Dari sela-sela krisis akut dalam "galaksi politik" Indonesia pada sejakkala abad lalu, sinar 'bulan sabit baru mulai terbit di ufuk langit Jakarta: yaitu munculnya intelegensia Muslim sebagai elit politik dan birolratik yang tengah menanjak. Pada masa akhir kekuasaan Suharto, setelah sejak tahun 1960-an berlangsung proses demoralisasi yang melanda politisi Muslim, sebagai integensia Muslim secara mengejutkan memainkan peran sentral dalam wacana social-politik Indonesia. Hamper bersamaaan, banyak bersamaan banyak dari integensia Muslim lainnya menduduki eselon-eselon atas dalam birokrasi pemerintahan, isu-siu yang menyangkut sepak terjang integensia muslim semakin mendapat liputan media yang luas, menyesul pendirian katan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) pada bulan Desember 1990. Ketika gerakan reformasi muncul pada 1997/1998, beberapa figure integensia Muslim memainkan peran krusial dalam proses pengunduran diri Suharto. Signifikan dari integensia Muslim ini semakin nyata pada masa pemerintahan (transisi) Habibie, yaitu ketika anggota cabinet dan pejabat senior berasal dari para anggota ICMI. Saat yang bersamaan, kepemimpinan partai Golkar (yang merupakan penerus dari pesin politik dari orde baru) mulai di dominasi oleh aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Capaian integensia Muslim ini memuncak saat terpilihnya Abdurahman Wahid (mantan ketua tanfiziah Nahdatul Ulama) sebagai presiden pasca-Habibie, yang disusul dengan penunjukan figure-figur Muslim sebagaipejabat-pejabat senior negara. Meskipun integensia Muslim pada akhir abad ke-20 telah mampu mencapai kredibilitas intelektual yang lebih kuat, selain juga menempati posisi-posisi politik dan birokrasi yang lebih baik, partai politik Muslim secara keseluruhan tak kunjung memperoleh dukungan suara mayoritas. Pada pemilihan umum tahun 1998, jumlah suara yang di peroleh oleh semua partai Muslim, termasuk partai-partai yang menjadikan pancasila sebagai asasnya, hanya sebesar 36,38% yang berti hanya merap 37,46% dari total kursi di DPR (yakni 173 kursi dari total 462 kursi yang ada). Lebih dari itu, saat posisi politik dan birokratik dari integensia Muslim meningkat, sebagai besar dari pemimpin senior Islammenjadi kurang terobsesi dengan klaimklaim Islam. Mereka tak terlalu lagi terobsesi dengan agenda pencatuman kembali "piagan Jakarta" dalam konstitusi negara. Meskipun pengaruh integensia Muslim meningkat dan sikap inklusif di kalangan Menguat, partai-partai Islam dan identitas-identitas komunal masih juga bertahan. Terus bertahannya identitas politk identitas Muslim ini bisa dilihat dari upaya-upaya yang dilakukan oleh lapisan-lapisan tertentu dari integensia Muslim, terutama dari kalangan generasi pemudanya, untuk berjuang demi diterapkannya Hukum Islam (Syariah). Saat bersamaan, label-label Islam masih tetap dipakai secara luas sebagai nama-nama bagi organisasi -organisasi kaum terpelajar dan politik. Seiring dengan kemunculan partai-partai muslim yang liberal maupun yang tak liberal (illiberal), pertarungan idiologi dan identitas politik baik antar kaum antar maupun intra tradiditradisi-tradisi intelektual yang ada terus berlangsung dengan agenda yang berbeda serta intensitas dan ekpresi yang beragam. Di sini, politik muslim mengalami fragmentasi internal dalam skala yang belum terjadi sebelumnya, seperti ditunjukan oleh kemunculan serta berlimpah partai-partai politik Muslim. Sepanjang era reformasi, bahkan integensia Muslim yang pernah bersatu dalam ICMI menjadi tercerai berai ke dalam beragam orientasi partai. Semua gambaran tersebut mencerminkan kesinambungan (continuity) dan perubahanperubahan (change) delam gerak perkembangan integensia Muslim . adanya gambaran diaronik dan sinkronik dari integensia Muslim ini patut memperoleh perhatian yang serius dari kaum akademisi, integensia Indonesia dengan meminjang kata-kata Shils, telah menjadi 'penyeru', 'pemimpin', dan 'pelaksana' dari politik nasional (Shils 1972:387). Untuk satu atau lebih asalan, tingginya keterlibatan politik dan keasyikan integensia Indonesia dalam pertarungan memperebuatkan kekuasaan masih tetap menjadi sebuah gambaran pokok dari dunia perpolitikan Indonesia. Maka upaya untuk memahami kesinambungan dengan perubahan-perubahan yang berlangsung dalam gerak perkembangan integensia Indonesia merupaka suatu yang penting untuk dilakukan agar kita dapat memahami kesinambungan dan perubahan-perubahan dalam pembentukan elit Indonesia dan politiknya. Lebih dari itu, tranformasi integensia Muslim dari posisi marjinal menuju posisi sntral dalam dunia politik dan birokrasi Indonesia tampak membingungkan jika kita hendak memahaminya dalam konteks studi-studi yang telah ada mengenai elit Indonesia modern dan politiknya. Clifford Geertz dala karyanya yang berpengaruh, The Religion of Java (1960-1976), menggambarkan bahwa elemen-elemen aristokrasi dan birokrasi (priyayi) dari masyarakat Jawa merupakan kalangan yang mempresentasikan pandangan dunia pra-Islam. Dia bahkan cenderung melukiskan priayi dan santri (elemen Muslim yang taat0 sebagai kategori yang bersifat bertentangan . Robert Van Niel (1970) melukiskan elit Indonesia Modern 'sebagai peniru caracara Barat' yang secar gradual tercerabut akarnya dari masyarakat Indonesia ' (1970: 23-7). R. William Liddle (1973) menyoroti dominasi 'para intelektualmodern yang sekuler' (secular medernising intellectuals) dalam kemunculan orde baru. Donald K. Emmerson (1976) mengamati bahwa pada akhir tahun 1960-an dan awal1970-an, rezim militer, tenokratik dan birokratik Indonesia tidak bisa disebut Muslim, baik dalam namanya maupun dalam praktiknya' (1976:23). Ruth McVey (1989) sendiri menggambarkan 'iman' (Islam) sebagai unsur luar dalam dunia politik Indonesia.