Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
13 pages
1 file
Pengertian Pers Secara Umum adalah media massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik dalam bentuk tulisan, suara, dan gambar serta data dan grafik dengan menggunakan media elektronik dan media cetak dan dll. Pers dalam etimologi, kata pers (Belanda), presse (prancis), Press (inggris), sedangkan kata pers dalam bahas latin adalah pressare dari kata premere artinya "tekan" atau "cetak". definisi pers secara terminologisnya adalah media massa cetak atau media cetak. Istilah pers dikenal sebagai salah satu jenis media massa atau media komunikasi massa yang sudah lama dikenal oleh masyarakat dan tidak hanya itu istilah pers juga lazim dikaitkan dengan surat kabar (newspaper) atau majalah (magazine). Pengertian Pers menurut Oemar Seno Adji pakar komunikasi membagi pengertian pers dalam arti sempit dan pengertian pers dalam arti luas, pengertian pers dalam arti sempit adalah penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata bertulis, sedangkan pengertian pers dalam arti luas adalah memasukkan didalamnya sebuah media mass communications yang memancarkan pikiran dan perasaan orang baik dengan kata yang tertulis maupun dengan lisan. Pengertian pers menurut UUD No. 40 Tahun 1999 yang berbunyi bahwa pengertian pers adalah lembaga sosial atau wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak atau media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Jejak-jejak awal mula pers Islam di Indonesia
After the government ratifies law number 40 year 1999 Indonesia has applied the social responsibility theory of press. In the theory, press freedom has responsibility to public. Different from law number 11 year 1966 juncto law number 21 year 1982 that gave the authority to the government to control the press system, law number 40 year 1999 gives the authority to public. In facts in the context of freedom and commercialization,Indonesia's press system has established media pluralism. It is the continuity of the New World Information and Communication Order. In the NWICO, it does not reflect media efforts to build public sphere since the last half of 1980 as the part of social responsibility in which ittrullyestablishes public freedom against the shackle of political and economic power. However, the Indonesian press industry has been in the domination of media conglomeration. Whether conscious or not, globally it is the part of penetration and expansion of capitalism and political power. Abstraksi : Di Indonesia, sejak pemerintah mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, pers Indonesia telah menganut teori pers tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada masyara-kat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Dalam pelaksanaannya, sistem pers Indonesia dewasa ini berada dalam kontek kebebasan dan komer-sialisasi yang telah menciptakan pluralisme media, yang pada hakekatnya merupakan kelanjutan Tata Komu-nikasi Dan Informasi Dunia Baru-dimana sejak paruh tahun 1980-an tidak lagi mencerminkan upaya media untuk membangun public sphere (sebagai bagian tanggung jawab sosial) yang benar-benar membebaskan masyarakat dari cengkraman kekuasaan: politik maupun ekonomi. Sistem pers yang ada dalam ranah media di Indonesia telah didominasi segelintir pemilik modal dalam industri pers Indonesia yang disadari atau tidak-juga merupakan bagian dari penetrasi dan ekspansi kapi-talisme dan kekuatan politik secara global. Kata kunci: sistem pers tanggung jawab sosial, pluralisme media, dominasi pemilik modal, ekspansi kapitalisme.
Langkah dadakan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dengan menghapus keberadaan Departemen Penerangan dalam jajaran Kabinet Persatuan Nasional yang dipimpinnya, pada Oktober 1999, seolah-olah menjadi klimaks mengejutkan dalam proses keterbukaan dan demokratisasi kehidupan pers di Indonesia.
To observe the dinamics of the press in Indonesia is very interesting as the development of national press can not be apart of socio-politics situation in this country. Even it can be told that the "live or dead" of national press depends on how the ruler treat it. Historical facts inform us that media censorship has become a snate for press development time by time. In this connection, media censorship has become primary weapon to limit the press freedom in media politics applied by the ruler. It because media has a very important role in contemporary political arts. Press freedom is now a thing that journalists struggle to be happen. At the other hand, the ruler needs press to legitimate its power. This articles aim to analyze how media censorship had chained the press freedom in view of media politics. In this case, the ruler applies the press policy toward the press institution to secure its position and power.
Abstrak Penelitian ini bertujuan: (1) untuk mengetahui perkembangan awal pers di Hindia Belanda, (2) mengetahui peran Kapitalisme cetak dalam persebaran kesadaran nasional Indonesia, (3) mengetahui kaitan pers dan bangkitnya kesadaran nasional Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode sejarah yang dijabarkan oleh Kuntowijoyo. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa perkembangan pers selalu terkait dengan kondisi sosial politik zaman yang berkaitan. Pers pada awal abad XX dipengaruhi oleh kebijakan politik etis yang mengidealkan kemajuan bangsa pribumi.Perkembangan pers didukung oleh adanya Kapitalisme cetak. Kapitalisme cetak memungkinkan tersebarnya kesadaran nasional Indonesia.Kesadaran nasional mula-mula terwujud dalam persebaran wacana kemajuan di kalangan pribumi terpelajar serta persebaran penggunaan bahasa melayu pasar sebagai lingua franca di Hindia Belanda. Kaitan antara pers dan bangkitnya kesadaran nasional Indonesia terlihat dalam surat kabar Bintang Hindia dan Medan Prijaji. Bintang Hindia merupakan surat kabar yang banyak memuat wacana kemajuan. Sejumlah gagasan penting dalam surat kabar ini antara lain Kaoem Moeda dan Bangsawan Pikiran. Kedua gagasan tersebut memberikan stimulus bagi kesadaran politik kaum pribumi terpelajar. Sementara itu, Medan Prijaji merupakan surat kabar yang lebih radikal daripada Bintang Hindia. Tulisan dalam Medan Prijaji banyak memuat kritik terhadap pemerintah kolonial dan memberikan bantuan hukum bagi pembaca yang membutuhkan. Abstract This study aims to: (1) find out the initial development of the press in the Dutch East Indies, (2) find out the role of print capitalism in the distribution of national consciousness Indonesia, (3) find out the related of press and the rise of Indonesian national consciousness. This study was conducted using the historcal method as described by Kuntowijoyo. The result of the study showed that the development of the press is always related to the social and political conditions related to age. The press in the early twentieth century was influenced by the ethical policies which idealize the advanced of indigenous peoples. The development of press is supported by print capitalism. Print capitalism allowed the spread of Indonesian national consciousness. National consciousness first manifested itself in the spread of the discourse of advances among the educated natives as well as the spread of the use of the Malay language as the lingua franca in the East Indies. The relation between the press and the rise of Indonesian national consciousness is seen in Bintang Hindia and Medan Prijaji. Bintang Hindia is a newspaper that contains many advances discourse. A number of important ideas in this newspaper among others Kaoem Moeda and Bangsawan Fikiran. Both of these ideas provide a stimulus for the political consciousness of the educated natives. Meanwhile, Medan Prijaji is a newspaper to be more radical than Bintang Hindia. The article in Medan Prijaji contains many criticisms to the colonial government and provide legal assistance to the reader which needed.
ABSTRAK Abstrak: Perkembangan Pers di Indonesia tidak pernah bisa lepas pada masa penjajahan negara Belanda dan Jepang. Berikut ini merupakan ulasan tentang pers Indonesia di zaman pendudukan Negara Belanda dan Jepang. Pers Indonesia di zaman Belanda juga dikelola oleh para pemimpin gerakan kebangsaan dan keagamaan di Indonesia yang sekaligus merangkap menjadi pemimpin redaksi atau pembantu dari majalah atau surat kabar Metode yang digunakan adalah metode histories dan dokumenter, sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan teknik kepustakaan, dokumentasi, dan wawancara.Kemudian teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif maksud dari teknik ini adalah teknik yang memaparkan dan menggambarkan data yang telah dianalisis. Penggunaan pers dimasa sekarang sudah semakin modern dan infromasi tidak hanya melalui surat kabar tapi sudah merambah ke gawai (gadget) yang semakin mudah dengan tersedianya konektivitas internet sehinga berita dan siaran bisa dilihat oleh khalayak ramai tapi perss tidak diatur dengan ketat akan menimbulkan berita palsu (HOAX) atau merugikan negara kasus ini hampir sama tahun 1950-1959 dengan adanya pembredelan kantor berita Suara Merdeka,Keng Po, Lembaga dan hal ini dilanjut pada masa demokrasi terpimpin, orde baru yang sejatinya perss hanya sebagai terompet penguasa sejatinya perss bisa independen dan teguh pada prisnip sesuai dengan kode etik perss. Kata Kunci: Sejarah Perss, Perss Modern, Agent of control 1. PENDAHULUAN
Khazanah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, 2018
Sejarah pers di Indonesia diawali dengan munculnya berbagai media pers yang dipelopori oleh Bangsa Eropa khususnya Belanda. Selain itu, ada juga media pers yang diterbitkan oleh kaum Indo Belanda. Dalam sejarah Indonesia media pers ini dikenal sebagai Pers kolonial. Selain menggunakan Bahasa Belanda pers kolonial juga menggunakan Bahasa Melayu dan bahkan ada yang menggunakan bahasa daerah. Selain membawa kepentingan pemerintah kolonial Pers Kolonial juga ada yang membawa kepentingan agama Kristen (misionaris).
Pembahasan kebebasan berpendapat di Indonesia sejak orde lama sampai dengan orde baru ditinjau dari aspek hukum yang berlaku saat itu dan memiliki kesinambungan secara historis dengan kebebasan berpendapat dewasa ini.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.