Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
16 pages
1 file
The language has many functions, in ataranya as a means of self expression, communication tools, a tool of social control, and the interaction. The study of language tend to concentrate on its function as a tool for suffixed interaction cannot be released from the wearer, that is, the community. The school as a place of teaching language in fact is social language usage areas (societal domain) which has its own livery. This study examines the use of spoken language in the Association in the Group-anschool between students, teachers, and employees. The research focus is on a range of spoken language that has the meaning depends on context (contex depending).As for the linguistic aspects are examined is the manifestation of the principle of politeness, the principle of cooperation, interaction and conversation on the implikaturat school. This research uses qualitative design. The techniques used in data collection is the technique check out-Libat Ably (SLC), divariasi with the note field. The results of this study are: (1) Politeness can be manifested in the kind of acts representative said, expressive, komisif, and directive, (2) the principle of Politeness and the principle of cooperation can be manifested in implikatur conversation; (3) On the official topic of conversation with the situation, politeness is manifested with pematuhan on the principle of cooperation and the use of implikatur; (4) On the situation of the conversation with the topic is not official, the principle of cooperation (PK) take precedence over the principle of politeness (PS); (5) on the conversation between student-teacher, a distance of so- bad luck and social status is no longer a major consideration to convey a polite speech. Based on the research results presented recommendations to make politeness became one of material in language learning at school.
Politeness is not solely concerned the language proficiency but a form of multiple intelligence. In the reality of life is not a high IQ who became the only determinants ofsuccess alive. Many people who are cognitively smart but failed in life. On the contrary, many people who are cognitively average but a success in life. Theoretically, there are other factors which are thought to be the deciding one's success in life, among others, the ability to speak in a polite form of intelligence is linguistic, interpersonal, intercultural and personal. Because politeness is a form of intelligence, hence his acquisition should be through education, both in the institution of formal and non-formal. Children need to be educated to use polite language as the embodiment ofa good personal identity, in order to succeed in wading through life. This paper discusses the relationship between politeness and intelligence compounds. Some theory of politeness language (linguistic politeness theory) try combined with compound theory of intelligence (KM), which was conceived by Howard Gardner (1983). Gardner finds evidence that linguistic intelligence is one form of intelligence compound. In the perspective of theory of language, the Gardner's view can be realized in the form of politeness language. The theory is the theory that the new reatif in the field of psychology, relevant as Basic politeness in speaking
Pengajaran Bahasa Indonesia yang baik dan benar memang seperti mengajarkan seksologi, yang dulu ditabukan kini dianjurkan. Dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa berkarakter, yang berkontribusi signifikan untuk harmonisasi sosial, reintegrasi bangsa, dan kebanggaan nasional.
Journal of Japanese language education and linguistics, 2022
Bahasa Jepang adalah salah satu bahasa yang memiliki tingkatan kehalusan. Ragam bahasa keigo menjadi salah satu bukti bahwa orang Jepang sangat memerhatikan kehalusan dan kesantunan dalam berbahasa. Namun, kesantunan tentunya tidak hanya dilihat dari pemakaian honorifik atau semacamnya, melainkan dari terpenuhi atau tidaknya prinsip kesantunan dalam suatu tuturan. Contoh pematuhan kesantunan tersebut dapat dilihat di berbagai macam jenis tindak tutur, salah satunya adalah tindak tutur direktif. Jenis tuturan tersebut kerap melanggar kaidah kesantunan jika tidak diperhatikan dengan baik. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana karakteristik tuturan direktif yang memenuhi kesantunan dalam budaya masyarakat Jepang. Sumber data penelitian ini berasal dari siaran radio ENHYPEN All Night Nippon Kurosu (ANNX), yang dikumpulkan melalui metode simak dengan teknik rekam dan catat untuk kemudian dianalisis menggunakan metode padan ekstralingual. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa karakteristik tuturan direktif yang memenuhi kesantunan adalah tidak terkesan angkuh, memaksa, atau sombong; terdapat pilihan dalam tuturan; serta membuat mitra tutur merasa tenang.
ABSTRAK: Interaksi bisa terjadi secara langsung bertatap dengan mitra tutur ataupun via elektronik. Di era serba instan ini, bertuturpun juga terkesan instan . Tidak memikirkan santun atau tidaknya tuturan, dengan siapa mitra tuturnya, dan dimana interaksi berlangsung. Fenomena-fenomena kesantunan berbahasa perlu menjadi perhatian khusus, termasuk juga bahasa yang digunakan oleh media massa dan dalam interaksi menggunakan media sosial. Prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech mengungkapkan beberapa ciri tuturan yang bisa dikatakan santun. Berbahasa (bertutur) dapat dikatakan santun menurut Leech apabila, mengutamakan kearifan bahasa, mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, mengutamakan kecocokan pada orang lain,dan mengutarakan rasa simpati pada orang lain. Kesantunan bertutur menjadi identitas diri penutur dan mempermudah komunikasi. Oleh sebab itu, kesantunan berbahasa (bertutur) perlu diperhatikan.
Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingg kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama".
Kesopansantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Pandangan kesantunan dalam kajian pragmatik diuraikan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah Leech, Robin Lakoff, Bowl dan Levinson. Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahhatian (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur (Dewa Putu Wijana, 1996). Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Maksim-maksim tersebut menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan.
Jujur adalah kata yang digunakan untuk menyatakan sikap seseorang. Bila seseorang berhadapan dengan suatu atau fenomena maka orang itu akan memperoleh gambaran tentang sesuatu atau fenomena tersebut, dan jika orang itu menceritakan informasi tentang gambaran tersebut kepada orang lain tanpa ada perubahan (sesuai dengan realitasnya) maka sikap yang seperti itulah yang disebut dengan jujur. Hidup disiplin perlu ditanamkan sedini mungkin, sedangkan Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya termasuk melakukan pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya. Pendisiplinan adalah usaha usaha untuk menanamkan nilai ataupun pemaksaan agar subjek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah peraturan. Pendisiplinan bisa jadi menjadi istilah pengganti untuk hukuman ataupun instrumen hukuman dimana hal ini bisa dilakukan pada diri sendiri ataupun pada orang lain. Tingkah laku disiplin dilakukan karena mengikuti suatu komitmen. Disiplin bisa berhubungan dengan kejujuran, bisa juga tidak. Kejujuran juga diwariskan oleh genetika orang tuannya, terutama ketika anak masih dalam kandungan, secara psikologis dapat menetas pada anaknya. Keharmonisan orang tua didalam rumah akan sangat berpengaruh dalam membentuk watak dan kepribadian anak-anak pada umur perkembangannya. Ketika anak masih kecil, pantang orang tua bebohong kepada anaknya, karena kebohongan yang diarasakan oleh anak akan menimbulkan kegelisahan serta merusak tatanan psikologi seorang anak. Pada orang dewasa yang sudah bekerja, kejujuran dan kedisiplinan diterapkan melalui pelaksanaan sistem dimana peluang untuk berbuat tidak jujur dipersempit. Misalnya dengan pengawasan yang transparan. Betapapun orang jujur dapat berubah menjadi tidak jujur menakala peluang tidak jujur dan tidak disiplin terbuka tanpa pengawasan.
Suar Betang: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, 2018
Mantra meoli hadir sebagai satu paket pentas dalam kemasan ritual adat, yaitu ritual meoli. Ritual meoli merupakan ekspresi kesantunan pelakunya dalam mengutarakan maksud permintaan izin atau permintaan maaf kepada para sangia sebagai penguasa alam, ketika membuka lahan untuk bercocok tanam. Penelitian ini mengkaji nilai kesantunan dalam mantra meoli dengan pendekatan etnopuitika. Permasalahan yang diangkat yaitu bagaimana nilai kesantunan termuat dalam mantra meoli. Dengan menerapkan metode penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka. Dari hasil analisis diketahui bahwa nilai kesantunan dalam mantra meoli mewujud skala prioritas di mana yang diutamakan adalah penjunjungan adat, diikuti dengan permohonan maaf dengan menyebutkan seluruh sangia yang dituju, baru dipungkasi dengan pengutaraan maksud dan harapan sebagai inti pesan dari mantra meoli. Cara pengungkapan yang indah juga mendukung nilai kesantunan dalam mantra meoli.
Kesantunan dalam Tata Bahasa Tulisan b. Efektivitas Efektivitas kalimat adalah hemat memakai kata, frase, atau bentuk lain yang dianggap tidak perlu, akan tetapi bukan menghilangkan kata atau frase yang memperjelas kalimat. Menurut Arifin dan Tasai (2006:106), penghematan dapat dilakukan dengan beberapa kriteria, antara lain: 1. Menghilangkan pengulangan subyek -Pak Guru terlambat karena beliau terjebak macet. -Pak Guru terlambat karena terjebak macet. 2. Menghindari pemakaian superordinat pada hiponim kata -Seseorang telah menangkap burung Rajawali. -Seseorang telah menangkap Rajawali. 3. Menghindari penggunaan kesinoniman dalam satu kalimat -Cuma itu saja -Cuma itu atau itu saja 4. Tidak menjamakkan kata-kata yang berbentuk jamak -Para hadirin yang berbahagia. -Hadirin yang berbahagia. Kesantunan dalam Tata Bahasa Tulisan c. Kepaduan Pernyataan dalam sebuah kalimat tidak boleh terpecah-pecah penyampaiannya. -Kotoran itu saya sudah buang. -Kotoran itu sudah saya buang. d. Logis
RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya
This study aimed to describe and explain the propriety of speech act in academic interactions. This study includes the type of qualitative research using ethnography of communication design theory, speech act theory, and the theory of linguistic politeness. The research data consists of data conversations and field notes. Data collected through recording techniques, observation, interviews, and transcriptions. Data analysis was carried out through four main procedures, namely: data collection, data reduction, data presentation, and conclusions/verification. Based on data analysis, politeness of speech act are classified into four, namely: (1) civility in act assertively, (2) acts of civility in the directive, (3) civility in commissive act, and (4) civility in expressive acts.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya
International Journal of Language Education and Applied Linguistics, 2020
Kultum Ramadhan , 2022
Cakrawala Dini: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 2018
Jurnal Psikologi : Jurnal Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan, 2020