Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
5 pages
1 file
This article substantive describes The Theory of Speaking Codes from Gerry Philipsen. Briefly, these include background birth of the theory; the substance of Speaking Code Theory; shape/appearance of ethnography; criticism of the theory; and conclusion. The discussion showed that one of the five core theory is related to the arguments stated in the form of propositions, that " where there is a cultural difference, there will be found different speaking code". From the meaning of 'postulate referred to' in relation to a number of example case about the working Theory of Speaking Codes in reality daily life before that, this indicates that for Indonesia this theory can actually be a confirmation and practical guidance for each individual of an Indonesian ethnic community nation in cross-cultural communication in order to make harmonization. Abstrak Artikel ini secara substantif memaparkan Teori Kode-Kode Bicara dari Gerry Philipsen. Secara ringkas hal ini meliputi latar belakang lahirnya teori, substansi Teori Kode Berbicara; bentuk/penampilan etnografi; kritik terhadap teori; dan kesimpulan. Hasil pembahasan memperlihatkan salah satu dari lima inti teori itu yaitu terkait dengan dalil yang dinyatakannya dalam bentuk proposisi, bahwa " di mana ada suatu perbedaan budaya, di sana akan ditemukan kode berbicara yang berbeda pula ". Memetik makna dalil dimaksud dalam kaitannya dengan sejumlah contoh kasus tentang bekerjanya Teori Kode-Kode Berbicara dalam realitas kehidupan sehari-hari sebelumnya, maka ini menandakan bahwa bagi bangsa Indonesia teori ini sebenarnya dapat menjadi penegas dan petunjuk praktis bagi setiap individu dari suatu komunitas etnis bangsa Indonesia dalam berkomunikasi lintas budaya agar terwujudnya harmonisasi. Kata-kata kunci: kode bicara, etnografi, budaya
Rifin Sugiarto, 2020
Pada bab 8 dalam buku Teori Sosiologi Modern ini perhatiannya lebih dipusatkan pada tiga teori yang berhubungan yaitu teori pertukaran, teori pilihan rasional dan teori jaringan. Teori pilihan rasional membantu pengembangan teori pertukaran terutama kecenderungannya untuk mengasumsikan aktor rasional. Tetapi, sementara teori pertukaran masa kini terus-menerus menunjukkan pengaruh teori pilihan rasional, teori pertukaran itu sendiri telah dipengaruhi oleh aliran intelektual lain dan terpecah menjadi beberapa cabang yang menempuh arah perkembangan sendiri-sendiri. Jadi, teori pertukaran dan teori pilihan rasional masa kini jauh dari saling bertemu. Satu perbedaan mendasarnya adalah bahwa teoritisi pilihan rasional memusatkan perhatiannya pada proses pembuatan keputusan individual, sedangkan yang menjadi unit dasar analisis teoritisi pertukaran adalah hubungan sosial. Teori Pertukaran Kita mulai dengan mengikuti Molm dan Cook (1995; Cook dan Rice, 2001), yang meninjau sejarah perkembangan teori pertukaran, di mulai dengan akarnya di dalam behaviorisme. Behaviorisme Behaviorisme yang sangat terkenal dalam psikologi, berpengaruh langsung terhadap sosiologi perilaku (Bushell dan Burgess, 1969; Baldwin dan Baldwin 1986) dan berpengaruh tak langsung terutama terhadap teori pertukaran. Sosiologi perilaku memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang actor terhadap lingkungan dan dampak lingkungan terhadap perilaku actor.
Rifin Sugiarto, 2020
Sumber referensi: Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi (edisi 9), Penerbit Salemba Humanika, Jakarta Selatan, 2011, halaman 93-149
Munculnya negara-negara modern, yang disertai dengan kegiatan modernisasi dalam bidang sosial dan ekonomi, telah mengakibatkan meluasnya fungsi-fungsi yang harus dijalankan pemerintah-pemerintah bila mereka ingin tetap berkuasa. Fungsifungsi yang beranekaragam itu bisa dikelompokkan ke dalam tiga kategori: pemeliharaan wewenang atau kekuasaan yang sah,pengelolaan ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan barang dan jasa rakyatnya. Upaya pemeliharaan wewenang tidak hanya mengharuskan pemerintah untuk mampu mempertahankan diri dari serangan musuh dari luar, tetapi juga, yang lebih penting, mengharuskan pemerintah untuk membina keabsahan atau legitimasinya di kalangan masyarakat yang diperintahnya. Keabsahan suatu pemerintah hanya bisa diciptakan apabila dalam masyarakat politik itu terdapat kesepakatan mengenai landasan-landasan yang mendasari aturan main rejim (rejim adalah aturan main yang berlaku dalam suatu sistem politik) itu. Konsensus itu memerlukan adanya suatu ideologi, yaitu sekumpulan nilai-nilai yang hendak dicapai dan cara-cara untuk mencapainya, yang didukung secara luas dalam masyarakat. Ideologi itu harus bisa menciptakan rasa saling keterikatan atau kesetiaan paguyuban di kalangan anggota masyarakat. Ideologi seperti itu bisa ditumbuhkan melalui, antara lain, pendidikan kewarganegaraan. Untuk memelihara kewenangannya, baik dari ancaman dari dalam maupun dari luar, pemerintah tidak hanya memerlukan pembinaan keabsahan melalui ideologi, tetapi ia juga harus mampu mewujudkan yurisdiksinya di seluruh wilayah nasionalnya, melalui pemeliharaan jaringan komunikasi, penempatan satuan polisi, angkatan bersenjata dan unit-unit administratif lainnya. Pemerintah-pemerintah modern juga terlibat dalam pengaturan kehidupan ekonomi. Gagasan tentang kehidupan ekonomi yang diatur pemerintah bukan hanya dimiliki dan dijalankan oleh sistem ekonomi sosialis. Semakin besarnya perhatian pemerintah pada kegiatan-kegiatan peningkatan kesejahteraan sosial warganegara, misalnya, telah menyebabkan meningkatnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi masyarakat dimana saja di dunia, terutama dalam hal perencanaan arah pembangunan ekonomi dan dalam mengatur sektor-sektor yang strategis. Kegiatan-kegiatan ekonomi pemerintah itu juga dibarengi dengan peran pemerintah sebagai pemberi barang dan jasa bagi rakyatnya, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, pos dan telekomunikasi, pelayanan transportasi, pemadam kebakaran, penyediaan kebutuhan air dan listrik, pengaturan lalu lintas, pelestarian lingkungan, dan berbagai kegiatan lain.semua itu diperlukan bagi kelangsungan hidup masyarakat-masyarakat modern. Fungsi-fungsi yang begitu luas mengharuskan pemerintah untuk menciptakan suatu jaringan strukturstruktur yang bisa menjamin terlaksananya fungsi-fungsi itu secara efektif dan efi sien. Efektivitas dan efi
• Secara khusus strategi sering diartikan sebagai taktik atau siasat. Menurut Pierce dan Robinson (2000, p4) strategi adalah perhatian perusahaan tentang bagaimana, kapan dan dimana sebaiknya bersaing, melawan siapa dan untuk tujuan apa mereka bersaing. • Menurut Tjiptono, Fandy. (2002, p3) dalam bukunya istilah strategi berasal dari kata yunani strategeia (stratos = militer, dan ag = memimpin) yang artinya seni atau ilmu untuk menjadi seorang jenderal. Konsep ini relevan dengan situasi jaman dulu yang sering diwarnai perang, dimana jenderal dibutuhkan untuk memimpin satu angkatan perang agar dapat selalu memenangkan perang. Strategi juga bisa diartikan sebagai suatu rencana pembagian dan penggunaan kekuatan militer dan material pada daerah tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. • Menurut David, Fred R (2004, p15) strategi adalah cara untuk mencapai tujuan – tujuan jangka panjang dan merupakan tindakan yang menuntut keputusan manajemen puncak dan sumber daya perusahaan yang banyak untuk merealisasikannya. Strategi juga mempengaruhi kehidupan organisasi dalam jangka panjang paling tidak selama 5 tahun, oleh karena itu sifat strategi adalah berorientasi ke masa depan. • Strategi menurut Ohmae (2003, p4) adalah segala sesuatu yang menyangkut strategi bisnis dan tujuan dari perencanaan strategi adalah memungkinkan sebuah perusahaan untuk mendapatkan posisi yang lebih dari para pesaingnya. Dengan demikian strategi perusahaan menyatakan sebuah upaya untuk secara efisien meningkatkan kekuatan sebuah perusahaan lebih tinggi dari kekuatan pesaing.
Upaya memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan merupakan tantangan yang jawabannya tidak henti-hentinya dicari dalam studi pembangunan. Maka munculah suatu model yang dinamakan Redistribution with Growth (RWG) yang artinya pemerataan dan pertumbuhan. Model ini mempunyai strategi utama bernama " employment-oriented development ". Strategi ini pertama kali dikemukakan oleh singer (1972) dalam sebuah kertas kerja untuk misi lapangan kerja ILOke Kenya. Redistribution with Growth menggambarkan 4 pendekatan pokok yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan golongan miskin (Richard Jolly dalam Wie, 1989). Keempat pendekatan itu adalah : 1. Meningkatkan laju pertumbuhan GNP sampai tingkat maksimal dengan jalan meningkatkan tabungan dan mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien, yang manfaatnya dapat dinikmati oleh semua golongan masyarakat. 2. Mengalihkan investasi ke golongan miskin dalam bentuk pendidikan, menyediakan kredit, fasilitas-fasilitas umum dan sebagainya. 3. Mendistribusikan pendapatan atau konsumsi kepada golongan miskin melalui system fiscal atau melalui alokasi barang-barang konsumsi secara langsung. 4. Pengalihan harta atay tanah yang sudah ada kepada golongan-golongan miskin, misalnya land reform. Inti dari ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen yang berpendapatan rendah akan mendapatkan kesempatan meningkatkan pendapatan dan secara simulta menerima sumber ekonomi yang diperlukan. Fokus dari strategi ini mengarah pada penyediaan atau penciptaan lapangan pekerjaan secara langsung bagi masyarakat, sebagai alat untuk mendistribusikan pertumbuhan dan kesejahteraan yang dihasilkan oleh mesin ekonomi nasional. Namun, pendekatan ini pada akhirnya memang juga terbukti gagal, karena World Employment Program yang diperkenalkan oleh ILO lebih bersifat Comrehensive Employment Strategies dengan konsekuensi teknologi tinggi yang bersidat capital intensive. Sehingga hanya orang-orang yang berpendidikan dan berketerampilan yang dapat diserap oleh lapangan pekerjaan yang diciptakan (Amdt, 1989). Sementara mereka yang tidak berpendidikan dan berketerampilan yang jumlahnya 60% dari seluruh angkatan kerja, tetap berada diluar jangkauan distribusi kesejahteraan nasional. Pendekatatan " Pertumbuhan dengan Pemerataan " ini tidaklah banyak berbeda dengan pendekatan pertumbuhan lainnya yang dilakukan dalam perbaikan meskipun bersifat tambal sulam dengan memasukkan unsur pembangunan sosial. Masuknya unsur sosial dalam pembangunan, secara teoritis memang mudah dipahami tetapi dalam penerapannya sangat sulit. Dikarenakan masalah kemiskinan bukanlah sekedar masalah pendistributian barang dan jasa kepada kelompok tertentu. Tetapi terkait dengan kekuasaan dan niat politik yang pada titik lain akan bertemu dengan masalah ketidakadilan ataupun kesenjangan sosial.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Prodi Administrasi Publik Unhas, 2019