Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
6 pages
1 file
Pajak merupakan penerimaan negara yang terbesar dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Hal ini dikarenakan, penerimaan yang berasal dari pajak mempunyai umur manfaat yang tak terbatas, lain halnya dengan penerimaan dari sumber daya alam yang umur pemanfaatannya relatif terbatas. Pajak dipungut dari warga negara sebagai kewajiban dan dapat dipaksakan penagihannya, serta tidak memiliki manfaat langsung untuk pihak yang membayarkannya, akan tetapi, manfaat yang diterima oleh masyarakat berupa pembangunan infrastruktur, fasilitas umum dan dana sosial. Selama beberapa tahun terakhir, dimulai dari tahun 2010, meskipun jumlah realisasi penerimaan pajak lebih dari 90% dari target, penerimaan pajak selalu saja meleset dari target yang ditetapkan (Rahmania dan Rustam, 2016). Pada akhir tahun 2015, jumlah penerimaan pajak yang berhasil dicapai hanya 83%. Jumlah tersebut adalah jumlah realisasi yang rendah jika dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak tahun sebelumnya. Dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak dan wajib pajak (WP) terdaftar, maka pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar menyadari pentingnya pajak bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Selain itu, pemerintah juga berupaya melalui kebijakan ekstensifikasi maupun intensifikasi pajak serta peraturan tentang perpajakan yang semakin diperbaharui untuk perbaikan. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan upaya peningkatan jumlah WP terdaftar dan peningkatan rasio pajak negara adalah tax amnesty (pengampunan pajak). Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan subjek pajak dan objek pajak juga kembalinya dana-dana yang berada di luar negeri dan disertai penambahan jumlah WP. Dengan meningkatnya pendapatan pemerintah melalui pajak, diharapkan nantinya mampu meningkatkan fasilitas negara untuk kesejahteraan masyarakat.
KOMPAS, 2016
Keputusan DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan alasanperlu waktu untuk mencermati naskah akademik dan draf RUU disesalkan banyak pihak. Pemerintah yang menginisiasi RUU tersebutkecewa karena penundaan itu bisa menyebabkan kerugian besar bagi negara dan kepercayaan masyarakat yang hendak melakukan pengampunan pajak menjadi rendah (Kompas, 26/2/2016). Saya justru menilai sebaliknya. Keputusan itu seharusnya perlu diapresiasi. Alasannya, keputusan menyangkut perlu tidaknya regulasi pengampunan pajak harus dilakukan secara cermat dan bertanggung jawab agar tidak menimbulkan komplikasi masalah di kemudian hari. Sebagai lembaga tinggi negara pengembanaspirasi rakyat, DPR memang harus mencermati dan mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan negara sebelum menyetujui suaturancangan undang-undang (RUU)menjadi undang-undang (UU). Selain itu,permasalahan pengampunan pajak juga tidak hanya menyangkut aspek kepentingan penerimaan negara dan ketidakmampuan wajib pajak, tetapi juga menyangkut itikad buruk dan keperilakuan tak etis dari para wajib pajak. Oleh karena itu,penyelesaiannya bukan dengancara pengampunan, tetapi harusmelalui penciptaan mekanisme sistem dan tata kelola perpajakan, atau melalui regulasi penegakan hukum yang akuntabel dan transparan. Bumerang pengampunan Dari perspektif yang berbeda, saya justru menilai RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan pemerintah bisa menjadi bumerang yang merugikan negara apabila semangatnya adalah demi mendapatkan dana ratusan triliun rupiah yang selama ini tidak bisa dibayarkan para wajib pajak atau sengaja dihindari para wajib pajak nakal yang menempatkan dananya di luar negeri. Seandainya DPR menyetujuinya, pasti akan muncul sejumlah permasalahan yang kompleks. Belum tentu juga harapan pemerintah mendapatkan pemasukan pajak dalam jumlah besar dari skema amnesti bakal terwujud. Mengapa? Jawabnya, karena tidak terbayarnya utang pajak oleh para wajib pajak tidak semata-mata disebabkan mereka mengalami krisis keuangan akibat bisnis atau pendapatan mereka memburuk. Sangat mungkin juga karena mereka memang tidak memiliki itikad baik untuk membayar pajak. Mereka menganggap membayar pajak merupakan suatu beban yang merugikan sehingga sedapat mungkin harus dihindari.
Jurnal ASET (Akuntansi Riset)
Kebijakan peningkatan pendapatan negara saat ini antara lain dengan menggulirkan kebijakan-kebijakan terkait dengan optimalisai perpajakan, kebijakan tax amnesty dapat medorong peningkatan kepatuhan pajak secara sukarela dimasa mendatang setelah tax amnesty dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah berusaha menjelaskan bagimana Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat I menyikapi fenomena-fenomena yang terjadi selama program pengampunan pajak dilaksanakan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan seting alamiah yang bertujuan menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dari hasil data observasi dan wawancara sebagai hasil penelitian lapangan diperoleh hasil yaitu penyampaian sosialisasi yang komperhensif agar tujuan dari program yang telah ditetapkan dapat tercapai, pada periode akhir dari program pengampunan pajak lebih menjaga atau membangun tax base untuk membaca data dan mengidenti...
Jurnal Hukum Positum, 2018
Pengampunan pajak yang dilaksanakan pemerintah pada periode pertama hingga ketiga yakni pertengahan Juli 2016 hingga Maret 2017 sempat menimbulkan pro dan kontra. Artikel ini akan mengkaji apa sebenarnya tujuan kebijakan pengampunan pajak yang dilakukan pemerintah Indonesia dan bagaimana regulasi kebijakan pengampunan pajak di Indonesia. Dari hasil pengkajian konseptual penulisan ini, tujuan penulisan pajak di Indonesia adalah meningkatkan penerimaan negara dalam jangka pendek untuk menutup kebutuhan anggaran negara, mendorong repatriasi harta yang berada di luar negeri, meningkatkan kepatuhan wajib pajak di masa mendatang; dan transisi menuju rekonsiliasi perpajakan nasional termasuk sistem perpajakan yang baru. Regulasi pajak diatur dengan UU Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. Undang-undang ini memuat sejumlah norma/ ketentuan, diantaranya: pengaturan mengenai subyek pengampunan pajak; obyek pengampunan pajak; tarif dan cara menghitung uang tebusan; tata cara penyampaian Surat Pernyataan, penerbitan Surat Keterangan, pengampunan atas kewajiban perpajakan; kewajiban investasi atas harta yang diungkapkan dan pelaporan; perlakuan perpajakan; perlakuan atas harta yang belum atau kurang diungkap; upaya hukum; manajemen data dan informasi; dan pengaturan mengenai ketentuan pidana. Kata kunci: pajak, pengampunan pajak, regulasi pajak, regulasi pengampunan pajak
Kompas, 2016
Akibat terhimpit defisit APBN 2016 sebesar Rp 273,2 triliun, Presiden Joko Widodo mendesak DPR segera menyelesaikan pembahasan RUU Pengampunan Pajak. RUU yang sedang dibahas DPR itu diharapkan segera disahkan menjadi UU dan bisa berlaku efektif per 1 Juli 2016 (Kompas, 9/6/2016). Dengan begitu, pemerintah bisa segera melaksanakan program amnesti pajak untuk mendapatkan dana segar sekitar Rp 165 triliun guna mengurangi defisit APBN. Namun, menyimak pemberitaan media massa berkenaan dengan substansi RUU Pengampunan Pajak, saya menilai RUU tersebut mengandung ketidakadilan yang serius dan mesti direvisi. Tidak adil Substansi RUU yang justru juga memberikan amnesti pajak kepada para individu dan korporasi pelaku kejahatan keuangan yang selama ini berhasil mengelabui dan merugikan keuangan negara, dengan menyembunyikan aset-aset haram mereka di sejumlah negara surga pajak, sungguh sangat aneh dan mengusik rasa keadilan masyarakat. Apalagi tarif amnesti pajak yang bakal diberikan juga sangat rendah, berkisar 1 persen-3 persen bagi yang mau repatriasi aset, dan 4 persen-6 persen bagi yang tidak melakukan repatriasi aset. Bahkan, dalam RUU tersebut muncul sejumlah pasal aneh yang berusaha memproteksi kerahasiaan data wajib pajak nakal yang mengikuti program amnesti pajak dari kejaran penegak hukum. Substansi RUU tersebut sangat tak adil dan sangat mungkin bakal digugat masyarakat luas apabila disahkan menjadi UU. Pertanyaan, mengapa pemerintah (dan DPR) justru memberikan amnesti pajak kepada para pelaku kejahatan keuangan negara? Apakah hanya karena terimpit defisit APBN dan karena para wajib pajak pelaku kejahatan keuangan memiliki aset yang nilainya mencapai ribuan triliun rupiah, lalu Presiden Jokowi rela mengalah demi mendapatkan dana amnesti pajak sekitar Rp 165 triliun? Ataukah, RUU Pengampunan Pajak yang sedang dibahas di DPR sesungguhnya adalah produk hasil rancangan dari sejumlah pihak (elite) yang bakal mendapatkan amnesti pajak akibat mereka mulai terdesak oleh bocornya Dokumen Panama beberapa waktu lalu? Entahlah! Namun, yang pasti, melegalkan program amnesti pajak dan melindungi para pelaku kejahatan keuangan negara via UU adalah salah kaprah dan sangat tidak adil. Program tersebut jika diterapkan justru akan menjadi bumerang karena akan
Pada tanggal 1 Juli 2016, telah disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak (“UU Pengampunan Pajak”). Hal ini dilatarbelakangi oleh pertumbuhan ekonomi nasional yang mengalami perlambatan sehingga berdampak pada turunnya penerimaan pajak. Padahal, pemerintah melihat bahwa terdapat harta warga negara Indonesia yang ditempatkan di luar negeri dalam jumlah besar yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menambah likuiditas dalam negeri yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu data yang menjadi pegangan Pemerintah adalah data dari Global Financial Integrity menyebutkan bahwa, terdapat 180 Miliar Dolar Amerika Serikat illicit financial flows yang keluar dari Indonesia ke luar negeri. Pengertian dari illicit financial flows itu sendiri adalah illegal movements of money or capital from one country to another (perpindahan uang atau modal dari satu negara ke negara lain secara tidak sah). Pemerintah mengharapkan dengan diundangkannya UU Pengampunan Pajak, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membaik karena didorong oleh dana repatriasi yang masuk.
Paper of advanced taxation , master of accounting-Trisakti University. (Dr. Puspahadi Boenjamin, M.Si)
Majalah Hukum Nasional
Tujuan dari penelitian ini ada dua. Pertama, untuk mengetahui dan menganalisis politik hukum pengampunan pajak dalam perspektif Law and Development. Kedua, untuk mengetahui seharusnya politik hukum pengampunan pajak dalam perspektif Law and Development pada masa akan datang. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif-empiris. Cara dan alat pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini ialah politik hukum pengampunan pajak kaitannya dengan perspektif Law and Development, masih belum optimal dengan meninjau hasil capaian kebijakan pengampunan pajak. Aspek parameter disiplin maupun mekanisme dampak peraturan, politik hukum pengampunan pajak cenderung mengesampingkan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang benar. Politik hukum pengampunan pajak jika dikaitkan dengan perspektif Law and Development pada masa akan datang seyogianya pemangku...
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 2019
This research was conducted because the uncertainty in the tax amnesty policy. The purpose of this research is to analyze the effect of taxpayer's expectation of future tax amnesty, tariff period system, tax penalty and audit towards tax compliance in tax amnesty policy, using experimental economics. The result shows that, a tax amnesty followed by strict audit and tax penalties will rise tax compliance. Tax amnesty policy is best applied once in a lifetime, because the expectation of the taxpayers towards future tax amnesty will result in lowering the compliance. Taxpayers prefer the lowest rate on tariff period.
Akuntansi pajak tangguhan diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 46.Secara umum, PSAK No. 46 diterbitkan untuk memperbaiki kualitas laporan keuangan yang berkaitan dengan pajak penghasilan.PSAK No. 46 merupakan standar akuntansi yang mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak. Kerena merupakan standar, maka PSAK No. 46 wajib diterapkan dalam laporan keuangan perusahaan yang telah listing, dan dianjurkan untuk digunakan bagi perusahaan yang belum listing. PSAK No. 46 juga mengatur tentang akuntansi pajak penghasilan menggunakan dasar akrual, yang secara komprehensif merupakan pendekatan aktiva kewajiban (asset-liability approach) atau berorientasi pada neraca (balance sheet oriented). Ketentuan dalam UU PPh dan PSAK terkait pengakuan pendapatan dan beban tidak sama, karena memiliki tujuan yang berbeda. Perbedaan antara pajak dan akuntansi dapat dibedakan menjadi dua yaitu perbedaan permanen dan perbedaan temporer, sehingga setiap akhir pelaporan entitas melakukan rekonsiliasi fiskal atau koreksi fiskal atas laba sebelum pajak untuk menghitung jumlah penghasilan kena pajak.Oleh karena itu, penerapan PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan diharapakan dapat menjembatani antara peraturan perpajakan dengan ketentuan akuntansi.PSAK No.46 mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan pajak penghasilan entitas.PSAK No. 46 entitas tidak hanya diwajibkan memenuhi ketentuan perpajakan untuk membayar dan melaporkan pajak, namun jugamenyajikan dan mengungkapkan informasi tersebut dalam laporan keuangan.Hal ini membantu para pengguna laporan keuangan tidak salah dalam membaca laporan keuangan.Suatu perusahaan bisa saja membayar pajak lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih besar di masa datang.Atau sebaliknya, bisa saja perusahaan membayar pajak lebih besar saat ini, tetapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil di masa datang. Hal inilah yang disebut dengan pajak tangguhan.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Akuntabilitas, 2017
TANJUNGPURA LAW JOURNAL, 2020
BanKu: Jurnal Perbankan dan Keuangan
BIP's JURNAL BISNIS PERSPEKTIF, 2016
SCIENTIFIC JOURNAL OF REFLECTION : Economic, Accounting, Management and Business
Syiah Kuala Law Journal
Jurnal Hukum Mimbar Justitia
AKRUAL: Jurnal Akuntansi, 2018
Assets: Jurnal Akuntansi dan Pendidikan, 2019
JURNAL PAJAK INDONESIA (Indonesian Tax Review), 2020
Publik Reform, 2016