Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
22 pages
1 file
Studi Kasus terhadap Hakim Pengadilan Negeri Bandung dalam Penerapan Pasal 360 ayat (1) KUHP) dengan ganti rugi menurut Pasal 1366 dan 1371 KUH Perdata atau ganti rugi menurut kebiasaan) DISUSUN OLEH : MELIA SEPTIANDARI (P2B215024) MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JAMBI BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Jika Ia tidak menemukan hukum tertulis, Ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum, sehingga hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, atau dengan kata lain hakim mempunyai kewajiban untuk melakukan penemuan hukum. Krisis multi dimensi yang melanda bangsa Indonesia saat ini, perlu segera diatasi melalui reformasi di segala bidang sehingga memungkinkan bangsa Indonesia bangkit kembali dan memperkukuh kepercayaan diri atas kemampuannya, termasuk dalam bidang hukum.Cita-cita reformasi secara umum dituangkan dalam garis-garis besar haluan negara, yang berbunyi sebagai berikut, "Garis-Garis Besar Haluan Negara ditetapkan dengan maksud memberikan arah penyelenggaraan negara dengan tujuan mewujudkan kehidupan yang demokratis, berkeadilan sosial, melindungi Hak Azasi Manusia, menegakkan supremasi hukum dalam tatanan masyarakat dan bangsa yang beradab, berakhlak mulia, mandiri, bebas, maju dan sejahtera untuk kurun waktu lima tahun kedepan." (TAP MPR Nomor IV/MPR/1999). Sedangkan secara khusus, cita-cita reformasi di bidang hukum terdapat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara bidang hukum, butir kelima, keenam, dan kedelapan tentang aparat penegak hukum dan peradilan yang antara lain sasarannya disebutkan sebagai berikut, "Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum (tak terkecuali bagi Hakim), untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan serta pengawasan yang efektif; Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun; dan Menyelenggarakan proses peradilan secara
Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat penting. Kita ketahui bahwa hukum acara atau hukum formal bertujuan hendak memelihara dan mempertahankan hukum materiil. Jadi secara formal hukum pembuktian itu mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam RBg dan HIR. Sedangkan secara materil, hukum pembuktian itu mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut. Dalam jawab menjawab di muka sidang pengadilan, pihak-pihak yang berperkara dapat mengemukakan peristiwa-peristiwa yang dapat dijadikan dasar untuk meneguhkan hak perdatanya ataupun untuk membantah hak perdata pihak lain. Peristiwa-peristiwa tersebut sudah tentu tidak cukup dikemukakan begitu saja, baik secara tertulis maupun lisan. Akan tetapi, harus diiringi atau disertai bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu harus disertai pembuktian secara yuridis.
Makalah Hadis Hukum Keluarga
Ilmu pengetahuan merupakan sumber pula untuk menemukan hukum. Kalau perundang-undangan tidak memberi jawaban dan tidak pula adaputusan pengadilan mengenai perkara sejenis yang akan diputuskan, makahakim akan mencari jawabannya pada pendapat para sarajana hukum. Oleh karena itu ilmu pengetahuan bersifat obyektif, dan mempunyai wibawa karena diikuti atau didukung oleh pengikut-pengikutnya, sedangkan putusan hakim itu harus bersifat obyektif dan berwibawa, maka ilmu pengetahuan merupakan sumber untuk mendapatkan bahan guna mendukung atau mempertanggung jawabkan putusan hakim. Dalam menyelesaikan perkara, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Untuk itu, hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa yang bersangkutan secara objektif melalui pembuktian. Dengan demikian, pembuktian bermaksud untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa dan bertujuan untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua belah pihak dan menetapkan putusan berdasarkan hasil pembuktian, serta untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil atau peristiwa yang diajukan. Salah satu contoh yang masih hangat dimemori kita pada awal bulan yang lalu yakni divonis bebasnya beberapa kasus korupsi (koruptor) kelas kakap yang nyata-nyata telah merugikan Negara. Alasan yang lain yang tentunya sangat terkait dengan kajian ini yakni melihat bagaimana seorang hakim melakukan penemuan hukum dalam tugas dan tanggung jawabnya yang sudah menjadi kewajiban melekat pada profesinya serta sejauhmana hal itu dapat mewarnai dalam setiap putusan yang dilahirkan. Cara teoritis, penemuan hukum adalah suatu teori yang memberikan arah bagaimana cara menemukan aturan yang sesuai untuk suatu peristiwa hukum tertentu, dengan cara penyidikan yang sistematis terhadap sebuah aturan yang menghubungkan antara satu aturan dengan aturan lainnya. Oleh karena itu, penemuan hukukm sebenarnya merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Sehingga dalam penemuan hukum, selain hakim juga ada unsur lain yang bisa menemukan hukum, salah satunya adalah ilmuan hukum. Selanjutnya, berdasarkan realita yang terjadi di Indonesia bahwa akhir-akhir ini banyak keputusan, putusan, dan tindakan hakim atau dewan hakim yang mendapat kritik dan reaksi negatif dari masyarakat, siapa yang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Mahkamah Agung sendiri menyimpulkan bahwa terjadinya kritik dan reaksi negatif tersebut karena kurangnya atau lemahnya kontrol ketua pengadilan 3 atau lemahnya pengawasan manajemen pimpinan pengadilan 4 pada pelaksanaan tugas para hakim. Kelemahan pengendalian tersebut adalah karena keberadaannya kebingungan memahami prinsip independensi hakim diidentikkan dengan independensi peradilan. Berkenaan dengan asas independensi hakim, beberapa hakim memiliki memahami kebebasan hakim yang melekat pada dirinya sebagai kebebasan mutlak, sehingga dengan premis prinsip kebebasan hakim, beberapa hakim dapat melegitimasi semua tindakannya dan kepemimpinan pengadilan tidak cukup memiliki referensi argumentatif untuk membenarkan posisi anak buahnya yang salah mengartikan independensi hakim.
Fakultas Hukum, 2017
ABSTRAK Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan peradilan tertinggi ternyata masih berpedoman bahwa hukum acara merupakan hukum yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan hukum perdata materiil sebagai aturan main (spelregels) dalam melaksanakan tuntutan hak. Hukum acara khususnya hukum acara perdata memiliki fungsi penting, sehingga harus bersifat strict, fixed, correct, tidak boleh disimpangi, tidak boleh bebas menafsirkannya dan bersifat imperatif (memaksa) bagi hakim. Hakim peradilan umum dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara perdata menghadapi kenyataan bahwa hukum tertulis ternyata tidak selalu dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, mengingat kodifikasi undang-undang meskipun tampak lengkap namun tidak pernah sempurna, sebab ribuan permasalahan yang tidak terduga akan diajukan kepada hakim. Selama ini kuat anggapan yang menyatakan bahwa hakim perdata harus selalu bersikap pasif, sedangkan yang aktif hanya pihak-pihak berperkara atau kuasanya. Anggapan demikian, tidak sepenuhnya tepat. Dalam hukum acara perdata, hakim tidak semata-mata harus selalu bersikap pasif, melainkan dalam hal-hal tertentu hakim dimungkinkan, bahkan diwajibkan untuk bersikap aktif. Dalam hal-hal yang lain, hakim dibatasi untuk tetap bersikap pasif. Prinsip hakim bersikap aktif dalam perkara perdata tidak bertentangan dengan asas hakim bersikap pasif. Dalam hal yang bagaimana hakim harus tetap bersikap pasif, sedangkan dalam hal yang bagaimana pula hakim justru harus bersikap aktif, masing-masing menyangkut tindakan yang berbeda antara satu sama lain. Sifat pasif tersebut bermakna bahwa hakim tidak dapat menentukan luasnya sengketa dan hanya para pihak yang bersengketa yang menentukan kapan perkara akan diajukan dan kapan perkara akan diakhiri. Prinsip hakim bersikap aktif di dalam perkara perdata dimaksudkan untuk menjamin kelancaran jalannya proses persidangan, meminimalisir terjadinya gugatan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) dan untuk menjamin agar putusan yang dijatuhkan tersebut dapat dilaksanakan (executable). A. PENDAHULUAN Salah satu ciri dan prinsip pokok dari negara hukum adalah lembaga peradilan yang bebas dari kekuasaan lain dan tidak memihak. 1 Eksistensi lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi keadilan tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum modern di Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar 2 , yakni melalui kebijakan kolonial di 1 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm. 5. 2 Keadaan atau perkembangan seperti itu tidak hanya dialami oleh bangsa Indonesia, melainkan umumnya negara-negara di luar Eropa dan khususnya di Asia Timur, termasuk Indonesia. Keadaan seperti itu terjadi pula di China, Korea, Jepang dan lain-lain. Lihat Satjipto Rahardjo, "Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi dari
Bhudhi kuswanto Independensi Hakim Salah satu prasyarat berdiri tegaknya negara hukum yang demokratis adalah kemandirian kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan kemandirian kekuasaan kehakiman dapat menjamin kebebasan individu dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka sangat penting di dalam sebuah negara hukum. Menurut Alexander Hamilton sebagaimana dikutip oleh Aidul Fitriciada A, karena kemandirian kekuasaan kehakiman sangat penting, maka perlu adanya jaminan proteksi terhadap penegakan kemandiriannya. Jaminan proteksi kekuasaan kehakiman itu harus ada karena kekuasaan kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang paling lemah, oleh karena itu diperlukan perlindungan melalui konstitusi atau undang-undang dasar. 2 Sementara itu, Montesquieu menjelaskan begitu bahayanya jika kekuasaan kehakiman tidak mandiri atau merdeka. Menurut Montesquieu, 3 ...jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan legislatif, maka kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan sewenangwenang karena hakim akan menjadi pembuat hukum. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim bisa menjadi penindas…' Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman sudah seharusnya lepas dari segala macam bentuk pengaruh dan campur tangan kekuasaan
Abstrak Pada dasarnya Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk 2 0 1 6 memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 (1) menjelaskan bahwa ―Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dan diadili hendaknya mengunakan Teknik pengambilan putusan yang meliputi Tehnik Analitik, Tehnik Equatable, dan Tehnik Silogisme. Kata Kunci: Penemuan Hukum, Hakim, Hukum Acara, Peradilan Agama A. Pendahuluan Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, pertama kali harus menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, dokrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan 'bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya'. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 (1) juga menjelaskan bahwa 'Hakim dan Hakim Konstitusi wajib mengali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat'. Kata 'menggali' biasanya diartikan bahwa hukumnya sudah ada, dalam aturan perundangan tapi masih samar-samar, sulit untuk diterapkan dalam perkara konkrit, sehingga untuk menemukan hukumnya harus berusaha mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila sudah ketemu hukum dalam penggalian tersebut, maka Hakim harus mengikutinya dan memahaminya serta menjadikan dasar dalam putusannya agar sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam praktek Pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering dipergunakan oleh Hakim yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum atau menciptakan
2020
ABSTRAK Perkembangan profesi mengimplikasikan kepada tuntutan-tuntutan norma etik yang melandasi persoalan profesional. Kode etik profesi dapat menjadi penyeimbang segi-segi negatif dari suatu profesi sehingga kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi, sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Fungsi kode etik dan pedoman perilaku hakim menjadi aturan main seorang hakim di Peradilan dan hal ini dijadikan sebagai pijakan dasar bagi hakim beretika dan bertingkah laku. Problematika yang dihadapi seorang hakim dalam menjalankan kode etik dan pedoman perilaku hakim itu berbeda-beda tergantung dengan individu hakimnya, sebagian hakim sadar akan pentingnya menjalankan kode etik profesi, sebagian dari hakim juga mengabaikan kode etik tersebut di karenakan kurangnya pengetahuan mengenai kode etik dan pedoman perilaku hakim. Bahkan ada pula dari hakim lain yang menyatakan bahwa kode etik profesi ini terlalu sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu, perlu dibentuk standar kode etik profesi hukum yang akan menjadi pedoman untuk prilaku profesi. PENDAHULUAN Tegaknya supremasi hukum merupakan harapan seluruh masyarakat Indonesia yang hidup dalam Negara Hukum Indonesia. Penegakan hukum tidak telepas dari adanya peraturan perundang-undangan, lembaga penegak hukum dan aparat penegak hukum serta kemauan atau kesadaran masyarakat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hakim adalah salah satu aparat penegak hukum yang mempunyai tugas berat namun mulia. Salah satu persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum adalah pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Dengan memenuhi kriteria tersebut maka dapat menjamin keadilan bagi pencari keadilan dalam peradilan.
Sebagai masyarakat Hukum adat, persoalan tanah kemudian menarik untuk dilihat dari berbagai putusan Pengadilan. Berbagai asas, sifat, prinsip dan norma-norma yang dikenal di masyarakat kemudian menjadi pengetahuan dan digunakan didalam berbagai putusan.
Courts' verdicts issued by the judge ideally contain aspects of legal certainty, justice, and utility. It is not easy though to synergize the three aspects aforementioned. Between aspects of legal certainty and justice, in particular, there are always disagreements. The research results conclude that a judge does not have to stick on one principle whenever examining and deciding a case. In terms of obstacles, the judge is facing a deadlock whenever written stipulations cannot answer the problems arose. The emphasis on justice principle means that the judge should take into consideration the law, which exists in the society, including customs and unwritten laws. The judge in his argument and legal consideration must be able to accommodate any stipulations exist in the society, both customs and unwritten law. The emphasis on utility principle tends to direct to an economic nuance circumstance. It bases its thought on the idea that law is for human beings or public.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
AGUNG SANTOSO (734230038), 2024
Artikel Hakikat Hukum DI indonesia, 2024
Parman Negara, 2024