Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
31 pages
1 file
Abstraksi Epistemologi irfani merupakan salah satu sistem penalaran yang dikenal dalam tradisi keilmuan Islam, di samping bayani dan burhani. Berbeda dengan bayani yang mendasarkan diri pada teks suci dan burhani yang mengandalkan kekuatan dan aturan logis, irfani mendasarkan pengetahuannya pada kasyf, terlimpahnya pengetahuan secara langsung dari Tuhan ke dalam hati tanpa perantara, tanpa analisis dan olah logika. Cara pencapaiannya adalah dengan olah ruhani lewat tahapan-tahapan spiritual tertentu (maqâmât) dan pengalaman batin tertentu (hâl). Epistemologi irfani dalam kajian tafsir dikenal dengan istilah tafsir dengan corak sufistik. Tafsir sufistik ini memiliki dua tipologi atau varian penafsiranya yaitu berupa tafsir sufi al-Nazari dan tafsir sufi al-" Isyari. Kedua tafsir ini menjadi pembahasan dalam penulisan ini, yang pertama memaknai teks al-Qur " an dengan menggunakan sejumlah perangkat qalb (bathin) karena tafsir sufistik menelusuri aspek makna dibalik teks, namun juga tak meninggalkan aspek historis dan kebahasaanya. Secara historis perkembangan tafsir suci sudah berkembang sejak abad ke-2 H hingga sekarang ini, perkembangan ini hingga abad pertengahan, tafsir bercorak sufi secara validitas tidak bisa dibuktikan secara empiris akan tetapi konteks sufi (irfan) tidak didasarkan atas objek eksternal atau runtutan logis, melainkan dari diri sendiri, tepatnya dari realitas kesadaran diri yang dalam bahasa tasawuf disebut kasyf. Sedemikian, sehingga ia tidak dapat diuji berdasarkan validitas korenspodensi maupun koherensi. Lebih jauh, objeknya tidak lain hanya bersifat immaterial dan essensial, tetapi sekaligus juga bersifat swaobjektif (self-object-knowledge), sehingga apa yang disebut sebagai objektivitas objek tidak lain bersifat analitis dan terwujudkan dalam tindakan mengetahuai itu sendiri.
Islamida , 2023
The purpose of this article is to discuss humans in a philosophical perspective. The type of research is literature with documentation data collection methods, and the analysis used is content analysis. The results of the study state that humans are given the freedom to endeavor to develop potential tools and basic human potentials. However, growth and development cannot be separated from certain limits, namely the existence of definite and permanent laws governing nature, laws that control objects and human society itself, which are not subject to and do not depend on human will. Based on the explanation of the conception of man based on philosophy, raises the problem of the human dimension in the perspective of philosophy, this writing aims to find the conception of man as a whole in the philosophical review. Humans in the perspective of philosophy are also called homo sapiens, homo laquen, animal rational, homo faber, zoon politicon, homo economicus, homo planemanet, homo religious and homo educandum or educable. The soul as something that stands alone, a complete substance that exists within the prison of the human physical body.
Agama telah memberikan penjelasan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki potensi untuk berakhlak baik (takwa) atau buruk ( fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia yang terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan dan minum. Apabila potensi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka perilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti mencuri, membunuh, mencuri ) dll.
Seorang yang berfilsafat digambarkan oleh Jujun S. Suriasumantri seperti orang yang berpijak di bumi sedang tengadah memandang bintang-bintang di langit, dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Seorang yang berdiri di puncak bukit, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya, dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya (Jujun Sriasumantri, 1996: 2). Seperti juga yang digambarkan oleh Harold H. Titus dan kawan-kawan, ketika ada pertanyaan seorang bocah berumur empat tahun yang menanyakan soal-soal luar biasa yang keluar dari mulutnya. Ia menanyakan "bagaimana dunia ini bermula?", atau "benda-benda itu itu terbuat dari apa?", atau "apa yang terjadi pada seseorang jika ia mati?" (Harold H. Titus dkk., 1984: 5).
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.