Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
Sebuah rekonstruksi awal tentang agama dan pemahaman kita tentang agama.
Nalar: Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam, 2019
Di tengah sengkarut ekonomi global yang menyebabkan kesenjangan yang tajam, masyarakat dan elit-elit politik di dunia seolah telah kehilangan daya kritis untuk melawan penindasan dan penghisapan berkedok pembangunan. Di situlah Islam, sebagai agama yang transformatif, seharusnya mampu hadir sebagai penawar. Secara normatif, Islam bukanlah agama yang menafikan tanggung jawab sosial. Malahan dalam firman-Nya, Allah Swt menyatakan seorang muslim sebagai pendusta agama apabila sementara ia beribadah, ia mengacuhkan kondisi prihatin fakir dan yatim di sekitarnya (107: 3). Doktrin utama Islam, doktrin tauhid juga mengisyaratkan kesatuan manusia (The unity of man) sebagai hamba yang tunduk patuh kepada kesatuan Tuhan (The unity of God) dan karenanya menolak upaya penuhanan lainnya. Tulisan ini mengajukan sebuah konsepsi mengenai Islam selaku teologi kritis yang memiliki pesan utama agar penganutnya melakukan perubahan sosial. Konsepsi itu memperlihatkan Islam yang membebaskan melalui lima elemen teologis, yaitu: doktrin, kisah, subjek, kesadaran, dan pendidikan yang membebaskan. Amid the turmoil of the global economy which led to sharp disparities, the people and political elites in the world seemed to have lost the critical power to oppose the oppression and exploitation under the guise of development. That is where Islam, as a transformative religion, should be able to come as an antidote. Normatively, Islam is not a religion that denies social responsibility. In fact, in his word, God declared a Muslim a religious liar if while he worshiped he ignored the conditions of concern for the needy and orphans around him (107: 3). The main doctrine of Islam, the doctrine of monotheism also implies human unity (The unity of man) as a servant who obeys to the unity of God (The Unity of God) and therefore rejects other full efforts. This paper proposes a conception of Islam as a critical theology which has the main message that followers adhere to social change. This conception shows a liberating Islam through five theological elements namely doctrine, story, subject, consciousness, and liberating education.
MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
This article tries to explore Jamal's interpretation of ḥikmah in the Quran. Beside the discourse of ḥikmah still being polemic, Jamal’s decision to lay ḥikmah into fundamental place upon his broad thought is an obvious factor why they were chosen herein. One could catch the later through how Jamal in his interpretation had parallelized ḥikmah with Syafii’s particular word, qiyās. Jamal criticized Syafii’s interpretation in relation to ḥikmah which state that ḥikmah was not anything except sunnah. On another hand, he also put his construction of ḥikmah into what he called as new Islamic systematic knowledge, al-mandhumah al-jadidah li ma’rifat al-Islamiyyah. He regretted fiqh which had made many Moslems being oppressed either in thought or physic and subsequently proposed ḥikmah as the change of fiqh as the third source of new Islamic systematic knowledge. In time, there are two critical points concerning Jamal’s interpretation and the oppressed, those are Jamal’s status as a la...
2016
Dalam rangka menjawab tantangan persoalan kemiskinan, Islam sebagai agama yang rahmatan lil'alamin mendorong dan menganjurkan pemeluknya melakukan ibadah yang bertendensi seperti infak dan sedekah. Karena Tuhan menyadari adanya keterbatasan amal manusia seperti keangkuhan orang-orang yang memberi dan perasaan hina dari orang-orang yang diberi, maka Tuhan mewajibkan zakat sebagai pemberian wajib-bahkan dengan cara direnggut sekalipun-atas sejumlah harta yang telah dikenai ketentuan hukum. Zakat menjadi jalan lain yang ditetapkan Tuhan dalam menyelesaikan problem kemiskinan. Pelaksanaan ibadah ini tidak diserahkan kepada kemauan orang yang dikenai wajib zakat, akan tetapi sejarah menunjukkan bahwa sejak zaman Nabi dan Sahabat, zakat dalam penunaiannya "dipaksakan" dan ditangani langsung oleh aparat yang berwenang. Sebagai suatu kewajiban yang dibebankan kepada para muzakki di kalangan muslim, dalam pelaksanaan pengambilannya zakat direnggut dari tangan orang-orang kaya dan distribusikan kepada para mustahiq, yang notabene adalah orang-orang miskin. Dalam tulisan ini akan mengetengahkan model perenggutan yang berdasar pada teologi dengan pemberlakuan zakat atas harta hasil eksploitasi. Kata kunci: teologi pembebasan, zakat mal, malkiyat i-zor brought to you by CORE View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk provided by Portal Jurnal Online Kopertais Wilyah IV (EKIV)-Cluster...
Skripsi, 2023
The research entitled "The Concept of Liberation in Minjung theology and its relevance to the context in Indonesia" is a study that contains the concept of liberation from an Asian contextual theology namely Minjung theology and its relevance in the Indonesian context which includes the socio-political, economic, cultural and religion. One of Asia's contextual liberation theologies is minjung theology from Korea. This theology exists as a form of criticism of injustice that occurs because all forms of social life are politicized by those in power. It is this situation of powerlessness that spurs society to carry out a revolution towards liberation. The aims of this study are: 1) to explain the meaning of Minjung theology; 2) Explaining the analysis of the concept of liberation of Korean minjung theology as one of Asia's liberation theologies; 3) Explain the relevance of Minjung theology to the context in Indonesia. This research is a qualitative type of literature research using library research and citing the views of experts from various sources of books and journals related to the subject matter discussed. The results obtained from this research are: first, minjung theology is relevant to the context in Indonesia. The relevance of the context in Indonesia lies in the messianic concept of minjung, the concept of ''han'' which is opposed to the concept of ''dan'', and the vision of a new society. Second, Minjung theology makes a theological contribution to the Indonesian context. Minjung Theology through its reflections wants to present the concept of the Church as the Sacrament of Salvation in the historical context of mankind. Keywords: Liberation theology, Minjung, Context, Indonesia.
Ini adalah hasil elaborasi dari tulisan Freire yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas, (trj), (Jakarta : LP3ES, 1985),
Salah satu penyimpangan pemikiran yang terjadi pada permulaan abad Islam adalah adanya anggapan bahwa pengaruh perbuatan akan menghalangi proses penciptaan kebahagiaan manusia. Dengan kata lain, seseorang harus menanggalkan cara berpikir yang realistis, untuk kemudian menggunakan pemikiran imajinatif. Padahal, apabila seseorang merujuk kepada al-Quran yang merupakan rujukan dan sandaran pertama kita serta sunah Nabi dan para imam suci, maka akan nampak dengan jelas bahwasannya Islam merupakan agama yang amat menekankan pengikutnya untuk senantiasa beramal.
2018
Theological reflection on grace has a long history. Disput between Augustine and Pelagius on grace has been very well known. In modern times, controversy about grace was raised in the dispute between the dominicans (Thomism) and the Jesuits (Molinism). Learning from weaknesses in those debates, a theological reflection with the 'liberty' paradigm affirms that grace must be understood as nothing other than Godself in action and relation to human beings. Gratia increata should not be separated from gratia creata . Grace is given not only because of human sin, but because of an essence that longs for fulfillment. The working power of grace is not an absolute one as not to leave space for human freedom. Accordingly, grace should not be understood as merely an inward thing. The historical aspect of grace should not be ignored.
2015
Tulisan ini mengkaji tentang pemikiran islam kritis yang direpresentasikan oleh dua tokoh Islam, Ali Ashghar Engineer dan Hasan Hanafi. Studi difokuskan pada dua karya tokoh tersebut, yakni buku Islam Teologi Pembebasan dan Kiri Islam. Analisis menggunakan pendekatan analisis isi, dimana konsep yang terdapat pada teks kemudian dikaji dan disimpulkan. Hasilnya, Islam sama-sama menjadi spirit, teologi, etika, dan paradigm kritis dalam memandang realitas. Paradigma kritis melihat realitas sebagai sebuah sistem yang terbangun. Perubahan social diperlukan dalam rangka membangun relasi social yang adil.
MELINTAS
The author introduces a way of theologising by way of a particular paradigm, that is, ‘freedom’ paradigm. From the philosophical viewpoint this way of thinking according to the paradigm is chosen with the consideration that it has become one of the central themes in modern thought, is not under the level of reflection reached by the modern thought, and conforms the requirement of reason to borderlessly question the fundamental cause of everything. From the theological viewpoint, the choice for this paradigm has a consequence that ‘freedom’ becomes the reference, towards which theological reflection always directs itself. The author shows that ‘freedom’ paradigm brings the potential to be the reference in understanding and formulating Christian fundamental doctrines on many themes: on God and the reality of creation, humanity (theological anthropology), Jesus Christ (Christology), grace and sacraments, concepts of salvation (soteriology), history and its final meaning (eschatology), ...
Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, 2020
AbstrakTeologi pembebasan ialah hadir untuk menjawab persoalan sosial, baik itu persoalan kemiskinan,kebodohan,ketidakadilan dan ketertindasan terhadap kaum-kaum yang lemah menjadi sebuah fakta realitas sosial yang amat problematik dan tidak bisa diabaikan secara begitu saja.realitas tersebut merupakan semua aspek kehidupan yang jauh dari kesadaran manusiawi. Manusia yang berteduh dalam agama terutama Islam harus sepantasnya menyumbangkan kesadarannya untuk bisa memahami persoalan realitas sosial secara universal.Sebagaimana yang dikatakan Abdurrahman Wahid Islam harus di tilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan masyarakat. Bagi Gus Dur teologi pembebasan amat penting dalam agama,karena menurutnya agama harus benar-benar di implementasikan dalam tataran hidup yang praktis. Begitu pun Gus Dur sebagai pejuang demokrasi,Ia tidak luput dari suatu pembebasan,Ia menjadikan teologi Pembebasan sebagai basis awal untuk menjalankan demokrasi.Demokrasi yang ...
Essay Teologi Pembebasan Untuk Pembangunan , 2023
2021
Istilah pembebasan yang muncul di dalam teologi agama, merupakan gambaran fenomenatif dari aspek teologi, yang secara konklusifnya melahirkan banyak pemikir.. Lahirnya pembebasan dilatar belakangi oleh suatu kondisi diktatoral politik secara politis, otoriter lembaga-lembaga keagamaan dan kondisi sosial kemasyarakatan yang diskriminatif dan tidak populis telah mewujudkan berbagai gerakan dan aliran pembebasan. Film PEEKEY dan OH MY GOD adalah dua film yang direpresentasikan seperti sebuah kuliah singkat terkait agama, eksistensi manusia dan teologi pembebasan. Penelitian ini ingin melihat dua pesan yakni pertama, Pembebasan apa saja yang terdapat dalam film bollywood tersebut? Bagaimana strategi teologi pembebasan yang ditunjukkan dalam film bollywood tersebut? Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode analisis model Roland Barthes. Hasil analisis pada pada penelitian ini mengungkapkan bahwa film PK dan OMG telah melakukan pembebasan Tuhan terhadap pem...
Mrs. Koriyoh Salaeh, 2025
Hermeneutika pembebasan merupakan pendekatan interpretasi teks keagamaan yang menekankan relevansi teks dalam konteks sosial, politik, dan budaya untuk mewujudkan keadilan. Farid Esack, seorang cendekiawan Muslim asal Afrika Selatan, mengembangkan pendekatan ini dengan memadukan ajaran Al-Qur'an dan prinsip keadilan sosial. Makalah ini bertujuan menjelaskan konsep hermeneutika pembebasan yang digagas Esack, dasar teologisnya, metode penafsiran, serta implikasi praktisnya dalam menciptakan keadilan sosial. Esack berfokus pada isu-isu seperti kemiskinan, ketidaksetaraan gender, dan diskriminasi, menggunakan Al-Qur'an sebagai panduan dalam melawan penindasan. kata kunci : Hermeneutika pembebasan, Al-Qur'an,Farid Esack, keadilan sosial. Abstract Liberation hermeneutics is an approach to interpreting religious texts that emphasizes the relevance of the texts in social, political, and cultural contexts to achieve justice. Farid Esack, a Muslim scholar from South Africa, developed this approach by integrating the teachings of the Qur'an with principles of social justice. This paper aims to elaborate on Esack's concept of liberation hermeneutics, its theological foundation, interpretative methods, and practical implications for fostering social justice. Esack focuses on issues such as poverty, gender inequality, and discrimination, employing the Qur'an as a guide to combat oppression. Key word : Liberation hermeneutics, Qur'an, Farid Esack, social justice.
Walisongo, Volume 22, Nomor 1, Mei 2014
This article aims to analyze the comparative study of the liberation theology perspective. The notion of liberation theology is a form of transformative theology that concerned within issues of equality and social justice. The relationship amidst religion and politics is reciprocal due to there are conflicts of interest between both entities. Emergence of liberation theology itself arises because of the politicization of religion has become more acute and chronic so it needs to be transformed. The thought of liberation theology is basically grown in the famous case of Latin America with the spirit church of the poor. However, within Islam, it also found a similar essence that Islam also teaches that there egalitarianism, equality, and social justice. Article will elaborate about this comparison of liberation theology.
Asghar Ali Engineer, 2004).
Borneo Review: Jurnal Lintas Agama dan Budaya, 2023
Tujuan artikel ini ialah untuk memberikan perspektif baru dalam membangun teologi yang sesuai dengan konteks Indonesia. Dalam upaya membangun teologi khas Indonesia, penulis mendalami konteks Siria-Irak dan Palestina yang hidup di tengah segala situasi dan tantangan dalam mempertahankan iman. Yohanes Damaskus, al-Kindi al-Hasyimi, dan Mitri Raheb membangun teologi yang sesuai konteks Siria-Irak dan Palestina. Dalam penjelasannya, mereka menampilkan terminologi yang akrab untuk situasi Siria-Irak dan Palestina sehingga memudahkan umat Kristiani untuk menjelaskan isi iman kekristenan. Dengan cara demikian, umat Kristiani Indonesia dapat belajar dari umat Kristiani Siria-Irak dan Palestina dalam membangun teologi pembebasan yang khas Indonesia. Untuk membangun teologi pembebasan di Indonesia perlu memerhatikan tantangan di Indonesia yaitu banyaknya kultur dan tradisi religius dan secara lebih yang menjadi perhatian yaitu soal sektarianisme atau intoleransi yang mengakibatkan kekerasan. Apabila titik tolak berteologi berangkat dari penjelasan tentang Yesus akan terjadi benturan. Federasi Konferensi Waligereja Asia (Federation of Asian Bishop Conference [FABC]) menyarankan untuk berteologi di Asia secara khusus di Indonesia tidak mulai dari Kristologi tapi mulai dari Pneumatologi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Dalam sejarah agama Islam telah tercatat adanya firqah-firqah (golongan) di lingkungan umat Islam, yang antara satu sama lain bertentangan pahamnya secara tajam yang sulit untuk diperdamaikan, apalagi untuk dipersatukan. Hal ini sudah menjadi fakta dalam sejarah yang tidak bisa dirubah lagi, dan sudah menjadi ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab agama, terutama dalam kitab-kitab ushuluddin.Barang siapa yang membaca kitab-kitab ushuluddin akan menjumpai didalamnya perkataan-perkataan: Syiah, Khawarij, Qodariah, Jabariah, Sunny (Ahlussunnah Wal Jamaaah), Asy-Ariah, Maturidiah, dan lain-lain. Umat Islam, khususnya yang berpengetahuan agama tidak heran melihat membaca hal ini karena Nabi Muhammad SAW sudah juga mengabarkan pada masa hidup beliau.Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Orang-orang Yahudi terpecah kedalam 71 atau 72 golongan, demikian juga orangorang Nasrani, dan umatku akan terbagi kedalam 73 golongan." (HR. At-Tirmidzi) Dari Auf bin Malik, dia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:"Yahudi telah berpecah menjadi 71 golongan, satu golongan di surga dan 70 golongan di neraka. Dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, 71 golongan di neraka dan satu di surga. Dan demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam tangan-Nya umatku ini pasti akan berpecah belah menjadi 73 golongan, satu golongan di surga dan 72 golongan di neraka." Lalu beliau ditanya: "Wahai Rasulullah siapakah mereka ?" Beliau menjawab: "Al Jamaah." HR Sunan Ibnu Majah.
Dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, kebebasan beragama dan menjalankan keyakinan, selamanya tidak dapat dipisahkan dari kajian Hak Asasi Manusia seperti banyak digaungkan berbagai kalangan dalam beberapa dekade terakhir. Sebab diyakini bahwa persoalan beragama adalah kebutuhan dasar bagi setiap manusia, sebagai manifestasinya dari seorang hamba Tuhannya. Hal ini yang kemudian disebut sebagai Hak asasi (fundamental rights) artinya hak yang bersifat mendasar (grounded), pokok atau prinsipil. HAM menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang bersifat mendasar. Adanya hak pada seseorang berarti bahwa ia mempunyai suatu "keistimewaan" yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan "keistimewaan" yang dimilikinya. Sebaliknya juga, adanya suatu kewajiban pada seseorang berarti bahwa diminta daripadanya suatu sikap yang sesuai dengan "keistimewaan" yang ada pada orang lain. Banyaknya kekerasan yang didasari atas agama dan dimotori oleh oknum 'agama mayoritas' tentunya menjadi pertanyaan yang mendasar bagaiamana sebenarnya Islam mengatur persoalan kebebasan beragama. Mungkin masih terekam jelas bagaimana kasus penusukan terhadap jamaah Gereja HKBP di Bekasi yang terjadi beberapa hari yang lalu, hal itu semakin menjadi tanda tanya bagi kita semua kenapa hal itu bisa terjadi di Negara yang mengklain sebagai Negara demokratis dan agama mayoritasnya juga mentolerir setiap agama yanag ada di Indonesia.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.