Ini adalah delapan meditasi saya soal siapa itu manusia, apa panggilannya, dan apa yang dapat dih... more Ini adalah delapan meditasi saya soal siapa itu manusia, apa panggilannya, dan apa yang dapat diharapkan oleh seorang manusia dan dari seorang maupun umat manusia.
"Janganlah terlalu mengasihi anakmu," demikian kita sering mendengar sebuah nasihat. Seolah-olah ... more "Janganlah terlalu mengasihi anakmu," demikian kita sering mendengar sebuah nasihat. Seolah-olah kasih itu bisa overdosis. Barangkali kita pikir "segala sesuatu itu kalau kelebihan ya bisa jadi tidak baik," termasuk kasih. "Too much love will kill you," kata Brian May, si pengarang lagu yang dipersembahkan kepada sahabatnya yang mati muda karena "overdosis cinta" itu. Benarkah kasih bisa overdosis? Hipotesis saya adalah kasih tidak bisa overdosis. Sama seperti kebenaran, keadilan, kebaikan, dan keindahan tidak pernah bisa "overdosis" demikian kasih juga tidak bisa "overdosis". Yang dimaksud dengan "mengasihi" pada kasus-kasus orangtua yang "terlalu mengasihi" anak-anaknya seringkali bukanlah kasih yang sejati. Sering terjadi salah kaprah dalam memahami dan mempraktikkan kasih. Pada praktik yang salah kaprah tersebut kasih dicampuradukkan dengan pemanjaan ego ("self-indulgence"). Pemanjaan ego tidak sama dengan kasih. Pemanjaan ego adalah pemujaan diri saja. Pemanjaan ego adalah antitesis dari kasih. Berlawanan dengan pemanjaan ego, kasih menyerahkan diri bagi yang lain-seperti yang dilakukan oleh Yesus. Tidak begitu penting ego siapakah yang dimanjakan di sini, baik itu ego dari dirimu atau ego dari orang yang kamu "kasihi"-memanjakan ego seseorang bukanlah mengasihi orang tersebut. Contohnya, orangtua terkadang memahami kasih kepada anak-anaknya sebagai menuruti keinginan mereka, termasuk juga hal-hal yang absurd, buruk, tidak adil, dan lain sebagainya termasuk yang dapat merugikan diri si anak tersebut dalam jangka panjang-semisal makan junk food terus-terusan "asalkan dia bahagia", tidak mendisiplin mereka, membela mereka bahkan ketika mereka salah-itu semua adalah pemanjaan ego yang jelas bertentangan dengan kasih. Orangtua yang sunguh-sungguh mengasihi anak-anaknya tidak memanjakan ego mereka. Bagaimana kita sampai kepada pemahaman yang demikian keliru tentang kasih? Saya kira ini ada hubungannya dengan apa yang dikatakan penulis surat Yohanes, yakni orang percaya dimampukan untuk mengasihi oleh kasih Allah kepadanya di dalam Yesus (1 Yoh. 4:11, 19). Jika seseorang tidak pernah mengalami dikasihi dengan sesungguhnya-seringkali karena yang bersangkutan sendiri menutup diri terhadap kasih-ia pun tidak akan mampu untuk mengasihi. Hal yang serupa terjadi juga pada perintah Tuhan untuk mengampuni orang lain. Kita tentu ingat bahwa di dalam doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus ada frase, "Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami. (Mat. 6:12)" Doa ini tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran tentang keselamatan oleh karena rahmat ilahi semata-mata. "Mengampuni orang yang bersalah" itu bukanlah syarat bagi pengampunan Tuhan yang dapat dipenuhi oleh kekuatan orang yang bersangkutan. Kita memang tak dapat mengubah kalimat dalam Doa Bapa Kami itu demi menghindari pertanyaan soal koherensi sistem teologia. Saya pikir hal itu memang tidak perlu dilakukan. Kalimat "seperti kami mengampuni" itu harus dipahami bukan sebagai awal dari proses ampun-mengampuni itu, seolah-olah orang berdosa bisa menginisiasi datangnya kerajaan Allah-terjadinya kehendak Allah di bumi seperti di dalam surga. Doa ini tidak mengatakan bahwa orang berdosa dengan kekuatan moralnya sendiri dapat mengampuni sesamanya-lantas seolah-olah atas dasar pengampunan orang itu kepada kawannya Tuhan mengampuni dosa-dosa yang ia sendiri perbuat kepada Tuhan. Dosa-dosa yang kita perbuat kepada Tuhan tentu diampuni secara cuma-cuma, hanya melalui pekerjaan anugerah Kristus saja-tetapi paket pengampunan Tuhan ini tidaklah terjadi secara eceran. Pekerjaan Kristus dan Roh Kudus yang mendamaikan kita dengan Allah Bapa bukan hanya menghapuskan hukuman maut yang ditimpakan Tuhan kepada para pendosa tetapi juga memampukan ia untuk mewujudkan komunitas yang saling mengampuni di dalam Tuhan. Pekerjaan keselamatan Tuhan bukan hanya sekedar mengampuni hukuman atas dosa-dosa tetapi juga memperbaiki hati kita yang telah diracuni oleh dosa, juga relasi-relasi kita dengan orang lain dan juga membebaskan segenap ciptaan dari kesia-siaan. Dari perspektif ini kita dapat
Majalah National Geographic menyebut abad ke-21 sebagai
“babak manusia” (Anthropocene epoch) di m... more Majalah National Geographic menyebut abad ke-21 sebagai “babak manusia” (Anthropocene epoch) di mana manusia de- ngan segala aktivitasnya telah secara radikal mengubah kehi- dupan di seluruh muka bumi. 1 Hal ini tidaklah mengheran- kan bagi umat TUHAN. Kisah penciptaan di dalam Taurat, ekspresi-ekspresi kesalehan di dalam Mazmur, dan nubuat- nubuat para nabi di dalam Alkitab meletakkan manusia pada pusat tanggung jawab akan apa yang terjadi di bumi. Mengapakah bumi dikutuk, hewan-hewan dan tanam- tanaman menderita, dan segala keberadaan (eksistensi) diwar- nai dengan penderitaan dan rasa frustrasi? Menurut wawasan dunia Alkitab, hal ini disebabkan oleh dosa manusia. Manusia telah membangkang melawan Penciptanya dan menjerumus- kan segenap ciptaan ke dalam penderitaan dan kesia-siaan. Akibat dosa manusia kehidupan ini seluruhnya berisi pende- ritaan yang menakutkan—tetapi Allah Pencipta tidak tinggal diam. Menurut umat Ibrani, dan kemudian juga umat Kristen yang terdiri atas segala bangsa, Allah Pencipta itu turut ber- duka dan menderita bersama segenap ciptaan itu—dan pada waktu yang telah Ia sendiri tetapkan, Allah menunjukkan keadilan dan belas kasihan-Nya pada segenap ciptaan de- ngan memberikan solusi bagi masalah dosa ini. Solusi itu adalah kembalinya pemerintahan Allah di bumi, melalui Anak Tunggal-Nya, yakni Yesus dari Nazaret. Pemerintahan Allah telah kembali ke dalam dunia. Fajar telah menyingsing. Peng- harapan bagi segala makhluk ciptaan Allah telah terbit— walaupun kepenuhannya masih dinantikan. Kata Paulus di dalam Roma 8:18-21, kepada kitalah segala makhluk menga- rahkan mata dan pengharapannya. Ketika kelak Tuhan mem- berikan kepada kita tubuh yang baru yang tak dapat binasa, segala makhluk juga akan turut bersukacita di dalam kemer- dekaan mereka dari segala kesia-siaan dan kebinasaan. Kira- nya buku kecil tentang hal menjadi manusia ini dapat dipa- kai Tuhan untuk menyingkapkan kepada kita apa yang telah Kristus lakukan untuk menolong kita menjadi manusia yang seutuhnya di dalam segala kemuliaan-Nya.
"Kalau engkau (Filemon) menganggap aku (Paulus) temanmu seiman, terimalah dia (Onesimus) seperti ... more "Kalau engkau (Filemon) menganggap aku (Paulus) temanmu seiman, terimalah dia (Onesimus) seperti aku sendiri." (Filemon 1:17). Surat ini ditulis oleh Paulus untuk mengantar kepulangan Onesimus kepada Filemon (Flm 1: 18-19). Kalimat yang sangat revolusioner di atas dituliskan oleh Paulus dalam konteks budaya Yunani-Romawi abad pertama yang masih sangat diskriminatif. Seorang budak hampir-hampir bukan manusia sementara para tuan punya hak yang tak dipertanyakan atas budak-budaknya. Tetapi, di dalam ayat 17 Paulus mengatakan, "Kalau engkau menganggap aku temanmu seiman, terimalah dia seperti aku sendiri." Saya kira kalimat ini dapat mewakili betapa radikalnya tindakan Paulus. Ia yang jelas-jelas adalah rasul Yesus Kristus mengatakan kepada Filemon, muridnya itu, 'jika engkau menganggapku temanmu seiman'. Tentu saja Paulus adalah teman seiman bagi Filemon! Jika kita meragukan kekristenan Paulus, apalagi iman dari Filemon. Istilah 'jika' di sini mewakili sikap Paulus yang jauh daripada arogan dan sok memerintah bawahannya. Paulus tidak mengatakan, "Jika engkau menganggap aku rasul Yesus Kristus" atau "Jika engkau menganggapku ayah rohanimu"-tapi cukup "jika engkau anggap aku kawanmu seiman." Kalimatnya tak berhenti sampai di sini, ia mengatakan jika Filemon menganggapnya sebagai kawan seiman maka terimalah Onesimus seperti Paulus sendiri. Permintaan ini sangat-sangat revolusioner. Paulus meminta agar Filemon tidak membuat diskriminasi perlakuan antara ia, Paulus, 'bapak rohaninya' dengan Onesimus, bekas budak Filemon itu. Ia menuntut Filemon untuk memperlakukan bekas budaknya seperti ia memperlakukan bapak rohaninya, yang adalah rasul Kristus. Mengingat konteks jaman itu di mana perbudakan adalah sesuatu yang diterima secara luas dan legal, apa yang diminta Paulus jelas keterlaluan bagi masyarakat pada umumnya; tetapi rupanya ia tidaklah menganggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan untuk dilakukan seorang murid Yesus, apalagi seseorang yang penuh kasih seperti Filemon. Menganggap semua orang sebagai sepenting diri sendiri, seberharga diri sendiri, dan juga setidakpenting diri sendiri, adalah dasar mutlak bagi sukacita dalam kehidupan di dalam komunitas umat Tuhan. Seperti dikatakan Yesus, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Mat 7:12) dan "... yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat 22:39). Tidak ada orang yang suka untuk diperalat, diperas, dijadikan obyek aktualisasi rasa ingin
Ini adalah sample dari artikel penuh yang akan dipublikasikan di jurnal Verbum Christi
Sekilas k... more Ini adalah sample dari artikel penuh yang akan dipublikasikan di jurnal Verbum Christi
Sekilas konsep William James tentang kebenaran dalam konteks epistemologi, khususnya dalam kritik yang ia tujukan kepada konsep Modern tentang kebenaran yang atemporal, akontekstual, dan absolutis terdengar mirip dengan kritik atas hal yang sama oleh Herman Dooyeweerd dari tradisi Reformasional. Dalam paper ini penulis akan menunjukkan hal-hal apa saja di antara keduanya yang serupa dan dalam hal apa saja keduanya berbeda secara radikal. Riset ini dapat berguna karena luas dan pentingnya pengaruh Pragmatisme dalam dunia abad ke-20 dan 21 tidak dapat diremehkan. Pragmatisme cukup sukses dalam mendaratkan pergulatan akademis Modern atas pengetahuan manusia yang pada masa Enlightenment seringkali cenderung abstrak dan elitis kepada konteks kesehariannya.
lain: Theologia Kemuliaan atau Theologia Kehinaan. Pengenalan kita akan Tuhan ini tentu saja, sep... more lain: Theologia Kemuliaan atau Theologia Kehinaan. Pengenalan kita akan Tuhan ini tentu saja, seperti kata orang-orang semacam Agustinus dari Hippo dan John Calvin, berkelindan dengan bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Theologia Salib tentu saja adalah yang kedua-Kabar Baik bagi mereka yang miskin, bangkrut, lapar, terpinggirkan, gila, dan tak berguna. Ini adalah sejenis Theologia yang diberitakan dan dihayati oleh Yesus dari Nazaret. Theologia Salib (Latin: Theologia Crucis, Yunani: Staurology, German: Kreuzestheologie) berada di jantung terobosan Reformasi. Salah satu semboyan Reformasi, yakni solus Christus pertama kali muncul di dalam konteks Theologia crucis, yang dikontraskan oleh Luther dengan apa yang disebutnya 'teologia kemuliaan' (Theologia gloriae). Istilah Theologia crucis itu sendiri agak jarang muncul di dalam tulisan-tulisan Luther, tetapi ia menyebutnya sebagai 'satu-satunya dasar dari seluruh teologia'. Teologia salib pertama kali dicatat muncul di dalam peristiwa 'disputasi Heidelberg' yang terjadi di tahun 1518, satu tahun setelah peristiwa Sembilan-puluh-lima thesis Wittenberg. Dalam perdebatan Heidelberg tersebut Luther menegaskan 28 butir thesis yang dimulai dengan kalimat, "Hukum Tuhan, ajaran kehidupan yang paling terhormat, tidak dapat memajukan orang dalam status kebenarannya di hadapan Tuhan (righteousness), malahan menghalang-halanginya." Ini khas Luther. Ia mempertentangkan secara tajam antara hukum Taurat dan rahmat ilahi di dalam Kristus. Luther berpendapat bahwa hukum Tuhan diberikan bukan untuk melaluinya kita beroleh pembenaran, di dalam keadaan kita yang telah jatuh dalam dosa, kita tidak mampu untuk menaati hukum-hukum Allah yang sempurna, maka hukum-hukum itu justru menjadi kutuk bagi kita, menjadi cermin bagaimana lemah dan berdosanya manusia itu. Luther selanjutnya mengontraskan perbuatan baik manusia dengan perbuatan baik Tuhan. Ironi dari pekerjaan baik manusia yang dapat terlihat baik, dengan pekerjaan Allah yang dapat terlihat buruk dinyatakan Luther di dalam thesis ke tiga dan ke empat: Although the works of man always appear attractive and good, they are nevertheless likely to be mortal sins. Although the
Yosua mengirimkan sekelompok pengintai ke Yerikho. Yerikho merupakan kota tua yang mempunyai seja... more Yosua mengirimkan sekelompok pengintai ke Yerikho. Yerikho merupakan kota tua yang mempunyai sejarah 9000 tahun. Yerikho merupakan kota dengan pertahanan kuat yang sulit ditaklukkan. Sebenarnya tidak ada harapan bagi orang Israel untuk mengalahkan Yerikho. Bagi Yerikho sebenarnya tidak ada alasan untuk takut kepada segerombolan budak-budak macam bangsa Israel. Yosua adalah orang yang mendapatkan janji Tuhan. Tuhan sudah berjanji kepada Abraham, bahwa suatu hari kelak keturunannya, yang saat itu kelihatannya mustahil karena Abraham dan Sara sudah tua, akan menguasai tanah tempat Abraham berpijak. Tetapi Tuhan dengan kesabaran-Nya yang panjang, terus ada dan menyertai bangsa Israel. Tuhan mengingatkan Yosua akan janji-Nya kepada Abraham. Yosua hanya tinggal memetik hasilnya. Yosua bertindak dengan hati-hati dan mengirimkan mata-mata. Tetapi kedua orang pengintai yang dikirimkan oleh Yosua segera ketahuan oleh raja Yerikho. Kedua pengintai ini memilih tempat persembunyian yang aman yaitu rumah perempuan sundal. Perempuan sundal ini dalam percakapannya dengan kedua pengintai ini memberikan data yang cukup untuk mengalahkan Yerikho. Mereka mendapatkan informasi dari Rahab, penduduk Yerikho. Informasi yang didapatkan adalah bahwa orang Yerikho takut kepada Israel. Karena ketakutan ini maka Yerikho kalah. Apakah yang penduduk Yerikho takutkan? Pertahanan kota mereka bagus, persenjataan mereka lebih lengkap, segala hal yang ada di Yerikho lebih baik daripada bangsa Israel. Penduduk Yerikho takut kepada Allah bangsa Israel. Karena Allah Israel punya reputasi yang mengerikan. Allah Israel membuat Mesir yang merupakan negeri besar, bertekuk lutut. Firaun tidak berkutik dalam melawan Allah orang Israel. Kejadian ini akan berulang pada zaman Eli, yang ditakuti oleh orang Filistin adalah Allah orang Israel. Fakta ini tidak disadari oleh orang Israel, mereka malah takut kepada raja Yerikho. Rahab mengadakan perjanjian dengan kedua pengintai tersebut supaya ia diselamatkan. Padahal bangsa Israel merupakan bangsa yang inferior dibandingkan Yerikho. Rahab begitu beriman akan kemenangan Allah Israel, sedangkan Yosua mengirimkan mata-mata untuk memastikan kemenangan. Mata-mata tersebut memberikan janjinya kepada Rahab untuk menjaga keselamatan mereka dengan syarat mengikatkan tali di jendela rumah Rahab. Pola ini mirip saat Tuhan menyerang bangsa Mesir dengan tulah, kemudian beberapa rumah yang pada ambang pintunya diolesi darah binatang dilewati, pola ini mengingatkan kita kepada peristiwa di malam bangsa Israel keluar dari Mesir. Paskah. Rahab merupakan orang yang patut dicontoh imannya meskipun masa lalunya gelap. Rahab adalah orang yang percaya kepada Allah Israel. Saat umat Israel tidak percaya akan kemenangan yang Allah pastikan kepada mereka, Rahab sudah percaya. Rahab memihak kepada Allah Israel. Kita harus mencontoh Rahab. Kepada siapakah kita harus memihak? Rahab tidak pernah melihat bangsa Israel selain kedua pengintai ini. Ia hanya mendengar reputasi Allah Israel dari rumor tetapi Rahab percaya kebesaran Allah. Kita adalah orang yang sudah mendengar lebih banyak dari Rahab, membaca lebih banyak
Hampir sepuluh tahun yang lalu saya mengikatkan diri pada suatu janji di hadapan Tuhan dan jemaat... more Hampir sepuluh tahun yang lalu saya mengikatkan diri pada suatu janji di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya. Orang sekampung menjadi saksi mata peristiwa itu. Hari itu saya berjanji bahwa saya akan mengasihi dan menghormati ( to love and to cherish) seorang perempuan yang saya pilih sendiri itu, dalam "keadaan baik maupun buruk", "kecukupan maupun kekurangan", "sakit maupun sehat"-sampai kematian memisahkan kita. Saya kira sulit mencari sesumbar yang lebih ambisius daripada janji ini. Tidak ada perdebatan mengenai manfaat pernikahan dan cinta. Bagi para lelaki menikah terbukti punya efek terbalik dari rokok. Menikah itu memperpanjang harapan hidup. Bagi para perempuan, khususnya di negara-negara yang tidak ada perlindungan memadai dan persamaan kesempatan bagi kaum Hawa, menikah itu memperkecil resiko sosial-ekonomi. Plato pernah menulis begini: "Jadi bagaimanapun, menikahlah, karena jika engkau mendapatkan istri yang baik, engkau akan menjadi lelaki yang bahagia, jika engkau mendapatkan yang buruk (barangkali seperti Xanthippe, istri Sokrates) engkau akan jadi filsuf." Itu sisi terang pernikahan. Tetapi, seperti juga segala hal dalam hidup ini, pernikahan dan cinta punya sisi gelapnya juga. Tidak ada seseorang yang benar-benar ahli dalam pernikahan, cinta atau relasi antar-pribadi secara umum. 'Performing well ' dalam pernikahan itu jauh lebih sulit dan rumit daripada 'performing well ' dalam pekerjaan. Relasi antar-manusia itu lebih sukar dipahami daripada relasi antara atom, proton, dan kuark-orang-orang paling cerdas yang dapat memahami Fisika Kuantum dan Teori Himpunan tanpa kesulitan pun tidak perform lebih baik daripada orang-orang biasa di dalam pernikahan dan cinta. Bagaimana tidak, bahkan orang tidak membikin sekolah-sekolah untuk relasi antar pribadi dan cinta! Mengenai hal lain, dalam dunia kerja misalnya, orang mendapatkan pelatihan yang mendetil mengenai apa yang akan dia kerjakan. Ekspektasi-ekspektasi sebuah pekerjaan profesional dituangkan secara terang dalam ratusan lembar standar prosedur operasi, protokol riset, standar penilaian performansi, dan macam-macam apparatus lainnya-tetapi di dalam pernikahan, cinta dan relasi antar manusia hal-hal begini tidak lah selalu dikomunikasikan dan didokumentasikan secara rasional dan terang. Orang diharapkan dapat memahami isi hati pasangannya secara spontan dan natural, bukankah para pecinta itu, seperti kata Aristotle, adalah satu jiwa yang mendiami dua tubuh. Ada banyak asumsi dan prasangka yang tak dikomunikasikan dalam relasi antar-pribadi-orang diharapkan dapat membaca tanda-tanda implisit dari pasangan, sahabat, ayah, ibu, anak, dan bos secara akurat-seperti dukun-dukun Sparta membaca isi perut hewan-hewan kurban. Apa pentingnya bicara tentang pernikahan, cinta dan relasi antar manusia? Paulus mengatakan dalam surat Efesus agar kita menjadi 'penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih' (5:1) dan perwujudan konkretnya adalah dalam pengarahan yang sama sekali berbeda dalam menjalani RELASI sebagai suami-istri, sebagai orangtua-anak-anak, sebagai tuan-hamba. Dalam Efesus 5:22-6:8 Paulus berbicara mengenai RELASI, ini bukan perintah untuk dilakukan secara INDIVIDUAL. Seperti orang katakan , It takes two to Tango. Kehidupan
Kata Pengantar Pameran Lukisan 'Paradise in Mystery', 2013
Ketika pada suatu sore mas Jonnie meminta saya untuk menuliskan kata pengantar bagi pameran lukis... more Ketika pada suatu sore mas Jonnie meminta saya untuk menuliskan kata pengantar bagi pameran lukisan Paradise in Mystery, terlintas di benak saya ide-ide mengenai Paradise sebagai aneka macam 'gema dari luar sana', gema dari 'Sang Liyan'-apapun sebutan anda bagi Dia-yang secara membandel terus-menerus menghantui kita di tengah dunia yang semakin lama semakin sekuler ini. Hampir setiap agama dan kebudayaan dalam dunia ini memiliki ide mengenai semacam tempat atau keadaan yang sempurna tanpa kejahatan atau penderitaan, dari sanalah kita berasal dan kesanalah kita akan pulang. Surga, Eden, Firdaus, Nirwana, Utopia, you name it. Sebagai orang Kristen, yang ada di benak saya adakah ide-ide dari st. Agustinus, st. Thomas Aquinas, William Paley, sampai C.S. Lewis, mengenai "keindahan alam semesta yang menceritakan kemuliaan Tuhan" dan juga "kejahatan di dalam kehidupan yang menceritakan pemberontakan manusia kepada Sang Pencipta." Dalam serial cerita anak-anak The Chronicles of Narnia 1 secara cerdik C.S. Lewis menceritakan tentang keindahan negeri Narnia pada mulanya, dalam kepolosan dan kesederhanaan sebuah permulaan terpancar keagungan dan kepenuhan ciptaan. Sampai datanglah Musim Dingin yang mengerikan akibat kutukan Ratu Sihir Jahat menjelmakan sekujur Narnia menjadi gersang bersalju, dengan bengis menindas kehidupan yang masih tersisa. Dalam konteks kejahatan-masa-kini dan ingatan serta gema dari kebaikan-asali inilah petualangan di negeri Narnia berlangsung. Ditengah pergumulan melawan kejahatan di dalam dunia yang seharusnya baik ini ada sebuah kekuatan yang berasal dari sebuah suara lirih tanpa kata yang menggelorakan pengharapan, terkadang kecil memang, tetapi tak kunjung padam. Dalam kata-kata Lewis sendiri: "Sebuah suara mulai bernyanyi. Suara itu berasal dari tempat yang jauh dan Digory sulit untuk mengatakan dari arah mana suara itu berasal. Terkadang itu seperti keluar dari segala arah sekaligus. Pada saat-saat yang lain ia hampir-hampr berpikir itu berasal dari bumi di bawahnya. Nada-nadanya yang terendah begitu rendah, cukup rendah untuk dikatakan sebagai suara bumi itu sendiri. Tiada kata. Bahkan itu sulit dikatakan sebagai sebuah lagu. Tetapi suara itu tiada taranya, suara terindah yang pernah ia dengar." 2 Dalam konteks sekuler kita juga dapat menemukan tema pencarian spiritual seperti ini. Misalnya saja seperti yang diutarakan oleh penyanyi populer Billy Joel dalam lagu River of Dreams 3 bertahun-tahun yang lalu. Dalam lagu ini Billy Joel berkisah mengenai malam-malam hari yang sepi, ketika kita sendirian dengan diri kita, jiwa kita mencari-cari sesuatu yang hilang. Sesuatu yang suci yang telah lama hilang. In the middle of the night I go walking in my sleep From the mountains of faith To the river so deep I must be lookin' for something Something sacred I lost
Saya tidak mau membuang-buang waktumu untuk bercerita bahwa istilah 'worldview' berasal dari isti... more Saya tidak mau membuang-buang waktumu untuk bercerita bahwa istilah 'worldview' berasal dari istilah Weltanschauung yang dipakai Immanuel Kant hampir tigaratus tahun silam (atau bahkan sebelumnya lagi oleh seorang Belanda yang saya lupa namanya). Hal-hal demikian dapat kamu googling saja sendiri, atau bacalah artikel-artikel bagus yang ditulis lebih dalam era tahun 1980an seperti On Worldviews dari James Olthuis atau On the Idea of Worldview and Its Relations to Philosophy karya Albert Wolters. 1 Pagi hari ini kita hanya akan memikirkan bagian-bagian paling penting saja untuk memahami secara garis besar sejenis hewan apakah worldview itu. Worldview vs. Rasionalisme Istilah worldview muncul dalam diskusi tentang pengetahuan dan bagaimanakah pengetahuan kita berhubungan dengan hal-hal lain seperti: tubuh, seksualitas, bahasa, uang, emosi, pengalaman mistis, dan lain-lain. Pendekatan worldview ini muncul sebagai tandingan dari rasionalisme. Apa itu rasionalisme? Rasionalisme adalah cara memahami manusia sebagai makhluk yang berpusat pada pikirannya. Seorang rasionalis percaya bahwa nalar kita itu otonom alias tidak bergantung pada apapun juga. Karena akal-budi kita otonom (baca: bebas) maka ia tidak dipengaruhi oleh apapun yang lain dalam diri kita, sebaliknya ia dapat mempengaruhi segala sesuatu dalam diri kita. Seorang rasionalis beranggapan bahwa kita dan hidup kita adalah produk dari pemikiran kita. Bagi seorang rasionalis kamu adalah akibat dari pemikiranmu. Kalau kamu sekarang ini sedih, itu adalah karena kamu berpikir sedemikian rupa sehingga emosi kamu menjadi negative (sedih). Pendekatan worldview memahami manusia terbalik dari anggapan ini. Bagi seorang yang memakai pendekatan worldview, akal budi kita justru dikondisikan sedemikian rupa oleh hal-hal di luar dirinya. Pikiran rasional kita itu tidaklah benar-benar bebas dan otonom. Misalnya, kalau kamu berpikir bahwa orang yang kulitnya putih itu lebih cantik daripada orang yang kulitnya hitam atau coklat, itu bukan karena kamu telah memikirkannya secara logis. Kamu berpikir demikian, barangkali, karena kamu terlalu banyak nonton acara-acara produksi Holywood atau BBC dan tidak terlalu sering nonton film-film India. Dunia Modern, barangkali sejak Descartes memahami akal budi manusia sebagai dapat dipisahkan secara cukup independen dari tubuh dan lingkungannya-pendekatan worldview menolak pandangan ini. Pengetahuan dipahami oleh mereka yang menganut pendekatan Worldview sebagai selalu melekat (dikondisikan, dibatasi, dan diwarnai) pada tubuh dan lingkungan. Pengetahuan yang Termediasi Karena pendekatan worldview menolak anggapan bahwa akal budi manusia itu otonom, maka wajar jika ia juga menolak bahwa kita dapat memiliki pengetahuan yang sungguh-sungguh bebas dari 'bias' (prasangka, prejudice, presuposisi), murni obyektif, dan 'netral'. Tetapi apakah ini berarti 'apa saja dapat benar' (anything goes) alias kita nggak boleh mengatakan apapun yang teman kita katakan sebagai salah? Tentu saja tidak! Pendekatan worldview menegaskan bahwa kebenaran yang sejati-yang jelas-jelas tidak salah-memang ada (walaupun kemungkinan besar 'kebenaran sejati' itu tidak sesempit yang dipikirkan oleh para penganut paham bumi datar)! Relativisme absolute (apakah hal demikian dapat ada?) tentu saja adalah sesuatu oxymoron yang mustahil dihidupi. Pandangan seperti ini menurut hemat saya hanya sedikit saja orang yang menganut (walaupun kamu mungkin mendapat kesan bahwa kaum relativis itu ada dimana-mana, menguasai dunia ini dengan konspirasi mereka). Yang pasti, pendekatan worldview bukan relativis naif seperti demikian.
Buku kecil ini adalah kumpulan ke tiga dari meditasi-
meditasi yang saya pernah tuliskan di berba... more Buku kecil ini adalah kumpulan ke tiga dari meditasi- meditasi yang saya pernah tuliskan di berbagai kesempatan di media lokal gereja, di dinding media sosial saya, renungan pagi untuk acara retreat gereja dan juga sekolah. Saya berharap tulisan-tulisan ini berguna bagi para pembaca dalam mengenali diri secara lebih jujur dan terutama juga dalam semakin mengenal betapa dalam, tinggi dan luasnya kasih Tuhan kepada kita di dalam Yesus Kristus dan bagaimana menyambut panggilan untuk menjadi saksi, model komunitas dan agen dari datangnya Pemerintah
Doa adalah sesuatu yang sangat akrab dengan kehidupan kita. Saya kira semua orang mengetahui apa ... more Doa adalah sesuatu yang sangat akrab dengan kehidupan kita. Saya kira semua orang mengetahui apa arti kata ini dan sebagian besar pasti pernah berdoa, apapun pandangannya mengenai makna dari kegiatan ini. Tidak hanya orang-orang Kristen, semua agama pasti mengenal yang namanya doa – bahkan orang-orang yang mengaku sebagai ateis-pun kemungkinan besar pernah berdoa, atau setidaknya akan menganggap orang yang sedang berdoa dengan tulus dan dengan niat yang baik, sebagai sesuatu yang tidak jahat atau memiliki nilai yang baik, walau pun mungkin orang-orang yang mengaku Ateis berbeda pendapat dengan para penganut agama-agama mengenai bagaimana doa itu bekerja.
Dalam artikel ini saya akan membahas pertanyaan-pertanyaan yang umum kita tanyakan seputar doa, seperti: Apakah yang sebenarnya kita perbuat ketika kita berdoa? Apakah doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan yang mahakuasa dan mahasempurna? Jika doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan, bagaimanakah kita dapat mengetahui apa yang sebaiknya kita minta karena mungkin saja apa yang kita minta bukanlah sesuatu yang yang kita inginkan untuk terjadi pada akhirnya? Mungkin kita akan menyesali permintaan yang Tuhan kabulkan setelah kita memilikinya beberapa saat. Jika doa tidak dapat mengubah keputusan Tuhan yang maha berdaulat atau di sisi lain, kita mungkin saja sedang meminta Tuhan untuk melakukan sesuatu yang kurang baik bagi kita atau bagi dunia pada umumnya melalui doa kita. Mengapa kita harus berdoa padahal jelas kita tidak dapat mengetahui apa yang terbaik untuk dimintakan kepada Tuhan? Seperti kata Paulus, siapakah kita untuk menjadi penasehat Tuhan?
Asumsi dari pertanyaan-pertanyaan begini adalah: doa merupakan suatu usaha untuk mendapatkan sesuatu dari Tuhan atau untuk meminta-Nya mengubah suatu keadaan atau setidaknya menolong kita dalam mengubah keadaan itu. Tetapi doa tentu saja bukan hanya berurusan dengan hal-hal ini. Kita tidak selalu meminta Tuhan melakukan ini atau itu ketika kita berdoa. Terkadang kita hanya mengutarakan ucapan syukur kita kepada-Nya, memuji kebesaran-Nya yang melampaui kata-kata dan imajinasi kita, atau mungkin kita hanya ingin meluangkan waktu untuk berdiam diri di dalam kesadaran akan kehadiran-Nya. Asumsi dari doa-doa ucapan syukur, pujian dan pemujaan kepada Tuhan, atau sekedar suatu keheningan tanpa kata di hadapan-Nya adalah selain suatu tindakan meminta atau memohon, doa dalam konteks yang lebih luas adalah suatu komunikasi yang bersifat membangun, memperbaiki, dan mengakui relasi antara manusia dengan Penciptanya.
Orang-orang Ibrani mengumpulkan kisah-kisah klasik yang
telah turut membentuk kesadaran dari mil... more Orang-orang Ibrani mengumpulkan kisah-kisah klasik yang
telah turut membentuk kesadaran dari milyaran orang di
dunia modern, baik para penganut Yudaisme, Kekristenan,
maupun orang-orang Modern dan Postmodern lainnya -
baik yang menyebut dirinya sebagai 'sekuler', 'freethinkers', 'seekers' atau 'Spiritual tetapi Atheis dalam pengertian Tradisional' atau juga mereka, yang seperti Anne Rice, menyebut diri sebagai pengikut Yesus Kristus
tetapi bukan warga 'Gereja'. Dalam buku kecil ini saya menuangkan permenungan pribadi saya akan kisah-kisah itu. Kisah-kisah ini adalah mengenai sepuluh orang yang dipakai TUHAN dalam sejarah keselamatan untuk menunjukkan kemurahan-Nya pada umat manusia dan memberikan pengharapan bagi segala makhluk. Kesepuluh kisah ini bukanlah mengenai para pahlawan dengan tindakan-tindakannya yang gagah berani tanpa memikirkan pamrih pribadi. Sebaliknya, orang-orangdalam kesepuluh kisah ini adalah pribadi-pribadi yang memiliki banyak kekurangan, tetapi dalam kesepuluh kisah itu ada satu hal yang sama, yaitu: mereka berjalan mengikuti Allahnya Abraham, Ishak, dan Yakub. Kelemahan-kelemahan Abraham menghalangi kekuatan kuasa-Nya untuk menggenapkan maksud-maksud-Nya yang baik. Ini adalah sepuluh kisah tentang kemurahan Tuhan yang tidak dihalangi oleh kekejaman, kedengkian dan kebencian manusia.
Kebanyakan orang setuju bahwa kita manusia haruslah saling mengasihi. Mulai dari para pemuda-pemu... more Kebanyakan orang setuju bahwa kita manusia haruslah saling mengasihi. Mulai dari para pemuda-pemudi hippies yang mengusung tema “Make Love, Not War” dalam aksi-aksi menentang perang Vietnam di tahun 1960-an sampai para aktivis organisasi sosial keagamaan Tzu Chi, dan tentu saja umat Kristiani, mengedepankan kasih kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan ras, status sosial-ekonomi dan kebangsaan sebagai sesuatu yang entah baik untuk dilakukan pada dirinya sendiri, menyehatkan bagi jiwa maupun membuat hidup lebih berarti. Tetapi, menyetujui bahwa kita harus lebih lagi dalam saling mengasihi tidaklah cukup. Semua orang tahu bahwa mempraktekkan kasih itu lebih sulit daripada mengatakannya. Kalau demikian adanya, mengapakah kita masih memerlukan satu buku lagi mengenai kasih? Tidakkah kita lebih memerlukan tindakan-tindakan nyata penuh komitmen daripada setumpuk teori dan retorika muluk mengenai kasih yang kita sudah secara luas sepakati pentingnya ini.
In my analysis of Wright's epistemology, I will focus on two research questions, namely: Does Wri... more In my analysis of Wright's epistemology, I will focus on two research questions, namely: Does Wright’s critical-realism really succeed as a third-way to avoid the relativism from phenomenalism and the naiveté of positivism, hence is it useful in presenting Christianity as a viable answer to basic worldview questions for our era? I will answer this question by answering the following sub-questions: 1) What is Wright’s critical-realism and how is it claimed to be a solution for the dilemma of ‘positivism’ and ‘phenomenalism’ in reading? 2) How does Wright use the concept of critical-realism, narrative knowledge, and worldviews to achieve a ‘fair reading’ of New Testament taking its historical, literary, and theological character into account – without falling into the traps of either positivism or phenomenalism? I will present some critics of N.T. Wright to help me analyze this case.
Skripsi ini menelusuri bagaimana orangorang Kristen sebenarnya dan seharusnya memaknai pekerjaan... more Skripsi ini menelusuri bagaimana orangorang Kristen sebenarnya dan seharusnya memaknai pekerjaannya, mulai dari sekedar sebagai suatu keniscayaan untuk sekedar bertahan hidup dalam 'kesementaraan' sampai dengan penghayatan kerja sebagai suatu panggilan suci dari Sang Pencipta untuk menggarap dunia ciptaan bagi kemuliaanNya. Setelah dalam Bab I penulis menyampaikan perlunya kajian akan makna kerja yang secara historis, filosofis dan teologis khas Kristiani dan bagaimana penulis akan melakukannya, pada Bab II penelusuran dilakukan atas teoriteori mengenai makna kerja yang diutarakan oleh para pemikir Kristen yang memberikan komentarnya mengenai kerja, seperti: Eusebius, Augustinus, Thomas Aquinas, Martin Luther, dan John Calvin. Penulis berusaha untuk meletakkan teoriteori ini di dalam konteks perikehidupan dalam jaman mereka masingmasing dengan menimbang bagaimana mereka memikirkan mengenai asalmuasal dunia, nilai dari dunia Allah, 'keselamatan', hari penghakiman, dan gereja yang pada gilirannya sangat dipengaruhi juga oleh konteks dan situasi partikular pada setiap jaman. Bab III berisi analisa atas keadaan kontekstual jaman kita sekarang dan pada akhir penelusuran, yaitu Bab IV, saya berusaha untuk mengajukan suatu usulan menuju suatu teori makna kerja kontemporer yang dapat dengan adekuat meresponi kompleksitas jaman kita sambil tetap berpegang pada keunikan iman Kristen. Penulis terutama membahas mengenai usulan Miroslav Volf dalam buku Work in the Spirit (Oxford: Oxford University Press, 1991) . Bab V memuat butir-butir kesimpulan dari skripsi ini.
Kajian ulang atas pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti di atas, dilakukan oleh N.T. Wright (194... more Kajian ulang atas pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti di atas, dilakukan oleh N.T. Wright (1948-sekarang). Wright meluncurkan sebuah proyek penelitian yang dinamainya: Asal Muasal Kekeristenan dan Pertanyaan Mengenai Allah (Christian Origins and the Question of God) yang ditujukan untuk menelusuri akar sejarah dari kepercayaan Kristiani kepada Allah dan relevansinya hari ini. Penelusurannya terkait dengan tujuan yang lebih luas yaitu untuk menyajikan Kekristenan sebagai suatu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dari kemanusiaan. Thesis ini meneliti model hermeneutis yang dipakai Wright dan implikasinya.
Manusia diciptakan untuk berelasi. Salah satu buktinya adalah masalah relasi adalah akar dari ban... more Manusia diciptakan untuk berelasi. Salah satu buktinya adalah masalah relasi adalah akar dari banyak masalah-masalah serius dalam kehidupan. Menurut skala stress Holmes-Rahe, lima besar ranking teratas dari tekanan hidup paling berat dalam hidup seseorang semuanya berurusan dengan relasi: kematian pasangan, perceraian, perpisahan tanpa perceraian, dipenjarakan, dan kematian anggota keluarga dekat. 1 Relasi kita, seperti juga segala aspek lain dalam hidup manusia, sangatlah dipengaruhi oleh teknologi. Ketika teknologi mengalami perubahan dramatis relasi-relasi kita akan mengikutinya. Misalnya ketika Inggris mengalami industrialisasi pada tahun 1776 pola produksi berubah dengan drastis. Hal ini membuat penduduk desa berbondong-bondong pindah ke kota, mereka hidup berdempet-dempet dalam pemukiman-pemukiman kumuh yang kemudian menjadi lahan subur bagi berbagai masalah sosial seperti perkelahian, perceraian, perselingkuhan, tindak kriminal, dan aneka ragam socio-pathology lainnya. 2 Jika teknologi produksi dapat mengubah pola-pola relasi dengan demikian dramatis, apalagi revolusi teknologi informasi yang secara langsung mempengaruhi kehidupan sosial kita, yakni media sosial. Facebook tentu saja bukan media sosial pertama, tetapi sejak munculnya, ia dapat dikatakan telah mendominasi kehidupan sosial kita-dan merevolusinya. Tahukah anda bahwa Facebook memiliki pengguna aktif sebanyak 2.2 milyar-ini berarti ia memiliki pengikut sebanyak kekristenan! 3 Bagaimanakah media sosial mengubah cara-cara kita berelasi? Menurut saya ada beberapa karakteristik dari media sosial elektronik yang berbeda dari cara-cara kita berelasi secara offline, misalnya: di internet anda dapat lebih mudah memisahkan salah satu aspek dari diri anda dengan keseluruhan diri anda secara utuh, biasanya aspek visual. Dalam dunia nyata diri anda diwakili dengan kehadiran tubuh, suara, gestur, bau, sentuhan, selain juga visual. Tentu saja lebih mudah melakukan 'pencitraan' jika orang tidak melihat aspek-aspek lain dari diri anda secara langsung. Bukan hanya mengenai manusia, hal ini juga berlaku bagi benda-benda. Ingat saja bagaimana terkadang anda kecewa dengan sepatu, baju, dan produk-produk lain yang anda beli secara online tanpa pernah menyentuhnya langsung! Bayangkan apa yang terjadi ketika orang menjalin 'relasi sosial' secara online tanpa pernah 'kopi darat' dengan temannya itu. Seperti yang terjadi ketika anda 'menjalin relasi' dengan produk-produk yang anda 'incar' di toko-toko online-hati anda terjerat dengan hal-hal yang sesungguhnya anda tidak kenal di dalam keutuhan aspeknya. Jadi apa yang membuat anda tertarik dengan produk atau teman-teman virtual anda itu jika bukan hal-hal itu sendiri? Menurut hemat saya fenomena ini sesungguhnya mirip dengan apa yang terjadi ketika anda merasa tertarik dengan seseorang tetapi kemudian kehilangan rasa tertarik itu (apa yang anak-anak muda sebut sebagai 'ilfil'-ilang feeling)-anda hanya tertarik dengan proyeksi anda pada orang tersebut. Rasa tertarik itu segera menguap ketika proyeksi itu digantikan dengan kenyataan-yang muncul di dalam proses pengenalan yang lebih mendalam. Dengan kata lain di dalam internet topeng-topeng sosial kita akan lebih tebal dan berlapis-lapis dan lebih sulit untuk diverifikasi.
Permenungan teologis filosofis soal apa itu iman, pengharapan, dan kasih.
"Jadi menulis tema ten... more Permenungan teologis filosofis soal apa itu iman, pengharapan, dan kasih.
"Jadi menulis tema tentang iman, harapan, dan kasih, dengan cara yang sangat menarik. Misal, ia mengaitkan pembahasan iman dengan kenaifan, kecurigaan, dan sikap skeptis, yang sering menjadi kerancuan di kalangan umat. Penjelasan yang sangat teliti, ditambahkan dengan ilustrasi dari kehidupan sehari-hari dan perisitwa di Alkitab, membuat pembaca dapat mengerti dengan baik penjelasan yang dimaksudkan. Very recommended." - Inawaty Teddy, Th.M. Dosen Perjanjian Lama STT Reformed Indonesia.
Ini adalah delapan meditasi saya soal siapa itu manusia, apa panggilannya, dan apa yang dapat dih... more Ini adalah delapan meditasi saya soal siapa itu manusia, apa panggilannya, dan apa yang dapat diharapkan oleh seorang manusia dan dari seorang maupun umat manusia.
"Janganlah terlalu mengasihi anakmu," demikian kita sering mendengar sebuah nasihat. Seolah-olah ... more "Janganlah terlalu mengasihi anakmu," demikian kita sering mendengar sebuah nasihat. Seolah-olah kasih itu bisa overdosis. Barangkali kita pikir "segala sesuatu itu kalau kelebihan ya bisa jadi tidak baik," termasuk kasih. "Too much love will kill you," kata Brian May, si pengarang lagu yang dipersembahkan kepada sahabatnya yang mati muda karena "overdosis cinta" itu. Benarkah kasih bisa overdosis? Hipotesis saya adalah kasih tidak bisa overdosis. Sama seperti kebenaran, keadilan, kebaikan, dan keindahan tidak pernah bisa "overdosis" demikian kasih juga tidak bisa "overdosis". Yang dimaksud dengan "mengasihi" pada kasus-kasus orangtua yang "terlalu mengasihi" anak-anaknya seringkali bukanlah kasih yang sejati. Sering terjadi salah kaprah dalam memahami dan mempraktikkan kasih. Pada praktik yang salah kaprah tersebut kasih dicampuradukkan dengan pemanjaan ego ("self-indulgence"). Pemanjaan ego tidak sama dengan kasih. Pemanjaan ego adalah pemujaan diri saja. Pemanjaan ego adalah antitesis dari kasih. Berlawanan dengan pemanjaan ego, kasih menyerahkan diri bagi yang lain-seperti yang dilakukan oleh Yesus. Tidak begitu penting ego siapakah yang dimanjakan di sini, baik itu ego dari dirimu atau ego dari orang yang kamu "kasihi"-memanjakan ego seseorang bukanlah mengasihi orang tersebut. Contohnya, orangtua terkadang memahami kasih kepada anak-anaknya sebagai menuruti keinginan mereka, termasuk juga hal-hal yang absurd, buruk, tidak adil, dan lain sebagainya termasuk yang dapat merugikan diri si anak tersebut dalam jangka panjang-semisal makan junk food terus-terusan "asalkan dia bahagia", tidak mendisiplin mereka, membela mereka bahkan ketika mereka salah-itu semua adalah pemanjaan ego yang jelas bertentangan dengan kasih. Orangtua yang sunguh-sungguh mengasihi anak-anaknya tidak memanjakan ego mereka. Bagaimana kita sampai kepada pemahaman yang demikian keliru tentang kasih? Saya kira ini ada hubungannya dengan apa yang dikatakan penulis surat Yohanes, yakni orang percaya dimampukan untuk mengasihi oleh kasih Allah kepadanya di dalam Yesus (1 Yoh. 4:11, 19). Jika seseorang tidak pernah mengalami dikasihi dengan sesungguhnya-seringkali karena yang bersangkutan sendiri menutup diri terhadap kasih-ia pun tidak akan mampu untuk mengasihi. Hal yang serupa terjadi juga pada perintah Tuhan untuk mengampuni orang lain. Kita tentu ingat bahwa di dalam doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus ada frase, "Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami. (Mat. 6:12)" Doa ini tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran tentang keselamatan oleh karena rahmat ilahi semata-mata. "Mengampuni orang yang bersalah" itu bukanlah syarat bagi pengampunan Tuhan yang dapat dipenuhi oleh kekuatan orang yang bersangkutan. Kita memang tak dapat mengubah kalimat dalam Doa Bapa Kami itu demi menghindari pertanyaan soal koherensi sistem teologia. Saya pikir hal itu memang tidak perlu dilakukan. Kalimat "seperti kami mengampuni" itu harus dipahami bukan sebagai awal dari proses ampun-mengampuni itu, seolah-olah orang berdosa bisa menginisiasi datangnya kerajaan Allah-terjadinya kehendak Allah di bumi seperti di dalam surga. Doa ini tidak mengatakan bahwa orang berdosa dengan kekuatan moralnya sendiri dapat mengampuni sesamanya-lantas seolah-olah atas dasar pengampunan orang itu kepada kawannya Tuhan mengampuni dosa-dosa yang ia sendiri perbuat kepada Tuhan. Dosa-dosa yang kita perbuat kepada Tuhan tentu diampuni secara cuma-cuma, hanya melalui pekerjaan anugerah Kristus saja-tetapi paket pengampunan Tuhan ini tidaklah terjadi secara eceran. Pekerjaan Kristus dan Roh Kudus yang mendamaikan kita dengan Allah Bapa bukan hanya menghapuskan hukuman maut yang ditimpakan Tuhan kepada para pendosa tetapi juga memampukan ia untuk mewujudkan komunitas yang saling mengampuni di dalam Tuhan. Pekerjaan keselamatan Tuhan bukan hanya sekedar mengampuni hukuman atas dosa-dosa tetapi juga memperbaiki hati kita yang telah diracuni oleh dosa, juga relasi-relasi kita dengan orang lain dan juga membebaskan segenap ciptaan dari kesia-siaan. Dari perspektif ini kita dapat
Majalah National Geographic menyebut abad ke-21 sebagai
“babak manusia” (Anthropocene epoch) di m... more Majalah National Geographic menyebut abad ke-21 sebagai “babak manusia” (Anthropocene epoch) di mana manusia de- ngan segala aktivitasnya telah secara radikal mengubah kehi- dupan di seluruh muka bumi. 1 Hal ini tidaklah mengheran- kan bagi umat TUHAN. Kisah penciptaan di dalam Taurat, ekspresi-ekspresi kesalehan di dalam Mazmur, dan nubuat- nubuat para nabi di dalam Alkitab meletakkan manusia pada pusat tanggung jawab akan apa yang terjadi di bumi. Mengapakah bumi dikutuk, hewan-hewan dan tanam- tanaman menderita, dan segala keberadaan (eksistensi) diwar- nai dengan penderitaan dan rasa frustrasi? Menurut wawasan dunia Alkitab, hal ini disebabkan oleh dosa manusia. Manusia telah membangkang melawan Penciptanya dan menjerumus- kan segenap ciptaan ke dalam penderitaan dan kesia-siaan. Akibat dosa manusia kehidupan ini seluruhnya berisi pende- ritaan yang menakutkan—tetapi Allah Pencipta tidak tinggal diam. Menurut umat Ibrani, dan kemudian juga umat Kristen yang terdiri atas segala bangsa, Allah Pencipta itu turut ber- duka dan menderita bersama segenap ciptaan itu—dan pada waktu yang telah Ia sendiri tetapkan, Allah menunjukkan keadilan dan belas kasihan-Nya pada segenap ciptaan de- ngan memberikan solusi bagi masalah dosa ini. Solusi itu adalah kembalinya pemerintahan Allah di bumi, melalui Anak Tunggal-Nya, yakni Yesus dari Nazaret. Pemerintahan Allah telah kembali ke dalam dunia. Fajar telah menyingsing. Peng- harapan bagi segala makhluk ciptaan Allah telah terbit— walaupun kepenuhannya masih dinantikan. Kata Paulus di dalam Roma 8:18-21, kepada kitalah segala makhluk menga- rahkan mata dan pengharapannya. Ketika kelak Tuhan mem- berikan kepada kita tubuh yang baru yang tak dapat binasa, segala makhluk juga akan turut bersukacita di dalam kemer- dekaan mereka dari segala kesia-siaan dan kebinasaan. Kira- nya buku kecil tentang hal menjadi manusia ini dapat dipa- kai Tuhan untuk menyingkapkan kepada kita apa yang telah Kristus lakukan untuk menolong kita menjadi manusia yang seutuhnya di dalam segala kemuliaan-Nya.
"Kalau engkau (Filemon) menganggap aku (Paulus) temanmu seiman, terimalah dia (Onesimus) seperti ... more "Kalau engkau (Filemon) menganggap aku (Paulus) temanmu seiman, terimalah dia (Onesimus) seperti aku sendiri." (Filemon 1:17). Surat ini ditulis oleh Paulus untuk mengantar kepulangan Onesimus kepada Filemon (Flm 1: 18-19). Kalimat yang sangat revolusioner di atas dituliskan oleh Paulus dalam konteks budaya Yunani-Romawi abad pertama yang masih sangat diskriminatif. Seorang budak hampir-hampir bukan manusia sementara para tuan punya hak yang tak dipertanyakan atas budak-budaknya. Tetapi, di dalam ayat 17 Paulus mengatakan, "Kalau engkau menganggap aku temanmu seiman, terimalah dia seperti aku sendiri." Saya kira kalimat ini dapat mewakili betapa radikalnya tindakan Paulus. Ia yang jelas-jelas adalah rasul Yesus Kristus mengatakan kepada Filemon, muridnya itu, 'jika engkau menganggapku temanmu seiman'. Tentu saja Paulus adalah teman seiman bagi Filemon! Jika kita meragukan kekristenan Paulus, apalagi iman dari Filemon. Istilah 'jika' di sini mewakili sikap Paulus yang jauh daripada arogan dan sok memerintah bawahannya. Paulus tidak mengatakan, "Jika engkau menganggap aku rasul Yesus Kristus" atau "Jika engkau menganggapku ayah rohanimu"-tapi cukup "jika engkau anggap aku kawanmu seiman." Kalimatnya tak berhenti sampai di sini, ia mengatakan jika Filemon menganggapnya sebagai kawan seiman maka terimalah Onesimus seperti Paulus sendiri. Permintaan ini sangat-sangat revolusioner. Paulus meminta agar Filemon tidak membuat diskriminasi perlakuan antara ia, Paulus, 'bapak rohaninya' dengan Onesimus, bekas budak Filemon itu. Ia menuntut Filemon untuk memperlakukan bekas budaknya seperti ia memperlakukan bapak rohaninya, yang adalah rasul Kristus. Mengingat konteks jaman itu di mana perbudakan adalah sesuatu yang diterima secara luas dan legal, apa yang diminta Paulus jelas keterlaluan bagi masyarakat pada umumnya; tetapi rupanya ia tidaklah menganggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan untuk dilakukan seorang murid Yesus, apalagi seseorang yang penuh kasih seperti Filemon. Menganggap semua orang sebagai sepenting diri sendiri, seberharga diri sendiri, dan juga setidakpenting diri sendiri, adalah dasar mutlak bagi sukacita dalam kehidupan di dalam komunitas umat Tuhan. Seperti dikatakan Yesus, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Mat 7:12) dan "... yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat 22:39). Tidak ada orang yang suka untuk diperalat, diperas, dijadikan obyek aktualisasi rasa ingin
Ini adalah sample dari artikel penuh yang akan dipublikasikan di jurnal Verbum Christi
Sekilas k... more Ini adalah sample dari artikel penuh yang akan dipublikasikan di jurnal Verbum Christi
Sekilas konsep William James tentang kebenaran dalam konteks epistemologi, khususnya dalam kritik yang ia tujukan kepada konsep Modern tentang kebenaran yang atemporal, akontekstual, dan absolutis terdengar mirip dengan kritik atas hal yang sama oleh Herman Dooyeweerd dari tradisi Reformasional. Dalam paper ini penulis akan menunjukkan hal-hal apa saja di antara keduanya yang serupa dan dalam hal apa saja keduanya berbeda secara radikal. Riset ini dapat berguna karena luas dan pentingnya pengaruh Pragmatisme dalam dunia abad ke-20 dan 21 tidak dapat diremehkan. Pragmatisme cukup sukses dalam mendaratkan pergulatan akademis Modern atas pengetahuan manusia yang pada masa Enlightenment seringkali cenderung abstrak dan elitis kepada konteks kesehariannya.
lain: Theologia Kemuliaan atau Theologia Kehinaan. Pengenalan kita akan Tuhan ini tentu saja, sep... more lain: Theologia Kemuliaan atau Theologia Kehinaan. Pengenalan kita akan Tuhan ini tentu saja, seperti kata orang-orang semacam Agustinus dari Hippo dan John Calvin, berkelindan dengan bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Theologia Salib tentu saja adalah yang kedua-Kabar Baik bagi mereka yang miskin, bangkrut, lapar, terpinggirkan, gila, dan tak berguna. Ini adalah sejenis Theologia yang diberitakan dan dihayati oleh Yesus dari Nazaret. Theologia Salib (Latin: Theologia Crucis, Yunani: Staurology, German: Kreuzestheologie) berada di jantung terobosan Reformasi. Salah satu semboyan Reformasi, yakni solus Christus pertama kali muncul di dalam konteks Theologia crucis, yang dikontraskan oleh Luther dengan apa yang disebutnya 'teologia kemuliaan' (Theologia gloriae). Istilah Theologia crucis itu sendiri agak jarang muncul di dalam tulisan-tulisan Luther, tetapi ia menyebutnya sebagai 'satu-satunya dasar dari seluruh teologia'. Teologia salib pertama kali dicatat muncul di dalam peristiwa 'disputasi Heidelberg' yang terjadi di tahun 1518, satu tahun setelah peristiwa Sembilan-puluh-lima thesis Wittenberg. Dalam perdebatan Heidelberg tersebut Luther menegaskan 28 butir thesis yang dimulai dengan kalimat, "Hukum Tuhan, ajaran kehidupan yang paling terhormat, tidak dapat memajukan orang dalam status kebenarannya di hadapan Tuhan (righteousness), malahan menghalang-halanginya." Ini khas Luther. Ia mempertentangkan secara tajam antara hukum Taurat dan rahmat ilahi di dalam Kristus. Luther berpendapat bahwa hukum Tuhan diberikan bukan untuk melaluinya kita beroleh pembenaran, di dalam keadaan kita yang telah jatuh dalam dosa, kita tidak mampu untuk menaati hukum-hukum Allah yang sempurna, maka hukum-hukum itu justru menjadi kutuk bagi kita, menjadi cermin bagaimana lemah dan berdosanya manusia itu. Luther selanjutnya mengontraskan perbuatan baik manusia dengan perbuatan baik Tuhan. Ironi dari pekerjaan baik manusia yang dapat terlihat baik, dengan pekerjaan Allah yang dapat terlihat buruk dinyatakan Luther di dalam thesis ke tiga dan ke empat: Although the works of man always appear attractive and good, they are nevertheless likely to be mortal sins. Although the
Yosua mengirimkan sekelompok pengintai ke Yerikho. Yerikho merupakan kota tua yang mempunyai seja... more Yosua mengirimkan sekelompok pengintai ke Yerikho. Yerikho merupakan kota tua yang mempunyai sejarah 9000 tahun. Yerikho merupakan kota dengan pertahanan kuat yang sulit ditaklukkan. Sebenarnya tidak ada harapan bagi orang Israel untuk mengalahkan Yerikho. Bagi Yerikho sebenarnya tidak ada alasan untuk takut kepada segerombolan budak-budak macam bangsa Israel. Yosua adalah orang yang mendapatkan janji Tuhan. Tuhan sudah berjanji kepada Abraham, bahwa suatu hari kelak keturunannya, yang saat itu kelihatannya mustahil karena Abraham dan Sara sudah tua, akan menguasai tanah tempat Abraham berpijak. Tetapi Tuhan dengan kesabaran-Nya yang panjang, terus ada dan menyertai bangsa Israel. Tuhan mengingatkan Yosua akan janji-Nya kepada Abraham. Yosua hanya tinggal memetik hasilnya. Yosua bertindak dengan hati-hati dan mengirimkan mata-mata. Tetapi kedua orang pengintai yang dikirimkan oleh Yosua segera ketahuan oleh raja Yerikho. Kedua pengintai ini memilih tempat persembunyian yang aman yaitu rumah perempuan sundal. Perempuan sundal ini dalam percakapannya dengan kedua pengintai ini memberikan data yang cukup untuk mengalahkan Yerikho. Mereka mendapatkan informasi dari Rahab, penduduk Yerikho. Informasi yang didapatkan adalah bahwa orang Yerikho takut kepada Israel. Karena ketakutan ini maka Yerikho kalah. Apakah yang penduduk Yerikho takutkan? Pertahanan kota mereka bagus, persenjataan mereka lebih lengkap, segala hal yang ada di Yerikho lebih baik daripada bangsa Israel. Penduduk Yerikho takut kepada Allah bangsa Israel. Karena Allah Israel punya reputasi yang mengerikan. Allah Israel membuat Mesir yang merupakan negeri besar, bertekuk lutut. Firaun tidak berkutik dalam melawan Allah orang Israel. Kejadian ini akan berulang pada zaman Eli, yang ditakuti oleh orang Filistin adalah Allah orang Israel. Fakta ini tidak disadari oleh orang Israel, mereka malah takut kepada raja Yerikho. Rahab mengadakan perjanjian dengan kedua pengintai tersebut supaya ia diselamatkan. Padahal bangsa Israel merupakan bangsa yang inferior dibandingkan Yerikho. Rahab begitu beriman akan kemenangan Allah Israel, sedangkan Yosua mengirimkan mata-mata untuk memastikan kemenangan. Mata-mata tersebut memberikan janjinya kepada Rahab untuk menjaga keselamatan mereka dengan syarat mengikatkan tali di jendela rumah Rahab. Pola ini mirip saat Tuhan menyerang bangsa Mesir dengan tulah, kemudian beberapa rumah yang pada ambang pintunya diolesi darah binatang dilewati, pola ini mengingatkan kita kepada peristiwa di malam bangsa Israel keluar dari Mesir. Paskah. Rahab merupakan orang yang patut dicontoh imannya meskipun masa lalunya gelap. Rahab adalah orang yang percaya kepada Allah Israel. Saat umat Israel tidak percaya akan kemenangan yang Allah pastikan kepada mereka, Rahab sudah percaya. Rahab memihak kepada Allah Israel. Kita harus mencontoh Rahab. Kepada siapakah kita harus memihak? Rahab tidak pernah melihat bangsa Israel selain kedua pengintai ini. Ia hanya mendengar reputasi Allah Israel dari rumor tetapi Rahab percaya kebesaran Allah. Kita adalah orang yang sudah mendengar lebih banyak dari Rahab, membaca lebih banyak
Hampir sepuluh tahun yang lalu saya mengikatkan diri pada suatu janji di hadapan Tuhan dan jemaat... more Hampir sepuluh tahun yang lalu saya mengikatkan diri pada suatu janji di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya. Orang sekampung menjadi saksi mata peristiwa itu. Hari itu saya berjanji bahwa saya akan mengasihi dan menghormati ( to love and to cherish) seorang perempuan yang saya pilih sendiri itu, dalam "keadaan baik maupun buruk", "kecukupan maupun kekurangan", "sakit maupun sehat"-sampai kematian memisahkan kita. Saya kira sulit mencari sesumbar yang lebih ambisius daripada janji ini. Tidak ada perdebatan mengenai manfaat pernikahan dan cinta. Bagi para lelaki menikah terbukti punya efek terbalik dari rokok. Menikah itu memperpanjang harapan hidup. Bagi para perempuan, khususnya di negara-negara yang tidak ada perlindungan memadai dan persamaan kesempatan bagi kaum Hawa, menikah itu memperkecil resiko sosial-ekonomi. Plato pernah menulis begini: "Jadi bagaimanapun, menikahlah, karena jika engkau mendapatkan istri yang baik, engkau akan menjadi lelaki yang bahagia, jika engkau mendapatkan yang buruk (barangkali seperti Xanthippe, istri Sokrates) engkau akan jadi filsuf." Itu sisi terang pernikahan. Tetapi, seperti juga segala hal dalam hidup ini, pernikahan dan cinta punya sisi gelapnya juga. Tidak ada seseorang yang benar-benar ahli dalam pernikahan, cinta atau relasi antar-pribadi secara umum. 'Performing well ' dalam pernikahan itu jauh lebih sulit dan rumit daripada 'performing well ' dalam pekerjaan. Relasi antar-manusia itu lebih sukar dipahami daripada relasi antara atom, proton, dan kuark-orang-orang paling cerdas yang dapat memahami Fisika Kuantum dan Teori Himpunan tanpa kesulitan pun tidak perform lebih baik daripada orang-orang biasa di dalam pernikahan dan cinta. Bagaimana tidak, bahkan orang tidak membikin sekolah-sekolah untuk relasi antar pribadi dan cinta! Mengenai hal lain, dalam dunia kerja misalnya, orang mendapatkan pelatihan yang mendetil mengenai apa yang akan dia kerjakan. Ekspektasi-ekspektasi sebuah pekerjaan profesional dituangkan secara terang dalam ratusan lembar standar prosedur operasi, protokol riset, standar penilaian performansi, dan macam-macam apparatus lainnya-tetapi di dalam pernikahan, cinta dan relasi antar manusia hal-hal begini tidak lah selalu dikomunikasikan dan didokumentasikan secara rasional dan terang. Orang diharapkan dapat memahami isi hati pasangannya secara spontan dan natural, bukankah para pecinta itu, seperti kata Aristotle, adalah satu jiwa yang mendiami dua tubuh. Ada banyak asumsi dan prasangka yang tak dikomunikasikan dalam relasi antar-pribadi-orang diharapkan dapat membaca tanda-tanda implisit dari pasangan, sahabat, ayah, ibu, anak, dan bos secara akurat-seperti dukun-dukun Sparta membaca isi perut hewan-hewan kurban. Apa pentingnya bicara tentang pernikahan, cinta dan relasi antar manusia? Paulus mengatakan dalam surat Efesus agar kita menjadi 'penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih' (5:1) dan perwujudan konkretnya adalah dalam pengarahan yang sama sekali berbeda dalam menjalani RELASI sebagai suami-istri, sebagai orangtua-anak-anak, sebagai tuan-hamba. Dalam Efesus 5:22-6:8 Paulus berbicara mengenai RELASI, ini bukan perintah untuk dilakukan secara INDIVIDUAL. Seperti orang katakan , It takes two to Tango. Kehidupan
Kata Pengantar Pameran Lukisan 'Paradise in Mystery', 2013
Ketika pada suatu sore mas Jonnie meminta saya untuk menuliskan kata pengantar bagi pameran lukis... more Ketika pada suatu sore mas Jonnie meminta saya untuk menuliskan kata pengantar bagi pameran lukisan Paradise in Mystery, terlintas di benak saya ide-ide mengenai Paradise sebagai aneka macam 'gema dari luar sana', gema dari 'Sang Liyan'-apapun sebutan anda bagi Dia-yang secara membandel terus-menerus menghantui kita di tengah dunia yang semakin lama semakin sekuler ini. Hampir setiap agama dan kebudayaan dalam dunia ini memiliki ide mengenai semacam tempat atau keadaan yang sempurna tanpa kejahatan atau penderitaan, dari sanalah kita berasal dan kesanalah kita akan pulang. Surga, Eden, Firdaus, Nirwana, Utopia, you name it. Sebagai orang Kristen, yang ada di benak saya adakah ide-ide dari st. Agustinus, st. Thomas Aquinas, William Paley, sampai C.S. Lewis, mengenai "keindahan alam semesta yang menceritakan kemuliaan Tuhan" dan juga "kejahatan di dalam kehidupan yang menceritakan pemberontakan manusia kepada Sang Pencipta." Dalam serial cerita anak-anak The Chronicles of Narnia 1 secara cerdik C.S. Lewis menceritakan tentang keindahan negeri Narnia pada mulanya, dalam kepolosan dan kesederhanaan sebuah permulaan terpancar keagungan dan kepenuhan ciptaan. Sampai datanglah Musim Dingin yang mengerikan akibat kutukan Ratu Sihir Jahat menjelmakan sekujur Narnia menjadi gersang bersalju, dengan bengis menindas kehidupan yang masih tersisa. Dalam konteks kejahatan-masa-kini dan ingatan serta gema dari kebaikan-asali inilah petualangan di negeri Narnia berlangsung. Ditengah pergumulan melawan kejahatan di dalam dunia yang seharusnya baik ini ada sebuah kekuatan yang berasal dari sebuah suara lirih tanpa kata yang menggelorakan pengharapan, terkadang kecil memang, tetapi tak kunjung padam. Dalam kata-kata Lewis sendiri: "Sebuah suara mulai bernyanyi. Suara itu berasal dari tempat yang jauh dan Digory sulit untuk mengatakan dari arah mana suara itu berasal. Terkadang itu seperti keluar dari segala arah sekaligus. Pada saat-saat yang lain ia hampir-hampr berpikir itu berasal dari bumi di bawahnya. Nada-nadanya yang terendah begitu rendah, cukup rendah untuk dikatakan sebagai suara bumi itu sendiri. Tiada kata. Bahkan itu sulit dikatakan sebagai sebuah lagu. Tetapi suara itu tiada taranya, suara terindah yang pernah ia dengar." 2 Dalam konteks sekuler kita juga dapat menemukan tema pencarian spiritual seperti ini. Misalnya saja seperti yang diutarakan oleh penyanyi populer Billy Joel dalam lagu River of Dreams 3 bertahun-tahun yang lalu. Dalam lagu ini Billy Joel berkisah mengenai malam-malam hari yang sepi, ketika kita sendirian dengan diri kita, jiwa kita mencari-cari sesuatu yang hilang. Sesuatu yang suci yang telah lama hilang. In the middle of the night I go walking in my sleep From the mountains of faith To the river so deep I must be lookin' for something Something sacred I lost
Saya tidak mau membuang-buang waktumu untuk bercerita bahwa istilah 'worldview' berasal dari isti... more Saya tidak mau membuang-buang waktumu untuk bercerita bahwa istilah 'worldview' berasal dari istilah Weltanschauung yang dipakai Immanuel Kant hampir tigaratus tahun silam (atau bahkan sebelumnya lagi oleh seorang Belanda yang saya lupa namanya). Hal-hal demikian dapat kamu googling saja sendiri, atau bacalah artikel-artikel bagus yang ditulis lebih dalam era tahun 1980an seperti On Worldviews dari James Olthuis atau On the Idea of Worldview and Its Relations to Philosophy karya Albert Wolters. 1 Pagi hari ini kita hanya akan memikirkan bagian-bagian paling penting saja untuk memahami secara garis besar sejenis hewan apakah worldview itu. Worldview vs. Rasionalisme Istilah worldview muncul dalam diskusi tentang pengetahuan dan bagaimanakah pengetahuan kita berhubungan dengan hal-hal lain seperti: tubuh, seksualitas, bahasa, uang, emosi, pengalaman mistis, dan lain-lain. Pendekatan worldview ini muncul sebagai tandingan dari rasionalisme. Apa itu rasionalisme? Rasionalisme adalah cara memahami manusia sebagai makhluk yang berpusat pada pikirannya. Seorang rasionalis percaya bahwa nalar kita itu otonom alias tidak bergantung pada apapun juga. Karena akal-budi kita otonom (baca: bebas) maka ia tidak dipengaruhi oleh apapun yang lain dalam diri kita, sebaliknya ia dapat mempengaruhi segala sesuatu dalam diri kita. Seorang rasionalis beranggapan bahwa kita dan hidup kita adalah produk dari pemikiran kita. Bagi seorang rasionalis kamu adalah akibat dari pemikiranmu. Kalau kamu sekarang ini sedih, itu adalah karena kamu berpikir sedemikian rupa sehingga emosi kamu menjadi negative (sedih). Pendekatan worldview memahami manusia terbalik dari anggapan ini. Bagi seorang yang memakai pendekatan worldview, akal budi kita justru dikondisikan sedemikian rupa oleh hal-hal di luar dirinya. Pikiran rasional kita itu tidaklah benar-benar bebas dan otonom. Misalnya, kalau kamu berpikir bahwa orang yang kulitnya putih itu lebih cantik daripada orang yang kulitnya hitam atau coklat, itu bukan karena kamu telah memikirkannya secara logis. Kamu berpikir demikian, barangkali, karena kamu terlalu banyak nonton acara-acara produksi Holywood atau BBC dan tidak terlalu sering nonton film-film India. Dunia Modern, barangkali sejak Descartes memahami akal budi manusia sebagai dapat dipisahkan secara cukup independen dari tubuh dan lingkungannya-pendekatan worldview menolak pandangan ini. Pengetahuan dipahami oleh mereka yang menganut pendekatan Worldview sebagai selalu melekat (dikondisikan, dibatasi, dan diwarnai) pada tubuh dan lingkungan. Pengetahuan yang Termediasi Karena pendekatan worldview menolak anggapan bahwa akal budi manusia itu otonom, maka wajar jika ia juga menolak bahwa kita dapat memiliki pengetahuan yang sungguh-sungguh bebas dari 'bias' (prasangka, prejudice, presuposisi), murni obyektif, dan 'netral'. Tetapi apakah ini berarti 'apa saja dapat benar' (anything goes) alias kita nggak boleh mengatakan apapun yang teman kita katakan sebagai salah? Tentu saja tidak! Pendekatan worldview menegaskan bahwa kebenaran yang sejati-yang jelas-jelas tidak salah-memang ada (walaupun kemungkinan besar 'kebenaran sejati' itu tidak sesempit yang dipikirkan oleh para penganut paham bumi datar)! Relativisme absolute (apakah hal demikian dapat ada?) tentu saja adalah sesuatu oxymoron yang mustahil dihidupi. Pandangan seperti ini menurut hemat saya hanya sedikit saja orang yang menganut (walaupun kamu mungkin mendapat kesan bahwa kaum relativis itu ada dimana-mana, menguasai dunia ini dengan konspirasi mereka). Yang pasti, pendekatan worldview bukan relativis naif seperti demikian.
Buku kecil ini adalah kumpulan ke tiga dari meditasi-
meditasi yang saya pernah tuliskan di berba... more Buku kecil ini adalah kumpulan ke tiga dari meditasi- meditasi yang saya pernah tuliskan di berbagai kesempatan di media lokal gereja, di dinding media sosial saya, renungan pagi untuk acara retreat gereja dan juga sekolah. Saya berharap tulisan-tulisan ini berguna bagi para pembaca dalam mengenali diri secara lebih jujur dan terutama juga dalam semakin mengenal betapa dalam, tinggi dan luasnya kasih Tuhan kepada kita di dalam Yesus Kristus dan bagaimana menyambut panggilan untuk menjadi saksi, model komunitas dan agen dari datangnya Pemerintah
Doa adalah sesuatu yang sangat akrab dengan kehidupan kita. Saya kira semua orang mengetahui apa ... more Doa adalah sesuatu yang sangat akrab dengan kehidupan kita. Saya kira semua orang mengetahui apa arti kata ini dan sebagian besar pasti pernah berdoa, apapun pandangannya mengenai makna dari kegiatan ini. Tidak hanya orang-orang Kristen, semua agama pasti mengenal yang namanya doa – bahkan orang-orang yang mengaku sebagai ateis-pun kemungkinan besar pernah berdoa, atau setidaknya akan menganggap orang yang sedang berdoa dengan tulus dan dengan niat yang baik, sebagai sesuatu yang tidak jahat atau memiliki nilai yang baik, walau pun mungkin orang-orang yang mengaku Ateis berbeda pendapat dengan para penganut agama-agama mengenai bagaimana doa itu bekerja.
Dalam artikel ini saya akan membahas pertanyaan-pertanyaan yang umum kita tanyakan seputar doa, seperti: Apakah yang sebenarnya kita perbuat ketika kita berdoa? Apakah doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan yang mahakuasa dan mahasempurna? Jika doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan, bagaimanakah kita dapat mengetahui apa yang sebaiknya kita minta karena mungkin saja apa yang kita minta bukanlah sesuatu yang yang kita inginkan untuk terjadi pada akhirnya? Mungkin kita akan menyesali permintaan yang Tuhan kabulkan setelah kita memilikinya beberapa saat. Jika doa tidak dapat mengubah keputusan Tuhan yang maha berdaulat atau di sisi lain, kita mungkin saja sedang meminta Tuhan untuk melakukan sesuatu yang kurang baik bagi kita atau bagi dunia pada umumnya melalui doa kita. Mengapa kita harus berdoa padahal jelas kita tidak dapat mengetahui apa yang terbaik untuk dimintakan kepada Tuhan? Seperti kata Paulus, siapakah kita untuk menjadi penasehat Tuhan?
Asumsi dari pertanyaan-pertanyaan begini adalah: doa merupakan suatu usaha untuk mendapatkan sesuatu dari Tuhan atau untuk meminta-Nya mengubah suatu keadaan atau setidaknya menolong kita dalam mengubah keadaan itu. Tetapi doa tentu saja bukan hanya berurusan dengan hal-hal ini. Kita tidak selalu meminta Tuhan melakukan ini atau itu ketika kita berdoa. Terkadang kita hanya mengutarakan ucapan syukur kita kepada-Nya, memuji kebesaran-Nya yang melampaui kata-kata dan imajinasi kita, atau mungkin kita hanya ingin meluangkan waktu untuk berdiam diri di dalam kesadaran akan kehadiran-Nya. Asumsi dari doa-doa ucapan syukur, pujian dan pemujaan kepada Tuhan, atau sekedar suatu keheningan tanpa kata di hadapan-Nya adalah selain suatu tindakan meminta atau memohon, doa dalam konteks yang lebih luas adalah suatu komunikasi yang bersifat membangun, memperbaiki, dan mengakui relasi antara manusia dengan Penciptanya.
Orang-orang Ibrani mengumpulkan kisah-kisah klasik yang
telah turut membentuk kesadaran dari mil... more Orang-orang Ibrani mengumpulkan kisah-kisah klasik yang
telah turut membentuk kesadaran dari milyaran orang di
dunia modern, baik para penganut Yudaisme, Kekristenan,
maupun orang-orang Modern dan Postmodern lainnya -
baik yang menyebut dirinya sebagai 'sekuler', 'freethinkers', 'seekers' atau 'Spiritual tetapi Atheis dalam pengertian Tradisional' atau juga mereka, yang seperti Anne Rice, menyebut diri sebagai pengikut Yesus Kristus
tetapi bukan warga 'Gereja'. Dalam buku kecil ini saya menuangkan permenungan pribadi saya akan kisah-kisah itu. Kisah-kisah ini adalah mengenai sepuluh orang yang dipakai TUHAN dalam sejarah keselamatan untuk menunjukkan kemurahan-Nya pada umat manusia dan memberikan pengharapan bagi segala makhluk. Kesepuluh kisah ini bukanlah mengenai para pahlawan dengan tindakan-tindakannya yang gagah berani tanpa memikirkan pamrih pribadi. Sebaliknya, orang-orangdalam kesepuluh kisah ini adalah pribadi-pribadi yang memiliki banyak kekurangan, tetapi dalam kesepuluh kisah itu ada satu hal yang sama, yaitu: mereka berjalan mengikuti Allahnya Abraham, Ishak, dan Yakub. Kelemahan-kelemahan Abraham menghalangi kekuatan kuasa-Nya untuk menggenapkan maksud-maksud-Nya yang baik. Ini adalah sepuluh kisah tentang kemurahan Tuhan yang tidak dihalangi oleh kekejaman, kedengkian dan kebencian manusia.
Kebanyakan orang setuju bahwa kita manusia haruslah saling mengasihi. Mulai dari para pemuda-pemu... more Kebanyakan orang setuju bahwa kita manusia haruslah saling mengasihi. Mulai dari para pemuda-pemudi hippies yang mengusung tema “Make Love, Not War” dalam aksi-aksi menentang perang Vietnam di tahun 1960-an sampai para aktivis organisasi sosial keagamaan Tzu Chi, dan tentu saja umat Kristiani, mengedepankan kasih kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan ras, status sosial-ekonomi dan kebangsaan sebagai sesuatu yang entah baik untuk dilakukan pada dirinya sendiri, menyehatkan bagi jiwa maupun membuat hidup lebih berarti. Tetapi, menyetujui bahwa kita harus lebih lagi dalam saling mengasihi tidaklah cukup. Semua orang tahu bahwa mempraktekkan kasih itu lebih sulit daripada mengatakannya. Kalau demikian adanya, mengapakah kita masih memerlukan satu buku lagi mengenai kasih? Tidakkah kita lebih memerlukan tindakan-tindakan nyata penuh komitmen daripada setumpuk teori dan retorika muluk mengenai kasih yang kita sudah secara luas sepakati pentingnya ini.
In my analysis of Wright's epistemology, I will focus on two research questions, namely: Does Wri... more In my analysis of Wright's epistemology, I will focus on two research questions, namely: Does Wright’s critical-realism really succeed as a third-way to avoid the relativism from phenomenalism and the naiveté of positivism, hence is it useful in presenting Christianity as a viable answer to basic worldview questions for our era? I will answer this question by answering the following sub-questions: 1) What is Wright’s critical-realism and how is it claimed to be a solution for the dilemma of ‘positivism’ and ‘phenomenalism’ in reading? 2) How does Wright use the concept of critical-realism, narrative knowledge, and worldviews to achieve a ‘fair reading’ of New Testament taking its historical, literary, and theological character into account – without falling into the traps of either positivism or phenomenalism? I will present some critics of N.T. Wright to help me analyze this case.
Skripsi ini menelusuri bagaimana orangorang Kristen sebenarnya dan seharusnya memaknai pekerjaan... more Skripsi ini menelusuri bagaimana orangorang Kristen sebenarnya dan seharusnya memaknai pekerjaannya, mulai dari sekedar sebagai suatu keniscayaan untuk sekedar bertahan hidup dalam 'kesementaraan' sampai dengan penghayatan kerja sebagai suatu panggilan suci dari Sang Pencipta untuk menggarap dunia ciptaan bagi kemuliaanNya. Setelah dalam Bab I penulis menyampaikan perlunya kajian akan makna kerja yang secara historis, filosofis dan teologis khas Kristiani dan bagaimana penulis akan melakukannya, pada Bab II penelusuran dilakukan atas teoriteori mengenai makna kerja yang diutarakan oleh para pemikir Kristen yang memberikan komentarnya mengenai kerja, seperti: Eusebius, Augustinus, Thomas Aquinas, Martin Luther, dan John Calvin. Penulis berusaha untuk meletakkan teoriteori ini di dalam konteks perikehidupan dalam jaman mereka masingmasing dengan menimbang bagaimana mereka memikirkan mengenai asalmuasal dunia, nilai dari dunia Allah, 'keselamatan', hari penghakiman, dan gereja yang pada gilirannya sangat dipengaruhi juga oleh konteks dan situasi partikular pada setiap jaman. Bab III berisi analisa atas keadaan kontekstual jaman kita sekarang dan pada akhir penelusuran, yaitu Bab IV, saya berusaha untuk mengajukan suatu usulan menuju suatu teori makna kerja kontemporer yang dapat dengan adekuat meresponi kompleksitas jaman kita sambil tetap berpegang pada keunikan iman Kristen. Penulis terutama membahas mengenai usulan Miroslav Volf dalam buku Work in the Spirit (Oxford: Oxford University Press, 1991) . Bab V memuat butir-butir kesimpulan dari skripsi ini.
Kajian ulang atas pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti di atas, dilakukan oleh N.T. Wright (194... more Kajian ulang atas pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti di atas, dilakukan oleh N.T. Wright (1948-sekarang). Wright meluncurkan sebuah proyek penelitian yang dinamainya: Asal Muasal Kekeristenan dan Pertanyaan Mengenai Allah (Christian Origins and the Question of God) yang ditujukan untuk menelusuri akar sejarah dari kepercayaan Kristiani kepada Allah dan relevansinya hari ini. Penelusurannya terkait dengan tujuan yang lebih luas yaitu untuk menyajikan Kekristenan sebagai suatu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dari kemanusiaan. Thesis ini meneliti model hermeneutis yang dipakai Wright dan implikasinya.
Manusia diciptakan untuk berelasi. Salah satu buktinya adalah masalah relasi adalah akar dari ban... more Manusia diciptakan untuk berelasi. Salah satu buktinya adalah masalah relasi adalah akar dari banyak masalah-masalah serius dalam kehidupan. Menurut skala stress Holmes-Rahe, lima besar ranking teratas dari tekanan hidup paling berat dalam hidup seseorang semuanya berurusan dengan relasi: kematian pasangan, perceraian, perpisahan tanpa perceraian, dipenjarakan, dan kematian anggota keluarga dekat. 1 Relasi kita, seperti juga segala aspek lain dalam hidup manusia, sangatlah dipengaruhi oleh teknologi. Ketika teknologi mengalami perubahan dramatis relasi-relasi kita akan mengikutinya. Misalnya ketika Inggris mengalami industrialisasi pada tahun 1776 pola produksi berubah dengan drastis. Hal ini membuat penduduk desa berbondong-bondong pindah ke kota, mereka hidup berdempet-dempet dalam pemukiman-pemukiman kumuh yang kemudian menjadi lahan subur bagi berbagai masalah sosial seperti perkelahian, perceraian, perselingkuhan, tindak kriminal, dan aneka ragam socio-pathology lainnya. 2 Jika teknologi produksi dapat mengubah pola-pola relasi dengan demikian dramatis, apalagi revolusi teknologi informasi yang secara langsung mempengaruhi kehidupan sosial kita, yakni media sosial. Facebook tentu saja bukan media sosial pertama, tetapi sejak munculnya, ia dapat dikatakan telah mendominasi kehidupan sosial kita-dan merevolusinya. Tahukah anda bahwa Facebook memiliki pengguna aktif sebanyak 2.2 milyar-ini berarti ia memiliki pengikut sebanyak kekristenan! 3 Bagaimanakah media sosial mengubah cara-cara kita berelasi? Menurut saya ada beberapa karakteristik dari media sosial elektronik yang berbeda dari cara-cara kita berelasi secara offline, misalnya: di internet anda dapat lebih mudah memisahkan salah satu aspek dari diri anda dengan keseluruhan diri anda secara utuh, biasanya aspek visual. Dalam dunia nyata diri anda diwakili dengan kehadiran tubuh, suara, gestur, bau, sentuhan, selain juga visual. Tentu saja lebih mudah melakukan 'pencitraan' jika orang tidak melihat aspek-aspek lain dari diri anda secara langsung. Bukan hanya mengenai manusia, hal ini juga berlaku bagi benda-benda. Ingat saja bagaimana terkadang anda kecewa dengan sepatu, baju, dan produk-produk lain yang anda beli secara online tanpa pernah menyentuhnya langsung! Bayangkan apa yang terjadi ketika orang menjalin 'relasi sosial' secara online tanpa pernah 'kopi darat' dengan temannya itu. Seperti yang terjadi ketika anda 'menjalin relasi' dengan produk-produk yang anda 'incar' di toko-toko online-hati anda terjerat dengan hal-hal yang sesungguhnya anda tidak kenal di dalam keutuhan aspeknya. Jadi apa yang membuat anda tertarik dengan produk atau teman-teman virtual anda itu jika bukan hal-hal itu sendiri? Menurut hemat saya fenomena ini sesungguhnya mirip dengan apa yang terjadi ketika anda merasa tertarik dengan seseorang tetapi kemudian kehilangan rasa tertarik itu (apa yang anak-anak muda sebut sebagai 'ilfil'-ilang feeling)-anda hanya tertarik dengan proyeksi anda pada orang tersebut. Rasa tertarik itu segera menguap ketika proyeksi itu digantikan dengan kenyataan-yang muncul di dalam proses pengenalan yang lebih mendalam. Dengan kata lain di dalam internet topeng-topeng sosial kita akan lebih tebal dan berlapis-lapis dan lebih sulit untuk diverifikasi.
Permenungan teologis filosofis soal apa itu iman, pengharapan, dan kasih.
"Jadi menulis tema ten... more Permenungan teologis filosofis soal apa itu iman, pengharapan, dan kasih.
"Jadi menulis tema tentang iman, harapan, dan kasih, dengan cara yang sangat menarik. Misal, ia mengaitkan pembahasan iman dengan kenaifan, kecurigaan, dan sikap skeptis, yang sering menjadi kerancuan di kalangan umat. Penjelasan yang sangat teliti, ditambahkan dengan ilustrasi dari kehidupan sehari-hari dan perisitwa di Alkitab, membuat pembaca dapat mengerti dengan baik penjelasan yang dimaksudkan. Very recommended." - Inawaty Teddy, Th.M. Dosen Perjanjian Lama STT Reformed Indonesia.
Majalah National Geographic menyebut abad ke-21 sebagai
“babak manusia” (Anthropocene epoch) di m... more Majalah National Geographic menyebut abad ke-21 sebagai “babak manusia” (Anthropocene epoch) di mana manusia dengan segala aktivitasnya telah secara radikal mengubah kehidupan di seluruh muka bumi. Hal ini tidaklah mengherankan bagi umat TUHAN. Kisah penciptaan di dalam Taurat, ekspresi-ekspresi kesalehan di dalam Mazmur, dan nubuatnubuat para nabi di dalam Alkitab meletakkan manusia pada pusat tanggung jawab akan apa yang terjadi di bumi.
Mengapakah bumi dikutuk, hewan-hewan dan tanamtanaman menderita, dan segala keberadaan (eksistensi) diwarnai dengan penderitaan dan rasa frustrasi? Menurut wawasan dunia Alkitab, hal ini disebabkan oleh dosa manusia. Manusia telah membangkang melawan Penciptanya dan menjerumuskan segenap ciptaan ke dalam penderitaan dan kesia-siaan. Akibat dosa manusia kehidupan ini seluruhnya berisi penderitaan yang menakutkan—tetapi Allah Pencipta tidak tinggal diam. Menurut umat Ibrani, dan kemudian juga umat Kristen yang terdiri atas segala bangsa, Allah Pencipta itu turut berduka dan menderita bersama segenap ciptaan itu—dan pada waktu yang telah Ia sendiri tetapkan, Allah menunjukkan keadilan dan belas kasihan-Nya pada segenap ciptaan dengan memberikan solusi bagi masalah dosa ini. Solusi itu adalah kembalinya pemerintahan Allah di bumi, melalui Anak Tunggal-Nya, yakni Yesus dari Nazaret. Pemerintahan Allah telah kembali ke dalam dunia. Fajar telah menyingsing. Pengharapan bagi segala makhluk ciptaan Allah telah terbit—walaupun kepenuhannya masih dinantikan. Kata Paulus di dalam Roma 8:18-21, kepada kitalah segala makhluk mengarahkan mata dan pengharapannya. Ketika kelak Tuhan memberikan kepada kita tubuh yang baru yang tak dapat binasa, segala makhluk juga akan turut bersukacita di dalam kemerdekaan mereka dari segala kesia-siaan dan kebinasaan. Kiranya buku kecil tentang hal menjadi manusia ini dapat dipakai Tuhan untuk menyingkapkan kepada kita apa yang telah Kristus lakukan untuk menolong kita menjadi manusia yang seutuhnya di dalam segala kemuliaan-Nya. Selamat Natal!
Perintah terpenting dalam Kekristenan adalah mengasihi: pertama, mengasihi Tuhan—yang adalah Kasi... more Perintah terpenting dalam Kekristenan adalah mengasihi: pertama, mengasihi Tuhan—yang adalah Kasih itu sendiri—dan kedua, mengasihi sesama kita manusia seperti diri kita sendiri. Di dalam menaati perintah bahagia ini kita akan berjumpa dengan diri kita yang sebenarnya—yaitu kelumpuhan dan keengganan untuk mengasihi—dan sekaligus berjumpa dengan kemurahan-kemurahan Tuhan, yang di dalam rahmat-Nya menopang tatanan ciptaan dengan segala kebaikan. Perintah dan ajaran Yesus untuk saling mengasihi bukan hanya merupakan suatu perintah atau anjuran baik untuk kita lakukan, tetapi juga merupakan suatu kabar baik—suatu undangan untuk masuk dalam sukacita yang membuat hidup kita penuh dan utuh.
Tujuh meditasi dalam buku ini berusaha mengajak para pembaca untuk bersama-sama merenungkan bagaimana sabda-sabda kasih dalam Alkitab dan tulisan-tulisan orang-orang percaya dalam zaman-zaman berikutnya dapat menjadi sumber kekuatan bagi kita. Berbagai meditasi theologis-filosofis ini diambil dari sabda-sabda tentang kasih dalam Injil Matius, Yohanes, surat-surat Paulus, dan berbagai perspektif yang didapat dari interaksi dengan karya-karya Augustinus dari Hippo dan para penulis yang lain. Dalam tujuh meditasi tersebut kita akan melihat bagaimana jalan kasih merupakan suatu terobosan bagi kebuntuan relasi dan kemandekan hidup.
Ini adalah refleksi dan re-apropriasi teologis-filosofis-pastoral saya terhadap tradisi medieval ... more Ini adalah refleksi dan re-apropriasi teologis-filosofis-pastoral saya terhadap tradisi medieval tentang 7 dosa maut.
Dalam tulisan pendek ini saya berusaha menuangkan apa yang selama ini saya pikirkan mengenai hal-... more Dalam tulisan pendek ini saya berusaha menuangkan apa yang selama ini saya pikirkan mengenai hal-hal ini. Penjelasannya tidak akan komprehensif. Pasti akan terdapat banyak lubang dalam argumentasinya. Dalam hal itu saya mengundang para sidang pembaca untuk meresponsnya dengan kembali merenunginya di dalam dialog berkelanjutan dengan sumber-sumber tradisi Kekristenan yang kita miliki bersama. Saya menuliskannya secara sederhana agar dapat dibaca dan mudah-mudahan berguna bagi sebanyak mungkin orang. Secara singkat dapat dikatakan saya menganggap Kekristenan sebagai suatu pengakuan dan penghayatan atas serangkaian peristiwa tertentu, mengenai sekelompok orang, yang dipercaya telah dan akan terus memaknai seluruh sejarah di segala tempat dan berdampak pada segala aspek kehidupan sehubungan dengan janji TUHAN kepada Abraham yang telah Ia sendiri genapi di dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di abad pertama, di seputar kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus dari Nazaret.
Filsafat Pendidikan Kristen oleh: Jadi S. Lima Tulisan ini dibuat dalam rangka menyambut 10 tahun... more Filsafat Pendidikan Kristen oleh: Jadi S. Lima Tulisan ini dibuat dalam rangka menyambut 10 tahun berdirinya Sekolah Kristen Calvin. Apa yang akan anda baca adalah upaya saya untuk menjelaskan apakah 'filsafat' dari 'pendidikan Kristen' itu. Penjelasan tersebut terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan filsafat dan mengapakah kita perlu berpikir filosofis. Bagian kedua membahas apa itu 'pendidikan Kristen'. Apakah yang menjadikan suatu upaya pendidikan dapat disebut sebagai pendidikan Kristiani? Pada bagian ketiga saya akan berupaya untuk menggariskan hal-hal pokok dari sebuah 'filsafat pendidikan Kristiani'. Filsafat (dan mengapa kita memerlukannya) Filsafat, jika dipandang sebagai suatu aktivitas berpikir, adalah suatu aktivitas berpikir yang rasional-konseptual, sistematis, menyeluruh, mendasar (radikal), dan kritis. Tidak semua aktivitas berpikir dapat disebut rasional-konseptual. Misalnya jika kita sedang menimbang-nimbang apakah siang ini mau makan mie bakso atau bihun bebek, biasanya aktivitas berpikir itu tidaklah terlalu rasional-konseptual. Aktivitas berpikir macam begini lebih afeksional-konkret, bahkan jika kita tergolong jenis manusia yang cenderung rasionil. Anda mulai berpikir tentang makan barangkali karena anda mulai lapar, dan jika anda ingin makan bihun bebek barangkali penyebabnya adalah karena mie bakso terakhir yang anda makan mengandung buntut cicak dan anda sudah bosan dengan nasi goreng balacan. Kemungkinan besar anda tidak membuka-buka kamus filsafat untuk memutuskan akan makan yang mana nanti siang, bukan? Bukan hanya yang tidak dipertanyakan di dalam aktivitas berfilsafat, seperti dikatakan dengan indah oleh Richard Feynman, "I would rather have questions that can't be answered than answers that can't be questioned." Prinsip bahwa segala sesuatunya harus dipertanyakan dan diuji itu sendiri tentu saja juga tidak lolos dari pengujian. Tanyakan kepada Socrates dan Descartes, Immanuel Kant dan Martin Heidegger, mengapakah segala sesuatu harus dipertanyakan. Bertanya seperti ini adalah mempertanyakan alasan mengapa kita berfilsafat. Seorang filsuf yang konsisten tidak akan membungkam pertanyaan semacam ini. Barangkali seperti seorang teolog yang konsisten, Agustinus dari Hippo misalnya, juga tidak membungkam pertanyaan semacam, "Apakah yang Tuhan lakukan sebelum Ia menciptakan dunia ini?" dengan jawaban tidak bermutu yang menghindari kesulitan pertanyaan itu tanpa sungguh-sungguh berusaha menjawab pertanyaannya seperti yang dilakukan beberapa orang, "Tuhan menciptakan neraka bagi orang-orang yang bertanya apakah yang Dia kerjakan sebelum menciptakan dunia ini." Jawaban atas pertanyaan mengapakah kita perlu mempertanyakan segala sesuatu, atau dengan kata lain apakah gunanya aktivitas berfilsafat ini, saya kira, ada setidaknya dua poin: pertama karena, tidak seperti ikan, badak, dan anjing, manusia secara alamiah merefleksikan eksistensinya sendiri-setidaknya pada beberapa fase dalam kehidupannya-baik hal ini dianggap baik ataupun tidak. Jadi berfilsafat itu seperti bernapas, berbicara, makan, minum, dan buang air besar maupun kecil. Anda akan toh melakukannya. Kedua, memang ada alasan yang baik untuk melakukan aktivitas berfilsafat ini, yakni untuk mendapatkan alasan rasional yang kuat dalam menghadapi beratnya kehidupan. Nietzsche mengatakan bahwa orang yang mengetahui untuk apa ia hidup, akan lebih kuat untuk bertahan hidup bagaimanapun keadaan hidupnya. Karena kehidupan ini pada umumnya berat dan berisi banyak penderitaan, maka filsafat itu diperlukan untuk memperlengkapi anak-anak manusia menghadapinya dengan lebih tabah dan berani. Dia atas dua poin ini saya akan menambahkan mengapakah kita sebagai orang-orang Kristen, yakni mereka yang percaya bahwa pemerintahan Tuhan telah
Tulisan ini menerangkan kaitan antara stoisisme Yunani-Romawi dan stoisisme dalam tradisi Kristen... more Tulisan ini menerangkan kaitan antara stoisisme Yunani-Romawi dan stoisisme dalam tradisi Kristen dengan menelaah tulisan-tulisan primer dan sekunder dari Cicero, Epictetus, Agustinus, dan Calvin. Metode analisis teologis-filosofis digunakan dalam tulisan ini untuk meneliti bagaimanakah teologi, worldview, dan Injil di dalam “stoisisme Kristen”—sebagaimana dijumpai dalam etika Calvin—membuatnya berbeda dari stoisisme Yunani-Romawi. Sederhananya, terdapat kemiripan antara ajaran etika Calvin dengan etika stoisisme Yunani-Romawi. Sekalipun demikian, perbedaan tajam di antara keduanya dapat ditemukan pada akar-akarnya, yakni tataran teologi, worldview, dan eskatologi. Anjuran etis dari kedua kelompok ini dapat mirip dalam beberapa hal, tetapi itu muncul dari dua alasan yang berbeda secara radikal.
This article explains the relationship between Greco-Roman Stoicism and Stoicism in the Christian... more This article explains the relationship between Greco-Roman Stoicism and Stoicism in the Christian tradition by examining the primary and secondary sources of Cicero, Epictetus, Augustine, and Calvin. The theological-philosophical analysis will examine how theology, worldview, and the Gospel in "Christian Stoicism" as found in Calvin's ethics have made it distinctive from Greco-Roman Stoicism. Superficially, there are similarities between the teachings of Calvin's ethics and the ethics of Greco-Roman Stoicism. However, the two have sharp differences at their roots, namely at the theological, worldview, and eschatological levels. The ethical advice of these two groups may be similar in several respects, but they are rooted in radically different reasons.
Artikel ini ingin menjelaskan bagaimana Injil Yesus Kristus dapat berperan krusial dalam “revolus... more Artikel ini ingin menjelaskan bagaimana Injil Yesus Kristus dapat berperan krusial dalam “revolusi mental”. Tujuan ini dicapai melalui analisis pada relasi-relasi kekuasaan dari tiga konteks: Yudea abad pertama, Indonesia masa kolonial, dan Indonesia masa kini. Analisis difokuskan pada dinamika kekuasaan antara “wong cilik”, “kaum priayi”, dengan “tuan-tuan”, lalu membandingkannya dengan dinamika kekuasaan dalam masyarakat Yudea abad pertama dan kiprah Yesus Nazaret serta murid-murid-Nya dalam menghasilkan “revolusi mental dari bawah”. Penulis berharap penelitian ini akan menunjukkan arahan yang lebih jelas tentang bagaimana Injil yang dihayati oleh orang-orang Kristen dapat menafasi perjuangan mereka sebagai warga negara Indonesia dari lubuk hati terdalam mereka, sebagai warga “kerajaan Allah”. Para penulis Injil mengisahkan Yesus Kristus yang menghadirkan habituasi baru dalam interaksinya dengan kekuasaan maupun dengan kaum marjinal. Tulisan ini menerangkan pula bagaimana temuan t...
VERBUM CHRISTI: JURNAL TEOLOGI REFORMED INJILI, 2022
Disiplin terhadap anak-anak di dalam keluarga telah menampilkan sebuah fakta adanya dilema dua ek... more Disiplin terhadap anak-anak di dalam keluarga telah menampilkan sebuah fakta adanya dilema dua ekstrem disiplin yang terus berulang yaitu antara kekerasan dan pengabaian. Dilema serupa tidak dapat dihindari pula oleh keluarga Kristen masa kini di Indonesia. Oleh sebab itu, artikel ini berupaya untuk mendeskripsikan dan menganalisa kembali relevansi konsep disiplin terhadap anak di dalam pandangan William Gouge, seorang Puritan, untuk dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif dalam menghadapi dilema disiplin anak dalam keluarga Kristen masa kini di Indonesia. Secara khusus pada artikel ini, mengenai tanggung jawab orang tua dan anak di dalam disiplin. Studi ini menyimpulkan bahwa pandangan Gouge terhadap disiplin anak di dalam keluarga relevan dan memungkinkan adanya disiplin yang seimbang.
Dalam tulisan pendek ini saya berusaha menuangkan apa yang selama ini saya pikirkan mengenai hal-... more Dalam tulisan pendek ini saya berusaha menuangkan apa yang selama ini saya pikirkan mengenai hal-hal ini. Penjelasannya tidak akan komprehensif. Pasti akan terdapat banyak lubang dalam argumentasinya. Dalam hal itu saya mengundang para sidang pembaca untuk meresponsnya dengan kembali merenunginya di dalam dialog berkelanjutan dengan sumber-sumber tradisi Kekristenan yang kita miliki bersama. Saya menuliskannya secara sederhana agar dapat dibaca dan mudah-mudahan berguna bagi sebanyak mungkin orang. Secara singkat dapat dikatakan saya menganggap Kekristenan sebagai suatu pengakuan dan penghayatan atas serangkaian peristiwa tertentu, mengenai sekelompok orang, yang dipercaya telah dan akan terus memaknai seluruh sejarah di segala tempat dan berdampak pada segala aspek kehidupan sehubungan dengan janji TUHAN kepada Abraham yang telah Ia sendiri genapi di dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di abad pertama, di seputar kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus dari Nazaret.
VERBUM CHRISTI: JURNAL TEOLOGI REFORMED INJILI, Sep 6, 2017
Menurut Hannah Arendt, kapasitas manusia untuk mengampuni kesalahan, membuat perjanjian, dan mene... more Menurut Hannah Arendt, kapasitas manusia untuk mengampuni kesalahan, membuat perjanjian, dan menepati janjinya, dapat menjadi solusi yang lebih baik bagi predicament bawaan dari aktivitas bertindak, daripada solusi yang lebih sering dijumpai, yaitu kontrol. Kontrol telah menjadi solusi umum dalam sejarah filsafat politik Barat sejak Plato bagi ketiga predicament tindakan, yakni: unpredictability, irreversibility, dan inability to locate the subject of action. Arendt menelusuri sejarah solusi ini di dalam penggunaan metaforametafora proses fabrikasi yang dikenakan kepada proses-proses politik. Ini adalah substitusi berbahaya yang telah memimpin kepada penindasan, alienasi, dan kekerasan di dalam sejarah politik. Arendt berargumen bahwa pengampunan dan perjanjian, dua kapasitas manusia yang menimbulkan iman dan pengharapan adalah jalan keluar yang lebih baik daripada penggunaan kekerasan dan kontrol di dalam urusan politik. Artikel ini akan menelusuri sumber-sumber Yudaisme dan Kristen di dalam usulan Arendt ini. Pada akhir artikel ada apropriasi usulan Arendt ini untuk memahami dinamika politik di Indonesia. 4
VERBUM CHRISTI: JURNAL TEOLOGI REFORMED INJILI, Sep 6, 2017
This article is a short historical survey of the emancipation of the meaning of non-ecclesiastica... more This article is a short historical survey of the emancipation of the meaning of non-ecclesiastical occupations and life ('secular life'), from the time of Eusebius to the sixteenth century Reformation. Here the theology of vocation proposed by Augustine of Hippo, Thomas Aquinas, Geert Grote of the Devotio Moderna, the Renaissance, Luther and Calvin, are being surveyed and analyzed, especially on their influences in the way people saw the 'secular life'. A special focus is given to the influence of Luther's and Calvin's theological views in elevating non-ecclesiastical life-spheres to be on the same level as respectable and as sacred as ecclesiastical life-spheres.
VERBUM CHRISTI: JURNAL TEOLOGI REFORMED INJILI, 2018
At a glance, William James’ conception of truth in epistemology, especially in its critique of Mo... more At a glance, William James’ conception of truth in epistemology, especially in its critique of Modernism’s a-temporal, a-contextual, and absolutist conception of truth sounds very similar with a critique from Herman Dooyeweerd of the Reformational tradition. In this article, I would show what those similarities are and how the two systems are radically different. This research may be significant for Pragmatism is widely known and accepted in the late 20th century and well into the 21st century. Pragmatism is quite successful in grounding the elitist and abstract discourse of the academia to its daily contexts. KEYWORDS: James; Dooyeweerd; Truth; Pragmatism; Refomational Epistemology.
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat, 2020
This article surveys various understanding on what the Gospel is: as "how to get into heaven", a ... more This article surveys various understanding on what the Gospel is: as "how to get into heaven", a declaration about forgiveness of "personal sins", an invitation for a social-political revolution, and a good news about the fulfillment of God"s promise to Israel. The author argues for a theological and hermeneutical option to understand the gospel in a wider meta-narrative of creation, fall, and redemption. This option use a motif of "the return of God"s glory into the whole creation" as a paradigm to understand the gospel. This article tries to show how polarization between "the gospel of personal salvation" and "the social gospel" can be overcome by understanding the gospel as a declaration of the "return of God"s glory into creation".
At the end of the 20th century discussions about human freedom has become discussions about free ... more At the end of the 20th century discussions about human freedom has become discussions about free will. Discussions about this topic end up with the polemic between autonomy and heteronomy. The idea of autonomy tries to eliminate all limitations that obstruct human freedom. But after all the limitations have been eliminated, there are some raise questions about internal authority in a person’s self that limits him or her. In the opinion of the writer, theologians who approaches the problem of human freedom as a ‘freedom from’ would never touch the essence of human freedom. Gerrit Cornelis Berkouwer discusses human freedom not with the ‘free from’ approaches that will lead to a secularistic humanism but tries to look at the meaning of freedom biblically, that is “true freedom.” This kind of freedom does not depend on both external nor internal authorities, but rather depend on the hope of eschatological liberation where the believers will be in full obedience to Christ. KEYWORDS: free...
Pandemi Covid-19 dalam sekejap mata telah secara radikal mengubah dunia sebagaimana kita kenal d... more Pandemi Covid-19 dalam sekejap mata telah secara radikal mengubah dunia sebagaimana kita kenal dan andalkan sebelumnya. Dalam suasana depresif seperti ini tema kiamat atau akhir zaman biasanya muncul ke permukaan. Tulisan ini membahas opsi-opsi eskatologis dari kepercayaan Kristen dan bagaimana pengharapan itu dapat menjadi sumbangsih bagi masyarakat luas. Pembahasan eskatologi yang diangkat, dibatasi pada tiga opsi sehubungan dengan realisasi pemerintahan Tuhan di bumi, yakni pramilenialisme, pascamilenialisme, dan amilenialisme dalam hubungannya dengan krisis zaman, kerinduan-kerinduan mendasar manusia, dan realitas kekuasaan. Tulisan ini berusaha menunjukkan bagaimana eskatologi amilenialisme dapat menolong umat Kristen menyadari tanggung jawab sosialnya di satu sisi, dan di sisi lain menyadari keterbatasan dan kefanaannya, sambil tidak kehilangan pengharapan di dalam keadaan-keadaan sulit seperti pada masa-masa pandemi. Adapun metode penelitian yang dipakai adalah hermeneutika ...
Disiplin terhadap anak-anak di dalam keluarga telah menampilkan sebuah fakta adanya dilema dua ek... more Disiplin terhadap anak-anak di dalam keluarga telah menampilkan sebuah fakta adanya dilema dua ekstrem disiplin yang terus berulang yaitu antara kekerasan dan pengabaian. Dilema serupa tidak dapat dihindari pula oleh keluarga Kristen masa kini di Indonesia. Oleh sebab itu, artikel ini berupaya untuk mendeskripsikan dan menganalisa kembali relevansi konsep disiplin terhadap anak di dalam pandangan William Gouge, seorang Puritan, yang menghadapi dilema yang serupa pada eranya, untuk dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif dalam menghadapi dilema disiplin anak dalam keluarga Kristen masa kini di Indonesia. Gouge berupaya mengembalikan tatanan dan definisi disiplin kepada konsep yang biblikal, beserta seluruh unsur-unsur yang seharusnya ada di dalam disiplin terhadap anak-anak di dalam keluarga. Studi ini menyimpulkan bahwa pandangan Gouge terhadap disiplin anak di dalam keluarga relevan dan dapat menjadi salah satu alternatif bagi dilema yang ada di Indonesia. KATA KUNCI: William...
Dalam artikel ini penulis melakukan kajian pada aspek- aspek teologis, filosofis dan sosiologis d... more Dalam artikel ini penulis melakukan kajian pada aspek- aspek teologis, filosofis dan sosiologis dari pekerjaan untuk memahaminya secara Kristiani. Analisis ini akan dipakai untuk menyusun suatu usulan etika kerja Kristen yang dapat diterapkan pada zaman ini. Ada tiga sumber yang akan dipertimbangkan dalam mengulas etika kerja Kristen tersebut: alkitab, tradisi, dan situasi hidup modern.
"Janganlah terlalu mengasihi anakmu," demikian kita sering mendengar sebuah nasihat. Seolah-olah ... more "Janganlah terlalu mengasihi anakmu," demikian kita sering mendengar sebuah nasihat. Seolah-olah kasih itu bisa overdosis. Barangkali kita pikir "segala sesuatu itu kalau kelebihan ya bisa jadi tidak baik," termasuk kasih. "Too much love will kill you," kata Brian May, si pengarang lagu yang dipersembahkan kepada sahabatnya yang mati muda karena "overdosis cinta" itu. Benarkah kasih bisa overdosis? Hipotesis saya adalah kasih tidak bisa overdosis. Sama seperti kebenaran, keadilan, kebaikan, dan keindahan tidak pernah bisa "overdosis" demikian kasih juga tidak bisa "overdosis". Yang dimaksud dengan "mengasihi" pada kasus-kasus orangtua yang "terlalu mengasihi" anak-anaknya seringkali bukanlah kasih yang sejati. Sering terjadi salah kaprah dalam memahami dan mempraktikkan kasih. Pada praktik yang salah kaprah tersebut kasih dicampuradukkan dengan pemanjaan ego ("self-indulgence"). Pemanjaan ego tidak sama dengan kasih. Pemanjaan ego adalah pemujaan diri saja. Pemanjaan ego adalah antitesis dari kasih. Berlawanan dengan pemanjaan ego, kasih menyerahkan diri bagi yang lain-seperti yang dilakukan oleh Yesus. Tidak begitu penting ego siapakah yang dimanjakan di sini, baik itu ego dari dirimu atau ego dari orang yang kamu "kasihi"-memanjakan ego seseorang bukanlah mengasihi orang tersebut. Contohnya, orangtua terkadang memahami kasih kepada anak-anaknya sebagai menuruti keinginan mereka, termasuk juga hal-hal yang absurd, buruk, tidak adil, dan lain sebagainya termasuk yang dapat merugikan diri si anak tersebut dalam jangka panjang-semisal makan junk food terus-terusan "asalkan dia bahagia", tidak mendisiplin mereka, membela mereka bahkan ketika mereka salah-itu semua adalah pemanjaan ego yang jelas bertentangan dengan kasih. Orangtua yang sunguh-sungguh mengasihi anak-anaknya tidak memanjakan ego mereka. Bagaimana kita sampai kepada pemahaman yang demikian keliru tentang kasih? Saya kira ini ada hubungannya dengan apa yang dikatakan penulis surat Yohanes, yakni orang percaya dimampukan untuk mengasihi oleh kasih Allah kepadanya di dalam Yesus (1 Yoh. 4:11, 19). Jika seseorang tidak pernah mengalami dikasihi dengan sesungguhnya-seringkali karena yang bersangkutan sendiri menutup diri terhadap kasih-ia pun tidak akan mampu untuk mengasihi. Hal yang serupa terjadi juga pada perintah Tuhan untuk mengampuni orang lain. Kita tentu ingat bahwa di dalam doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus ada frase, "Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami. (Mat. 6:12)" Doa ini tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran tentang keselamatan oleh karena rahmat ilahi semata-mata. "Mengampuni orang yang bersalah" itu bukanlah syarat bagi pengampunan Tuhan yang dapat dipenuhi oleh kekuatan orang yang bersangkutan. Kita memang tak dapat mengubah kalimat dalam Doa Bapa Kami itu demi menghindari pertanyaan soal koherensi sistem teologia. Saya pikir hal itu memang tidak perlu dilakukan. Kalimat "seperti kami mengampuni" itu harus dipahami bukan sebagai awal dari proses ampun-mengampuni itu, seolah-olah orang berdosa bisa menginisiasi datangnya kerajaan Allah-terjadinya kehendak Allah di bumi seperti di dalam surga. Doa ini tidak mengatakan bahwa orang berdosa dengan kekuatan moralnya sendiri dapat mengampuni sesamanya-lantas seolah-olah atas dasar pengampunan orang itu kepada kawannya Tuhan mengampuni dosa-dosa yang ia sendiri perbuat kepada Tuhan. Dosa-dosa yang kita perbuat kepada Tuhan tentu diampuni secara cuma-cuma, hanya melalui pekerjaan anugerah Kristus saja-tetapi paket pengampunan Tuhan ini tidaklah terjadi secara eceran. Pekerjaan Kristus dan Roh Kudus yang mendamaikan kita dengan Allah Bapa bukan hanya menghapuskan hukuman maut yang ditimpakan Tuhan kepada para pendosa tetapi juga memampukan ia untuk mewujudkan komunitas yang saling mengampuni di dalam Tuhan. Pekerjaan keselamatan Tuhan bukan hanya sekedar mengampuni hukuman atas dosa-dosa tetapi juga memperbaiki hati kita yang telah diracuni oleh dosa, juga relasi-relasi kita dengan orang lain dan juga membebaskan segenap ciptaan dari kesia-siaan. Dari perspektif ini kita dapat
This article surveys various understanding on what the Gospel is: as ‘how to get into heaven’, a declaration about forgiveness of ‘personal sins’, an invitation for a social-political revolution, and a good news about the fulfillment of God’s promise to Israel. The author argues for a theological and hermeneutical option to understand the gospel in a wider meta-narrative of creation, fall, and redemption. This option use a motif of ‘the return of God’s glory into the whole creation’ as a paradigm to understand the gospel. This article tries to show how polarization between ‘the gospel of personal salvation’ and ‘the social gospel’ can be overcome by understanding the gospel as a declaration of the ‘return of God’s glory into creation’.
Artikel ini membahas aneka ragam pemahaman tentang apa itu Injil: sebagai ‘cara untuk masuk surga’, berita tentang pengampunan ‘dosa-dosa pribadi’, suatu undangan bagi revolusi sosial-politik, sampai suatu kabar tentang penggenapan janji TUHAN kepada umat-Nya. Dalam artikel ini akan dipertimbangkan sebuah opsi teologis dan tafsir untuk memahami Injil dalam konteks meta-naratif yang lebih luas, yakni didalam penciptaan, kejatuhan, dan penebusan. Opsi teologis ini memakai motif ‘kembalinya kemuliaan Allah ke dalam seluruh ciptaan’ sebagai paradigma untuk memahami Injil. Artikel ini menunjukkan bagaimana polarisasi antara ‘Injil keselamatan pribadi’ dan ‘Injil sosial’ dapat diatasi dengan memahami injil sebagai deklarasi tentang ‘kembalinya kemuliaan Allah ke dalam segenap ciptaan’.
References
Berkhof, Hendrikus dan I. H. Enklaar. 2009. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK.
Brown, Peter. 1997. Authority and the Sacred: Aspects of the Christianisation of the Roman World. NY: Cambridge Univ. Press.
Colson, Charles dan Nancy Pearcey. 1999. How Now Shall We Live? Carol Stream, Illinois: Tyndale House Publishing.
Fanning, Don. 2009. "Eschatology and Missions" Themes of Theology that Impacts Missions. Liberty University Journal.
Gilbert, Greg. 2010. What is the Gospel. Wheaton, Illinois: Crossway Books.
Kline, Meredith. 1958. “Because It Had Not Rained” The Westminster Theological Journal 20.
Lane, Anthony. 2009. Runtut Pijar. Jakarta: BPK.
Largen, K. J. 2006. “Liberation, Salvation, Enlightenment: An Exercise in Comparative Soteriology”. Dialog, (45): 263-274. doi:10.1111/j.1540-6385.2006.00276.x
Littlejohn, W. Bradford. 2017. “Addicted to Novelty: The Vice of Curiosity in a Digital Age”. Journal of the Society of Christian Ethics, 37 (1): 179-196. DOI: 10.1353/sce.2017.0000
Marshall, Peter. 2010. “Leaving the World”. Peter Matheson (G. ed.) dan Denis R. Janz (Ed.). Reformation Christianity: A People’s History of Christianity. MN: Augsburg Fortress Press.
McKnight, Scot. 2016. The King Jesus Gospel. Grand Rapids, MI: Zondervan.
Middleton, J. Richard. 2006. “A New Heaven and a New Earth: The Case for a Holistic Reading of the Biblical Story of Redemption”. Journal for Christian Theological Research 11 (7): 73-97.
Plato. 2009. “Faedo”. Dalam Ioanes Rakhmat (Ed.), Sokrates dalam Tetralogi Plato: Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks. Terjemahan oleh Ioanes Rakhmat. 2009. Jakarta: Gramedia.
Piper, John. 2010. Let the Nations be Glad: The Supremacy of God in Mission. Grand Rapids, Michigan: Baker Academic.
Prins, R. 1972. The Image of God in Adam and the Restoration of Man in Jesus Christ: A Study in Calvin. Scottish Journal of Theology, 25(1): 32-44. doi:10.1017/S0036930600027642
Singgih, E. G. 2012. “Some Notes on Corruption in Indonesia: A Cultural-Religious Perspective”. Exchange , (41): 318-319.
Swanson, R. N. 2010. “The Burdens of Purgatory”. Dalam Daniel Bornstein (G. ed.) dan Denis R. Janz (Ed.), Medieval Christianity. MN: Augsburg Fortress Press.
Wendel, Francois. 2010. Calvin: Asal-usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya, Jakarta: Penerbit Momentum.
Willard, Dallas. 1997. The Divine Conspiracy. New York: Harper Collins.
Wright, Christopher J. H. 2007. Salvation belongs to Our God: Celebrating Bible’s Central Story. Downers Grove, Illinois: IVP.
Wright, N. T. 2012. How God Became King: The Forgotten Story of the Gospels. New York: Harper One.
Uploads
Drafts by Jadi Lima
“babak manusia” (Anthropocene epoch) di mana manusia de-
ngan segala aktivitasnya telah secara radikal mengubah kehi-
dupan di seluruh muka bumi. 1 Hal ini tidaklah mengheran-
kan bagi umat TUHAN. Kisah penciptaan di dalam Taurat,
ekspresi-ekspresi kesalehan di dalam Mazmur, dan nubuat-
nubuat para nabi di dalam Alkitab meletakkan manusia pada
pusat tanggung jawab akan apa yang terjadi di bumi.
Mengapakah bumi dikutuk, hewan-hewan dan tanam-
tanaman menderita, dan segala keberadaan (eksistensi) diwar-
nai dengan penderitaan dan rasa frustrasi? Menurut wawasan
dunia Alkitab, hal ini disebabkan oleh dosa manusia. Manusia
telah membangkang melawan Penciptanya dan menjerumus-
kan segenap ciptaan ke dalam penderitaan dan kesia-siaan.
Akibat dosa manusia kehidupan ini seluruhnya berisi pende-
ritaan yang menakutkan—tetapi Allah Pencipta tidak tinggal
diam. Menurut umat Ibrani, dan kemudian juga umat Kristen
yang terdiri atas segala bangsa, Allah Pencipta itu turut ber-
duka dan menderita bersama segenap ciptaan itu—dan pada
waktu yang telah Ia sendiri tetapkan, Allah menunjukkan keadilan dan belas kasihan-Nya pada segenap ciptaan de-
ngan memberikan solusi bagi masalah dosa ini. Solusi itu
adalah kembalinya pemerintahan Allah di bumi, melalui Anak
Tunggal-Nya, yakni Yesus dari Nazaret. Pemerintahan Allah
telah kembali ke dalam dunia. Fajar telah menyingsing. Peng-
harapan bagi segala makhluk ciptaan Allah telah terbit—
walaupun kepenuhannya masih dinantikan. Kata Paulus di
dalam Roma 8:18-21, kepada kitalah segala makhluk menga-
rahkan mata dan pengharapannya. Ketika kelak Tuhan mem-
berikan kepada kita tubuh yang baru yang tak dapat binasa,
segala makhluk juga akan turut bersukacita di dalam kemer-
dekaan mereka dari segala kesia-siaan dan kebinasaan. Kira-
nya buku kecil tentang hal menjadi manusia ini dapat dipa-
kai Tuhan untuk menyingkapkan kepada kita apa yang telah
Kristus lakukan untuk menolong kita menjadi manusia yang
seutuhnya di dalam segala kemuliaan-Nya.
Sekilas konsep William James tentang kebenaran dalam konteks epistemologi, khususnya dalam kritik yang ia tujukan kepada konsep Modern tentang kebenaran yang atemporal, akontekstual, dan absolutis terdengar mirip dengan kritik atas hal yang sama oleh Herman Dooyeweerd dari tradisi Reformasional. Dalam paper ini penulis akan menunjukkan hal-hal apa saja di antara keduanya yang serupa dan dalam hal apa saja keduanya berbeda secara radikal. Riset ini dapat berguna karena luas dan pentingnya pengaruh Pragmatisme dalam dunia abad ke-20 dan 21 tidak dapat diremehkan. Pragmatisme cukup sukses dalam mendaratkan pergulatan akademis Modern atas pengetahuan manusia yang pada masa Enlightenment seringkali cenderung abstrak dan elitis kepada konteks kesehariannya.
meditasi yang saya pernah tuliskan di berbagai kesempatan
di media lokal gereja, di dinding media sosial saya,
renungan pagi untuk acara retreat gereja dan juga sekolah.
Saya berharap tulisan-tulisan ini berguna bagi para
pembaca dalam mengenali diri secara lebih jujur dan
terutama juga dalam semakin mengenal betapa dalam,
tinggi dan luasnya kasih Tuhan kepada kita di dalam Yesus
Kristus dan bagaimana menyambut panggilan untuk
menjadi saksi, model komunitas dan agen dari datangnya
Pemerintah
berdoa dengan tulus dan dengan niat yang baik, sebagai sesuatu yang tidak jahat atau memiliki nilai yang baik, walau pun mungkin orang-orang yang mengaku Ateis berbeda pendapat dengan para penganut agama-agama mengenai bagaimana doa itu bekerja.
Dalam artikel ini saya akan membahas pertanyaan-pertanyaan yang umum kita tanyakan seputar doa, seperti: Apakah yang sebenarnya kita perbuat ketika kita berdoa? Apakah doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan yang mahakuasa dan mahasempurna? Jika doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan, bagaimanakah kita dapat mengetahui apa yang sebaiknya kita minta karena mungkin saja apa yang kita minta bukanlah sesuatu yang yang kita inginkan untuk terjadi pada akhirnya? Mungkin kita akan menyesali permintaan yang Tuhan kabulkan setelah kita memilikinya beberapa saat. Jika doa tidak dapat mengubah keputusan Tuhan yang maha berdaulat atau di sisi lain, kita mungkin saja sedang meminta Tuhan untuk melakukan sesuatu yang kurang baik bagi kita atau bagi dunia pada umumnya melalui doa kita. Mengapa kita harus berdoa padahal jelas kita tidak dapat mengetahui apa yang terbaik untuk dimintakan kepada Tuhan? Seperti kata Paulus, siapakah kita untuk menjadi penasehat Tuhan?
Asumsi dari pertanyaan-pertanyaan begini adalah: doa merupakan suatu usaha untuk mendapatkan sesuatu dari Tuhan atau untuk meminta-Nya mengubah suatu keadaan atau setidaknya menolong kita dalam mengubah keadaan itu. Tetapi doa tentu saja bukan hanya berurusan dengan hal-hal ini. Kita tidak selalu meminta Tuhan melakukan ini atau itu ketika kita berdoa. Terkadang kita hanya mengutarakan ucapan syukur kita kepada-Nya, memuji kebesaran-Nya yang melampaui kata-kata dan imajinasi kita, atau mungkin kita hanya ingin meluangkan waktu untuk berdiam diri di dalam kesadaran akan kehadiran-Nya. Asumsi dari doa-doa ucapan syukur, pujian dan pemujaan kepada Tuhan, atau sekedar suatu keheningan tanpa kata di hadapan-Nya adalah selain suatu tindakan meminta atau memohon, doa dalam konteks yang lebih luas adalah suatu komunikasi yang bersifat membangun, memperbaiki, dan mengakui relasi antara manusia dengan Penciptanya.
telah turut membentuk kesadaran dari milyaran orang di
dunia modern, baik para penganut Yudaisme, Kekristenan,
maupun orang-orang Modern dan Postmodern lainnya -
baik yang menyebut dirinya sebagai 'sekuler', 'freethinkers', 'seekers' atau 'Spiritual tetapi Atheis dalam pengertian Tradisional' atau juga mereka, yang seperti Anne Rice, menyebut diri sebagai pengikut Yesus Kristus
tetapi bukan warga 'Gereja'. Dalam buku kecil ini saya menuangkan permenungan pribadi saya akan kisah-kisah itu. Kisah-kisah ini adalah mengenai sepuluh orang yang dipakai TUHAN dalam sejarah keselamatan untuk menunjukkan kemurahan-Nya pada umat manusia dan memberikan pengharapan bagi segala makhluk. Kesepuluh kisah ini bukanlah mengenai para pahlawan dengan tindakan-tindakannya yang gagah berani tanpa memikirkan pamrih pribadi. Sebaliknya, orang-orangdalam kesepuluh kisah ini adalah pribadi-pribadi yang memiliki banyak kekurangan, tetapi dalam kesepuluh kisah itu ada satu hal yang sama, yaitu: mereka berjalan mengikuti Allahnya Abraham, Ishak, dan Yakub. Kelemahan-kelemahan Abraham menghalangi kekuatan kuasa-Nya untuk menggenapkan maksud-maksud-Nya yang baik. Ini adalah sepuluh kisah tentang kemurahan Tuhan yang tidak dihalangi oleh kekejaman, kedengkian dan kebencian manusia.
John Calvin. Penulis berusaha untuk meletakkan teoriteori ini di dalam konteks perikehidupan dalam jaman mereka masingmasing dengan menimbang bagaimana mereka memikirkan mengenai asalmuasal dunia, nilai dari dunia Allah, 'keselamatan', hari penghakiman, dan gereja
yang pada gilirannya sangat dipengaruhi juga oleh konteks dan situasi partikular pada setiap jaman. Bab III berisi analisa atas keadaan kontekstual jaman kita sekarang dan pada akhir penelusuran, yaitu Bab IV, saya berusaha untuk mengajukan suatu usulan menuju suatu teori
makna kerja kontemporer yang dapat dengan adekuat meresponi kompleksitas jaman kita sambil tetap berpegang pada keunikan iman Kristen. Penulis terutama membahas mengenai usulan Miroslav Volf dalam buku Work in the Spirit (Oxford: Oxford University Press, 1991) . Bab V memuat butir-butir kesimpulan dari skripsi ini.
God) yang ditujukan untuk menelusuri akar sejarah dari kepercayaan Kristiani kepada Allah dan relevansinya hari ini. Penelusurannya terkait dengan tujuan yang lebih luas yaitu untuk menyajikan Kekristenan sebagai suatu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dari kemanusiaan. Thesis ini meneliti model hermeneutis yang dipakai Wright dan implikasinya.
Books by Jadi Lima
"Jadi menulis tema tentang iman, harapan, dan kasih, dengan cara yang sangat menarik. Misal, ia mengaitkan pembahasan iman dengan kenaifan, kecurigaan, dan sikap skeptis, yang sering menjadi kerancuan di kalangan umat. Penjelasan yang sangat teliti, ditambahkan dengan ilustrasi dari kehidupan sehari-hari dan perisitwa di Alkitab, membuat pembaca dapat mengerti dengan baik penjelasan yang dimaksudkan. Very recommended." - Inawaty Teddy, Th.M. Dosen Perjanjian Lama STT Reformed Indonesia.
“babak manusia” (Anthropocene epoch) di mana manusia de-
ngan segala aktivitasnya telah secara radikal mengubah kehi-
dupan di seluruh muka bumi. 1 Hal ini tidaklah mengheran-
kan bagi umat TUHAN. Kisah penciptaan di dalam Taurat,
ekspresi-ekspresi kesalehan di dalam Mazmur, dan nubuat-
nubuat para nabi di dalam Alkitab meletakkan manusia pada
pusat tanggung jawab akan apa yang terjadi di bumi.
Mengapakah bumi dikutuk, hewan-hewan dan tanam-
tanaman menderita, dan segala keberadaan (eksistensi) diwar-
nai dengan penderitaan dan rasa frustrasi? Menurut wawasan
dunia Alkitab, hal ini disebabkan oleh dosa manusia. Manusia
telah membangkang melawan Penciptanya dan menjerumus-
kan segenap ciptaan ke dalam penderitaan dan kesia-siaan.
Akibat dosa manusia kehidupan ini seluruhnya berisi pende-
ritaan yang menakutkan—tetapi Allah Pencipta tidak tinggal
diam. Menurut umat Ibrani, dan kemudian juga umat Kristen
yang terdiri atas segala bangsa, Allah Pencipta itu turut ber-
duka dan menderita bersama segenap ciptaan itu—dan pada
waktu yang telah Ia sendiri tetapkan, Allah menunjukkan keadilan dan belas kasihan-Nya pada segenap ciptaan de-
ngan memberikan solusi bagi masalah dosa ini. Solusi itu
adalah kembalinya pemerintahan Allah di bumi, melalui Anak
Tunggal-Nya, yakni Yesus dari Nazaret. Pemerintahan Allah
telah kembali ke dalam dunia. Fajar telah menyingsing. Peng-
harapan bagi segala makhluk ciptaan Allah telah terbit—
walaupun kepenuhannya masih dinantikan. Kata Paulus di
dalam Roma 8:18-21, kepada kitalah segala makhluk menga-
rahkan mata dan pengharapannya. Ketika kelak Tuhan mem-
berikan kepada kita tubuh yang baru yang tak dapat binasa,
segala makhluk juga akan turut bersukacita di dalam kemer-
dekaan mereka dari segala kesia-siaan dan kebinasaan. Kira-
nya buku kecil tentang hal menjadi manusia ini dapat dipa-
kai Tuhan untuk menyingkapkan kepada kita apa yang telah
Kristus lakukan untuk menolong kita menjadi manusia yang
seutuhnya di dalam segala kemuliaan-Nya.
Sekilas konsep William James tentang kebenaran dalam konteks epistemologi, khususnya dalam kritik yang ia tujukan kepada konsep Modern tentang kebenaran yang atemporal, akontekstual, dan absolutis terdengar mirip dengan kritik atas hal yang sama oleh Herman Dooyeweerd dari tradisi Reformasional. Dalam paper ini penulis akan menunjukkan hal-hal apa saja di antara keduanya yang serupa dan dalam hal apa saja keduanya berbeda secara radikal. Riset ini dapat berguna karena luas dan pentingnya pengaruh Pragmatisme dalam dunia abad ke-20 dan 21 tidak dapat diremehkan. Pragmatisme cukup sukses dalam mendaratkan pergulatan akademis Modern atas pengetahuan manusia yang pada masa Enlightenment seringkali cenderung abstrak dan elitis kepada konteks kesehariannya.
meditasi yang saya pernah tuliskan di berbagai kesempatan
di media lokal gereja, di dinding media sosial saya,
renungan pagi untuk acara retreat gereja dan juga sekolah.
Saya berharap tulisan-tulisan ini berguna bagi para
pembaca dalam mengenali diri secara lebih jujur dan
terutama juga dalam semakin mengenal betapa dalam,
tinggi dan luasnya kasih Tuhan kepada kita di dalam Yesus
Kristus dan bagaimana menyambut panggilan untuk
menjadi saksi, model komunitas dan agen dari datangnya
Pemerintah
berdoa dengan tulus dan dengan niat yang baik, sebagai sesuatu yang tidak jahat atau memiliki nilai yang baik, walau pun mungkin orang-orang yang mengaku Ateis berbeda pendapat dengan para penganut agama-agama mengenai bagaimana doa itu bekerja.
Dalam artikel ini saya akan membahas pertanyaan-pertanyaan yang umum kita tanyakan seputar doa, seperti: Apakah yang sebenarnya kita perbuat ketika kita berdoa? Apakah doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan yang mahakuasa dan mahasempurna? Jika doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan, bagaimanakah kita dapat mengetahui apa yang sebaiknya kita minta karena mungkin saja apa yang kita minta bukanlah sesuatu yang yang kita inginkan untuk terjadi pada akhirnya? Mungkin kita akan menyesali permintaan yang Tuhan kabulkan setelah kita memilikinya beberapa saat. Jika doa tidak dapat mengubah keputusan Tuhan yang maha berdaulat atau di sisi lain, kita mungkin saja sedang meminta Tuhan untuk melakukan sesuatu yang kurang baik bagi kita atau bagi dunia pada umumnya melalui doa kita. Mengapa kita harus berdoa padahal jelas kita tidak dapat mengetahui apa yang terbaik untuk dimintakan kepada Tuhan? Seperti kata Paulus, siapakah kita untuk menjadi penasehat Tuhan?
Asumsi dari pertanyaan-pertanyaan begini adalah: doa merupakan suatu usaha untuk mendapatkan sesuatu dari Tuhan atau untuk meminta-Nya mengubah suatu keadaan atau setidaknya menolong kita dalam mengubah keadaan itu. Tetapi doa tentu saja bukan hanya berurusan dengan hal-hal ini. Kita tidak selalu meminta Tuhan melakukan ini atau itu ketika kita berdoa. Terkadang kita hanya mengutarakan ucapan syukur kita kepada-Nya, memuji kebesaran-Nya yang melampaui kata-kata dan imajinasi kita, atau mungkin kita hanya ingin meluangkan waktu untuk berdiam diri di dalam kesadaran akan kehadiran-Nya. Asumsi dari doa-doa ucapan syukur, pujian dan pemujaan kepada Tuhan, atau sekedar suatu keheningan tanpa kata di hadapan-Nya adalah selain suatu tindakan meminta atau memohon, doa dalam konteks yang lebih luas adalah suatu komunikasi yang bersifat membangun, memperbaiki, dan mengakui relasi antara manusia dengan Penciptanya.
telah turut membentuk kesadaran dari milyaran orang di
dunia modern, baik para penganut Yudaisme, Kekristenan,
maupun orang-orang Modern dan Postmodern lainnya -
baik yang menyebut dirinya sebagai 'sekuler', 'freethinkers', 'seekers' atau 'Spiritual tetapi Atheis dalam pengertian Tradisional' atau juga mereka, yang seperti Anne Rice, menyebut diri sebagai pengikut Yesus Kristus
tetapi bukan warga 'Gereja'. Dalam buku kecil ini saya menuangkan permenungan pribadi saya akan kisah-kisah itu. Kisah-kisah ini adalah mengenai sepuluh orang yang dipakai TUHAN dalam sejarah keselamatan untuk menunjukkan kemurahan-Nya pada umat manusia dan memberikan pengharapan bagi segala makhluk. Kesepuluh kisah ini bukanlah mengenai para pahlawan dengan tindakan-tindakannya yang gagah berani tanpa memikirkan pamrih pribadi. Sebaliknya, orang-orangdalam kesepuluh kisah ini adalah pribadi-pribadi yang memiliki banyak kekurangan, tetapi dalam kesepuluh kisah itu ada satu hal yang sama, yaitu: mereka berjalan mengikuti Allahnya Abraham, Ishak, dan Yakub. Kelemahan-kelemahan Abraham menghalangi kekuatan kuasa-Nya untuk menggenapkan maksud-maksud-Nya yang baik. Ini adalah sepuluh kisah tentang kemurahan Tuhan yang tidak dihalangi oleh kekejaman, kedengkian dan kebencian manusia.
John Calvin. Penulis berusaha untuk meletakkan teoriteori ini di dalam konteks perikehidupan dalam jaman mereka masingmasing dengan menimbang bagaimana mereka memikirkan mengenai asalmuasal dunia, nilai dari dunia Allah, 'keselamatan', hari penghakiman, dan gereja
yang pada gilirannya sangat dipengaruhi juga oleh konteks dan situasi partikular pada setiap jaman. Bab III berisi analisa atas keadaan kontekstual jaman kita sekarang dan pada akhir penelusuran, yaitu Bab IV, saya berusaha untuk mengajukan suatu usulan menuju suatu teori
makna kerja kontemporer yang dapat dengan adekuat meresponi kompleksitas jaman kita sambil tetap berpegang pada keunikan iman Kristen. Penulis terutama membahas mengenai usulan Miroslav Volf dalam buku Work in the Spirit (Oxford: Oxford University Press, 1991) . Bab V memuat butir-butir kesimpulan dari skripsi ini.
God) yang ditujukan untuk menelusuri akar sejarah dari kepercayaan Kristiani kepada Allah dan relevansinya hari ini. Penelusurannya terkait dengan tujuan yang lebih luas yaitu untuk menyajikan Kekristenan sebagai suatu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dari kemanusiaan. Thesis ini meneliti model hermeneutis yang dipakai Wright dan implikasinya.
"Jadi menulis tema tentang iman, harapan, dan kasih, dengan cara yang sangat menarik. Misal, ia mengaitkan pembahasan iman dengan kenaifan, kecurigaan, dan sikap skeptis, yang sering menjadi kerancuan di kalangan umat. Penjelasan yang sangat teliti, ditambahkan dengan ilustrasi dari kehidupan sehari-hari dan perisitwa di Alkitab, membuat pembaca dapat mengerti dengan baik penjelasan yang dimaksudkan. Very recommended." - Inawaty Teddy, Th.M. Dosen Perjanjian Lama STT Reformed Indonesia.
“babak manusia” (Anthropocene epoch) di mana manusia dengan segala aktivitasnya telah secara radikal mengubah kehidupan di seluruh muka bumi. Hal ini tidaklah mengherankan bagi umat TUHAN. Kisah penciptaan di dalam Taurat, ekspresi-ekspresi kesalehan di dalam Mazmur, dan nubuatnubuat para nabi di dalam Alkitab meletakkan manusia pada
pusat tanggung jawab akan apa yang terjadi di bumi.
Mengapakah bumi dikutuk, hewan-hewan dan tanamtanaman menderita, dan segala keberadaan (eksistensi) diwarnai dengan penderitaan dan rasa frustrasi? Menurut wawasan dunia Alkitab, hal ini disebabkan oleh dosa manusia. Manusia telah membangkang melawan Penciptanya dan menjerumuskan segenap ciptaan ke dalam penderitaan dan kesia-siaan.
Akibat dosa manusia kehidupan ini seluruhnya berisi penderitaan yang menakutkan—tetapi Allah Pencipta tidak tinggal diam. Menurut umat Ibrani, dan kemudian juga umat Kristen yang terdiri atas segala bangsa, Allah Pencipta itu turut berduka dan menderita bersama segenap ciptaan itu—dan pada waktu yang telah Ia sendiri tetapkan, Allah menunjukkan keadilan dan belas kasihan-Nya pada segenap ciptaan dengan memberikan solusi bagi masalah dosa ini. Solusi itu
adalah kembalinya pemerintahan Allah di bumi, melalui Anak
Tunggal-Nya, yakni Yesus dari Nazaret. Pemerintahan Allah
telah kembali ke dalam dunia. Fajar telah menyingsing. Pengharapan bagi segala makhluk ciptaan Allah telah terbit—walaupun kepenuhannya masih dinantikan. Kata Paulus di dalam Roma 8:18-21, kepada kitalah segala makhluk mengarahkan mata dan pengharapannya. Ketika kelak Tuhan memberikan kepada kita tubuh yang baru yang tak dapat binasa,
segala makhluk juga akan turut bersukacita di dalam kemerdekaan mereka dari segala kesia-siaan dan kebinasaan. Kiranya buku kecil tentang hal menjadi manusia ini dapat dipakai Tuhan untuk menyingkapkan kepada kita apa yang telah Kristus lakukan untuk menolong kita menjadi manusia yang seutuhnya di dalam segala kemuliaan-Nya. Selamat Natal!
Jakarta, 25 Desember 2019
Jadi S. Lima
Tujuh meditasi dalam buku ini berusaha mengajak para pembaca untuk bersama-sama merenungkan bagaimana sabda-sabda kasih dalam Alkitab dan tulisan-tulisan orang-orang percaya dalam zaman-zaman berikutnya dapat menjadi sumber kekuatan bagi kita. Berbagai meditasi theologis-filosofis ini diambil dari sabda-sabda tentang kasih dalam Injil Matius, Yohanes, surat-surat Paulus, dan berbagai perspektif yang didapat dari interaksi dengan karya-karya Augustinus dari Hippo dan para penulis yang lain. Dalam tujuh meditasi tersebut kita akan melihat bagaimana jalan kasih merupakan suatu terobosan bagi kebuntuan relasi dan kemandekan hidup.
Info dan pemesanan buku bisa melalui chat WhatsApp:
Jakarta : https://wa.me/628158982212
Surabaya : https://wa.me/6285100701200
Malang : https://wa.me/62816554471
Denpasar : https://wa.me/6282341104110
atau melalui website Momentum:
http://www.momentum.or.id || https://momentumcl.net
Preview buku bisa diunduh pada :
https://drive.google.com/file/d/168wxNwvhcb4n4tF8rnBaWm-yCVs0xE7E/view?usp=sharing
dapat dikatakan saya menganggap Kekristenan sebagai suatu pengakuan dan penghayatan atas serangkaian peristiwa tertentu, mengenai sekelompok orang, yang dipercaya telah dan akan terus memaknai seluruh sejarah di segala tempat dan berdampak pada segala aspek kehidupan sehubungan dengan janji TUHAN kepada Abraham yang telah Ia sendiri genapi di dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di abad pertama, di seputar kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus dari Nazaret.
Abstract
This article surveys various understanding on what the Gospel is: as ‘how to get into heaven’, a declaration about forgiveness of ‘personal sins’, an invitation for a social-political revolution, and a good news about the fulfillment of God’s promise to Israel. The author argues for a theological and hermeneutical option to understand the gospel in a wider meta-narrative of creation, fall, and redemption. This option use a motif of ‘the return of God’s glory into the whole creation’ as a paradigm to understand the gospel. This article tries to show how polarization between ‘the gospel of personal salvation’ and ‘the social gospel’ can be overcome by understanding the gospel as a declaration of the ‘return of God’s glory into creation’.
Artikel ini membahas aneka ragam pemahaman tentang apa itu Injil: sebagai ‘cara untuk masuk surga’, berita tentang pengampunan ‘dosa-dosa pribadi’, suatu undangan bagi revolusi sosial-politik, sampai suatu kabar tentang penggenapan janji TUHAN kepada umat-Nya. Dalam artikel ini akan dipertimbangkan sebuah opsi teologis dan tafsir untuk memahami Injil dalam konteks meta-naratif yang lebih luas, yakni didalam penciptaan, kejatuhan, dan penebusan. Opsi teologis ini memakai motif ‘kembalinya kemuliaan Allah ke dalam seluruh ciptaan’ sebagai paradigma untuk memahami Injil. Artikel ini menunjukkan bagaimana polarisasi antara ‘Injil keselamatan pribadi’ dan ‘Injil sosial’ dapat diatasi dengan memahami injil sebagai deklarasi tentang ‘kembalinya kemuliaan Allah ke dalam segenap ciptaan’.
References
Berkhof, Hendrikus dan I. H. Enklaar. 2009. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK.
Brown, Peter. 1997. Authority and the Sacred: Aspects of the Christianisation of the Roman World. NY: Cambridge Univ. Press.
Colson, Charles dan Nancy Pearcey. 1999. How Now Shall We Live? Carol Stream, Illinois: Tyndale House Publishing.
Fanning, Don. 2009. "Eschatology and Missions" Themes of Theology that Impacts Missions. Liberty University Journal.
Gilbert, Greg. 2010. What is the Gospel. Wheaton, Illinois: Crossway Books.
Grimm, Wilhelm dan Jacob Grimm. Rapunzel. Berbagai versi kisah ini dapat dijumpai dari berbagai sumber, misalnya: https://web.archive.org/web/20120122211814/http://german.berkeley.edu/poetry/rapunzel.php diakses pada tanggal 24 April 2019.
Irfani, Faisal. 15 Oktober 2018, "Kasus Robot Gedek: Konspirasi atau Memang Aksi Keji?" Tirto.id, (https://tirto.id/kasus-robot-gedek-konspirasi-atau-memang-aksi-keji-c6yX), diakses pada 7 Mei 2019.
Karant-Nunn, S. 2016. “Martin Luther on Death and Dying”. Oxford Research Encyclopedia of Religion. Ed. Retrieved 14 May. 2019, from https://oxfordre.com/religion/view/10.1093/acrefore/9780199340378.001.0001/acrefore-9780199340378-e-341.
Kline, G. Meredith. 1996. “Space and Time in the Genesis Cosmogony”. Perspectives on Science and Christian Faith, (48): 2-15. California: The American Scientific Affiliation. Dapat dibaca dalam laman https://meredithkline.com/klines-works/articles-and-essays/space-and-time-in-the-genesis-cosmogony/ diakses pada 7 Mei 2019.
Kline, Meredith. 1958. “Because It Had Not Rained” The Westminster Theological Journal 20.
Lane, Anthony. 2009. Runtut Pijar. Jakarta: BPK.
Largen, K. J. 2006. “Liberation, Salvation, Enlightenment: An Exercise in Comparative Soteriology”. Dialog, (45): 263-274. doi:10.1111/j.1540-6385.2006.00276.x
Littlejohn, W. Bradford. 2017. “Addicted to Novelty: The Vice of Curiosity in a Digital Age”. Journal of the Society of Christian Ethics, 37 (1): 179-196. DOI: 10.1353/sce.2017.0000
Marshall, Peter. 2010. “Leaving the World”. Peter Matheson (G. ed.) dan Denis R. Janz (Ed.). Reformation Christianity: A People’s History of Christianity. MN: Augsburg Fortress Press.
McKnight, Scot. 2016. The King Jesus Gospel. Grand Rapids, MI: Zondervan.
Middleton, J. Richard. 2006. “A New Heaven and a New Earth: The Case for a Holistic Reading of the Biblical Story of Redemption”. Journal for Christian Theological Research 11 (7): 73-97.
Morrow, Jeff. 2009. “Creation as Temple-Building and Work as Liturgy in Genesis 1-3”. The Journal of OCABS, Vol 2 (1). http://www.ocabs.org/journal/index.php/jocabs/article/viewFile/43/18 diakses pada 7 mei 2019.
Ngabalin, M. 2017. “Teologi Pembebasan Menrut Gustavo Gutierrez dan Implikasinya bagi Persoalan Kemiskinan”. KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi, 3 (2): 129-147. Retrieved from http://e-journal.iaknambon.ac.id/index.php/KNS/article/view/10/47
Pearcey, Nancy. 2013. Kebenaran Total: Membebaskan Kekristenan dari Tawanan Budaya. Jakarta: Penerbit Momentum.
Plato. 2009. “Faedo”. Dalam Ioanes Rakhmat (Ed.), Sokrates dalam Tetralogi Plato: Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks. Terjemahan oleh Ioanes Rakhmat. 2009. Jakarta: Gramedia.
Piper, John. 2010. Let the Nations be Glad: The Supremacy of God in Mission. Grand Rapids, Michigan: Baker Academic.
Prins, R. 1972. The Image of God in Adam and the Restoration of Man in Jesus Christ: A Study in Calvin. Scottish Journal of Theology, 25(1): 32-44. doi:10.1017/S0036930600027642
Singgih, E. G. 2012. “Some Notes on Corruption in Indonesia: A Cultural-Religious Perspective”. Exchange , (41): 318-319.
Swanson, R. N. 2010. “The Burdens of Purgatory”. Dalam Daniel Bornstein (G. ed.) dan Denis R. Janz (Ed.), Medieval Christianity. MN: Augsburg Fortress Press.
Wendel, Francois. 2010. Calvin: Asal-usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya, Jakarta: Penerbit Momentum.
Willard, Dallas. 1997. The Divine Conspiracy. New York: Harper Collins.
Wright, Christopher J. H. 2007. Salvation belongs to Our God: Celebrating Bible’s Central Story. Downers Grove, Illinois: IVP.
Wright, N. T. 2012. How God Became King: The Forgotten Story of the Gospels. New York: Harper One.