Biology

Sargassum sp. merupakan alga coklat yang hidup di perairan laut tropis dan menempel pada subtrat dasar perairan. Sargassum sp. memiliki kandungan alginat dan dapat dimanfaatkan sebgaai bahan baku dan bahan tambahan untuk industri pangan, farmasi, kosmetik dan bahan laboratorium. Sargassum sp. yang dimanfaatkan saat ini masih di ekplorasi dari alam yaitu pada perairan laut hingga kedalaman 7 m dan daerah pasang surut. Untuk kelestraian ketersedian Sargassum sp. dan pemenuhan kebutuhan industri maka diperlukan upaya budidaya. Tujuan kegiatan ini adalah adalah untuk mengintroduksi teknologi budidaya Sargassum sp. kepada pembudidaya rumput laut di Gerupuk Kabupaten Lombok Tengah. Kegiatan dilaksanakan di Gerupuk, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Kegiatan dilaksanakan selama 8 Agustus sampai dengan 9 Oktober 2022. Kelompok sasaran kegiatan adalah pembudidaya rumput laut yang ada di Gerupuk. Metode pelaksanaan kegiatan adalah demplot budidaya Sargassum sp. dan Focus...

Sargassum sp. merupakan alga coklat yang hidup di perairan laut tropis dan menempel pada subtrat dasar perairan. Sargassum sp. memiliki kandungan alginat dan dapat dimanfaatkan sebgaai bahan baku dan bahan tambahan untuk industri pangan, farmasi, kosmetik dan bahan laboratorium. Sargassum sp. yang dimanfaatkan saat ini masih di ekplorasi dari alam yaitu pada perairan laut hingga kedalaman 7 m dan daerah pasang surut. Untuk kelestraian ketersedian Sargassum sp. dan pemenuhan kebutuhan industri maka diperlukan upaya budidaya. Tujuan kegiatan ini adalah adalah untuk mengintroduksi teknologi budidaya Sargassum sp. kepada pembudidaya rumput laut di Gerupuk Kabupaten Lombok Tengah. Kegiatan dilaksanakan di Gerupuk, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Kegiatan dilaksanakan selama 8 Agustus sampai dengan 9 Oktober 2022. Kelompok sasaran kegiatan adalah pembudidaya rumput laut yang ada di Gerupuk. Metode pelaksanaan kegiatan adalah demplot budidaya Sargassum sp. dan Focus Group Discussion (FGD) Teknologi Budidaya Sargassum sp. Hasil kegiatan ini adalah demplot teknologi budidaya Sargassum sp. dengan menggunakan metode rakit apung dan metode patok dasar. Sargassum sp. pada kedua metode budidaya tersebut dapat tumbuh dengan baik namun pertumbuhan optimum diperoleh pada metode patok dasar. FGD diikuti oleh pembudidaya rumput laut, tim kegiatan, dan aparat pemerintahan desa. Hasil dari FGD adalah diperolehnya pemikiran bersama untuk keberlanjutan budidaya Sargassum sp., Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum. Kesimpulan kegiatan ini adalah introduksi teknologi budidaya Sargassum sp. telah dilakukan pada pembudidaya rumput laut di Gerupuk dan keberlanjutan budidaya Sargassum sp. telah dilakukan oleh pembudidaya.

Budidaya rumput laut merupakan salah satu komoditas perairan yang unggul di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di Kabupaten Sikka mayoritas masyakarat pesisirnya berprofresi sebagai pembudidaya rumput laut. Ada beberapa upaya yang dilakukan masyarakat untuk meningkatkan produksi rumput laut, salah satunya yaitu dengan menggunakan pupuk cair Green Tonik (GT). Namun, penggunaan pupuk GT dapat menyebabkan akumulasi makronutrien dilaut. Akumulasi ini menyebabkan blooming mikroorganisme yang tidak diinginkan sehingga merusak stabilitas ekosistem laut. Tujuan dari kegiatan pengabdian ini diharapkan masyarakat Koja Doi, Kabupaten Sikka, Maumere memahami dampak dan resiko penggunaan pupuk cair GT agar tidak digunakan kembali pada budidaya rumput laut ataupun budidaya lain selanjutya. Metode yang dilakukan pada pengabdian ini adalah dengan edukasi dan sosialisasi secara langsung dengan mendatangi rumah beberapa petani rumput laut yang terkena dampak dari penggunaan pupuk cair GT. Selain itu diadakan sesi diskusi antara tim pengabdian dan masyarakat sebagai langkah bertukar informasi. Hasil dari kegiatan ini yaitu didapatkan informasi bahwa penggunaan pupuk cair GT diinisiasi oleh masayarakat berdasarakan penggunaan pupuk GT di darat yang mampu meningkatkan produksi tanaman. Akibat dari penggunaan pupuk ini tidak ada rumput laut budidaya yang dapat hidup di perairan tersebut. Belum dilakukan penelitian secara ilmiah mengenai kadar kandungan makronutrient yang terdapat pada perairan Koja Doi sehingga akibat yang terjadi saat ini hanya

The seaweed industry is strategically important in Indonesia, comprising over 40% of the nation's aquaculture annual production. Despite the industry's promising growth, various challenges and problems remain, including intense epiphyte infestation. Hence, investigating the economic value of these epiphytes could provide new opportunities for potential industrial applications. Epiphytic algae is commonly found growing on commercial seaweeds which causes decreased biomass and increased risk of crop failure. Information regarding these epiphytic algae remains limited. This study investigates the molecular identification of the abundant epiphytic macroalgae found in one of the largest seaweed farms in, Seriwe Bay, Lombok, Indonesia. In addition, the epiphytic bioactive activity is also evaluated for further industrial potential. Molecular identification with the mitochondrial marker COX1 identifies the epiphytic macroalgae as Gracilaria edulis (S.G.Gmel.) P.C.Silva. The Indonesian G. edulis is closely related to the G. edulis specimens from Malaysia (JQ026083.1), Philippines (KY995636.1 and KY995635.1), and Thailand (JQ026088.1). The outgroup used was the G. edulis specimen from India (KP099563.1) because it shows the most distinct relationship to the other specimens. Extracted agar of Seriwe G. edulis shows moderate yield (21%) and low gel strength (134 g/cm 2 ). The phytochemical content analyses show that G. edulis agar has a TPC value of 3.65 ± 0.52 mg GAE/g and promising antioxidant activity (DPPH IC50 = 797.40 ± 1.50 µg/mL; ABTS IC50 = 558.40 ± 1.44 µg/mL). Further phytochemical profiling with GCMS shows various promising major constituents such as tetradecanoic acid, neophyte diene, pentadecanoic acid, and hexadecanoic acid. Therefore, the findings suggest that G. edulis displays potential applications in the functional food and cosmetic industry.

The Sasak tribe, who are the indigenous inhabitants of Lombok Island, use banten (Lannea coromandelica (Houtt.) Merr.) leaves as a medicinal plant to reduce fever. Fever is a physiological response to infection, characterized by a body temperature above the normal range of approximately ± 37 ℃. If left untreated, fever can cause dehydration, lack of oxygen, nerve damage, dizziness, decreased appetite, weakness, and muscle pain. To minimize these effects, antipyretics such as paracetamol can be used. However, prolonged or excessive use of paracetamol can cause hepatotoxicity, hepatic necrosis, renal tubular necrosis, and hypoglycemic coma. Therefore, it is necessary to develop alternative herbal medicines to treat fever. The aim of this study is to determine the content and antipyretic effect of banten leaf extract, which was obtained through ethanol extraction. The antipyretic ability test utilized five groups: the negative control group, positive control group, and test groups receiving doses of 1 mg/25gBB, 3 mg/25gBB, and 10 mg/25gBB of ethanol extract of banten leaves. Fever induction was induced using the DPT-HB vaccine. The study found that the ethanol extract of banten leaves contained flavonoids (572.38 mg QE/gram extract), phenols (200.82 mg GAE/gram extract), and antioxidants (2.5063 mg GAE/gram extract with DPPH). The percentage of antioxidant inhibition in banten leaves between 9.68-47.16 %. Additionally, all test groups of the ethanol extract of banten leaves exhibited antipyretic activity. The antipyretic effect of the 3 mg/25gBB dose was equivalent to that of paracetamol. Similarly, the antipyretic effect of the 10 mg/25gBB dose was almost identical to that of paracetamol at 5 hours after treatment.