Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
261 pages
1 file
partisipasi perempuan dalam ranah politik di parlemen
Kafa`ah: Journal of Gender Studies, 2013
The title of this paper is about women's representation in parliament on islamic perspective. This discussion aims to look beyond the problem involvement of women in parliament, where the government sets the rules of 30% representation of women in parliament, then discuss in Islamic perspective. After conducting in-depth research paper and analysis, the authors concluded 30% representation of women in parliament is set formally in the constitution, while according to Islamic perspective, rule of 30% representation of women in parliament is not contrary to the principles of Islam as it adheres to equality between men and women in leadership issues for women are possessed quality and capability as a leader.
Suhartono, 2019
Abstrak Keterwakilan perempuan dalam partai politik turut menjadi sebuah permasalahan, apa yang dimaksudkan dengan keterwakilan perempuan itu sendiri tidak dibahas dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2008, sehingga harus ditinjau kembali dan dicari dalam perundangan lainnya. Pada Undang-Undang No 39 Tahun 1999 bahwasannya, keterwakilan wanita adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan jender. Sementara jika dipahami lebih lanjut, kata-kata pemberian pada makna keterwakilan perempuan seolah-olah menjelaskan bahwa hak-hak perempuan dalam politik hanyalah sebuah pemberian atau hadiah. Sehingga pergolakan terjadi agar undang-undang tersebut haruslah di verifikasi ulang dengan acuan keterwakilan perempuan bukanlah sebuah pemberian. Pada kenyataannya hingga saat ini Affirmative Action yang merupakan sebuah harapan agar perempuan mendapatkan setidaknya sesuai dengan ketentuan minimum 30 persen keikutsertaan pada setiap aktivitas publik dan politik, tampaknya belum mampu dipenuhi. Berbagai hambatan baik dari perspektif agama, budaya, sosial, bahkan pendidikan menjadi alasan tidak terpenuhinya kuota untuk para perempuan dapat aktif menyetarakan dan menyuarakan hak nya dengan kaum laki-laki baik dalam ranah lokal, nasional, hingga internasional. Abstract Womens's representation in political parties also becomes a problem, what is mean of women"s representation itself does not discussed in law No. 2 of 2008, so it must be reviewd and sought in other legislation. In law No. 39 of 1999, the representation of women is the provision of equal opportunities and positions for women carry out their roles in the executive, judical, legislative, and general elections towards justice and gender equality. Meanwhile, if understood further, the words given to the meaning of women's representation seem to explain that women's rights in politics are only a gift. So that theupheaval occurred so that the law must be re-verified with reference to women's In reality until now affirmative action which is a hope that women get at least in accordance with the minimum 30 percent participation requrement in every public and political activity, seems to be unable to be fulfilled. The various obstacles from borth religious, cultural, social, and even education perspektives are the reasons for not fulfilling quotas for women to actively equalize and voice their rights with men in the local, national and international domains.
2019
This article describes about the meaning of parliamentary women and gender, the role of women in political, women leader in Islamic perspective, and the urgency of political education for women. The meaning of gender which has not been appropriate impact to the discrimination of women, in the household, workplace, community, and the country. Even though, women and man have the same rights, even women become pillars that sustain the establishment of a state. From women born the future leader of nation. So, a women figure has proven to be very urgent in politics, whether she is actively or passively involved. All of which affect to the future of Indonesia’s political, in particular and the fate of nation and the country in general. With the representation of women in political, at least attitudes or things that are not possessed by man politicians, will be complemented and refined by woman politicians. They must work together, not just dropping each other.
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial
Keterwakilan perempuan di parlemen diharapkan dapat melahirkan kebijakan yang berpihak pada perempuan. Harapan besar tersebut juga diamanatkan pada anggota legislatif perempuan di DPRD Jawa Timur. Artikel ini mengangkat isu hukum, tentang keterwakilan perempuan anggota Legislatif dalam proses legislasi yang melahirkan kebijakan perlindungan perempuan dari tindak kekerasan. Untuk menjawab isu hukum tersebut digunakan metode penelitian hukum empiris dengan pendekatan socio legal studies. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di DPRD Jawa Timur menghasilkan kebijakan yang berpihak pada perempuan, yaitu melalui produk hukum yang memberikan perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan yang semakin meningkat di masa pandemi covid-19. Proses legislasi yang dilakukan oleh anggota legislatif perempuan dalam melahirkan kebijakan perlindungan perempuan tidak lepas dari hambatan budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat; keterbatasan anggaran; serta min...
Jurnal Enersia Publika: Energi, Sosial, dan Administrasi Publik, 2021
Hak perempuan Indonesia di bidang politik dan pemerintahan dituangkan dalam kebijakan kuota 30% perempuan untuk duduk di parlemen. Dalam Implementasi Kebijakan Kuota Perempuan di DPRD Kabupaten Sleman D.I.Yogyakarta ternyata kuota tersebut pada periode 2019-2024 tidak terpenuhi, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa kuota 30% perempuan di DPRD Kabupaten Sleman D.I.Yogyakarta tidak terpenuhi dan kendalakendala apa yang ditemui. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian di DPRD Kabupaten Sleman D.I.Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan kuota perempuan di DPRD Kabupaten Sleman D.I.Yogyakarta sudah berhasil cukup baik namun pada hasil untuk pemenuhan kuota 30% perempuan di kursi Dewan belum dapat terpenuhi. Hasil tersebut karena kurangnya kesadaran dari perempuan itu sendiri terhadap politik dalam menggunakan media kampanye untuk melakukan pendekatan dengan masyarakat dengan komunikasi retorika yang baik. Untuk kebutuhan penelitian berikutnya bagi yang berminat meneliti kebijakan kuota perempuan di parlemen, pada faktor yang paling dominan mempengaruhi anggota legislatif perempuan dalam pemenuhan kuota 30% yaitu kurangnya kesadaran dari perempuan itu sendiri terhadap politik dalam menggunakan media kampanye.
ABSTRACT The article examines the similarities and differences in terms of women representation in the parliaments of Indonesia and South Korea. With the methods of literature study, the author constructs the factors inhibiting women's involvement in politics in Indonesia and Korea as a member of the legislature. From 1996 to 2014, Indonesia has more women MPs ratio than Korea. Exceptions only occur in 2004, in which the ratio between women and men in Korea's national parliament surpassed Indonesia. In this article the author argues representation of women in parliament both in Indonesia and South Korea are very influenced by political culture and recruitment system by political party. Both countries apply a minimum quota of women as legislators, as one initiative helps bridging the gender ratio in parliament. However the two Asian countries have not yet succeeded in achieving these targets. Keywords: political representation, parliament, women representation
Perjuangan keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD), bukan tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik dianggap sebagai sesuatu yang penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, lingkungan sosial, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking, dan pengelolaan waktu.
Pasca reformasi tahun 1999, gerakan politik perempuan mulai bangkit lagi, beberapa agenda yang diusung misalnya dengan mendorong partai peserta pemilu untuk lebih memperhatikan kepentingan perempuan serta mendorong keterlibatan perempuan lebih banyak dalam partai politik dan lembaga legislatif. Peningkatan keterlibatan dan peran serta perempuan berpolitik di wilayah publik merupakan satu hal yang patut diapresiasi, namun demikian terdapat beberapa anggapan dari beberapa kalangan bahwa keterlibatan dan peran perempuan dalam politik sebagai anggota legislatif sesungguhnya bukan benar-benar representasi perempuan karena perempuan hanyalah sebagai pewaris dinasti politik yang diwariskan secara turun temurun dalam keluarga. Selain itu juga ada anggapan bahwa peran perempuan selama ini hanyalah sebagai boneka, yang di berada di bawah bayang-bayang laki-laki. Jika anggapan banyak kalangan tersebut benar tentu sangat memprihatinkan, mengingat peran dan keterlibatan perempuan dengan otonomi dan kebebasannya sangat dibutuhkan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini secara spesifik akan menjawab persoalan antara lain, pertama apakah peran perempuan dalam lembaga legislatif selama ini sudah benarbenar sesuai dengan otonomi dan kebebasan perempuan?. Kedua, bagaimanakah filsafat politik Hannah Arendt meninjau dan mengkritisi peran perempuan dalam lembaga legislatif tersebut?.
AL-DALIL: Jurnal Ilmu Sosial, Politik, dan Hukum
The political representation of women sticks out in the midst of domination and hegemony of patriarchal culture in various dimensions of life, especially in the political space. There is a kind of socio-political obstacle that forces women to double their capital and power, which must be spent more heavily and complicated than men when they enter politics. This study wants to see how far the role of women legislators in the NTT Provincial DPRD for the 2019-2024 period is in carrying Political parties and are in accordance with the interests of the categorization of women members of the legislature. The strategy for dividing positions for women is also quite diverse. Women have political hopes that are placed on increasing access power and opening up political opportunities to occupy strategic positions such as important positions or involvement in the decision-making process in political parties. The hope for increasing access is related to increasing the capacity of individual wome...
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Jurnal Ilmu Politik dan Pemerintahan
Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan, 2021
Jurnal Ilmiah Muqoddimah : Jurnal Ilmu Sosial, Politik, dan Humaniora
DIALEKTIKA KOMUNIKA: Jurnal Kajian Komunikasi dan Pembangunan Daerah
Kafa`ah: Journal of Gender Studies, 2012
PARAPOLITIKA: Journal of Politics and Democracy Studies
Jurnal Konstitusi
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial
Jurnal pemerintahan dan politik, 2022
Musãwa Jurnal Studi Gender dan Islam