Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
21 pages
1 file
Mata mempunyai sistem pelindung yang cukup baik seperti rongga orbita, kelopak, dan jaringan lemak retrobulbar selain terdapat refleks memejam atau mengedip, mata masih sering mendapat trauma dari dunia luar. 1 Trauma mata merupakan penyebab umum kebutaan unilateral pada anak dan dewasa muda; kelompok usia ini mengalami sebagian besar cedera mata yang parah. Trauma mata yang berat dapat menyebabkan cedera mulltipel pada palpebra, bola mata, dan jaringan lunak orbita. Pada mata dapat terjadi beberapa trauma terdiri dari trauma tumpul, trauma tembus bola mata, trauma kimia, dan trauma radiasi. Trauma kimia mata merupakan salah satu kegawatdaruratan mata yang membutuhkan penatalaksanaan sesegera mungkin. 2 Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi di dalam laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian, dan peperangan yang memakai bahan kimia di abad modern. Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat dibedakan dalam bentuk: trauma Asam dan trauma Basa atau Alkali. Pengaruh bahan kimia sangat tergantung pada pH, kecepatan, jumlah bahan kimia tersebut mengenai mata. 1 Pada referat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai trauma kimia pada mata.
Beberapa masalah pediatri dapat ditangani dengan pembedahan diantaranya trauma, tumor, masalah-masalah gastrointestinal (misalnya perdarahan, anomali traktus gastrointestinal, peritonitis, ikterus obstruktif), distres pernapasan (misalnya yang disebabkan oleh obstruksi jalan napas atas, anomali diafragma), malformasi kongenital (misalnya defek dinding abdomen, malformasi anorektal), dan gangguan endokrin (misalnya hiperparatiroidisme primer, disorder of sex development). 1 Beberapa masalah di atas juga merupakan kelainan bawaan / kelainan kongenital, yaitu kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik; contohnya anensefalus, labiopalatoskisis, atresia esofagus, atresia bilier, omfalokel, penyakit Hirschprung, malformasi anorektal, disorder of sex development, tetralogy of Fallot, defek septum ventrikel, dan duktus arteriosus paten. 2 Pada refarat ini akan dibahas mengenai 2 dari beberapa masalah pediatri yaitu disorder of sex development (DSD) dan malformasi anorektal (atresia ani). 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DISORDERS OF SEX DEVELOPMENT (DSD) A. Definisi Perkembangan normal sistem reproduksi terjadi melalui dua fase yaitu fase determinasi dan fase diferensiasi. Fase determinasi merupakan fase penentuan jenis gonad yang dipengaruhi oleh faktor kromosom dan faktor gonad; sedangkan fase diferensiasi dipengaruhi oleh faktor hormonal. Jika terjadi gangguan pada salah satu dari kedua fase tersebut, maka sistem reproduksi tidak akan berkembang sempurna. Hal ini kini dikenal sebagai disorders of sex development (DSD). Istilah DSD muncul dari pertemuan Lawson Wilkins Paediatric Endocrine Society (LWPES) dan the European Society for Paediatric Endocrinology (ESPE), untuk menggantikan terminologi lama yaitu 'interseks' atau 'hermafrodit'. 3,4 Terdapat beberapa terminologi lama yang sudah tidak dipakai lagi, dan digantikan dengan istilah baru, yang dapat dilihat pada tabel 1. Laki-laki memiliki kromosom 46,XY sedangkan wanita 46,XX. Kromosom XY atau XX ditentukan saat fertilisasi. Pada usia gestasi dini, gonad yang terbentuk bersifat indiferen atau bipotensial, baik pada embrio XY atau XX. Dalam penelitian Jost dkk, disimpulkan bahwa testislah yang berperan dalam diferensiasi genitalia interna maupun eksterna; dan sejak percobaan ini, upaya untuk mencari faktor penentu testis (testis-determining factor / TDF) berlangsung. Keberadaan faktor penentu testis ini kemudian berhasil dilokalisir oleh Sinclair dkk tahun 1990, yang dikenal sebagai gen SRY (sexdetermining region on the Y chromosome), pada lengan pendek kromosom Y (kromosom Yp11.31). Pada ketiadaan gen SRY, maka gonad akan berkembang menjadi ovarium; sebaliknya dengan adanya gen SRY maka gonad bipotensial akan berkembang menjadi testis. 3,6 Gen SRY juga mengatur steroidogenesis factor 1 atau SF1 (dalam hal ini upregulation) yang bekerja melalui faktor transkripsi, SOX9, untuk menginduksi diferensiasi dari sel-sel Leydig dan Sertoli. SOX9 juga mempengaruhi gen yang memproduksi MIS untuk regresi duktus membentuk testis atau medullary cords (Gambar 3). Selama perkembangan selanjutnya, sebuah lapisan padat jaringan ikat fibrosa, yaitu tunika albuginea, memisahkan korda testis dari epitel permukaan. Sel-sel epitel permukaan ini kemudian berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel-sel Sertoli. Ini terjadi pada usia gestasi 6 minggu. Sel-sel interstitial Leydig berasal dari mesenkim original dari gonadal ridge, yang mulai berkembang secara singkat setelah diferensiasi dari korda testis. Minggu ke-8 gestasi, sel-sel Leydig mulai memproduksi testosteron dan testis menjadi mampu untuk mempengaruhi diferensiasi seksual dari genital interna dan eksterna. 3,8 Pada embrio wanita dengan kompleks kromosom sex XX dan tidak ada kromosom Y, korda seksual primitif berpisah menjadi kelompokkelompok sel ireguler. Kelompok-kelompok ini memuat kelompok sel germinal primitif, yang menempati bagian medula dari ovarium. Kemudian, mereka hilang dan digantikan oleh stroma vaskuler yang membentuk medula ovarium. Epitel permukaan gonad wanita, tidak 7 Gambar 3.Potongan melintang melalui testis pada minggu ke-8 menunjukkan medullary cords yang berkembang. 8
Puji syukur kehadirat Allah SWT pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan judul "Otitis Eksterna, Fistula Preaurikula, dan Perikondritis" dalam rangka menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD dr. H. Abdul Moeloek. Selanjutnya, referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan Telinga Hidung dan Tenggorokan Kepala dan Leher. Kepada dokter-dokter yang terlibat, saya ucapkan terima kasih atas segala pengarahannya sehingga referat ini dapat saya susun dengan cukup baik. Saya menyadari banyak kekurangan dalam penulisan referat ini, baik dari segi isi, bahasa, analisis, dan sebagainya. Oleh karena itu, saya ingin meminta maaf atas segala kekurangan tersebut, hal ini disebabkan karena masih terbatasnya pengetahuan, wawasan, dan keterampilan saya. Selain itu, kritik dan saran dari pembaca sangat saya harapkan, guna untuk kesempurnaan referat ini dan perbaikan untuk kita semua. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa ilmu pengetahuan untuk kita semua. Bandar Lampung, 12 Desember 2017 Penulis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otitis eksterna (OE) adalah radang liang telinga akut maupun kronis disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, dan virus. Penyakit ini sering dijumpai pada daerah-daerah yang panas dan lembab dan jarang terjadi pada iklim-iklim sejuk dan kering. Otitis eksterna dapat dibagi menjadi otitis eksterna superfisialis dan otitis eksterna profunda atau otitis eksterna akut (OEA). Fistula preaurikular merupakan kelainan herediter yang dominan dan dapat terjadi ketika pembentukan daun telinga pada masa embrio. Fistula dapat ditemukan di depan tragus, tepi posterosuperior heliks, dan permukaan lateral crus heliks. Berbentuk bulat atau lonjong, dengan ukuran seujung pensil. Dari muara fistula sering keluar sekret yang berasal dari kelenjar sebasea. Sedangkan, perikondritis adalah infeksi perikondrium pada pinna dimana pus terkumpul diantara kartilago telinga luar dan perikondrium. Hal ini diakibatkan peradangan, terjadi efusi serum dan pus ke dalam lapisan perikondrium dan tulang rawan dari telinga luar. 1,2 1.2 Tujuan Tujuan penulisan laporan ini yaitu: a. Memenuhi tugas dalam menjalani kepaniteraan klinik SMF ilmu kesehatan telinga, hidung dan tenggorokan dan bedah kepala leher (THT-KL) RSUD Dr. H. Abdul Moeloek. b. Menjelaskan tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko,patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, penegakkan diagnosis, dan penatalaksanaan dari otitis eksterna. c. Menjelaskan tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko,patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, penegakkan diagnosis, dan penatalaksanaan dari Fistula preaurikular. d. Menjelaskan tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko,patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, penegakkan diagnosis, dan penatalaksanaan dari Perikondritis.
Mata merupakan suatu organ refraksi yang berfungsi untuk membiaskan cahaya masuk ke retina agar dapat diproses oleh otak untuk membentuk sebuah gambar. Struktur mata yang berkontribusi dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous dan vitreous humor. Cahaya yang masuk akan direfraksikan ke retina, yang akan dilanjutkan ke otak berupa impuls melalui saraf optik agar dapat diproses oleh otak. Kelainan refraksi ini terjadi apabila fungsi refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan sempurna (Guyton, 2014). Penyakit mata sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, terutama yang menyebabkan kebutaan. Kelainan refraksi (0,14%) merupakan penyebab utama kebutaan ketiga setelah katarak (0,78%) dan glaukoma (0,20%). Dari 153 juta orang di dunia yang mengalami kelainan refraksi, delapan juta orang diantaranya mengalami kebutaan (WHO, 2006). Kelainan refraksi merupakan suatu kelainan pada mata yang paling umum terjadi. Keadaan ini terjadi ketika cahaya tidak dibiaskan tepat pada retina sehingga menyebabkan penglihatan kabur. Kelainan refraksi secara umum dapat dibagi menjadi 4 bentuk yaitu miopia, hiperopia, astigmatisma, dan presbiopia. Miopia terjadi apabila cahaya dibiaskan di depan retina; hiperopia terjadi apabila cahaya dibiaskan di belakang retina; astigmatisma terjadi apabila sinar yang dibiaskan tidak terletak pada satu titik fokus; sedangkan presbiopia adalah hilangnya daya akomodasi yang terjadi bersamaan dengan proses penuaan. Penyebab kelainan refraksi dapat diakibatkan karena kelainan kurvatur atau kelengkungan kornea dan lensa, indeks bias atau refraktif, dan kelainan aksial atau sumbu mata. Kelainan
100314026 Dosen Pembimbing : 1. Ir. Vicky R.B. Moniaga, MSi 2. Dr. Ir. Theodora M. Katiandagho, MSi 3. Dr.Ir. Benu Olfie L.S., MS KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS SAM RATULANGI FAKULTAS PERTANIAN JURUSAN SOSIAL EKONOMI MANADO 2015 ABSTRAK Winanda Pangestu. Analisis Kinerja Keuangan Usaha Tahu -Tempe "Wenwin" di Desa Sea Kecamatan Pineleng Kabupaten Minahasa (di bawah bimbingan Vicky R.B. Moniaga, sebagai Ketua, serta Theodora M. Katiandagho dan Benu Olfie L.S. sebagai Anggota).
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BIDANG ILMU ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASASAR 2010 BAB I PENDAHULUAN Kasus luka bakar yang memerlukan perawatan terjadi pada pasien 500.000 per tahun di Amerika Serikat. 46% adalah luka bakar akibat api . Jumlah luka bakar serius menurun di Amerika Serikat karena peningkatan pencegahan seperti detektorasap, regulasi suhu air dan berhenti merokok. Namun masih ada sekitar 3500 kematian dari kebakaran area permukiman setiap tahun. Sekitar 75% dari kematian tersebut terjadi di tempat kecelakaan atau selama transportasi awal. Kematian yang terkait dengan luka bakar adalah terkait dengan usia pasien, persentase dari permukaan tubuh yang terbakar, dan adanya atau tidak adanya trauma inhalasi asap. Menurut model ini, pasien dengan luka bakar yang mencakup lebih dari 40% dari permukaan tubuh dan cedera inhalasi asap, diperkirakan memiliki resiko kematian dari 33%. Pasien luka bakar yang selamat akan mendapat jaringan parut, infeksi, kehilangan tulang dan massa otot, penyembuhan luka yang buruk, ketidakseimbangan hormone dan kegagalan fungsi paru-paru, hati atau ginjal. Kehilangan jaringan kulit menyebabkan regulasi panas dan penyembuhan luka menjadi lebih sulit,. Luka bakar kecil juga menyebabkan morbiditas yang signifikan, seperti hilangnya fungsi tangan atau kecacatan pada wajah. Pasien juga sering mengalami masalah sequel psikologis termasuk post-traumatic stress disorder (PTSD) dan depresi.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.