Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
13 pages
1 file
Dalam kajian ushul al-fiqh, terdapat istilah al-hakim, mahkum bih, mahkum fih dan mahkum alaih. Adapun istilah mahkum fih penyusun makalah tidak membahasnya di makalah ini karena penyusun lebih menekankan pada tugas dosen yakni pengertian al-hakim, mahkum bih dan mahkum alaih saja. Dalam perkembanganya istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda menurut para ulama’, sehingga perlulah kita mengetahui serta memahami apa itu hakim, mahkum bih, dan mahkum alaih. Karena semua pengertian pemahaman mempunyai dasar ataupun latar belakang sendiri. Ushul al-fiqh merupakan alat dalam penetapan hukum, perlu pemahaman lebih dalam penggunaanya. Konsep dasar tentang; al-hakim, mahkum bih, dan mahkum alaih penuh perbedaan pendapat para ulama dalam pengertian serta penggunaanya dalam hukum islam. Sebagai mukallaf konsep ini perlu diketahui serta dipahami semua umat islam dalam kehidupan sehari-hari. B. RumusanMasalah 1. Apa yang dimaksud dengan Al-Hakim dalam Ushul Fiqh ? 2. Apa yang dimaksud dengan Mahkum Bih ? 3. Apa yang dimaksud dengan Mahkum ‘Alaih ? C. TujuanPenulisan 1. Agar bisa memahami makna Al-Hakim dalam ilmu Ushul Fiqh. 2. Agar bisa mengerti sekaligus tau tentang apa itu maksud Mahkum Bih beserta penjabarannya. 3. Agar bisa mengerti sekaligus tau tentang apa itu maksud Mahkum ‘Alaih beserta penjabarannya. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Hakim (Al-Hakim) Kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia, yang maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa Arab, yaitu; orang yang memutuskan dan menetapkan hukum, yang menetapkan segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu. Kata hakim juga digunakan untuk menunjuk pengertian hakim di pengadilan.Untuk pengertian yang terakhir ini, dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qhadi.Dari segi etimologi fiqh, kata hakim atau qhadi juga menunjuk pengertian hakim yang memutus perkara di pengadilan.[ ] Adapun menurut terminologi ushul fiqh maka makna dan cakupanya jauh lebih luas, kata hakim menunjuk kepada pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki.Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-Hakim Huwa Allah; al-Hakim adalah Allah). Sebagaimana Firman Allah ta’ala, pada surah al-An’am ayat ke-57, “Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik". Semua ulama sepakat menyatakan, hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang berhak mencipta dan mentapkan perintah dan larangan, dan sejalan dengan itu, hamba-hamba-Nya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan larangan-Nya.Dalam konteks penetapan hukum, di lingkungan ulama ushul fiqh dikenal dua istilah yaitu Al-mutsbit li al hukm (yang menetapkan hukum) dan Al-muzhir li al hukm (yang membuat hukum menjadi nyata).Yang dimaksud dengan Al-mutsbit li al-hukm ialah, yang berhak membuat dan menetapkan hukum.Yang berhak membuat dan menetapkan hukum itu hanyalah Allah Subhanahu Wata’ala, tidak siapapun yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Akan tetapi, perlu ditegaskan kembali, selain digunakan istilah al-hakim dan asy-Syaari’ (pembuat syariat), harus pula ditambahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, bukankarena beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan syariat, tetapi karena beliaulah yang diberi tugas, antara lain , menjelaskan aturan-aturan hukum syariat yang juga bersumber dari wahyu Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam konteks inilah dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu yang biasa disebut dengan istilah wahyu matluw (wahyu yang dibacakan/Al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw (wahyu yang tidak dibacakan/Al-Hadits/As-Sunnah).[ ] Dari definisi hukum dan penjelasan satu persatu dari rangkaiannya, dapat diambil pengertian bahwa hakim adalah; 1. Pembuat hukum, yang menetapkan hukum,yang memunculkan hukum dan yang membuat sumber hukum. 2. Hakim adalah yang menemukan hukum,yang menjelaskan hukum,yang memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum.[ ] Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat bahwa Al-Hakim adalah Allah Subhanahu Wata’ala.Dialah pembuat hukum dan menjadi satu-satunya sumber hukum yang wajib ditaati dan diikuti oleh semua mukallaf. Dan dari pemahaman seperti ini pulalah, para ahli ushul bersepakat untuk membuat sebuah teori bahwa “Tidak ada hukum kecuali yang bersumber dari Allah, sedangkan dasar munculnya teori tersebut adalah firman Allah ta’ala pada ayat-ayat-Nya yang mulia, yaitu; a) Al-An’am:57 “Menetapkan hukum itu hanyalah Allah.Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”. b) Al- Maidah;49,44 dan 45 - Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. - Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. - Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. B. Pengertian Mahkum Bih Adalah perbuatan manusia yang hukum syara’ ditemukan didalam perbuatan tersebut, baik berupa tuntutan,pilihan atau wadl’iy.Sebagian ulama ushul fiqh menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk pengertian objek hukum. Adapun yang menjadi objek hukum (mahkum bih) adalah perbuatan mukallaf, yaitu gerak atau diamnya mukallaf. Dalam hal ini, yang dapat diberi ketentuan, wajib, sunnah, makruh,atau haram,atau mubah adalah perbuatan mukallaf. 1. Syarat-syarat Objek Hukum (Mahkum Bih). Agar suatu perbuatan mukallaf pantas diberi predikat salah satu dari hukum taklifi yang lima, maka perbuatan tersebut mestilah memenuhi beberapa kriteria persayaratan. Kriteria perbuatan seorang mukallaf yang dapat diberi predikat hukum taklifi ialah sebagai berikut; a) Seorang mukallaf mestilah mengetahui dengan jelas bahwa yang memerintahkan atau melarang, atau memberi pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan itu adalah Asy’Syari’. Karena itu, suatu perintah atau larangan yang tidak memiliki landasan yang jelas, baik langsung maupun tidak langsung, berasal dari Al-Qur’an atau hadits, tidak dapat diberi predikat hukum taklifi. b) Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf atau ditinggalkannya, atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau meninggalkannya, mestilah diketahui dan dipahami dengan jelas oleh mukallaf tersebut. Hukum taklifi tidak dapat diterapkan kepada perintah atau larangan yang tidak jelas. Misalnya, pada surah al-Baqarah;43, yakni perintah melaksanakan shalat dan membayar zakat pada ayat tersebut masih bersifat umum, dan belum ada perincian tatacara,waktu,jumlah rakaat dan rukun serta persyaratannya. Semata-mata berdasarkan ayat diatas saja, seorang mukallaf belum dikenai hukum wajib melaksanakan shalat.Karena itulah rasulullah SAWkemudian memberi contoh dan penjelasan tentang shalat yang diperintahkan Allah, sehingga setelah jelas perinciannya, barulah kepada perbuatan mukallaf dapat diberi predikat hukum taklifi, yakni wajib melaksanakan shalat. c)Suatu perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau dilarang melakukannya atau ia bebas memilihnya, haruslah dalam batas kemaampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Sebab perintah dan larangan Allah SWT adalah untuk dipatuhi dan demi kemaslahatan mukallaf. Oleh karena itu, Allah SWT tidak pernah dan tidak akan memrintahkan atau melarang suatu perbuatan yang manusia tidak mampu mematuhinya. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah;286.[ ] 2. Macam-Macam MahkumBih Para ulama Ushulfiqh membagi mahkum bih menjadi dua segi : yaitu dari segi kebenaranya yakni dari segi material dan Syara’[ ] yang terdiri atas : a) Perbuatan yang secara material ada, tidak termasuk perbuatan syara’ : misalnya makan dan minum, adalah perbuatan mukalaf, namun makan itu tidak terkait hukum syara’. b) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab hukum syara’, misalnya perzinaan, pencurian, dan pembunuhan, yakni adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishas. c) Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah di tentukan, misalnya shalat dan zakat. d) Perbuatan yang secara material diakui syara’ yang mengakibatkan adanya hukum syara’ misalnya : nikah, jual beli dan sewa menyewa.[ ] C. Pengertian Mahkum ‘Alaih Para ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa yang di maksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatanya di kenai khitab (tuntutan) Allah ta’ala, yang disebut dengan mukallaf. Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqqh, istilah mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak melaksanakan hukum, baikyang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus di pertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[ ]
[4] adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. [5] dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela." [6][7] HUKUM PIDANA Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan-perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya. Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran. 1. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. 2. Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya. Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP (lex specialis) Hukum perdata Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan. Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman , 2012
Law, Between Akidah and Akhlak: Akidah and akhlak have a great influence in the making of Islamic law. Islamic law which is usually called as syariah can be regarded as unification of akidah and akhlak so that these three disciplines should be understood wholly because they can not be separated. Islamic law is projected to create moral people. This is because they are created by Allah in noble cratures and given some advantages which are different from other cratures. By referring Islamic law, people will have honor since it provides references to be a perfect person (insan kamil). Pendahuluan Akidah dan akhlak mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan hukum Islam. Hukum Islam yang biasa disebut syariah sepertinya merupakan penyatuan dari akidah dan akhlak sehingga ketiga ajaran Alquran ini harus dipahami bersamaan karena mempunyai hubungan saling berkait, tidak bisa dipisahkan, membulat seperti bola. Mahmud Syaltut pernah memperbincangkan persoalan ini dalam bukunya Islam Akidah dan Syariah, yang diterbitkan Dãr al-Qalam Mesir tahun 1966, 1 namun topik intinya adalah pada Islam secara luas. Menurut beliau syariah itu ada dua, pertama peraturan yang diciptakan Tuhan, kedua pokok-pokok peraturan yang menjadi 1 Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun 1986 oleh Ir. Abdurrahman Zain, diterbitkan oleh Pustaka Amani Jakarta. Junaidi Lubis, Hukum, antara Akidah dan Akhlak 101 kaedah untuk pembuatan peraturan dalam hidup dan kehidupan. 2 Dalam istilah Alquran sendiri menurut beliau akidah disebut dengan iman, dan syariah disebut dengan amal saleh, 3 beliau tidak ada mengupas tentang akhlak. Dalam buku ini pembicaraan mengenai syariah mengambil tempat yang lebih besar dari persoalan akidah karena unsur ijtihadnya yang rumit. Akidah sebenarnya persoalan yang diterima dari wahyu, 4 baik pada persoalan yang dipertanyakan akal maupun pada persoalan yang sama sekali tak terpikirkan akal. 5 Sedangkan syariah membahas mengenai aturan hidup manusia kepada sesamanya, lingkungannya, dan tuhannya. Manusia tidak bisa hidup sendiri, 6 harus saling berhubungan, agar keharmonisan tercipta harus diatur dengan hukum, dan hukum tujuan utamanya adalah pembentukan akhlak manusia, kesempurnaan akhlak itulah missi utama diutusnya rasul. Dengan demikian bila hukum syariah diabaikan maka telah kehilangan sebahagian besar identitas keislaman, dan jika hukum menyimpang dari keluhuran budi pekerti bukanlah hukum Islam namanya. Akidah Sebagai Landasan Hukum Ibadah Ketentuan syariat diletakkan dari dasar akidah yang teguh. Misalnya dalam hubungannya dengan Tuhan, semula manusia hanya 2 Mahmud Syaltut, al-Islam `Aqidah wa Syari`ah, 1966, (Mesir: Dãr al-Qalam), hlm. 111. 3 Syaltut, al-Islam, hlm. 5. 4 Kebenaran yang dicari manusia dan dijawabnya sendiri dengan akalnya disebut filsafat, tingkat kebenarannya bersifat spekulatif, jika kebenaran diperoleh melalui penelitian yang seksama disebut ilmu, tingkat kebenarannya relatif. Sedangkan intuisi adalah kebenaran yang didapatkan manusia dari ilham, melalui perenungan rohaniah. 5 Dengan akalnya manusia berpikir tentang alam yang teratur, lalu mencari siapa yang mengatur, lalu bertemulah dengan Tuhan, barulah asal muasal manusia dicari, pisiknya, lalu ruhnya, dari mana, akan kemana, sekarang dimana. 6 Adam lebih memilih hidup di dunia meskipun berat dan penuh perjuangan asalkan ramai, dari pada hidup di surga, meskipun nikmat tetapi sepi.
Iman adalah keyakinan yang diyakini didalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dilaksanakan dengan amal perbuatan. Kalau kita melihat qada’ menurut bahasa artinya Ketetapan. Qada’artinya ketetapan Allah swt kepada setiap mahluk-Nya yang bersifat Azali. Azali Artinya ketetapan itu sudah ada sebelumnya keberadaan atau kelahiran mahluk
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani, "ethos" yang artinya cara berpikir, kebiasaan, adat, perasaan, sikap, karakter, watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, ada 3 (tiga) arti yang dapat dipakai untuk kata Etika, antara lain Etika sebagai sistem nilai atau sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak. Etika juga bisa diartikan sebagai kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau moral. Selain itu, Etika bisa juga diartikan sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk yang diterima dalam suatu masyarakat, menjadi bahan refleksi yang diteliti secara sistematis dan metodis.
Kenyataan menunjukkan bahwa manusia hidup dalam suatu komunitas, di mana masing-masing mereka mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang kadang-kadang dalam memenuhi kepentingannya itu terdapat pertentangan kehendak antara satu dengan lainnya. Agar antara masing-masing individu itu tidak terjadi tindakan yang semau hati diperlukan suatu aturan permainan hidup secara pasti mengikat dan menuntun mereka dalam bertindak. Dengan adanya aturan tersebut setiap individu tidak merasa dirugikan kepentingannya atas batas-batas yang layak. Aturan-aturan itulah yang disebut dengan hukum. Untuk manusia secara keseluruhan, hukum itu telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia secara pasti. Untuk menyampaikan aturan-aturannya itu, Allah memilih mengangkat Rasul sebagai pesuruh dan utusan-Nya kepada manusia. Rasul itulah yang bertugas menyampaikan dan memberitahu hukum atau aturan-aturan tersebut kepada manusia. Setelah Rasul diutus dan aturan-aturan tersebut telah sampai kepada manusia, maka sejak saat itu pula manusia ditaklifi untuk mematuhi segala aturan tersebut dalam segala tindakan yang mereka lakukan. Mereka dituntut untuk melakukan segala yang diperintah dan meninggalkan segala yang dilarang. Tugas memberitahu hukum syar'i berikutnya setelah Rasul meninggal diteruskan oleh para sahabat. Kemudian, setelah periode sahabat berlalu, seterusnya para ulama tabi'in, tabi'tabi'in, dan begitu seterusnya oleh para ulama, baik fuqaha, muhaddasin, mutakallimin, dan lain sebagainya.
vica natalia, 2019
manusia adalah mahluk sosial (zoon politicon) dimana manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bermasyarakat. didalam masyarakat terdapat paguyuban, didalam paguyuban ada hukum yang mengatur. sehingga tidak heran jika manusia harus mengetahui hukum, karena hukum bersifat mengatur dan menata masyarakat.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Judex Laguens, 2024
LAPORAN PRAKTIKUM HUKUM HOOKE
GUGATAN PERBUATAN MELAHAN HUKUM (PMH), 2022