Academia.eduAcademia.edu

KONSTRUK TEORETIS MANUSIA BUGIS

Abstract

Sejarah panjang perjalanan manusia Bugis dimulai sejak kehadiran Tomanurung di Tanah Bugis, kehadiran Islam sampai pada penjajahan Belanda dan Jepang serta kemerdekaan yang diwujudkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam perjalanan panjang itu, sebagai suatu masyarakat yang berdaulat, Bugis memiliki kekayaan budaya yang masih sangat relevan dengan kemajuan zaman. Makalah berfokus pada pertanyaan pokok yaitu: bagaimana manusia Bugis memersepsi dirinya sebagai manusia yang berdaulat (tau). Data diperoleh dari Lontara, yang meliputi Lontara Paseng, Lontara Maplina Sawerigading Ri Saliweng Langi, Lontara Sukkuna Wajo, dan Lontara Latoa, serta berbagai hasil kajian dan pemikiran cendekiawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manusia Bugis sebagai tau (manusia paripurna) memiliki dua landasan pokok dalam berpikir dan bertindak, yaitu Siri dan Pesse. Siri adalah harga diri (self-repect) sedangkan pesse yaitu nyali (driving force). Kata Kunci: jati diri, Bugis, tau

Key takeaways

  • Dari data yang ditemukan dalam kepustakaan Bugis serta hasil-hasil kajian para cendekiawan manusia Bugis dapat dikonstruksikan sebagai berikut: Konstruk tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
  • Kalau saya berbicara, tidak ada lagi yang dapat menyahut, dan kalau saya berpendapat, tidak ada lagi yang bisa menyanggah) Sadda atau bunyi sebagai fenomena dalam alam raya ini memberi manfaat yang amat besar dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang berbudaya karena bunyibunyi itu memampukan manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
  • Bagi manusia Bugis keserasian antara perkataan dan perbuatan (ada na gau) adalah perwujudan dirinya sebagai tau (manusia).
  • Prinsip 5 | P a g e "Tau Sipakatau" itu merupakan pangkal bagi segala sikap dan tindakan manusia Bugis dalam hidupnya.
  • Menurut Mattulada (1996) harkat dan martabat yang menjadi "syirrun" atau "asrar" yang berarti hakikat seseorang yang pada lidah orang Bugis pada umumnya berarti "siri", juga bermakna kalbu atau nurani manusia.