Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
10 pages
1 file
hukum adat betawi dengan hukum positif
Do Not Copy My Paper
Salam sejahtera untuk kita semua. Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karuniaNya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas karya tulis yang sangat sederhana ini.
Positivisme hukum adalah suatu gagasan besar tentang berhukum. Saat ini positivisme hukum jauh mendominasi atas seluruh aspek berhukum dalam jagad raya jika dibandingkan dengan aliran-aliran filsafat hukum lainnya. Apa lagi jika kita berbicara dalam ruang lingkup negara-negara modern. Positivisme hukum memainkan perannya yang sangat sentral dalam semua lini kehidupan. Bicara tentang positivisme hukum tidak akan menarik jika langsung masuk membedah pemikiran pemikir-pemikir besar positivisme hukum seperti John Austin, H.L.A Hart atau Hans Kelsen hingga tokoh positivisme hukum di Indonesia seperti Peter Mahmud Marzuki. Sebab berbicara tentang filsafat khususnya filsafat hukum tanpa mengetahui awal mula, atau sebab lahirnya sebuah pemikiran sama saja dengan membangun pengetahuan yang terputus.
Mimbar Hukum, 2018
Ilmu Hukum Adat Positif pada awalnya digagas untuk keperluan memudahkan Orang Barat (pejabat, penegak hukum, ilmuan) untuk memahami adat atau hukum adat. Ada dua hal penting dari proses melahirkan dan merumuskan muatan Ilmu Hukum Adat Positif ini. Pertama, introduksi pendekatan positivisme menghasilkan pandangan yang melihat hukum adat sebagai jurisprudence dan karena itu memiliki unsur-unsur yang menjadi penopang hukum adat sebagai sistem. Pendekatan ini mengakibatkan Ilmu Hukum Adat Positif menjadi berbeda dari studi-studi hukum adat yang menggunakan pendekatan sosial. Kajian sosial hukum adat tidak membayangkan ada unsur-unsur universal yang bisa merepresentasikan adat atau hukum adat, yang dalam kenyataanya beragam karena memiliki keunikan-keunikan. Perbedaan ini sekaligus menjauhkan Ilmu Hukum Adat Positif dari studi-studi sosial, yang dijadikannya sebagai rujukan awal. Kedua, introduksi pendekatan positivisme sekaligus merupakan tindakan menerapkan pemikiran-pemikiran Hukum Barat (western legal thoughts) dalam menggambarkan hukum adat. Hasilnya, sebagian gambaran mengenai hukum adat yang dihasilkan dari pendekatan ini, bersifat bias. Tulisan ini berargumen bahwa pendekatan posivistik dalam Ilmu Hukum Adat Positif telah membuat disiplin ini menjauh dari sifat alamiah hukum adat yaitu yang terus berkembang mengikuti proses dinamik relasi-relasi sosial. Tulisan ini, selain memaparkan sejarah kelahiran Ilmu Hukum Adat Positif, juga memperlihatkan bagaimana Ilmu Kukum Adat Positif tidak mampu merespon dinamika pada hukum adat dengan cara melihat ulang istilah dan konsep-konsep yang digunakan beserta pengertiannya.
Hukum adat karena sifatnya yang tidak tertulis, majemuk antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka perlu dikaji perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih hidup , apakah sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu.
Masalah-Masalah Hukum
Pendekatan positivistik terhadap hukum adat yang melahirkan ilmu hukum adat positif dianggap membuat studi hukum adat bersifat statis. Tulisan ini bertujuan menggali penggunaan nalar positivistik dalam penelitian hukum adat dan menjawab kontribusi nalar positivistik terhadap perkembangan studi hukum adat. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan laporan penelitian normatif empiris tentang hukum adat sebagai basis datanya. Pendekatan positivistik ternyata tidak membuat kajian hukum adat menjadi ajek/statis. Realitas lapangan yang dinamis berkontribusi untuk memutakhirkan konsep-konsep hukum adat yang telah mapan. Sebagai contoh bidang tanah adat perseorangan yang dapat dijual lepas mengkritisi konsep inalienablility tanah ulayat dan anak perempuan dari kekerabatan patrilineal dapat mewaris harta ayahnya juga mengkritisi konsep anak perempuan bukan merupakan ahli waris dalam kekerabatan patrilineal.
The Practice of Mut'ah Marriages in Indonesia in the Review of Islamic Law and the Law of Marriage. Mut'ah marriage is marriage performed by a certain time limit which in Indonesia known as the marriage contract. Sunni Muslim tend to forbid the practice of mut'ah marriage while Syi'ah allow it. The practice of mut'ah marriage has been rife in some areas in Indonesia where the Sunni is majority so many people who protest and regard it as deviant behavior or forbidden. Laws marriage prohibits the practice of mut'ah marriage as Law Number 4 of 1974 and Government Regulation Number 9 of 1975 although there is a part of society who gives a different interpretation of the legislation.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Journal Presumption of Law
JISH: Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, 2021
Febri Setiawan, 2021
Insan Cendekia Mandiri, 2020