Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
2024, Siti Madinatul Munawaroh
…
13 pages
1 file
Kekuasaan kehakiman menjadi tanggung jawab peradilan agama yang memiliki konsekuensi logis oleh berbagai problem maupun tantangan secara internal yang mencakup status pengangkatan hakim, sistem peradilan, pendidikan juga pengetahuan hakim, moralitas dan kesejahteraan hakim. Posisi dalam kualifikasi maupun praktik dalam menangani perkara di Peradilan Agama harus dipahami baik secara materi, pokok perkara, fakta-fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sesungguhnya. Semangat lembaga peradilan sebagai garda terdepan dalam menegakkan hukum da menciptakan keadilan dapat diwujudkan melalui kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan negara dan kekuasaan yang lain, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Assalamu"alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahirobbil "alamin. Segala puji bagi Allah, Rabb sekalian alam, yang telah melimpahkan nikmat, kesempatan dan kekuatan sehingga buku ini dapat terbit dan sampai di hadapan sidang pembaca yang budiman. Peradilan Agama di samping sebagai "institusi hukum" (aspek yuridis) yang menegakkan kepastian hukum dan keadilan (aspek filosofis) juga sebagai "institusi sosial", yaitu mengakomodir dinamika perkembangan sosial atau masyarakat dari aspek hukum yang berakibat putusan hakim Peradilan Agama mempunyai nilai manfaat (aspek sosiologis).
A. Pendahuluan Perceraian merupakan sesuatu yang dapat timbul atau terjadi karena adanya suatu ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan seperti halnya disebutkan dalam KHI yang menyebutkan bahwa " perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah." 1 , dan undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi " Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". 2 Akan tetapi, proses kehidupan yang terjadi terkadang tak jarang yang tidak sesuai dengan apa yang diimpikan. Hambatan serta rintangan pun bermacam-macam dan datang dari segala penjuru. Apabila dalam perkawinan, sepasang suami dan istri tidak kuat dalam menghadapinya, maka biasanya jalan yang ditempuh adalah dengan cara bercerai atau berpisah yang secara hukum dikenal dengan sebutan perceraian. Adanya pengaturan mengenai perkawinan seperti KHI dan UU No 1 Tahun 1974 adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi adanya hubungan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan resmi yang disebut sebagai ikatan perkawinan. Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa adanya perkawinan dapat menimbulkan suatu akibat-akibat yang oleh karena akibat tersebut membutuhkan suatu hukum yang mengaturnya agar tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan di kemudian hari.
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektris maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penulis dan Penerbit.
Ketidakberdayaan sistem ekonomi kapitalis, sosialis dan berbagai jenis sistem lainnya telah memberikan peluang bagi perkembangan ekonomi yang bernuansa syariah. Sistem ekonomi syariah merupakan sistem ekonomi yang mandiri, bukan diadopsi dari ekonomi liberal, komunis, kapitalis dan sebagainya. Sistem
PRODUK HUKUM PERADILAN AGAMA, 2018
Indonesia yang notabene adalah negara yang menganut prinsip "rule of law" telah menumbuhkan sebuah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum. Oleh karena itu, supermasi hukum menjadi salah satu dari tujuan segala elemen di dalam pemerintahan dan rakyat itu sendiri. Oleh karena melihat kenyataan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara yang terbentuk dari berbagai agama, ras, bahasa, dan budaya; maka tuntutan hukum yang digunakan di dalam Peradilan Agama di Indonesia juga ditentukan. Dalam hal ini, pruduk hukum yang dikuasai oleh sebuah badan peradilan juga ditentukan. Maka setiap pengadilan yang ada di indonesia, telah ditentukan apa saja yang boleh di hasilkan oleh peradilan tersebut. Sudah tentunya, Peradilan Agama yang berada di Indonesia memiliki ciri-ciri yang sama. Ini dikarenakan kesemua peradilan yang ada di Indonesia ini berada di bawah naungan/kekuasaan Mahkamah Agung. Peradilan Agama pada awalnya diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di berbagai peraturan. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dan telah dirubah sebanyak dua kali. Dengan adanya perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang produk hukum di pengadilan pada lingkungan
SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA, 2018
Peradilan di Indonesia adalah merupakan salah satu institusi pelaksana kekuasaan kehakiman, yakni suatu kekuasaan Negara yang merdekan untuk menyelenggarakan paradilan guna menegaskan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya negara hukum republik Indonesia. Di mana dalam tata hukumnya, UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dan UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama adalah merupakan tiang pancang dan dasar genggaman keberadaan agama di negara kita Hukum acara adalah aturan-aturan yang mengatur tentang bagaimana beracara di depan persidangan pengadilan.2 Hukum acara disebut juga hukum formil sebagai kebalikan dari hukum materiil. Hukum formil yaitu aturan-aturan yang mengatur tata cara untuk mempertahankan hukum materiil. Sedangkan hukum acara peradilan agama adalah segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara maupun dari syariat islam yang mengatur bagaimana cara bertindak di persidangan pengadilan agama dan juga mengatur bagaimana cara pengadilan agama menyelesaikan perkaranya untuk mewujudkan hukum materiil Islam yang menjadi kekuasaan peradilan agama.3 Hukum acara peradilan agama selain mengatur tata cara beracara di persidangan bagi para pihak yang berperkara dipengadilan, juga mengatur tata cara pengadilan unutk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan agar tercapai keadilan dan ketertiban hukum. Pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama menyatakan: " hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang " .
ANDI BATARI ANINDHITA, 2020
Abstrak Agama merupakan institusi yang tabu untuk dibahas bagi sebagian kalangan. Hal ini menyebabkan agama pada mulanya dijalankan layaknya tambang yang sudah kering; sangat sulit untuk digali. Agama dipresepsikan sebagai hal ihwal yang bersifat final, sehingga tidak perlu dikaji secara komperhensif. Namun tradisi agama yang rigid tersebut berkembang dan mengalami beberapa pergeseran, dalam tahapan selanjutnya klaim kebenaran dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berbasis kuat pada rasionalitas, di era ini , agama justru dinilai mengalami masa yang buruk, sebab kadar spiritualitas dari agama terdegradasi akibat dominasi rasionalitas yang terlalu timpang, sehingga agama justru hanya dikaji sebagai objek materil dan lepas dari nilai-nilai luhurnya. Selanjutnya ialah upaya menggapai kebenaran yang dititikberatkan pada pengalaman pribadi manusia dalam beragama dan mengalami Tuhan. Pada tahapan ini proses untuk tiba pada kebenaran disandarkan pada penghayatan fenomenologi dan eksistensi manusia, bahwasanya manusia dalam kehidupan kesehariannya merupakan suatu suatu entitas yang terkait erat dengan Tuhan, bukan realitas yang terpisah. Kata Kunci : Agama; Klaim Kebenaran. Abstract Religion seen as a taboo topics to be discussed. This caused religion slightly similar as a mining that had hard to excavated; difficult to discuss. Religion tend to perceived as a final statement, so it does not need to be studied comprehensively. However, the rigid religious tradition developed and underwent several shifts, in the next stage the truth claim was made using a strong approach to rationality, religion was judged to be having a dark time, because the level of spirituality of religion was degraded due to the dominance of rationality that was too lame, so that religion is only studied as a material object and excluded its noble values. The next stages is the aim to reach the truth that is focused on the personal experience of humans in religion and experiencing God. At this level the process of perceiving the truth rests on the appreciation of phenomenology and human existence, that man in his daily life is an entity that is closely related to God, not as separate reality.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
https://badilag.mahkamahagung.go.id, 2013