Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
2024, Jurnal Subtantia
https://doi.org/10.22373/substantia.v26i1.25442…
19 pages
1 file
This study explores the concept of multiculturalism within the fisherman community of Pusong Village, Lhokseumawe, Aceh Province. Here, multiculturalism naturally emerges among lowincome and fisherman populations, not upheld by the educated members of the society. This research aims to identify how multiculturalism is maintained in a village that has historically grown on the outskirts of Lhokseumawe since the beginning of Indonesia's independence. The focus is on understanding the existing social relationship patterns, exploring the multicultural understanding developed by the community, and investigating why the majority of the fisherman community accepts a diversity of ethnicities and religions in their village. A qualitative descriptive methodology was employed, with data gathered through field observations, in-depth interviews, and relevant literature analysis. The findings reveal that the sustenance of multiculturalism in Pusong Village is supported by communal empathy, active roles of community leaders as models of socialization, high social concern, social interactions transcending individual backgrounds, and strong adherence to local norms and rules. Multiculturalism in Pusong Village organically evolves, significantly influenced by the economic and social dynamics associated with the village's position as a port and market area. This study demonstrates how ethnic and religious diversity in Pusong Village can serve as an exemplar of how diversity can promote social harmony and enhance communal welfare.
Teopilus Epidonta Tarigan, 2022
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozait. Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar didunia. Pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradapan dan kebudayaan yang berada dalam posisi yang sejajar dan sama, tidak ada kebudayaan yang tinggi atau dianggap lebih tinggi dari kebudayaan lain, dialog meniscayakan adanya persamaan dan kesamaan diantara pihak-pihak yang terlibat, anggapan bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan yang lain akan melahirkan fasisme. Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia suatu sistem arti, bentuk organisasi sosisal sejarah, dan adat serta kebiasaan. Kata kunci: Multikulturalisme, masyarakat multikultural.
Masyarakat Indonesia, 2017
Tulisan ini membahas implementasi multikulturalisme oleh masyarakat yang bermukim di Desa Kerta Buana. Nilai-nilai multikulturalisme itu telah diterapkan sejak pemerintah Indonesia menempatkan mereka di lokasi yang baru itu sebagai peserta transmigrasi. Implementasi dari nilai-nilai itu penting karena para transmigran di desa yang jauh dari asal mereka datang dari berbagai tempat dengan agama dan kebudayaan yang berbeda. Perbedaan itu berpotensi menciptakan konflik apabila gagal dikelola. Tokoh dari setiap kelompok masyarakat dan agama memahami perbedaan itu, sehingga mereka mendorong setiap kelompok agar dapat hidup bersama. Meskipun masyarakat di Desa Kerta Buana tidak memahami konsep multikulturalisme, secara tidak sadar bahwa nilai-nilai multikulturalisme itu sudah mereka aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Lewat tulisan ini, kita dapat melihat masyarakat multikulturalisme di Desa Kerta Buana melalui kehidupan yang mereka jalani.
Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 2019
Nagari is a customary law community unit that lives within the Minangkabau community unit area which has clear natural boundaries, under the leadership of the chief, has its own rules and carries out arrangements based on consensus. In its development there is a lot of unification of several nagari into one nagari like in the Nagari Ranah Palabi. The reason for the union of the two Nagari into one Nagari was due to the impact of regional expansion which eventually directly changed the geographical pattern of the region. Considering the territory of the Palabi Territory whose territory is insufficient for criteria, it was finally put together with the village of Bukit Tujuh (sp8). From the merging or unification of the two villages between the villages of Ranah Palabi (SP 6) and the Village of Bukit Tujuh (SP 8), a new dynamic was created, both in terms of social, customs and customs. The occurrence of such assimilation certainly raises new social dynamics and is certainly different from the dynamics of the origin of each village so that it can foster customs, lifestyles and habits of the community itself. The formulation of the problem in this research is how is the social dynamics of the community as a result of the union of two villages? and what are the steps of the Nagari government in dealing with these social dynamics? The method in this study uses a qualitative descriptive method. Nagari Ranah Palabi is a nagari formed from the merger of two nagari, namely Nagari Ranah Palabi sp6 and Bukit Tujuh sp8. The research found that the unification gave rise to social dynamics of the community which disrupted the development and development of the country, especially towards the Nagari Ranah Palabi community. The social dynamics can be seen in all aspects such as the aspects of development, religion and youth. In the development aspect many developments are carried out based on a (primordial) kinship system where if there is a representative of their region who becomes a village apparatus or in the Nagari government, development must be carried out in their area as well as the struggle for the implementation of development by each of the respective regions. For this reason, it is necessary to have actions or efforts by the Nagari Ranah Palabi government to solve these problems so that the achievement of a unified, peaceful and equitable community. The role of the Nagari Government is very necessary in this matter because the Nagari government is the highest government institution in or in the Nagari.
NURJANNAH, 2021
The aim to be achieved in this literature study is how to interpret multicultural as a wealth of the Indonesian State (not as a difference that gives birth to classes) that must be maintained and cared for by the next generation. No matter how strong the divisions, diversity in Indonesia is unavoidable. Three aspects of the pattern of human life that are based on different spaces which then form the basic human nature of mountainous, coastal and lowland communities, are one of the many factors that cause multicultural presence as a necessity. The strategic geographic location is the next factor that also gives a large contribution to the diversity of ethnicity, religion, language and culture in Indonesia. The multi-nation that is held demands this country to present a tool to protect and maintain multiculturalism and its consequences in accordance with the conditions of the times. Millennials as Patron Reformers have a heavy responsibility in caring for this. Multiculturalism is like two blades, can be wealth if guarded by rationality and awareness, and will be a boomerang if left unchecked. Abstrak Tujuan yang hendak dicapai dalam studi kepustakaan ini adalah bagaimana menafsirkan multicultural sebagai suatu kekayaan Negara Indonesia (bukan sebagai suatu perbedaan yang melahirkan kelas) yang wajib dijaga dan dirawat oleh generasi penerus. Sekuat apapun perpecahan, keberagaman di Indonesia tidak dapat dihindari keberadaannya. Tiga aspek pola keja manusia yang berpijak dari ruang yang berbeda yang kemudian membentuk sifat dasar manusia yakni masyarakat pegunungan, pesisir dan dataran rendah, adalah satu dari banyak faktor yang menyebabkan multicultural hadir sebagai suatu keniscayaan. Letak Geografis yang begitu strategis menjadi faktor selanjutnya yang juga memberikan sumbangsi besar terhadap multinya suku, agama, bahasa dan Budaya di Indonesia. Multibangsa yang disandang menuntut Negara ini untuk menghadirkan alat guna melakukan perlindungan dan pemeliharaan multikulturalime beserta konsekuensinya sesuai dengan kondisi zaman. Generasi Milenial sebagai Patron Pembaharu mempunyai tanggungjawab berat dalam merawat hal ini. Multikulturalime bagaikan dua mata pisau, bisa menjadi kekayaan jika dijaga dengan rasionalitas dan kesadaran, dan akan menjadi boomerang jika dibiarkan begitu saja.
2021
Artikel ini menjelaskan dua hal penting, yakni realita dan faktor masyarakat nelayan di Indonesia serta upaya pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan bagi masyarakat nelayan di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi
Budaya spiritual etnis Sasak dalam perjalanannya telah mengalami perkembangan yang cepat. Diawali dengan masuknya agama Islam dari Jawa dan Makasar, serta agama Hindu dari Bali. Kehadiran kedua agama tersebut kemudian diolah masyarakat Sasak dalam konsep sinkretisme, dan wadah puncaknya berupa ajaran Islam Wetu Telu. Pengejahwantahan dari sinkretisme menghasilkan tradisi-tradisi sebagai penguat identitas etnis Sasak. Satu di antara tradisi yang ada, yaitu Bau Nyale. Sebagai pokok sandaran analasis penulisan membatasi tiga pokok rumusan, yaitu 1) apa fungsi tradisi Bau Nyale bagi masyarakat pendukungnya; 2) nilai-nilai budaya apa saja yang dimuat dalam tradisi Bau Nyale; 3) Kenapa diberi pengakuan, penghargaan dan kesetaraan tradisi Bau Nyale dengan tradisi yang lain yang hidup di Lombok oleh komunitas lain. Pisau analisis untuk mengidentifikasi yaitu teori semiotika dan neo-fungsionalisme. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan teknik deskriptif interpretatif. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi fungsi-fungsi dan nilai budaya yang dimuat pada tradisi Bau Nyale. Dari hasil mengidentifikasi, maka karya budaya intangible Bau Nyale layak sebagai tradisi yang memiliki nilai multikulturalisme dan pluralisme. Kata kunci: Bau Nyale, sinkretisme, multikulturalisme dan pluralisme. Sasak ethnic spiritual culture in its journey has experienced rapid development. It starts with the entry of Islam from Java and Makasar, as well as Hinduism from Bali. The presence of the two religions is then processed by the Sasak community in the concept of syncretism, and the top place is the teachings of Islam Wetu Telu. The implication of syncretism resulted traditions as a reinforcement of Sasak ethnic identity. One of the existing traditions, is the Bau Nyale. There are three main issues in this research, which are 1) what is the function of Nyale Bau tradition for the support community; 2) what cultural values are contained in the Bau Nyale tradition; 3) why is Bau Nyale tradition given the recognition, appreciation and equivalence with other traditions that live in Lombok by other communities. Theories used to identify are the semiotics theory and neo-functionalism. This research is a qualitative research with descriptive interpretative technique. The purpose of this study is to identify the functions and cultural values contained in the Bau Nyale tradition. From the results of identifying, the Bau Nyale cultural work deserves a tradition that has value multiculturalism and pluralism.
Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Universitas Muhammadiyah Makassar A. PENDAHULUAN Multikulturalisme menurut Tariq Modood dalam Hoon, C. Y. (2013) adalah suatu istilah yang menarik. Ia bisa dipahami berbeda oleh banyak negara tergantung latar belakang sosial politik yang mengiringi kemunculan istilah ini. Seperti halnya dengan Negara Amerika Serikat, multikulturalisme diartikan secara politik digunakan untuk mengakui hak asasi manusia dan kesetaraan warga negara sebagai respon atas meningkatnya klaim atas perbedaan kelompok, seperti etnis Afrika, kelompok etnis minoritas, perempuan, gay dan lain sebagainya. Berbeda dengan Negara-negara Eropa, multikulturalisme adalah respon yang muncul dari imigrasi pendatang dari luar Eropa, dari orang non-kulit putih yang masuk ke negara-negara mayoritas kulit putih. Dalam hal ini, multikulturalisme berbentuk pengakuan atas kelompok-kelompok yang berbeda dalam ruang publik dan memiliki fokus yang lebih sempit yaitu berfokus pada konsekuensi imigrasi dan perjuangan dari beberapa kelompok marjinal. (Modood 2013). Kebanyakan negara Eropa bisa jadi memiliki pengalaman yang mirip terkait imigrasi, akan tetapi fokus dari kebijakan multikulturalnya bisa bermacam-macam. Di beberapa negara, bisa jadi rasisme dan warisan kolonialisme menjadi sentral; di beberapa yang lain, perhatiannya mungkin tertuju pada bagaiamana merubah kondisi pekerja tamu ini menjadi warga negara yang setara ketika kondisi sebelumnya tidak menawarkan kesempatan untuk menjalankan kuasa demokratis (Modood 2013). Kesimpulan dari berbagai pendapat tentang multikulturalisme adalah merupakan respon suatu masyarakat atau pemerintah terhadap isu-isu keragaman budaya dalam suatu masyarakat, selain itu multikulturalisme sudah menjadi suatu ideology untuk melegitimasi masuknya keragaman etnis dalam struktur umum masyarakat termasuk dalam struktur politik dan multikulturalisme merupakan salah satu desain kebijakan publik untuk menciptakan kesatuan nasional dalam suatu keragaman. Sedangkan pluralism menurut Furnivall dalam Helmiati, H. (2013) mendefiniskan masyarakat plural sebagai "comprising two or more kehadiran dua atau lebih komunitas yang berbeda, tinggal berdampingan dalam satu unit politik, akan tetapi tidak saling berkait antara yang satu dengan yang lain; pembagian ekonomi berjalan seiring dengan pembagian budaya. Jadi masyarakat plural merupakan masyarakat yang memiliki lebih dari satu komunitas yang berbeda (beda bahasa, adat ataupun nilai sosial yang dianut), yang hidup berdampingan dalam suatu tatatanan pemerintahan seperti pemerintahan kerajaaan atau adat, namun antara komunitas yang satu dengan yang lain tidak saling terkait atau memiliki hubungan darah secara geneologis, setiap komunitas menjalankan kehidupan sosialnya masing-masing seperti memenuhi kebutuhan sehari-hari sampai pada menciptkan budaya sendiri.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Trussmedia Grafika, 2019
Aliya Zahra Patriady, 2020
Prosiding Seminar International Multikultural & Globalisasi , 2012
Muhammad Adi Wahyudi, 2020
MULTIKULTURALISME, KESETARAAN DI ERA GLOBALISASI, 2022
Dedy Kristanto, 2019