Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
15 pages
1 file
ABSTRAK A A A A Akhir-akhir ini banyak para cendekia yang kurang memahami Ilmu Perbandingan Agama, sehingga mereka menghakimi bahwa IPA merupakan ilmu yang sesat, dan mendangkalkan aqidah. Melihat fenomena tersebut penulis merasakan keresahan intelektual sehingga mengkaji secara mendalam tentang IPA, yang dalam makalah ini penulis akhirnya menyimpulkan bahwa Ilmu Perbandingan Agama merupakan ilmu yang mengkaji agama-agama dengan menggunakan beberapa metode ilmiah dan dogmatis sekaligus (ilmiah-agamis, religio-scientific atau scientific-cum-doktrinair). Ilmu Perbandingan Agama sangat bermanfaat bagi seorang Muslim, sebab dengan mempelajarinya dapat memahami agama-agama lain baik ajaran-ajarannya maupun perkembangan penafsiran dan lembaganya secara empiris. Selanjutnya dapat menemukan mutu manikam keunggulan ajaran Islam setelah dibandingkan dengan agama-agama lain. Akhirnya dapat digunakan sebagai dialog, kerukunan hidup beragama dan dakwah. Kata Kunci: IPA, keunggulan Islam, kerukunan Pendahuluan Ilmu Perbandinghan Agama (IPA) sering menimbulkan salah pengertian. Pertama, seseorang sering memahami IPA sebagai ilmu yang hanya membandingkan antara agama yang satu dengan agama lain. Padahal tujuan dari IPA bukan sekedar membandingbandingkan, tetapi lebih luas dari itu. Bahkan seorang sering mengira bahwa tugas IPA adalah menilai kesalahankesalahan agama lain. Padahal menilai RISALAH
Amar Fatkhalloh, 2021
Abstrak Dikotomisasi ilmu pengetahuan dengan agama sebenarnya merupakan persoalan klasik dan berkepanjangan, namun seirirng dengan berubahnya paradigma serta berkembangnya penguasaan keilmuan disegala bidang, menjadikan terbuka luasnya peluang integrasi ilmu. Sesungguhnya sumber ilmu terintegrasi dari tiga skema besar, yakni, ilmu alam, ilmu social, dan humaniora yang sesungguhnya bersumber dari bangunan ilmu yang integratif yaitu Al-Qur'an dan Hadis. Dalam konsep Islam Ilmu berawal dari pengetahuan yang merupakan manifestasi pikiran, perasaan, keyakinan serta keinginan. Namun dalam konsep barat dikotomisasi ilmu masih terlihat dengan pemisahan antara IPTEK dan IMTAQ, tetapi dikotomisasi tersebut tidak berlangsung lama, karena semakin jelas perkembangan ilmu mengarah kepada satu sumber yakni Allah SWT, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh cabang ilmu dan pengetahuan yang terdapat di alam semesta ini merupakan satu kesatuan Islam yang semakin luas penguasaannya maka semakin mengerucut pemahamannya. A. Pendahuluan Telah jelas bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan tidak ada pertentangan, bersifat integral, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Hubungan tersebut menunjukkan betapa positifnya
Manusia adalah hamba Allah yang diturunkan ke bumi ini sebagai penghuninya. Manusia adalah makhluk Allah diberi kelebihan berupa akal daripada makhluk-makhluk lainnya. Dengan akalnya itu manusia bisa berbuat lebih daripada makhluk lainnya. Pada awal penciptaannya, manusia hanyalah makhluk yang tidak tau apa-apa dan karenanya manusia membutuhkan sebuah petunjuk bagi jalan hidupnya. Manusia memerlukan guideline agar hidupnya selamat di dunia dan di akhirat. Guideline bagi manusia adalah agama.
Nafara Chairatin Nisa, 2021
Ada tiga hal yang menjadi alat bagi manusia untuk mencari kebenaran, yaitu filsafat, ilmu dan agama. Walaupun tujuan ketiga aspek ini untuk mencari kebenaran, namun ketiganya tidak dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang sama (sinonim). Secara umum, filsafat dianggap sesuatu yang sangat bebas karena ia berpikir tanpa batas. Sedangkan agama, lebih mengedepankan wahyu/ilham dari zat yang dianggap Tuhan. Segala sesuatu yang berasal dari Tuhan, dalam perspektif agama adalah sebuah kebenaran yang tidak dapat ditolak. Sedangkan ilmu adalah sebuah perangkat metode untuk mencari kebenaran. Antara filsafat dan Ilmu, sama-sama tidak memiliki tokoh sentral sebagaimana agama yang mensentralkan Tuhan. Dengan kata lain, dapat dikatakan setiap masalah yang dihadapi manusia, maka mereka akan menggunakan tiga macam alat untuk mencapai penyelesaiannya. Sebagian ahli agama menjadikan filsafat dan ilmu sebagai alat untuk mempertajam pemahaman terhadap agama, sehingga kebenaran terhadap agama semakin kuat.(Kurniawan, 2017
Nur Kholik, 2019
Abstrak Pengembangan pendidikan agama Islam memerlukan upaya rekonstruksi pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi: pertama, subject matter pendidikan Islam harus berrientasi ke masa depan; kedua, perlu dikembangkan sikap terbuka bagi transfer of knowledge dan kritsis terhadap setiap perubahan; ketiga menjauhkan pandangan dikotomis terhadap ilmu (ilmu agama dan ilmu umum), tidak terjebak pada kategori-kategori yang saling bertolak belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis. Karena "agama" dan "ilmu" merupakan entitas yang menyatu (integral) tak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap diskursus tentang metodologi memerlukan sentuhan-sentuhan filsafat. Tanpa sense of philosophy maka sebuah metodologi akan kehilangan substansinya. Metodologi Studi Islam (MSI) perlu visi epistemologis yang dapat menjabarkan secara integral dan terpadu terhadap tiga arus utama dalam ajaran Islam: aqidah, syari'ah dan akhlaq. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern ini. Begitu juga sebaliknya bahwa kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral dalam pengembangan ilmu dan teknologi juga akan menjadikan dishumanisme. Di sinilah perlunya paradigma integralisme dan desekularisasi terhadap ilmu. Abstract The development of Islamic education requires efforts to reconstruct educational thought in order to anticipate any changes that occur: first, the subject matter of Islamic education must be oriented towards the future; secondly, it is necessary to develop an open attitude for the transfer of knowledge and criticism of every change; third away dichotomous views of science (religion and general science), not stuck in conflicting categories. These categories or dichotomies must be openly addressed and dialectically thought out. Because "religion" and "science" are entities that are united (integral) can not be separated from each other. Every discourse on methodology requires philosophical touches. Without a sense of philosophy, a methodology will lose its substance. The Methodology of Islamic Studies (MSI) needs an epistemological vision that can describe integrally and integratedly against three main streams in Islamic teachings: aqeedah, shari'ah and morality. The tendency to force moral values dogmatically into scientific arguments will only push science backwards (set back) to the Pre-Copernicus era and invite the possibility of Galileo-style inquiry (1564-1642 AD) in modern times. Vice versa that the tendency to ignore moral values in the development of science and technology will also cause
Seperti yang kita ketahui, teknologi kini telah merembes dalam kehidupan manusia, bahkan dari kalangan atas hingga menengah kebawah sekalipun.
Pihak yang akan berperkara di Pengadilan pada lingkungan Peradilan Agama harus memperhatikan ke pengadilan mana perkaranya akan diajukan. Kewenangan relatif berkaitan dengan wilayah hukum pengadilan. Kesalahan dalam mengajukan gugatan ke pengadilan dapat mengakibatkan perkara yang diajukan diputus dengan putusan tidak dapat diterima.
Latar Belakang Masalah Pada era baru sekarang, diskursus mengenai integrasi ilmu dan agama makin penting dan menarik. Integrasi atau integralisme dikaui sebagai salah satu ciri abad baru ini. Jika era modern menekankan spesialisasi, maka era passcamodern justru menekankan integralisme yang dapat menghilangkan sekat-sekat pembatas tak hanya dalam arti fisik teritorial, melainkan juga dalam arti yang lebih luas seperti hilangnya batas-batas disiplin keilmuan yang selama ini dijaga dan dipertahankan secara ketat. Pendekatan dan epistemolgi keilmuan pun cenderung bergeser dari pendekatan dikotomik-atomistik ke arah pendekatan inter bahkan multidisipliner. Dalam konteks ini, pembahasan dan pengembangan ilmu tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dengan persoalan-persoalan lain, termasuk agama. Sebaliknya, pembahasan mengenai agama tidak akan pernah lepas dari pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari sini, intergrasi ilmu dan agama menjadi penting untuk dibicarakan. Ilmu yang pada hakekatnya
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA, 2018
Zawiyah: Islamic Thought Journal, 2017