Papers by Dr. Ir. Basuki Rahmad, MT.
Journal of Novel Carbon Resource Sciences Jncrs, Feb 1, 2013

Procedia Earth and Planetary Science, 2013
MuaraWahau coal belongs to Wahau Formation which was deposited during Early Miocene in terrestria... more MuaraWahau coal belongs to Wahau Formation which was deposited during Early Miocene in terrestrial environments. Organic geochemistry study has been performed to characterize the biomarker composition of the coal. Saturated hydrocarbon fraction comprises n-alkanes with carbon numbers from 14 to 40. Bimodal distribution peaking at n-C 16 and n-C 31 are detected. Additionally, unusual peak is also remarkable at n-C 38. The long chain nalkanes peaking at n-C 31 might be derived from higher plants. The origin of short chain n-alkanes (n-C 14 to n-C 21) are less specific, probably originate from higher plants and/or algae. Other related identified biomarkers which confirm the significant contribution of higher plants are olean-13(18)-ene, olean-18-ene and urs-12-ene. The presence of longer-chain n-alkanes especially unusual high amount of n-C 38 is interesting to be noted as this compound has been reported only from some Kalimantan coals. Considering the abundance of higher plants biomarkers in MuaraWahau coal, it is hypothesized that the C 38 n-alkane was likely derived also from higher plants.

Indonesian Journal on Geoscience, 2014
Fifteen samples were taken ply by ply from a 33 m thick drill core of Muara Wahau coal seams for ... more Fifteen samples were taken ply by ply from a 33 m thick drill core of Muara Wahau coal seams for interpretation of depositional environments. Generally, lithotype variation in the bottom part of the coal seams has a lower frequency than in the upper part. Petrographical analysis was performed to determine the maceral composition, groundwater index (GWI), and gelification index (GI). The samples from lower sections show much higher GWI-GI values and lower variation frequency than from the upper section. This characteristic is interpreted as the result of development of mesotrophic to ombrotrophic peats during the deposition of lower to upper parts of the section, respectively. During the development of the mesotrophic peat, water was more abundant and relatively stable in budget. However, during the development of ombrotrophic peat, water was less abundant and relatively not stable in budget. The latter is related to the water supply depending only on rain, resulted in the more sensitive water table in the ombrotrophic peat. The unstable water table is thought as the reason of higher variation frequency of lithotype, GWI, GI, as well as maceral composition in the upper part of the core. Unstable water table would lead to moist condition in the uppermost layer of the ombrotrophic peat, favoring fungi to grow. This is confirmed by the higher abundance of sclerotinite maceral in samples from the upper part of the coal core.

CINEST Kyusu University Japan, 2018
Hardgrove Index is the measure of the amount of energy needed to grind (grindability) a coal. If ... more Hardgrove Index is the measure of the amount of energy needed to grind (grindability) a coal. If coal is too hard, then the Hardgro ve Index vallie is low, so if requires more power for the mill. In general the range of HGI values between 30-120. However, users for steam coal many that set the value of Hardgrove Index about 50 or above 45. Commonly the value of Hardgrove Index is controlled by mineral matter and organic petrography (microscopic / maceral characteristics). Rantau Coal especially Seam-A has a thickness of 15 meters. Hardgrove Index values vary between 41-82, CaLorivic Value betlveen 5605-5222 cal / gr (adb), Ash content beflVeen 11. 4-2./3 % (adb), Fixed Carbon content of 39.23-37.89% (adb). The microscopic composition Seam-A consists of vitrinite between 74-80.2 (vol. %), lipfinite 1.2-2.4% Vol. , inertinite 22.8-/5.8% Vol. , mineral matter 1.4-2.4% vol. The average vitrinite reflectance is 0.45%, including [he Sub-bituminous rank. Factors that influence the value of Hardgrove Index include: microscopic (maceral) and A1ineral Maller compositions. Minerals oxide class (ash) and inertinite maseral is the hardest mineral it will decrease the Hardgrove Index, while clay minerals and sulfates are the softest so it will raise the value of Hardgrove Index. Coal hardness is a function of rank, mineral matter and microscopic characteristics of coal (maceral).

CINEST Kyusu University , 2018
The need for fossil fuels in the form of petroleum is always increasing. Coal has potential as a ... more The need for fossil fuels in the form of petroleum is always increasing. Coal has potential as a liquid fuel source. Liquefaction is one of the steps to utilizing low rank coal which are abudance available in Indonesia. In the liquefaction of coal into liquid, solvents and catalysts are reacted with coal. The solvent can act as a hydrogen donor by which react with coal to increasing the HIC ratio. It is well known that liquefaction can be carried out at high temperatures so that it requires a lot of energy. This study is attempted to observe the phenomena of liquefaction at a relatively low temperature. It is expected that practically the coal liquefaction can be more economical from view of processing cost In this study the materials used include coal, glycerol, phenol and cobalt pentahydrate as catalyst The reactor used is small with volume of200 mL and temperature 250 °C.

Geoheritage Indonesia Malaysia, 2015
Abstrak Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi merupakan salah satu taman nasional yang ada di Sumat... more Abstrak Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi merupakan salah satu taman nasional yang ada di Sumatera terletak kurang lebih 180 km sebelah barat kota Jambi. Taman Nasional Bukit Duabelas disamping sebagai wilayah konservasi flora dan fauna,maka secara geologi memiliki keunikan yang khas dimana batuan tersingkap berasal dari formasi yang paling tua sampai sampai formasi paling muda yang termasuk dalam Jambi Sub-Basin. Formasi yang tersingkap adalah Formasi Talang Akar terdiri dari batuan carbonaceous black shale diperoleh fosil polen Cephalomappa Type berumur Miosen Bawah dan Formasi Gumai terdiri dari batuan carbonaceous shale diperoleh fosil polen Meliaceae Type berumur Miosen Atas, kedua formasi tersebut diendapkan di lingkungan freshwater swamp deposits (alluvial swamp). Komposisi material organik shale Formasi Talang Akar terdiri dari Vitrinite dan Lamalginite sebagai precursor penghasil minyak dan gas, dengan Indeks Brittleness > 40% dan hal ini diyakini sebagai salah karakteristik umum untuk shale hidrokarbon. Taman Nasional Bukit Duabelas dapat dikembangkan sebagai wisata riset kebumian.

Prosiding Seminar Nasional Kebumian XI FTM UPNVYK, 2016
Abstrak Identifikasi interval batuanyang mungkin berpotensi sebagai batuan induk merupakan langka... more Abstrak Identifikasi interval batuanyang mungkin berpotensi sebagai batuan induk merupakan langkah awal eksplorasi yang penting, o/eh sebab itu perlu dilakukan penelitian tentang potensi batuan sedimen yang mengandung bahan organ ik dengan kadar tertentu, y ang oleh panas dan waktu dapat menghasilkan hidrokarbon dalam bentuk minyak a tau gas secara tepat. relitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi fasies dan potensi batuan induk hidrokarbon Formasi Gumai di Area BD, I<abupaten Batanghari, Sumatra Se/atan. Ana/isis fasies berdasarkan singkapan dan data sumur Supra-1 menunjukkan bahwa Formasi Gumai diendapkan pada lingkungan /aut dangkal sampai delta. Ana/isis geokimia guna mengetahui potensi dan kualitas batuan induk dilakukan pada data 1 sumur dan 1 sampel singkapan Serpih Gumai. Ana/isis potensi dan kualitas batuan induk dari data sumur menunjukkan kandu ngan roc 0, 68 %-1,42 % termasuk baik, Indeks Hidrogen mencapai 350 mg HC/ g roc, Ro (0,54) dan r max 440 menunjukkan hidrokarbon telah mencapai tingkat awal kematangan term a/, be rasa/ dari kerogen tipe II/III cenderung menghasilkan minyak dan gas. Ana/isis potensial dan kualitas batuan induk dari sam pel singkapan adalah roc 2,61 % menunjukkan kua/itas sangat baik. Rock-Eva/ menunjukkan bahwa serpih berpotensi sedang sebagai batuan induk hidrokarbon (52 = 4,87 kgj ton). Nilai Ro (<0,5) menunjukkan tingkat kematangan hidrokarbon belum tercapai. Nilai HI yang relatif rendah mencerminkan bahwa batuan ini jika mencapai kematangan akan cenderung menghasilkan gas. Nilai Hidrogen Indeks 76 umumnya berasal dari kerogen tipe III yang secara dominan mengandung unsur organisme darat dan /aut. I<ata kunci: fasies, batuan induk, potensi, kualitas, da n kematangan PENDAHULUAN Sampai saat ini minyak dan gas bumi masih merupakan sumber energi utama, tetapi jumlah cadangannya semakin menipis. Padahal dengan kemajuan industri dan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor akan meningkatkan konsumsi migas. Oleh karena itu, kegiatan eksplorasi geologi untuk menemukan lapangan-lapangan migas baru terus ditingkatkan oleh Pemerintah Indonesia. Asal hidrokarbon di Sumatra Selatan, menurut beberapa peneliti seperti diuraikan oleh Ginger (1994) menyebutkan bahwa Formasi Talang Akar di Central Palembang Sub-Basin dan jambi Sub-Basin berdasarkan beberapa data sumur telah dipercaya sebagai batuan induk potensial, di sumur Senyerang-1 misalnya, di bagian uta ra cekungan, nilai TOC Talang Akar bagian Atas bervariasi mencapai 36% dengan nilai Hydrogen Index (HI) antara 200 dan 350 mgHCjg. Di Area Benakat Gully nilai TOC serpih mencapai 5% dan nilai HI pacta rentang 110-400 mgHC/g. Potensi batuan induk secara setempat juga dijumpai pacta serpih marin Formasi Gumai, beberapa sumur di cekungan bagian utara telah dilaporkan nilai TOC mencapai 8% dan HI 350 mgHCjg. Hal ini membuka kemungkinan bahwa batuan selain Formasi Talang Akar dapat bertindak sebagai batuan induk Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi fasies dan potensi batuan induk hidrokarbon Formasi Gumai di Area BD, Analisis dilakukan dengan cara mengidentifikasi litologi penyusun formasi tersebut, tingkat kekayaan material organik (TOC-total organic carbon) serta tingkat kematangannya berdasarkan data permukaan dan data bawah permukaan. Secara geologis, lokasi penelitian terletak di jambi Sub-Basin (Sub-Cekungan Jambi) yang merupakan bagian dari (South Sumatra Basin) Cekungan Sumatra Selatan (Gam bar 1). Subtema: Eksplorasi dan Eksploitasi MICAS 106

Proiding SNAST IST AKPRIND , 2018
A BSTRACT The research is located in Bitahan. Rantau. Sozlih Kalimantan Prm·ince. Geological sett... more A BSTRACT The research is located in Bitahan. Rantau. Sozlih Kalimantan Prm·ince. Geological setting of ldamanggala area locmed in Barilo Basin included in Warukin Formation Early-Middle Miocene. Ramm• 's coal has a low ma£Uri£y (immalure) wilh Random vilrinile reflectance from 0.42 to 0.56 Coal rank classification: sub-bituminous coal. The average composition of Rantau 's coal maceral for vitrinite maceral group is 85.57% (vo/.). Vitrinite content is relatively high in coal of Ran/au that included in kerogen Eype Ill as an identifier of humic organic matter and derived from the woody £issue of higher plants (angiosperm). The vitrinite is maceral forming high methane (gas prone). Average qualify (prox imate test) coal of Formation Wat11kin: Calories 5263-5822 kcal I kg (adb) , sulfur 0, 10-0,20% (adb). ash 2, 77-7.29% (adb): inherent m oisture 12,33-24, 10 % (adb); volarile matler 37,76-45,46% (adb): fixed carb on 31.90-41,28% (adb), Total Mo isture 31,25-38, 13 % (A r); relative density 1,32-1,88. Coal gasification is !he process of converting coal into synthesis gas. One of !he gas produced is a flammable methane gas. The process of coal gasification can be done by drilling at 2 (two) drill holes toward 1he coal seam which is the wrget of gasification ie Seam-A Upper coal seam at depth more than I 00 meter. The first drill to inject oxygen (Oz) is pressuri::ed like air or water, so it will burn in the Seam-A Upper coal layer, while the second drill serves as a production well to drain raw gas to the gusification reactor for binds C0 2 and eventually methane gas (CH~J will be channeled to a power plant. Keywords: CH~, C0 2 , 0 2 , power plant, vitrinite .. !N T/SA RI Lokasi penelitian ter/etak di Daerah BilGhan, Ran/au, Propinsi Kalimantan Selman. Tatanan Ceologi Daerah Rantau berada di Cekungan Barito termasuk dalam Formasi Warukin berumur Miosen Awa/-Tengah. Batubara Bitahan. memiliki kematangan yang rendah (immature) dengan Rv (random) 0,42-0,56 termasuk peringkat sub-bilUminous. Rata-rata komposisi maseral bmubara Rantau untuk g m p maseral viTrinite 85,57% (va l.). Kandungan vitrinite yang rela!if tinggi pada batubara Rantau /ermasuk dalam kerogen tipe Ill sebagai penciri dari humic organik mauer berasal dari jaringan kayu tumbuhan lingkm linggi (a ngiosperm). Vitrinite 1ersebut merupakan maseral pembemuk gas metana (gas prone) yang Einggi. Rma-raw kualitas (uji proksimm) bawbara Formasi Warukin daerah Ran/au : Nilai Kalori 5263-5822 kkal kg (adb), sulfur 0 1{}-0.2()% (adb). abu 2.77-.29% (adb). inherenl moisture 12.33-24.10% (adb). rolatile ma!ler 3 7. 76-45,46% (adb): fixed carbon 31,90-41. 28% (adb), To!al Moislure 31 ,25-38, 13 % (.4r}; rela!ire density 1.32-1. 88 Casi(ikas i ba111bara merupakan pro es merubah balllbara menjadi gas simesis. Salah satu gas yang dihasilkan ada/ah gas me/ana yang bersifm mudah terbakar. Proses gasifikasi baTUbara dapm di/akukan dengan melakukan pemboran pada 2 (dua) /obang bar ke arah /apison batubara yang menjadi wrget gasifikasi yailu /apison batubara Seam-A Upper pada keda/aman /ebi h dari 100 meter. Bor ke-f (pertama) umuk menginjeksikan oksigen (Ov bertekanan seperFi udara atau air. sehingga akan /erjadi pembakaran pada /apison bawbara Seam-A Upper. sedangkan bar ke 2 (kedua) berjimgsi sebagai sumur produksi untuk mengalirkan rmr gas menuju reak!Or gasifikasi untuk mengika1 C0 2 dan akhim_va gas metana (CH~J akan dialirkan menuju pembang kiT /is lrik (po>rer plan!}. ·~-I
Jurnal Ilmiah Geologi PANGEA UPNYK Vol.3 No.1, 2016
Jurnal Ilmih PANGEA Geologi UPNYK Vol.2 No.1, 2015

Regional Geoheritage Conference Yogyakarta, 2016
Indonesia coal have the coal-forming material (plants) as well as the parameters that are relativ... more Indonesia coal have the coal-forming material (plants) as well as the parameters that are relatively the same deposition conditions (tropical) although it is located in the sprawling region Indonesia with diverse geological conditions, hence Indonesia is one of the significant coal producer in the world. Research site located in Muara Wahau, East Kalimantan, including the Upper Kutai Basin. Coal bearing formation in the area of Muara Wahau is Wahau Formation Late Oligocene-Early Miocene age. Laboratory analyses was conducted using method coal microscopy observations to determine vitrinite reflectance random (Rr) and maceral composition as well as method of Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) to determine facies, organic compound (biomarker), maturity and precursor of plant Muara Wah au coal. Maceral composition of the Muara Wahau coal is dominated by vitrinite maceral group, ranging from 76% to 82.4.0%. Liptinite maceral group accounts 0.4%-1.8 %. The composition of inertinite maceral group ranges from 8% to 18.8%. Huminite reflectance of coal samples from Muara Wahau range from 0.44 to 0.45 Rr (%), according to huminite reflectance, all studied samples are low rank sub-bituminous coals. Maceral composition to detect coal bed methane potential. The presence of 2-series long chain n-alkane indicates the changes of peat forming facies condition from oxic condition (increasing odd carbon proportion) and anoxic condition (increasing even carbon proportion) Geological Outcrop along the Telen River and Wahau River, is the type local ity ofWahau Formations, should become a geology conservation area in Muara Wahau as Geoher itage and it is very interesting to study geology.
Journal of Novel Carbon Resources Science Kyushu University Global COE Program, 2012
Jurnal Offshore Teknik Perminyakan UP45 Yogyakarta, 2018

Jurnal Ilmiah Geologi PANGEA Teknik Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta, 2017
Abstrak
Lokasi penelitian terletak di Formasi Warukin yang berada di Daerah Idamanggala, Hulu Sun... more Abstrak
Lokasi penelitian terletak di Formasi Warukin yang berada di Daerah Idamanggala, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, yang diketahui merupakan produsen batubara utama yang ada di Indonesia. Cleat merupakan rekahan alami yang berkembang pada suatu lapisan batubara dan parameter utama pada kontrol permeabilitas di dalam perkembangan coal bed methane (CBM). Pengetahuan tentang asal dan ciri dari cleat sangat penting dalam terbentuknya suatu gas metana, dan secara lokal maupun regional mengetahui aliran fluidanya.
Terdapat 5 lapisan batubara pada daerah telitian, pada Formasi Warukin yang memiliki umur Miosen Bawah – Miosen Tengah. Lapisan batubara Formasi Warukin ini terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu Formasi Warukin bagian bawah, Formasi Warukin bagian tengah, dan Formasi Warukin bagian atas. Pada analisis ini digunakan metode windows sampling (dimensi 100cm x 100cm) dan metode analisis inti batuan. Berdasarkan distribusi dan arah pada peta, maka dapat diketahui lokasi pada Formasi Warukin yang dapat diukur. Dari semua data yang diukur, didapatkan 2 (dua) arah utama: B-T dan BBU-TTS. Arah-arah face cleat dalam Formasi Warukin memiliki arah dominan yaitu BBU-TTS, dan pada beberapa lokasi memiliki arah face cleat B-T. Pada analisis ini pengukuran yang dilakukan berupa ukuran cleat, spasi cleat, densitas cleat, porositas cleat, dan permeabilitas cleat. Ukuran cleat memiliki nilai 0,05-100 cm, spasi cleat memiliki nilai 2-70 cm. Pada analisis inti batuan didapatkan hasil yaitu nilai densitas cleat 1,131 – 1,205 gr/cc; porositas cleat memiliki nilai 2,354 – 3,994 %; dan permeabilitas cleat memiliki nilai 170, 971 – 285,557 mD.
Kata kunci: Warukin, batubara, face cleat, densitas, porositas, permeabilitas

Prosiding Seminar Nasional Kebumian XII FTM UPN “Veteran” Yogyakarta, 2017
Abstrak Batubara Muara Wahau memiliki karakteristik komposisi mikroskopis (maseral) yang berbeda ... more Abstrak Batubara Muara Wahau memiliki karakteristik komposisi mikroskopis (maseral) yang berbeda dibandingkan dengan batubara lain di Indonesia, rata-rata kandungan inertinite 20,1 % vol.; vitrinite 78,2% vol. dan liptinite 1,9 % vol. (Anggayana et al., 2009). Lithotype dapat dibedakan berdasarkan pengamatan secara makroskopi material batubara yang berukuran hand specimen. Variasi secara vertikal dan lateral dalam seam batubara dengan karakteristik banded (berlapis) dan komponen terang (bright) dan kusam (dull), hal ini merupakan beberapa ciri penting untuk membedakan komposisi lithotype (Bustin et al., 1983). Komposisi lithotype batubara Muara Wahau khususnya seam-1 GT-02 dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) lithotype yaitu: banded coal, banded dull coal dan dull coal. Seam-1 GT-02 baik secara vertikal maupun lateral menunjukkan adanya variasi komposisi lithotype. Terdapatnya variasi komposisi lithotype menunjukkan akibat adanya perubahan komunitas tumbuhan (Bustin et al., 1983) atau terjadi siklus fasies. Perubahan siklus fasies baik vertikal maupun lateral menyebabkan perubahan komposisi maseral. Adanya perubahan refleksi dalam komunitas tumbuhan menimbulkan perubahan layer dalam gambut dan hal itu sama dengan perubahan refleksi dalam kondisi kimia dan fisika yang akan mempengaruhi proses pengawetan material tumbuhan dalam rawa serta pengaruh masuknya mineral matter ke dalam rawa gambut. Perubahan fasies atau lithotype (banded dull coal) menunjukkan kecenderungan yang hampir sama dengan pemunculan maseral gelovitrinite namun tidak sejalan dengan kehadiran maseral grup liptinit begitu juga dengan pemunculan mineralnya. Frekuensi perubahan lithotype di bagian bawah yang lebih kecil sesuai dengan perubahan kandungan liptinit serta kandungan inertinitnya yang juga tidak terlalu berfluktuasi. Kandungan mineral dalam batubara tidak mempunyai pola yang sama dengan perubahan lithotype diinterpretasikan karena mineral dalam batubara secara genesa bisa terjadi syngenetik maupun epigenetik.

Prosiding Seminar Nasional Kebumian XII FTM UPN “Veteran” Yogyakarta, 2017
Abstrak Batubara Muara Wahau memiliki karakteristik komposisi mikroskopis (maseral) yang berbeda ... more Abstrak Batubara Muara Wahau memiliki karakteristik komposisi mikroskopis (maseral) yang berbeda dibandingkan dengan batubara lain di Indonesia, rata-rata kandungan inertinite 20,1 % vol.; vitrinite 78,2% vol. dan liptinite 1,9 % vol. (Anggayana et al., 2009). Lithotype dapat dibedakan berdasarkan pengamatan secara makroskopi material batubara yang berukuran hand specimen. Variasi secara vertikal dan lateral dalam seam batubara dengan karakteristik banded (berlapis) dan komponen terang (bright) dan kusam (dull), hal ini merupakan beberapa ciri penting untuk membedakan komposisi lithotype (Bustin et al., 1983). Komposisi lithotype batubara Muara Wahau khususnya seam-1 GT-02 dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) lithotype yaitu: banded coal, banded dull coal dan dull coal. Seam-1 GT-02 baik secara vertikal maupun lateral menunjukkan adanya variasi komposisi lithotype. Terdapatnya variasi komposisi lithotype menunjukkan akibat adanya perubahan komunitas tumbuhan (Bustin et al., 1983) atau terjadi siklus fasies. Perubahan siklus fasies baik vertikal maupun lateral menyebabkan perubahan komposisi maseral. Adanya perubahan refleksi dalam komunitas tumbuhan menimbulkan perubahan layer dalam gambut dan hal itu sama dengan perubahan refleksi dalam kondisi kimia dan fisika yang akan mempengaruhi proses pengawetan material tumbuhan dalam rawa serta pengaruh masuknya mineral matter ke dalam rawa gambut. Perubahan fasies atau lithotype (banded dull coal) menunjukkan kecenderungan yang hampir sama dengan pemunculan maseral gelovitrinite namun tidak sejalan dengan kehadiran maseral grup liptinit begitu juga dengan pemunculan mineralnya. Frekuensi perubahan lithotype di bagian bawah yang lebih kecil sesuai dengan perubahan kandungan liptinit serta kandungan inertinitnya yang juga tidak terlalu berfluktuasi. Kandungan mineral dalam batubara tidak mempunyai pola yang sama dengan perubahan lithotype diinterpretasikan karena mineral dalam batubara secara genesa bisa terjadi syngenetik maupun epigenetik.

Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6 Kampus Lapangan Bayat UGM, 2013
Abstrak Batubara Kemuning terletak di Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah, Propin... more Abstrak Batubara Kemuning terletak di Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah, Propinsi Bengkulu terdapat singkapan batubara utama (main seam) dari Formasi Lemau yang berumur Miosen Tengah ini adalah bagian dari Cekungan Bengkulu di Fore Arc Basin. Geologi daerah Kemuning terdiri dari litologi batupasir, batulempung sisipan batubara yang diendapkan pada delta plain serta batuan vulkanik (ignimbrite) dan intrusi andesit yang berupa sill dan dike. Batubara Kemuning memiliki kandungan vitrinite yang kaya, dari 3 (tiga) conto batubara yang diambil dari singkapan main seam maka nilai reflektan vitrinite untuk kode conto SBB AIR MANGGU/SP-54KI nilai Rv mean:0,54%; SBB-PA nilai Rv mean:0,94% dan kode conto SBB-TSJ nilai Rv mean:0,77%. Umumnya peringkat batubara Kemuning adalah Sub-Bituminus, namun demikian sebagian besar main seam batubara telah terpengaruh secara langsung dari beberapa intrusi andesit, sehingga akan menghasilkan beberapa batubara hingga mencapai rank Bituminus (Rv mean antara 0,77-0,94%). Dengan demikian sebagian besar variasi rank Batubara Kemuning adalah high rank yang dihasilkan dari gangguan intrusi-intrusi andesit yang berupa sill maupun dike. Pada conto SBB AIR MANGGU/SP-54KI terjadi peningkatan inertinite sebesar 20,6 % dengan kandungan sclerotinite 11,4%.

Kyushu University Japan CINEST, 2017
Warukin Formation has a lot potential as a coal-bearing formation in Rantau South Kalimantan, Ind... more Warukin Formation has a lot potential as a coal-bearing formation in Rantau South Kalimantan, Indonesia. However, potential harmful to the environment posed by trace element needs to be examined. Because when the amount is above a specified threshold, it will be very dangerous because of its toxicity. Trace element in coal is dependent upon the chemical nature of the elements that are contained inside the coal.Trace element can be associated with elements of coal or mineral matter there. With the increasing emphasis on the trace element now routinely performed. The study was to determine the source and the impact caused by trace element. Eight examples of the coal seam have been taken for analysis: AAS, XRF and coal petrographic. Based on coal petrographic analysis, the average mineral matter composition was 2.4% consists of mineral oxide, pyrite and clay. The total amount of sulfur in the seam 0,14 %, it's much lowest. Most elements are positively correlated with the existing content in the ash for trace element that is: Cl, As, B,Hg, Se and F. The concentration of trace elements that are in the world average coal, thus indicating the absence of low-level hazard or danger to the environment.
The IRES International Conference, 2017
Uploads
Papers by Dr. Ir. Basuki Rahmad, MT.
Lokasi penelitian terletak di Formasi Warukin yang berada di Daerah Idamanggala, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, yang diketahui merupakan produsen batubara utama yang ada di Indonesia. Cleat merupakan rekahan alami yang berkembang pada suatu lapisan batubara dan parameter utama pada kontrol permeabilitas di dalam perkembangan coal bed methane (CBM). Pengetahuan tentang asal dan ciri dari cleat sangat penting dalam terbentuknya suatu gas metana, dan secara lokal maupun regional mengetahui aliran fluidanya.
Terdapat 5 lapisan batubara pada daerah telitian, pada Formasi Warukin yang memiliki umur Miosen Bawah – Miosen Tengah. Lapisan batubara Formasi Warukin ini terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu Formasi Warukin bagian bawah, Formasi Warukin bagian tengah, dan Formasi Warukin bagian atas. Pada analisis ini digunakan metode windows sampling (dimensi 100cm x 100cm) dan metode analisis inti batuan. Berdasarkan distribusi dan arah pada peta, maka dapat diketahui lokasi pada Formasi Warukin yang dapat diukur. Dari semua data yang diukur, didapatkan 2 (dua) arah utama: B-T dan BBU-TTS. Arah-arah face cleat dalam Formasi Warukin memiliki arah dominan yaitu BBU-TTS, dan pada beberapa lokasi memiliki arah face cleat B-T. Pada analisis ini pengukuran yang dilakukan berupa ukuran cleat, spasi cleat, densitas cleat, porositas cleat, dan permeabilitas cleat. Ukuran cleat memiliki nilai 0,05-100 cm, spasi cleat memiliki nilai 2-70 cm. Pada analisis inti batuan didapatkan hasil yaitu nilai densitas cleat 1,131 – 1,205 gr/cc; porositas cleat memiliki nilai 2,354 – 3,994 %; dan permeabilitas cleat memiliki nilai 170, 971 – 285,557 mD.
Kata kunci: Warukin, batubara, face cleat, densitas, porositas, permeabilitas
Lokasi penelitian terletak di Formasi Warukin yang berada di Daerah Idamanggala, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, yang diketahui merupakan produsen batubara utama yang ada di Indonesia. Cleat merupakan rekahan alami yang berkembang pada suatu lapisan batubara dan parameter utama pada kontrol permeabilitas di dalam perkembangan coal bed methane (CBM). Pengetahuan tentang asal dan ciri dari cleat sangat penting dalam terbentuknya suatu gas metana, dan secara lokal maupun regional mengetahui aliran fluidanya.
Terdapat 5 lapisan batubara pada daerah telitian, pada Formasi Warukin yang memiliki umur Miosen Bawah – Miosen Tengah. Lapisan batubara Formasi Warukin ini terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu Formasi Warukin bagian bawah, Formasi Warukin bagian tengah, dan Formasi Warukin bagian atas. Pada analisis ini digunakan metode windows sampling (dimensi 100cm x 100cm) dan metode analisis inti batuan. Berdasarkan distribusi dan arah pada peta, maka dapat diketahui lokasi pada Formasi Warukin yang dapat diukur. Dari semua data yang diukur, didapatkan 2 (dua) arah utama: B-T dan BBU-TTS. Arah-arah face cleat dalam Formasi Warukin memiliki arah dominan yaitu BBU-TTS, dan pada beberapa lokasi memiliki arah face cleat B-T. Pada analisis ini pengukuran yang dilakukan berupa ukuran cleat, spasi cleat, densitas cleat, porositas cleat, dan permeabilitas cleat. Ukuran cleat memiliki nilai 0,05-100 cm, spasi cleat memiliki nilai 2-70 cm. Pada analisis inti batuan didapatkan hasil yaitu nilai densitas cleat 1,131 – 1,205 gr/cc; porositas cleat memiliki nilai 2,354 – 3,994 %; dan permeabilitas cleat memiliki nilai 170, 971 – 285,557 mD.
Kata kunci: Warukin, batubara, face cleat, densitas, porositas, permeabilitas