Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
2015, cakrawala
…
27 pages
1 file
ABSTRAK Pemikiran kenegaraan dalam Islam merupakan salah satu fenomena yang menarik untuk dikaji. Oleh karena itu banyak ulama yang mengulas danmenulis tentang tema tersebut. Dalam tulisan ini, dikupas tentang pemikiran Syaikh Mahmud Syaltut tentang kenegaraan. Beliau dikenal sebagai ulama moderat dan memiliki sikap tengah dalam konteks kenegaraan. Hal ini dibuktikan bahwa pemikiran beliau sejalan dengan konsep negara modern yang selama ini mengakar dalam tradisi negara barat (Nation-state). Walapun demikian Syaltut memberikan catatan bahwa sekat-sekat negara tidak membatasi persaudaraan kaum muslim dunia.
The Concept of Sunna in the Pespective of Muhammad Syahrur: A New Reading on Hadith Critism. The development of hadits critisism dircourses has been an interesting issue in Islamic studies. Since the early period of Islam, scholars was constructed and developed methodology that would become the standard for qualification of hadith applicable in the succeeding generation. However, in this contemporary period, studies on Hadith is very contrast to the early period like what Muhammad Syahrur, a prominent Syirians scholar has done. According to Syahrur, the Prophet's saying and deeds are the product of history rather than revelation. He claimed that whatever hadiths that are contradictory to al-Qur'an must be rejected, although related to religious observance or moral conduct. In this article, the author attemps to explore the controversial thought of Muhammad Syahrur. Kata Kunci: kritik, hadis Pendahuluan Membincangkan konsep sunnah sudah biasa ditemukan dalam literatur ilmu-ilmu hadis. Namun, berbeda ketika konsep sunnah tersebut dilihat dari perspektif Muhammad Syahrur yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama secara runtut. Ia adalah seorang profesor yang pakar dalam bidang Teknik Sipil bagian pertanahan dan geologi. Akan tetapi ia banyak menulis buku dan artikel mengenai kajian-kajian keislaman. Pandangannya yang tajam dengan pisau analisis tata bahasa yang kuat—tidak ada kata yang sinonim ('adam al-tarâduf)—dan didukung pula dengan kemampuannya secara individu, menjadikan setiap tulisannya layak dibaca dan dikritisi. Wacana pemikiran yang ia lontarkan dalam hal memahami teks al-Qur'an dan hadis sungguh menggem-parkan, sebab sangat bertolak belakang dengan pandangan jumhur ulama klasik dan kontemporer. Perspektifnya yang tidak lazim itu mengundang sejumlah respon yang
Tiara, 2023
Al-Syatibi adalah bahwa ia merupakan filosof hukum Islam dari Spanyol yang bermazhab Maliki. Pendidikan dan pengaruhnya mencakup tata bahasa Arab, fikih, filsafat, dan tasawuf. Al-Syatibi terkenal karena pemikiran radikalnya yang membuatnya dianggap oposisi oleh para fuqaha mayoritas yang pro kekuasaan. Kontroversi yang dihadapi melibatkan isu tasawuf, fikih, dan penolakannya terhadap praktik politis dalam ibadah. Pengertian dan konsep maslahat yang diajukan Al-Syatibi melibatkan pemahaman mendalam tentang manfaat (maslahah) dalam hukum Islam. Dia membedakan antara maslahah dharuriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah, serta memperkenalkan konsep maslahah mursalah sebagai teknik penetapan hukum Islam. Al-Syatibi menegaskan bahwa penggunaan maslahah mursalah sebagai dalil hukum harus memenuhi syarat kejelasan, kemaslahatan yang logis, dan relevansi dengan kebutuhan dharuriyyah dan hajiyyah. Dalam epistemologi hukum Islam yang dibangun oleh Al-Syatibi, dia menekankan pendekatan induktif dengan memadukan berbagai sumber seperti Qur'an, sunnah, ijma', qiyas, dan bukti-bukti kontekstual. Al-Syatibi merinci bahwa kepastian dalam prinsip-prinsip epistemologisnya harus bersumber dari premis yang jelas dan pasti, baik rasional, konvensional, atau wahyu. Selain itu, dia menunjukkan kekritisan terhadap ketidakpastian hadis ahad dan menekankan bahwa penelitian mendalam terhadap seluruh dalil dalam nas dapat memberikan kepastian dalam penentuan hukum. Secara keseluruhan, Al-Syatibi memberikan kontribusi signifikan terhadap pemikiran hukum Islam dengan mengintegrasikan aspek filosofis, epistemologis, dan konseptual dalam pemahaman maslahat dan metodologi usul fikih.
Al-Dhikra: Jurnal Studi Quran dan Hadis, 2023
The Sunnah of the Prophet SAW. is one of the sources of law in Islam; more precisely, it is in the second position as a source of direction. One of the aggressive figures in reconstructing the sunnah concept is Muhammad Syahrur. Syahrur is a Muslim thinker who grew up in detailed scientific studies and had never studied Islamic science intensively. It offers a contemporary reading of the sources of Islamic law, including the Sunnah. In his view, understanding religious texts is unnecessary; it is always required to prioritize the interpretation of traditional ulama. Because it should be interpreted according to its time. He then boldly rejected the revelation of the Sunnah and its capacity as a source of law. This research model is a complete literature study with primary data is his work; Al-Sunnah al-Rasuliyyah wa al-Sunnah al-Nabawwiyah Ru'yah Jadidah. Through a descriptive analysis approach, this research reveals the concept of the Sunnah of Syahrur. Syahrur defines the Sunnah as a method (way, manhaj) to apply the legal provisions of the Umm al-Kitab without outside the limits set by Allah in hudud matters. The results of this study indicate that before discussing the Sunnah in-depth, Syahrur first describes some of the terminologies in the Qur'an that are associated with the Sunnah in the Qur'an. Explain obedience. This discussion aims to provide a correct understanding of the concept of Sunnah. Because the concept of Sunnah that must be adhered to will be clearly understood if the terminology has been understood. Three terminologies in the Qur'an go with the "sunnah" in explaining obedience: al-iṭṭibā', alqudwah, and al-uswah. Departing from the distinction between the three terms above, Syahrur formulated a new understanding of the Sunnah: tends to be synonymous with ijtihad itself, not a source of law in ijtihad.
Tulisan ini merupakan kajian terhadap penelusuran konsep Maqasid Syariah. Maqasid sendiri merupakan tujuan yang ingin dicapai melalui penerapan Agama dengan basis memaksimalkan maslahah dan meminimalisir mafsadah. Penelusuran konsep Maqasid merupakan hal yang esensial dalam perkembangan ilmu pengetahuan, namun penelusuran konsep tersebut bukan perkara mudah, pasalnya ia muncul belakangan. Maqasid sebagai mana kita kenal sekarang, tentu melawati proses dan perdebatan berabad-abad lamanya. Para fakih revisionis mencoba memetakan awal perkembangan pada 3 fase, yaitu Sahabat Nabi, mazhab fikih dan kontemporer.
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman , 2009
Syatibi's Perspective of Maqasid al-Syari'ah: The substance of maqasid al-syariah is maslahah (welfare, benefit and utility). This means that the purpose of the Islamic law is to realize the benefit and protect human being from adventageus effects and social problems. A well-known Moslem scholar in discussing maqasid al-syariah is al-Syatibi. He says that the unification of Islamic law indicates the unification of its origin and its aim. Therefore, al-Syatibi develops the concept of the intention of legislation based on his basic thought that the final aim of the institutionalization of Islamic law is the benefit of human being. The renewal of Islamic law is relevant with the concept of al-Syatibi's intention of legislation. This is because the substance of the intention of legislation is to realize the benefit of human being and guarantee the Moslem's happiness. Pendahuluan Seorang mujtahid secara imperative harus memahami intensi legislasi (maqasid al-syari'ah) dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam dan untuk menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak termaktub secara eksplist dalam nas (al-Qur'an dan Sunnah). Lebih dari itu tujuannya adalah untuk mengetahui apakah suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan suatu ketentuan hukum, atau karena adanya perubahan struktur sosial, atau hukum tersebut tidak dapat diterapkan lagi. Intensi legislasi menjadi kunci lagi keberhasilan seorang mujtahid dalam menetapkan ketentuan hukum terhadap berbagai persoalan hukum yang terjadi dalam masyarakat. Tentu yang dimaksud dengan persoalan hukum di sini adalah hukum yang berkenaan dengna bidang mu'amalah dan adat (tradisi lokal) dan tidak menyentuh persoalan hukum yang berkaitan dengan ibadah. Novialdi, Maqasid al-Syari'ah dalam Perspektif al-Syatibi 129 Substansi kajian intensi legislasi (maqasid al-syari'ah) adalah maşlahah (wefare, benefit dan utility). Artinya, tujuan pokok dan utama pelembagaan hukum dalam Islam adalah untuk merealisir kemaslahatan dan menghindarkan manusia dari berbagai macam kesulitan dan kemudaratan. Untuk itu, Allah SWT. dalam mentransformulasikan hukum Islam (dalam konteks syari'ah) kepada makhluknya mengandung maksud-maksud, motif-motif dan tujuan-tujuan sebagai sasaran akhir yang ingin dicapai, yang kesemuanya itu adalah untuk kepentingna dan kemaslahatan makhluknya baik di dunia maupun di akhirat. Salah seorang ulama yang terkenal dalam pembahasan masalah intensif legislasi (maqâsid al-syari'ah) ini adalah al-Syâtibî) yang berpendapat bahwa kesatuan-kesatuan hukum Islam berarti kesatuan dalam asal muasalnya, lebih-lebih dalam maksudnya. Untuk itu, al-Syâtibî mengembangkan konsep intensi legislasi dengan pijakan bahwa tujuan akhir pelembagaan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. 1 Untuk itu tulisan singkat ini akan mencoba mengelaborasi lebih jauh tentang bagaimana substansi intensi legislasi (maqasid al-sayari'ah) dan begaimana keterkeitannya dengan pembaharuan metodologi hukum dalam Islam.
Islam means safe and harmony. The coming of Islam brings safe and harmony towards human kind with legal justice that in line with social needs. In order to ensure the safe and harmony to the community, Islam has established two form of relationships which are the relationship among people with the Creator and the relationship among people themselves. The relationship within people should be based on good deed and bring benefit among them. In this situation, they are neither have a special place to Allah nor have to be treated well except who are obedient and pious. Thus, all human kind is equal to Him and entitled equal rights. Neither oppression nor cruel behaviour is permitted in the relationship among human kind. More over, the same things happened in the relationship with Allah which was based on the benefit of people on the eye of the religion (objective of shariah). This yardstick has put all those value of safe and harmony under Islamic spirit of views for the benefit of all people. Thus, no disagreement and confusion took place in understanding the accurate merit of safe and harmony towards people as it meet the objectives of shariah. Therefore, no wonder both of the relationships that are built between people and Allah as well as between people themselves have manage to benefit humankind in the way of safety and harmony. In this case, Islamic law as the law of samawi (revealed law) become the only law that manage to ensure the justice towards people in
Al Mumtaz: Jurnal Pendidikan dan Sosial Keagamaan, 2022
The Ulama decreed that the law of alms was sunnah. Basically alms can be given to and anywhere without being bound by time and place. But there are certain times and places that are preferred, which are more recommended during the month of Ramadan. The most important asset to be distributed is the advantages of the business and property for daily needs. One of the hadiths which explain alms is "If the child of Adam dies, break his charity except for three things, namely sodaqoh jariyah, teaching and disseminating the knowledge he uses for others, and children (both men and women) who pray for him". (HR. Muslim). If the item has a joint status or someone else's status, then the object is not valid for giving because the exempted item must be based on the sincerity and willingness of the owner. Circumcised for people who have debt not to give alms. It's better for him to pay the debt. According to the Hanafiyah cleric, almsgiving with illicit property Qath'i, such as carcasses or the results used to build a mosque with the hope of getting a reward or being halal is kufr because asking halal from an immorality is kufr. In Islam alms has a broad meaning not only in the form of material but includes all good both physical and non-physical. Alms has a high social value. People who give charity sincerely not only get merit but also have good social relations.
Seseorang yang berilmu agama tentunya akan menimbang dampak baik dan buruk dari metode pengobatan yang akan diambilnya. Ruqyah syar'iyah merupakan suatu solusi dalam kondisi sakit. Metode pengobatan dengan Al-qur'an merupakan metode terbaik tanpa mengesampingkan upaya berobat dengan pengobatan secara medis. Penelitian ini dilakukan dengan metode penggalian teori dari berbagai literatur ilmiah atau library research. Pengobatan ruqyah syar'iyah dapat dilakukan dengan kepada satu orang pasien ataupun dengan jumlah banyak selama ruqyah tersebut terbebas dari kesyirikan, dan tidak bercampur antar gender, hendaknya peruqyah laki-laki mengobati lakilaki saja begitupun jika peruqyah wanita hanya mengobati wanita saja. Tempat melakukan ruqyah sebaiknya tidak terbuka dan terlihat oleh umum untuk menghindari fitnah. Dalam proses ruqyah tidak melakukan tindakan yang dapat menyakiti pasien baik verbal ataupun Tindakan. Pemahaman masyarakat terhadap pengobatan dengan ruqyah perlu semakin ditingkatkan sehingga mereka tidak mudah terjatuh kepada perbuatan yang berbahaya bagi aqidah mereka.
Mashlahah is often made identically with benefit. It has placed in one of fields in Islamic law study, especially in ushûl al-fiqh. It has a role in determining a debatable law conclusion. It is also as essence of maqâshid al-syarî'ah that is needed in every law consideration. The problem is how to determine a law illah that has mashlahah, and who has a role in determining and assessing mashlahah, only God (syari') or mukallafkah, if mukallaf has a right, how far it has its power to determine a mashlahah in certain law context. This writing will give its description. Pendahuluan Maqâshid al-syarî'ah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan hukum sejak masa Nabi. Upaya seperti itu dilakukan pula oleh para sahabat, misalnya terlihat dalam beberapa ketetapan hukum yang dilakukan oleh Umar Ibn al-Khaththâb. Setelah itu, maqâshid al-syarî'ah mendapat tempat dalam ushûl fiqh, yang dikembangkan oleh para ushûlî dalam penerapan qiyâs ketika berbicara tentang masâlik al-illah. Terlihat, misalnya, dalam beberapa karya ushûl fiqh, seperti al-Risâlah oleh al-Syâfi'î, al-Musthashfa karya al-Ghazâli, al-Mu'tamad karya Abû al-Hasan al
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Jurnal Peradaban Islam, 2020
Jurnal Yudisia, 2019
MUTIARA HIKMAH KEHIDUPAN SALAFUS SHALIH DALAM KEIKHLASAN, 2020