Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
4 pages
1 file
Pendapat Mengenai Putusan MK NO.39/PUU-XIV/2016
menyatakan penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang rincian " barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak " yang termuat dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN tersebut diartikan limitatif. Putusan Nomor 39/PUU-XIV/2016 merupakan hasil judicial review yang dimohonkan oleh 2 (dua) pihak Pemohon. Pemohon I selaku perorangan WNI dalam kedudukannya sebagai konsumen komoditas pangan dan Pemohon II selaku perorangan WNI dalam kedudukannya sebagai pedagang komoditas pangan dalam skala kecil pada pasar tradisonal. Berikut ini adalah bunyi dari Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN beserta Penjelasan Pasal 4A huruf b UU PPN : Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN Penjelasan Pasal 4A huruf b UU PPN
2019
124118007 Magister Ilmu Hukum Universitas Surabaya A. TEORI PENEGAKAN HUKUM PROGRESIF TERHADAP PUTUSAN 3435/PID.B/2016/PN SBY Shanty Dellyana dalam bukunya "Konsep Penegakan Hukum" menyatakan : Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut dipatuhi. Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin di taatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal. Dalam perkembangannya, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum yang sesungguhnya adalah hukum yang benar-benar ingin mewujudkan jati dirinya pada sebuah nilai keadilan yang sebenarnya, bukan hanya keadilan menurut peraturan peraturan perundang-undangan saja, tetapi lebih kepada bagaimana sebenarnya manusia itu berperilaku (behavoir). Berdasarkan teori ini maka pencarian keadilan tidak dapat ditemukan secara langsung melalui proses formalitas semata, tetapi melalui proses pencarian oleh para penegak hukum. Di Indonesia, proses pencarian keadilan oleh penegak hukum seringkali terkendala berbagai hal yang menghadangnya. Kendala itu justru bukan pada ranah hukum, tetapi lebih pada ranah politis, ranah interes, ranah etis dan ranah perilaku (behaviour), yang justru tidak sejalan dengan tujuan dari penegakan hukum itu sendiri. 1 Lebih lagi, kegagalan-kegagalan penegakkan hukum yang selama ini terjadi lebih disebabkan oleh kegagalan penyidik memahami dan mengembangkan proses penegakan hukum. Kasus yang dialami Tri Sulowati atau dikenal dengan Chin-Chin yang dilaporkan oleh (mantan) suaminya Gunawan Angka Widjaja karena melakukan penggelapan atau pencurian merupakan salah satu bentuk kekeliruan yang dilakukan aparat penegak hukum khususnya ditingkat penyidikan maupun penuntutan umum. Akhirnya, PN Surabaya dalam putusannya nomor 1 Ibid., h 9-10
NOVUM : JURNAL HUKUM, 2018
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menolak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PU-XIV/2016 dan menganalisis akibat hukum dari putusan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum yang digunakan berupa bahan hukum primer, sekunder, dan bahan non-hukum. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi telah menjalankan kedudukannya sebagai negative legislator yang hanya sebagai penguji norma peraturan perundang-undangan. Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan suatu norma dalam undang-undang konstitusional bersyarat ataupun inkonstitusional bersyarat yang mempersyaratkan pemaknaan tertentu terhadap suatu norma dalam undang-undang untuk dapat dikatakan konstitusional, namun Mahkamah Konstitusi dituntut untuk tidak boleh masuk wilayah kebijakan hukum terbuka pembuat undang-undang. Putusan tersebut juga menimbulkan akibat hukum, Putusan yang dihasilkan oleh mahkamah konstitusi bersifat final, tidak memiliki upaya hukum untuk ditinnjau kembali. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengikat pihak-pihak berperkara (interpartes), tetapi juga mengikat dan/atau ditujukan bagi semua warga negara, lembaga/pejabat negara dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia (erga omnes).
Jurnal Selat
Melalui Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memberikan perluasan terhadap sebuah norma undang-undang atau membuat norma baru, padahal norma yang diuji ini berkaitan dengan keberkahan bangsa ini, yaitu perzinahan. Karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dapat atau tidaknya Mahkamah Konstitusi membentuk norma baru dalam perkara pengujian undang-undang. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan sosiologis, pendekatan sejarah, pendekatan konsep dan pendekatan perbandingan. Mahkamah Konstitusi dapat membentuk norma baru di dalam Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 dengan beberapa alasan, yaitu adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 yang membatalkan pasal perihal larangan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk norma baru, politik hukum kekuasan kehakiman di Indonesia, kebutuhan hukum di dalam masyarakat, dan praktik yang terjadi...
Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU 42/2009 berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum," Dengan adanya putusan 39/PUU-XIV/2016 ini, dampaknya adalah terjadi kekosongan hukum karena norma yang mengatur jenis-jenis barang kebutuhan pokok itu baru saja dibatalkan.
2019
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang dengan Nomor Putusan No.39/PID.SUS-TPK /2018/PN.KPG menjatuhkan putusan sela setelah pemeriksaan pokok perkara. Permasalahan penulisan ialah bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan sela pada perkara tindak pidana korupsi setelah pemeriksaan pokok perkara. Hasil pembahasan menunjukan bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan sela terhadap perkara tindak pidana korupsi setelah pemeriksaan pokok perkara ialah kebutuhan praktek peradilan, kewenangan Hakim atas jabatan hakim, dasar pertimbangan hakim atas nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi terdakwa korupsi, dasar pertimbangan hakim dengan metode penemuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dasar pertimbangan hakim atas aspek filosofis, yuridis dan sosiologis. Saran yang diberikan oleh penulis ialah penuntut umum harus mengali dan mengikuti perkembangan hukum un...
Mimbar Hukum, 2013
This article discusses the Constitutional Court Judgment No. 36/PUU-X/2012. In this judgment, the majority of the Justices decided that the 1945 Constitution requires the State to exercise direct control over the upstream oil and gas activities. We will criticise the Justices’ deliberation that underlies the decision. The Court failed to shed light on questions pertaining to the legal rationale for ‘five activities’ doctrine that form the framework of ‘State control’ per Article 33 (3) of the Constitution and to the procedures in determining the priority ranking. In addition, the majority Justices are deemed to have left the question of whether the State is able to manage oil and gas industry unanswered. We will also describe how this judgment might result in the declining interest of foreign investors to invest in Indonesia, particularly inthe field of exploration and exploitation of natural resources. Artikel ini membahas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012. Dalam putu...
Yurisprudentia: Jurnal Hukum Ekonomi
Jurnal Yuridis, 2019
YUSTISIA MERDEKA : Jurnal Ilmiah Hukum, 2019
IBLAM Law Review, 2023
Jurnal Yustisiabel
Jurnal Konstitusi