen dalam arti. Dalam satu sisi, negara mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat adat, namun di sisi lain mereka dituntut dengan persyaratan yang sulit dalam mewujudkan hak-hak mereka.<br /><br /><br />Indigenou...
Dari sekitar 30-an undang-undang yang mengatur soal masyarakat adat, meski ala kadarnya, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK 11/2020) 'mengatur ulang' 12 di antaranya. Meski 'pengaturan ulang' itu hanya bermakna sekedar disebut saja. Misalnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Pada pada Pasal 4 kebijakan yang lahir di tahun-tahun awal reformasi itu menegaskan bahwa, pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan dengan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia; mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam; melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; dan mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam. Sementara itu, pada Pasal 5, antara lain ditegaskan pula bahwa Pemerintah perlu melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor; menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum, termasuk pengadaan lembaga dan biaya untuk mengurusnya; serta menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional. Perubahan yang tidak mengubah Jika para pemilik kewenangan peduli, UUCK 11/2020 boleh jadi adalah momentumnya. Sayangnya, meski disebut dalam bagian konsiderannya, amanat TAP IX/MPR/2001 bisa dikatakan tidak berbekas sama sekali. Pengaruh UUCK 11/2020 terhadap norma hukum yang mengatur kepentingan masyarakat adat dapat dikategorikan ke dalam 4 (empat) kategori. Yakni perubahan yang tidak signifikan/tidak berarti; perubahan yang cukup berarti; bertahannya pengaturan yang melindungi kepentingan masyarakat; dan, sayangnya, pada saat yang sama, norma hukum yang selama ini mengahalangi proses pengakuan hak masyarakat adat juga tetap bertahan.
Sekitar sepuluh tahun lalu, tepatnya pada tahun 1993, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan Indigenous People Decade. Mudah diduga, dengan inisiatif-inisiatif semacam ini, PBB ingin mendorong sebuah proses bagi perbaikan-perbaikan situasi, entah itu kebijakan (internasional, regional, nasional, atau dalam cakupan wilayah yang lebih kecil), maupun program-program aksi lapangan, bagi subjek yang bersangkuran. Ini adalah puncak dari suatu proses diplomasi politik atas kejadian-kejadian buruk yang diderita oleh banyak masyarakat adat di seantero dunia. Termasuk Indonesia tentunya 3 .
Problematika terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dengan keberadaan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan salama ini dapat digambarkan secara ringkas, bahwa konflik-konflik agraria, baik yang bersifat vertikal bahkan juga horizontal, terjadi karena adanya silang-sengkarut alas hak yang menjadi dasar tata kelola – mencakup tata guna, tata kuasa, dan tata usaha -- sumber-sumber agraria di Indonesia. Belum terjadi sinkronisasi antara berbagai sumber hukum, antara perangkat peraturan perundang-undangan (baca: hukum positif) di satu pihak, dengan berbagai sumber hukum adat yang hidup dan berkembang dalam berbagai komunitas yang disebut sebagai masyarakat (hukum) adat itu di pihak lain. Meskipun, pada tataran konsitusi, yang kemudian ditegaskan ulang dalam berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi, hak-hak masyarakat (hukum) adat itu telah diakui keberadaannya.
Undang: Jurnal Hukum, 2019
This article reviews critically the evolution of the regulation of recognition of the rights of indigenous peoples in the Indonesian Constitution through historical and legal perspective. Using the customary law rights recognition theory as developed by constitutionalists on the experience of the struggle of indigenous peoples in several Latin American countries, this article finds the fact that none of the Constitutions in Indonesia fully recognize and protect the rights of indigenous peoples, although it contains elements of partisanship rhetoric. The weak recognition and protection of the rights of indigenous peoples in the Constitution resulted in the state freely using its power to exclude ancestral rights of indigenous peoples on the pretext of state interests. The interpretation of the articles in the Constitution that recognize and protect the rights of indigenous peoples must be based on the spirit of asserting Indonesian unity in diversity and distinctiveness. Without such...
Kita hidup, sejak lahir hingga mati selalu berurusan dengan hukum atau tepatnya sistem hukum. Tidak ada waktu dan tempat yang terlewatkan oleh sentuhan hukum. Ada begitu banyak aturan (rules) dan peraturan (regulations) yang membelakukan syarat dan prosedur hukum. Sementara itu kondisi hukum kita saat ini mengalami keterpurukan yang sangat luar biasa. Kepercayaan masyarakat terhadap hukum sangat rendah. Masyarakat Indonesia saat ini sedang berada dalam kondisi transplacement antara mereka yang reformis dengan mereka yang statusquo, antara mereka yang kotor (dirty broom) dengan mereka yang bersih (clean broom). Kedua kelompok tersebut sama kuatnya sehingga hukum sama sekali tidak dapat berfungsi. 1 Tidak dapat dibantah bahwa masyarakat Indonesia tengah mengalami proses perubahan social yang mendasar dan mencakup berbagai bidang kehidupan dengan pergeseran nilainya beserta dengan berbagai manifestasinya dalam sikap dan perilaku kemasyarakatannya. Dalam menjalani dan mengarahkan proses perubahan social untuk memunculkan tatanan kemasyarakatan yang ideal, maka Pemerintah mengemban peranan dan tanggungjawab yang besar dan penting. Untuk Indonesia, hal tersebut sudah dengan jelas dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. mewujudkan tujuan Negara tersebut, dalam situasi konkret di Indonesia berarti melaksanakan pembangunan bangsa yang pada dasarnya berarti juga mengarahkan perubahan social yang berintikan usaha untuk memodernkan kehidupan bangsa Indonesia. Agar semua usaha tersebut dapat berlangsung secara bertanggungjawab maka asfek hukum tidak dapat diabaikan. 2 Menelaah pengaruh hukum pada perubahan social berarti mempertanyakan apakah hukum dapat menggerakkan dan mengarahkan perubahan social? Artinya dapatkah asfek hukum befungsi sebagai alat atau sarana dalam melakukan pembaharuan terhadap masyarakat. B. Perumusan Masalah.
2003
baru ini diadakan Seminar Hukum Nasional VII di Jakarta yaitu tepatnya tanggal12-15 Oktober 1999. Adapun tema yang sentral dalam seminar ini adalah Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani. Maksud dan tujuan diselenggarakannya seminar ini adalah untuk menampung berbagai pemikiran dalam usaha pembangunan Hukum nasional, dalam memasuki era baru menuju masyarakat madani (civil society). Masyarakat madani adalah tatanan hidup kemasyarakatan dimana hubungan antara negara dan masyarakat tidak didasarkan kepada pandangan bahwa negara mempunyai kekuasaan yang sentral dan dominan dan demi kepentingannya secara sah dapat menyampingkan berbagai kepentingan warga masyarakat. 1
Hukum adat karena sifatnya yang tidak tertulis, majemuk antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka perlu dikaji perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih hidup , apakah sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu.
Desa adat atau disebut juga dengan nagari, huta, marga dan lain-lain adalah unit pemerintahan (politik), sosial, ekonomi dan budaya masyarakat hukum adat. Desa adat adalah susunan asli yang mempunyai hak-hak asal usul berupa hak mengurus wilayah (hak ulayat) dan mengurus kehidupan masyarakat hukum adatnya. Dalam menjalankan pengurusan tersebut, Desa adat mendasari diri pada hukum adat untuk mengatur dan mengelola kehidupan masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya. Pada masa rezim orde baru, desa adat mengalami tekanan luar biasa dari negara melalui penyeragaman sistem pemerintahan desa dalam kesatuan administrasi sentralistik melalui UU 5/79 tentang Desa. Desa (termasuk desa adat) tidak lagi berdaya dalam mengurus masyarakat hukum adat berdasarkan hukum adat. Desa orde baru telah menjadi " perpanjangan tangan " pemerintah pusat yang bertindak dan berprilaku seragam dalam komando yang sentralistik. Desa adat kemudian hancur sebagai unit pemerintahan, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat hukum adat. Desa adat terpecah-pecah menjadi desa-desa administrasi atau tidak diakui sebagai unit pemerintahan asli (asal usul) masyarakat hukum adat. Seiring dengan itu, wilayah desa adat terbagi-bagi dalam pengurusan berbasis sektor sumber daya alam oleh pemerintah melalui undang-undang sektoral Sumber Daya Alam, seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan dan lain-lain. Hak ulayat menjadi persil-persil yang terpecah-pecah di tangan pengurus tanah, hutan, dan tambang dalam institusi pemerintah. Akibatnya, masyarakat hukum adat kehilangan penguasaan dan akses atas sumber daya alamnya. Konflik pun membara dimana-mana. Dalam catatan HuMa (2012) terdapat 232 konflik sumber daya alam dan agraria. Konflik berlangsung di 98 kota / kabupaten di 22 provinsi. Luas area konflik mencapai 2.043.287 hektar (ha), atau lebih dari 20.000 kilometer persegi (km²) dengan korban sebanyak 91.968 orang dari 315 masyarakat hukum adat. B. Otonomi Daerah ; " Jauh Panggang Dari Api " 1 Artikel ini juga diterbitkan pada : http://huma.or.id/pembaruan-hukum-dan-resolusi-konflik/peluang-desa-adat-dalam-memperkuat-hak-hak-masyarakat-hukum-adat.html
Where there is sugar there must be an ant, or like fish and water, as it were appropriate parable likens the Law and Society, because where there is society there must be laws will be needed. Law and society are two sides of which are difficult to separate, because they will need each other and influence each other.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.