Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
4 pages
1 file
Konflik hak ulayat atas tanah dan hutan mewarnai perjalanan kehidupan masyarakat adat. Bila dicermati, konflik hak ulayat dibagi atas dua kategori, yakni konflik yang bersifat horizontal, dan konflik yang bersifat vertikal. Pada kategori pertama berhubungan dengan konflik hak ulayat yang melibatkan masyarakat adat dengan masyarakat adat lainnya dan konflik dalam internal masyarakat adat sendiri, seperti; konflik tapal batas antar wilayah masyarakat adat, dan berbagai konflik tanah kaum dalam konteks nagari di Sumatera Barat. Sedangkan pada kategori kedua berhubungan dengan konflik hak ulayat yang melibatkan masyarakat nagari dengan negara (pemerintah) dan atau pemilik modal, seperti; konflik masyarakat adat dengan otoritas kehutanan di kawasan hutan, konflik masyarakat adat dengan pemilik konsesi perkebunan skala besar kelapa sawit. Konflik dengan kategori vertikal ini melibatkan peran aktif negara dan pemilik modal dengan masyarakat adat. Mengurai Konflik Hak Ulayat Konflik-konflik hak ulayat menurut berkaitan dengan tekanan kekuatan dari luar komunitas masyarakat adat sehingga melemahkan otonomi masyarakat adat dalam menyelesaiakn konflik dan bahkan mengancam eksisitensi penguasaan ulayat mereka (Afrizal, 2009), artinya konflik horizontal berhubungan erat dengan konflik vertikal. Kekuatan-kekuatan yang menekan tersebut aktif dilakukan oleh negara dan pemilik modal, baik melalui penerapan hukum formil (baca; hukum negara) yang represif terhadap masyarakat adat maupun karena lemahnya perlindungan hukum terhadap hak ulayat. Dalam praktik bisa ditemukan dalam Penunjukan kawasan hutan negara secara sepihak dan klaim tanah negara serta penguasaan negara lainnya atas hak ulayat masyarakat adat. Penguasaan negara atas hak ulayat kemudian diberikan kepada pemilik konsesi-konsesi industi ekstraktif sumber daya alam, akibatnya melahirkan konflik membara yang hampir terjadi secara merata di seluruh Indonesia.
Terdapat 59 konflik vertikal Agraria di Sumatera Barat antara masyarakat adat dengan kelompok bisnis dan atau Negara dengan cakupan dampak seluas 105.702 Ha, dengan korban 44 nagari, 11 kaum, 4 suku, yang melibatkan 25 perusahaan tersebar pada sembilan kabupaten / kota di (Perkumpulan Qbar, 2013). Konflik-konflik tersebut paling banyak terjadi pada sektor perkebunan kelapa sawit skala besar yang melahirkan pelbagai kerugian fisik, psikis, material, dan budaya.
Konsep hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat, sehingga mengakui adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di berbagai wilayah di Indonesia yang telah lebih dulu ada dan mendiami tanah-tanah di Indonesia, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Walaupun tidak dijelaskan secara detail mengenai pengertian hak ulayat, namun Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memberikan pengakuan terhadap adanya hak ulayat dalam hukum pertanahan nasional. Hak ulayat merupakan hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat hukum adat tertentu atas tanah yang merupakan kepunyaan bersama para warganya. Meskipun demikian, ketentuan dalam UUPA juga memberikan batasan terkait dengan eksistensi dari hak ulayat masyarakat hukum adat. Adapun batasan tersebut adalah sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Seiring dengan era desentralisasi, keran-keran yang tersumbat untuk memanifestasikan struktur politik lokal dan revitalisasi hak ulayat mulai mengalir kembali paska di sumbat oleh rezim orde baru. lahirnya UU No. 22/1999 tentang pemerintah daerah mejadi momentum yuridik bagi keleluasaan untuk membuat kebijakan yang menampilkan karakteristik daerah. Sumatera Barat merupakan daerah yang paling banyak memanfaatkan momemtum baru pembangunan hukum daerah tersebut. Hal ini dimulai dengan pengundangan Perda Provinsi Sumatera Barat No. 9/2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, diganti dengan Perda Sumatera Barat No. 2/2007. Perda tersebut pada intinya mencoba menghidupkan kembali model pemerintahan nagari (semangat kembali ke Nagari) yang pernah ada di Sumatera Barat. 2 1 Laporan Penelitian ini disampaikan dalam seminar hasil riset pemulihan hak ulayat masyarakat hukum adat, 28 mei 2009 di Pangeran Beach Hotel, Padang. 2 Dalam pembahasan Ranperda Pemerintanah Nagari tahun 2000, Gunernur Sumatera Barat menyampaikan nota yang menyebutkan bahwa model pemerintahan desa yang seragam dan sentralistik kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan bersama masyarakat di daerah. Disamping itu, pemerintahan desa membuat renggangnya ikatan-ikatan sosial yang memudahkan konflik mengenai tanah ulayat, harta pusaka dan batas teritorial. Hal ini karena ada pemisahan antara urusan administrasi oleh pemerintah desa dengan urusan adat Kerapatan Adat Nagari (KAN). Lihat Rikardo, Ibid. Hal 172.
Kesejarahan tembakau melekat pada peradaban bangsa Indonesia. Eksistensinya sebagai bagian dari ‘budaya Indonesia’ telah diakui di dunia. Sekalipun klaim ini mungkin dianggap berlebihan oleh banyak kalangan, tetapi berbagai kajian dan karya ilmiah banyak menunjukkan ihwal tembakau dan Indonesia. Sebagai bagian dari peradaban ekonomi Indonesia, pungutan pajak dan cukai rokok, yang merupakan produk jadi dari tembakau (dan cengkeh) telah memberikan kontribusi signifikan. Bagi kelompok lain, rokok adalah semacam barang kutukan yang harus dijauhkan dari jangkauan masyarakat, karena berbagai hasil riset, meskipun terkadang berlebihan, menunjukkan bahaya merokok yang amat serius. Karenanya, negara didorong untuk bertanggung jawab mengatasi dampak rokok, utamanya dampak pada kesehatan masyarakat.
Hukumonline, 2011
Tanah ulayat masih " locus " kontestasi hak antara masyarakat adat (nagari) dengan kelompok bisnis dan pemerintah (negara) di berbagai tempat di Sumatera Barat. Penetapan sepihak kawasan hutan di wilayah-wilayah hutan adat, penetapan Hak Guna Usaha (HGU), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK/HPH) di tanah ulayat atau hutan adat dan izin-izin tambang kecil atau menengah di nagari-nagari mewarnai pergulatan hak tersebut yang berujung makin membaranya konflik tanah ulayat antara nagari dengan kelompok bisnis dan pemerintah (negara). Kasus perkebunan Anam Koto di Kabupaten Pasaman Barat, tuntutan nagari-nagari selingkar HPH AMT di Kabupaten Solok Selatan, konflik hutan adat Nagari Kambang terhadap TNKS di Kabupaten Pesisir Selatan adalah segelintir contoh-contoh kasus yang berlaku sampai saat ini. Fakta di lapangan diatas bukan hanya sebatas tuntutan hak ulayat pada wilayah-wilayah konsesi (HGU/HPH) dan kawasan hutan yang ditetapkan oleh negara, namun merasuk pada konflik antara hukum negara dengan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal tersebut muncul akibat ekspresi hukum adat pada wilayah-wilayah tersebut tidak lagi diakui oleh hukum negara. Penetapan kawasan hutan adalah contoh nyata bagaimana hak ulayat dan tata kelola sumberdaya alam berdasarkan hukum adat tidak berlaku lagi sejak ditetapkan wilayah adat menjadi hutan negara. Berbagai sanksi hukum (baca: hukum negara) terutama pidana mengancam siapa saja yang mengakses hutan negara tanpa izin, tidak terkecuali masyarakat nagari yang berada di sekitar atau didalam kawasan hutan negara tersebut. Tumpang tindih penguasaan sumber daya alam antara masyarakat nagari dengan negara tidak lagi terelakkan, kriminalisasi masyarakat nagari, pembatasan akses masyarakat nagari atas hutannya dan bahkan penghancuran sistem kearifan lokal (local wisdom) – pun berlaku. Sebaliknya, kelompok-kelompok bisnis yang menggunakan legalitas hukum negara melalui izin-izin pemanfaatan hutan (HPH) diberi akses untuk mengelola walaupun tanpa persetujuan masyarakat nagari-nagari yang notabene sebagai pemilik hutan adat (tanah ulayat) pada wilayah-wilayah yang dimanfaatkan tersebut. Fakta Pluralisme Hukum Bila dilihat lebih dalam, fenomena yang terjadi seputar konflik tanah ulayat diatas tidak bisa dilepaskan dari politik hukum negara yang menganut sentralisme hukum negara. Sentralisme hukum menuntut kepatuhan mutlak warga negara pada hukum negara sebagai satu-satunya hukum yang diakui, sedangkan hukum lain yang hidup di masyarakat (the living law) seperti hukum adat dianggap bukanlah hukum. Faktanya, hukum adat berlaku efektif di Sumatera Barat. Hukum adat memaksa setiap anggota masyarakat nagari untuk tunduk melalui penerapan sanksi adat dan mekanisme penyeleasaian sengketa adat.
Kasus Parbuluan mencuat ke permukaan setelah sekitar 100 laki-laki dan wanita warga Desa Parbuluan I dan II meninggalkan rumah mereka pada pekan kedua Februari 1995. Itu akibat kasus tanah yang belum terselesaikan sejak tahun 1992 dan kemudian berbuntut intimidasi, pemukulan dan penangkapan oleh oknum-oknum berseragam (Kompas, 14/2).
Manusia selalu berhubungan dengan manusia lain dalam suatu komunitas sosial yang dinamakan masyarakat. 1 Di dalam mengadakan hubungan hukum, dapat menimbulkan konflik atau benturan kepentingan. Dalam hal persekutuan dengan tanah yang diduduki, terdapat hubungan yang erat. Yaitu hubungan yang bersifat religio-magis. 2 Hubungan ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah yang dimaksud, memanfaatkan tanah, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. Hak persekutuan atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat. 3 Kedudukan hak ulayat ini, berlaku ke luar dan ke dalam. Berlaku ke luar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan, hanya dengan seizin persekutuan serta setelah membayar atau lnemberikan ganti kerugian. Orang luar bukan warga persekutuan dapat memperoleh kesempatan untuk turut serta menggunakan tanah wilayah persekutuan. Berlaku ke dalam, karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga warga persekutuan bersama-sama sebagai suatu kesatuan, melakukan hak ulayat dimaksud untuk memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup di atasnya. Antara hak ulayat dan hak warga masing-masing ada hubungan timbal balik. Jika seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah, untuk mengerjakan tanah itu terus menerus dan menanam pohon-pohon diatas tanan itu, sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah itu (pasal 20 UUPA). Hak 1 Anonimous., Jurnal Manusia dan Lingkungan. Pusat Studi lingkungan
2013
Kebebasan bersuara adalah satu daripada sembilan perkara yang dinyatakan di dalam Bahagian 2 Perlembagaan Persekutuan iaitu Kebebasan Asasi. Fasal (1) (a) Perkara 10 menyatakan 'tiap-tiap warganegara adalah berhak bebas bercakap dan mengeluarkan fikiran'.
2021
The emergence of various problems regarding land proves that the use, control, and ownership of land in our country has not been orderly and orderly. This research aims to find out the process of resolving land rights disputes in Sidenreng Rappang district. This research uses normative research types supported by the case study approach, the analytical approach. Analysis of legal materials in this study uses deductive logic reasoning. Normative legal research uses logical and prescriptive analysis and argumentation. Normative legal research is generally qualitative. The results showed the process of resolving land disputes in the Court Sidenreng Rappang, more litigation, as in the case with case number: 18 / Pdt.G / 2020 / PN Sdr with various stages until the cancellation in the previous decision
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Jurnal Syntax Transformation, 2021
https://retizen.republika.co.id, 2023
Jurnal Aktual Justice, 2019
Education : Jurnal Sosial Humaniora dan Pendidikan