Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
10 pages
1 file
biografi seorang tokoh feminisme di era modern yaitu Fatimah Mernissi yang berasal dari Marocco.
Cara terbaik memahami karakter dan pemikiran seseorang adalah melalui otobiografi maupun tulisan yang bersangkutan. Untuk mengetahui biografi Fatimah Mernissi tidaklah sulit karena dalam beberapa karangannya ia dengan jelas telah menceritakan dan mengenalkan kehidupannya, bahkan sejak kanakkanak hingga dewasa. Fatimah Mernissi lahir di sebuah Harem pada tahun 1940 di Fez, salah satu wilayah di Maroko. Masa kanak-kanak Mernissi dilalui bersamaan dengan situasi kekacauan yang terjadi di Maroko akibat seringnya pertempuran antara pasukan Kristen Spanyol dan Prancis. Mernissi menerima pendidikan pertama secara tidak formal dari neneknya, Lalla Yasmina. Yasmina banyak memberikan pelajaran tentang sejarah Islam, termasuk kisah Nabi Muhammad dan kondisi-kondisi perempuan sebelum Islam. Ajaran dari neneknya itulah yang kemudian mengarahkannya pada fokus kajiannya, yaitu tentang perempuan. Dalam bukunya ia mengatakan : "Throughout my childhood I had a very ambivalent relationship with the Koran. It was taught to us in a Koranic School in a particularly ferocious manner. But to my childish mind only the highly fanciful Islam of my illiterate grandmother , Lai la Yasmina, opened tfye door for me to a poetic religion."1 Yang artinya adalah "Selama masa kanak-kanak, saya memiliki hubungan perasaan yang bertentangan dengan al-Qur'an, di sekolah al-Qur'an kami diajar dengan cara yang keras. Namun bagi pikiran kanak-kanak saya, hanya keindahan rekaan al-Qur'an versi nenek saya yang buta huruf, Lalla Yasmina, yang telah membuka pintu menuju sebuah agama yang puitis". Adapun pendidikan formalnya, diterima Mernissi di sebuah sekolah al-Qur'an yang didirikan oleh kelompok nasionalis sejak umur tiga tahun. Ketika itu pula Mernissi kecil mulai menghafal al-Qur'an. Pendidikan tingkat menengahnya diselesaikan di sekolah khusus perempuan yang didanai oleh protektorat Perancis.
The cultural perspective put women in their own space that 'specialize' them towards the public area. Domestic area as the very limited space becomes the place that is considered as the 'destiny' of the women in reason of culture which frequently is based upon the religion's arguments that have a misogynist tendency. Fatimah Mernissi as one of the Moslem's feminists which also is a social observer tried to make a different understanding concerning in the hadiths as the religion's arguments which considered by her discredit women in the social environment. Women have their rights to contribute in the public level as well as men therefore, Mernissi rejects the acts that prevent the appearance of the women in the public level and push them to stay in the domestic space. Abstrak Perspektif budaya telah meletakkan perempuan dalam ruang lingkup mereka sendiri yang 'terspesialisasi' dari ruang publik. Ranah domestik sebagai ruang lingkup yang sangat terbatas menjadi tempat yang dianggap sebagai 'trah' (kodrat) perempuan oleh sebab budaya yang tak jarang berpangkal pada dalil-dalil agama yang bersifat misoginis. Fatimah Mernissi sebagai salah satu feminis muslim yang juga pemerhati lingkungan social mencoba membuat pemahaman tersendiri menyangkut hadits-hadits sebagai dalil agama yang dinilainya mendiskreditkan perempuan dalam tataran sosial. Perempuan memiliki hak-hak untuk turut berperan dalam ranah public sebagaimana halnya laki-laki, maka dari itu Mernissi menentang sikap-sikap yang menghalangi tampilnya perempuan dalam ruang public dan menekan perempuan untuk diam dalam ruang domestik.
Aku lahir di tengah di tengah situasi kacau, karena kata ayahku, kaum Kristen dan perempuan melanggar hudud (batas-batas suci) (Fatima Mernissi, Perempuan-perempuan Harem, 2008) Apakah batas-batas (hudud)? Batas pertama yang dikenal Fatima Mernissi adalah dinding-dinding di dalam harem yang memisahkan satu ruang dengan lainnya. Batas kedua yang dilihatnya adalah dinding harem yang menghubungkan dengan dunia dalam dan luar. Batas ketiga yang didengarnya adalah peraturan suci yang membedakan anak perempuan dan laki-laki. Batas keempat yang dilihatnya melalui seragam tentara-tentara Spanyol/Prancis yang membelah Maroko menjadi dua. Mereka adalah representasi Barat yang menjajah –Baratnya orang Kristen 2. Namun demikian, letak geografis Maroko yang berada di Afrika Utara, yang dipandang dari semenanjung Arab terletak di barat yang jauh, makanya disebut maghribi al-aqsa 3. Batas-batas itu dalam bahasa Arab disebut hudud (jamak dari hadd yang artinya batas), yang secara etimologis berarti larangan dan secara terminologis berarti hukuman dari Allah. Batas-batas itu dijaga oleh sebuah otoritas yang mengeluarkan perijinan, apakah seseorang boleh atau tidak keluar dari batas dan memasuki batas yang lain. Perang, kekacauan terjadi ketika batas-batas itu dilanggar. Pada masa Mernisi kanak-kanak situasi Maroko sedang kacau, menurut ayahnya, kekacauan itu terjadi karena batas-batas suci tidak dihormati oleh kaum kristen dan perempuan 4 Batas-batas yang dialami oleh Mernissi itu mengingatkan kita pada pengalaman Kartini di Jawa menghadapi batas-batas di dalam 'harem' kadipaten, dan kemudian mengalami pemingitan di dalam kamar pribadinya sesudah ia mengalami akil baliq (menstruasi). Meski keduanya terpisah jarak waktu hampir seabad lamanya, namun ada garis yang merentangkan pada keduanya, yakni batas-batas. Betapa menarik memaknai batas-batas bagi perempuan, hingga membimbing Mernissi untuk melakukan pencarian akademik, untuk menemukan di mana batas-batas itu. Tulisan ini akan mengupas pemikiran Mernissi yang ia ungkapkan dalam The Veil and The Male Elite, tetapi akan dilengkapi dengan tulisan-tulisannya yang lain untuk
Jurnal Studi Agama, 2018
Mernissi has tried to dismantle the building of interpretations of classical scholars, She tried to dismantle injustice feminism through criticism of the hadith about women's leadership, which according to her must be examined again in terms of asbab al-nuzul and historically why hadith or verse came down. As a sociologist, Mernissi did not only approach textual texts in conducting her studies. However, religious texts must be studied from a historical-sociological approach. This is to find the significance of meaning, if it is related to the conditions of the times and places. The hermeneutic approach, used by Mernissi, is to criticize the verses of the Qur'an and misogyny hadiths. She reveals the historical background to the following hadiths had misogyny about the quality of the narrators to find the true meaning of the text. Related to women being head of state according to Mernissi in essence, and what is a problem according to Mernissi is not the problem of men and wom...
Fatimah Mernissi is a Muslim woman born and raised in a harem environment. Constrained with large walls and strict guarding. So that Fatimah and other female members in the harem were strictly prohibited from interacting with the outside world. Plus, some statements about women he got in school, which he said were an "insult" to women. This is what made the female members, especially Fatimah herself, want to fight for freedom against women. There are no more restrictions and oppression of women. So Fatimah initiated a "Feminism" movement, with the aim of reviving women's ranks. Fatimah also made some criticisms of the Hadith, which according to her lacked respect for the position and role of women. Fatimah also confirmed that "Feminism" is not taking ideas from the West, but Islam also has its own concept regarding this matter.
2018
Hasil penelitian ini yaitu; Pertama, hakekat pemikiran feminisme Simone de Beauvoir dan Fatima Mernissi adalah memperjuangkan hak-hak perempuan yang selama ini tersubordinasi dari laki-laki. Simone de Beauvoir menjelaskan beberapa fakta sejarah dan akibat perkembangan kebudayaan yang kemudian memunculkan mitos-mitos tentang keinferioran perempuan. Sedangkan Fatima Mernissi mengkritik hadis-hadis misogini yang menjadi penyebab tersubordinasinya perempuan, kemudian hendak membantahnya dengan mengaitkan beberapa penjelasan sejarah baik dari al-Qur’an, hadis maupun sumber lainnya. Kedua, Dasar pemikiran Simone de Beauvoir adalah eksistensialisme, dengan mempertanyakan tentang eksistensi perempuan yang selama ini tersubordinasi oleh laki-laki. Sedangkan pemikiran Fatima Mernissi didasarkan oleh al-Qur’an dan hadis dengan menguak beberapa sejarah tentang kedudukan perempuan dalam berbagai aspek. Ketiga, Simone de Beauvoir dan Fatima Mernissi memberikan pengaruh dan kontribusi yang besar d...
Buletin Al-Turas, 2019
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap narasi keindonesiaan sebagai respon dari gerakan nasionalisme Indonesia di kalangan keturunan Hadrami yang ditawarkan dalam naskah drama Fatimah (1938). Fatimah merupakan naskah drama pesanan yang ditulis untuk menyemarakkan kongres Persatuan Arab Indonesia (PAI) ketiga di Semarang pada tahun 1938. Fatimah kerap disebut sebagai salah satu bukti keterlibatan etnis Hadrami dalam menyongsong lahirnya negara Indonesia dan menjadi bagian penting dari PAI. Penelitian ini menggunakan metode analisis tekstual dengan sudut pandang kajian post-kolonial dalam kerangka konsep nasionalisme sebagai sense of belonging dari Anderson (1991). Hasil analisis menunjukkan bahwa drama Fatimah (1938) merupakan salah satu teks sastra yang turut menyuarakan gagasan keindonesiaan di kalangan keturunan Hadrami. Keindonesiaan sebagai sense of belonging mewujud dalam gagasan Indonesian Dream dan juga kritik terhadap kemapanan yang dimaknai sebagai bentuk perlawanan ter...
Abstrak Tulisan ini membahas tentang persinggungan Arab Islam dengan kolonialisme melahirkan berbagai respon di kalangan intelektual Islam baik yang bersifat defensive maupun yang akomodatif. Sikap akomodatif dengan berbagai variasinya, menjadi salah satu respon yang diambil olek beberapa intelektual Islam yang di satu sisi mengakomodir produk-produk intelektual modernitas, namun di sisi lain akomodasi tersebut tetap berpijak pada tradisi Islam. Salah satu tokoh Afrika yang mengambil posisi akomodatif tersebut adalah Fatima Mernissi, seorang feminis dari Maroko, yang concern terhadap persoalan perempuan. Berbasi pada kegelisahannya terhadap Realitas social perempuan dalam Islam yang banyak mengalami subordinasi dan diskriminasi di tengah kuatnya budaya patriarkis di dalam masyarakat Islam, ia berupaya mereinterpretasi teks-teks agama yang berbicara tentang perempuan. Dalam interpretasinya, ia berupaya mengintegrasikan tradisi Islam dengan pemikiran Barat terutama yang terkait dengan teori-teori feminism. Islam, menurutnya, sangat apresiatif dengan eksistensi perempuan yang dianggap memiliki posisi yang setara baik dalam bidang agama maupun social berbasis pada nilai kesetaraan manusia universal yang banyak ditemukan dalam teks-teks agama. Agensi perempuan terkait dengan kemmapuan untuk melakukan determinasi dan independensi baik dalam hal relasi seksual maupun social, juga ditampilkan secara historis dalam sejarah tradisi kenabian. Selain itu, perempuan juga dipandang memiliki seksualitas yang aktif yang bersifat produktif dan kontributif bagai penciptaan narasi sejarah masyarakat Islam yang lebih baik, sebagaimana tercermin dalam tradisi kenabian. This paper is study about congregate Islamic Arabia with colonialism which instinctive many response among Islamic scholars defensively or accommodative. The accommodative response within variants ,one is accommodate the product of modern scholars , other side even accommodative but still carry on the Islamic tradition. One of the African scholar who is accommodative is Fatima Mernissi. She is feminist from maroco who is concern on women studies. Based on her worry about social reality of women in Islam whom have been getting sub ordinance and discrimination in the patriarchy culture stronger in Islamic society, she struggle by interpretation of text of religion which is center of attention on women. In her interpretation, she tried to integrate Islamic tradition and feminism theories. Islam, according to her, is very appreciate with women existence which is imagined have equal position in religion and social base on value of equal universal humanity in which discovery in the text of religion. Agency of women relate to ability in making determinate and independence in the social and sexual relation that verified in the history of prophet.
Kesetaraan antara wanita dan laki-laki merupakan hal yang paling sering menjadi perdebatan dikalangan umat, terlebih lagi bila berbicara masalah wanita dan kepemimpinannya. Dalam al-Bukhari diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang berbunyi: "Barang siapa menyerahkan urusan pada wanita, maka mereka tidak akan mendapatkan kemakmuran".1 Hadis ini menuai perdebatan dikalangan feminis islam, salah satunya adalah Fatimah Mernessi. Menanggapi isu tersebut secara rasional, langkah awal yang dilakukan Mernissi adalah melihat bagaimana isu tersebut jika dilihat dalam sudut pandang al-Qur'an. Kemudian mencari hadis manakah yang telah melarang perempuan untuk menjadi pemimpin dan melakukan kritik terhadapnya baik kritik sanad maupun matan, dengan melihat siapa yang mentransmisikan hadis tersebut dan menyelediki konteks histories ketika Nabi menyampaikan hadis tersebut, juga konteks historis ketika hadis tersebut dikemukakan.2 Sebagai seorang muslim memang dituntut untuk kritis dalam menyelesaikan suatu hukum atau permasalahan oleh sebeb itu maka akan dikaji apakah hadis ini memang benar sesuai bantahan Fatimah Mernisiis atau ada hal lain yang mendorong Fatimah Mernissi menolak sepenuhnya hadis ini sebab terkesan melarang wanita menjadi seorang pemimpin. Mengenal Fatimah mernessi Fatimah Mernissi adalah seorang Profesor dalam bidang sosiologi di Universitas Muhammad V Rabat. Dialahir di salah satu harem di Kota Fez Marokko Utara pada tahun 1940-an. Tepatnya kurang lebih 5.000 km dari arah Makkah (Saudi Arabia) dan kira-kira 1.000 km dari arah sebelah timur kota madrid (Spayol).
2017
Di era globalisasi saat ini kajian gender bukanlah suatu yang asing lagi, mengingat begitu banyaknya wacana yang berkembang akan arus utama gender dalam segala aspek kehidupan terutama pendidikan. Pendidikan yang merupakan sebuah sarana yang strategis dalam melakukan perubahan khususnya pendidikan Islam diharapkan mampu menjawab tantangan ini, dimana adanya wacana bahwa agama Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi budaya patriarkhi, yang memunculkan para aktifis perempuan dalam Islam salah satunya fatima mernissi yang berusaha untuk mengintreprestasi adanya bias gender dalam kitab suci. Dalam hal ini perlu adanya kajian ulang ulang untuk mensinkronisasi pendidikan Islam dan pemikiran fatima mernissi tentang kesetaraan perempuan dalam Islam. Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti merumuskan masalah sebagaimana berikut: Bagaimana Gender Dalam Persfektip Pendidikan Islam Studi Kritis atas Pemikiran Fatima Mernissi? Dan tunjuan dari penelitian ini adalah Mendeskripsikan G...
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Melisa Rahman, 2021
JURNAL DIALOKA: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Dakwah dan Komunikasi Islam
Jurnal An Nur, 2019
Islamica: Jurnal Studi Keislaman, 2019
‘Abqari Journal
Tanzil: Jurnal Studi Al-Quran, 2022
biografi dan pemikiran hadis kh ihsan jampes