International Relations

Paper ini mencoba melihat perubahan identitas Malaysia dan pengaruhnya terhadap hubungan dengan Indonesia belakangan ini. Pada awalnya pemahaman Malaysia terhadap Indonesia, dalam kadar tertentu dapat dikatakan berangkat dari identitas keserumpunan, hubungan adik kakak ataupun hubungan sedarah. Pemahaman ini yang juga diikuti Indonesia, berasal dari kenyataan bahwa Malaysia merdeka setelah Indonesia, dalam sejarahnya ada hubungan saling membantu, dan ada perasaan senasib sepenanggungan sebagai negeri yang terjajah. Kedua negara dikenal sebagai negara serumpun karena memiliki banyak kesamaan akar budaya, sejarah kerajaan-kerjaan, agama bahkan keturunan yang sama. Kondisi ini menyebabkan kedua negara memiliki identitas bersama atau collective identity yang memudahkan mereka dalam berhubungan dan menyelesaikan masalah diantara keduanya. Malaysia dipandang respect kepada saudara tuanya dalam hubungan kedua negara. Namun dalam kurang lebih dua dekade belakangan ini, pemahaman Malaysia tentang Indonesia mengalami perubahan. Salah satu sebabnya adalah pandangan yang terbentuk dari persinggungan mereka dengan TKI, laporan-laporan media dan pernyataan para pemimpin Malaysia tentang pekerja Indonesia. Ini membentuk pemahaman bahwa Malaysia lebih maju, lebih berkembang, lebih stabil dan aman daripada Indonesia. Collective identity perlahan-lahan berganti dengan distinct identity yang berangkat dari asumsi tentang Malaysia yang lebih mampu mengelola sumber-sumber daripada Indonesia, dan yang memerlukan ruang baru untuk terus berkembang. Perubahan identitas ini juga perlu diletakkan dalam konteks kampanye lebih luas pemerintah di sana tentang ‘Malaysia Boleh’ dan konsep-konsep seperti hubungan kerjasama berdasarkan ‘Smart Partnership’. Identitas seperti ini mengkerangkai kepentingan untuk mengklaim dan mengelola baik pulau-pulau, wilayah maupun produk budaya yang selama ini dikenal milik Indonesia.

This paper attempts to elaborate to what extent cross-border issues such as human rights, political openness, terrorism, economic interdependence, immigrant workers, environment, and separatist movements, caused by globalization influence ASEAN cooperation. Although these issues have not affected greatly cooperation among ASEAN nations, but it is important to note that these issues have influenced the nature of relationship between the state and society, which sometimes disrupts state-to-state relationship within ASEAN. So far, in responding to these new developments, ASEAN members are strict with their main spirit of non-intervention, and leave the problems to individual countries. In contrast to the view that any attempt to solve these assumed domestic issues may raise tension among ASEAN members, this paper argues that such a response is not adequate and that it is by addressing these issues ASEAN may renew the spirit of cooperation and solidarity among its members.

Penyunting menerima tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik diatas kertas HVS kuarto sekitar 3000-5000 kata dengan format seperti tercantum pada halaman kulit belakang (Persyaratan naskah untuk JSP). Naskah akan di 'review' oleh penyunting ahli. Hasil review bisa diketahui dalarn jangka waktu 60 hari setelah naskah diterima.

• Este é um artigo publicado em acesso aberto e distribuído sob os termos da Licença de Atribuição Creative Commons, que permite uso irrestrito, distribuição e reprodução em qualquer meio, desde que o autor e a fonte originais sejam creditados.

Democratization in Southeast Asian countries is often perceived as transforming the countries into a kind of Western liberal democracy. By using Indonesian casq this papet however, shows that this perception does not reflect current in political arena. The transition to democracy in Indonesia has both the elements of modern and traditional political cultures and institutions. The paper suggests that democratization is better seen from the process of adaptation and hybridization of the modenrn and traditional aspects of Indonesian politics. Kata-kata Kunci: demokratisasi, budaya politik, politik di Indonesia Persoalan demokrasi di negara-negara Asia Tenggara selalu menarik untuk diamati. Setelah 40-50 tahun merdeka tidak satupun negara di kawasan ini yang menyerupai demokrasi liberal model Barat. Model-model pemerintahan diantara negara-negara itu pun berbeda satu dengan yang lain. Walaupun demikian mereka tetap * Tulisan ini pernah disampaikan pada diskusi panel Jurusan Hubungan Internasional, Fisip Universitas lember, fember, 14 Juni 2000. * Dosen Fisip Unei, menyelesaikan program 53 pada tahun

This paper discusses the emergence of populist movements in Indonesia and its influence on Indonesian democracy. As in some democratic countries, populism also becomes one of Indonesia's political traits. Although not exactly the same as the general models of populism in the West, Indonesian populist figures such as Joko Widodo and Prabowo Subianto have enough political appeal. Both use populist style in 2014 presidential election. Another less known populist movement is Islamic populism that has long historical roots and sticking to the 2017 Jakarta Gubernatorial election. In contrast to the extreme right and left populists in Europe and Latin America, the Indonesian populist tradition is new, not yet having a clear program and divided. In this context, populism has not threatened democracy even it can channel people direct interests. Nevertheless, in the long run the potential threat of populism to democracy cannot be underestimated primarily because of the authoritarianism te...

Life is dynamic, as well as social phenomena in society. Along with the changes of time, the social order is also change. One of them is the social order of women. This paper will discuss about the social change in the community, particularly changes of women’s role in the Middle Ages and in (after) the birth of the feminist movement that demands the equality between women and men. Despite the change of women’s role and status and the feminist movement has emerged in every single parts of the world, due to the limited resources, this paper will focus on the change of women’s role in Europe.

Japan is often referred as an abnormal state that different with the other independent states. Japan may not possess or develop its own military force since Japan’s capitulation to allies. Furthermore, Japan involved in a security alliance agreement with the United States in which the defense and security of Japan was under U.S. protection. However, under the reign of his new prime minister, Shinzo Abe, Japan began to make changes in terms of his defense and security policy. Japan began to increase its military strength with a reason to keep the peace of the world, primarily regional peace. From this statement it is clear that Japan tried to keep pace with China in East Asia. Changes in Japan's defense and security raised concerns of the international community that Japan will again be a power-hungry country. Meanwhile, the United States seems to have no concern at all. Contratry U.S became the main supporter of the United States in such changes. This paper will analyze the factors that may influence the decision of Japan to change the security policy suddenly. By using the perspective of decision making process , this paper will divide these factors into the internal and external factors. Internal factors related to the Liberal Democratic Party in Japan and external factors mainly concerned with relations between Japan and the United States.

Pembicaraan itu berlangsung hampir satu jam lamanya. Kabupaten Jember mendadak jadi perhatian nasional saat Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indarparawangsa, menghadiri sertijab Bupati Jember pada 2 Maret 2021. Ia mengungkap tingginya angka kematian ibu dan bayi (AKI dan AKB) serta stunting di Jember, bahkan menempati urutan tertinggi di Jawa Timur. Tercatat sebanyak 61 kasus kematian ibu saat melahirkan dan 324 kasus kematian bayi di tahun 2020. Gubernur Jatim ini pun menegaskan bahwa perlu ada upayaupaya serius untuk menekan angka tersebut. Yang jadi pertanyaan adalah, mengapa kasus AKI, AKB, dan stunting harus mendapat perhatian serius? Jokowi dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa titik dimulainya pembangunan manusia adalah dengan menjamin kesehatan ibu hamil, bayi, dan anak sekolah. Hal itu karena mereka merupakan bagian dari harapan untuk menciptakan sumber daya manusia unggul Indonesia. Maka dari itu, kebijakan untuk mewujudkan SDM yang berdaya saing dan berkualitas tinggi, titik tumpunya harus diprioritaskan pada penurunan angka kematian ibu, bayi, dan stunting.

Damian Ilodigwe membuat sebuah tulisan yang membahas peran komunikasi dan diplomasi sebagai instrumen untuk mencapai pemerintahan yang baik dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Ia mengkajinya secara rinci dari mulai konsep komunikasi dan diplomasi itu sendiri hingga mengambil studi kasus di negara Nigeria dalam kaitannya dengan pemerintahan dan pembangunan berkelanjutan sebagai dampak dari berjalannya komunikasi dan diplomasi secara efektif. Damian menyebutkan bahwa konsep komunikasi lebih luas daripada diplomasi.

Hubungan internasional adalah sebuah bidang studi yang membahas interaksi antar negara dalam aspek yang sangat luas. Namun kini, hubungan internasional juga terkoneksi dengan interaksi antar aktor non-negara (organisasi internasional, perusahaan multinasional, dan individu), struktur sosial (politik, ekonomi, dan budaya), serta pengaruh latar belakang sejarah dan letak geografi. 1 Sebagai sebuah bidang studi, hubungan internasional menjadi berbeda karena tidak memiliki batasan yang jelas. Hal ini disebabkan isu internasional yang semakin kompleks dari masa ke masa. Maka dari itu, teori hubungan internasional hadir sebagai narasi yang dirancang untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di dunia internasional. Teori yang baik akan mampu menjelaskan fenomena yang kompleks menjadi lebih sederhana sehingga mudah dipahami dan diterima. 2 Dalam tulisan ini penulis hanya akan membahas mengenai salah satu teori hubungan internasional yaitu dari perspektif Feminisme. Tulisan ini dilatarbelakangi oleh keresahan penulis terhadap masih maraknya pemikiran bahwa perempuan tidak bisa terjun langsung ke dalam persoalan internasional karena beberapa batasan yang diasumsikan. Maka dari itu, penulis ingin memaparkan bahwa perspektif Feminisme yang merupakan gugatan terhadap teori-teori pendahulunya (Realisme dan Neorealisme) pantas untuk mendapat tempat di panggung internasional.

Dewasa ini dunia internasional sudah mengalami perubahan dan perkembangan yang signifikan, utamanya sejak perang dingin berakhir (1947-1991). Runtuhnya komunisme kala itu dibarengi dengan 'kemenangan' kapitalisme di level internasional. Akan tetapi, nilai-nilai dasar komunisme yang berangkat dari pemikiran Karl Marx (Marxian) tidak pernah hilang dan masih relevan hingga saat ini. Orang-orang akan tetap menoleh pada teori ini dan turunannya saat berhadapan dengan isu ketimpangan atau ketidakadilan, khususnya di sektor perekonomian. Gap antar kelas yang menciptakan lingkungan eksploitatif di sistem kapitalisme mendorong para penggiat Marxian untuk menciptakan negara sosialis. Salah satu pemikir Marxian yang punya pengaruh besar dalam perkembangan teori ini adalah Antonio Gramsci (1891-1937). Dengan teori hegemoninya, ia mampu keluar dari pertanyaan "mengapa revolusi buruh sulit terjadi di Eropa Barat?". Maka tulisan ini disusun untuk memaparkan kritik Gramsci terhadap beberapa asumsi dasar Marx. Latar Belakang Gramsci Gramsci merupakan seorang aktivis sosialis yang giat mengembangkan pemikiran Karl Marx. Kritik terhadap pandangan Marx yang ia lakukan bukan karangan semata, melainkan hasil dari proses pengamatan panjang yang ia saksikan dan alami semasa hidupnya. Pemikiran-pemikirannya kemudian dinilai sebagai sumbangan berharga bagi teori Marxian.

Di akhir abad ke-19, terdapat sebuah pertanyaan terkenal yang dilontarkan oleh Benedict Anderson, yakni "Qu'est-ce qu'une nation?" atau "what is nation?". Seorang akademisi di bidang bahasa dan sejarah bernama Ernest Renan (1832-1892) menjawabnya dengan tidak mengacu pada kesamaan fisik, bahasa, budaya, dan aspek etnisitas lainnya karena dianggap membatasi manusia untuk berintegrasi dan hidup berdampingan sebagai sebuah bangsa. Baginya sebuah bangsa adalah jiwa dan prinsip spiritual dimana sekelompok orang memilih untuk mengingat sejarah dan nasib yang sama serta memiliki keinginan atau kesadaran untuk hidup bersama guna menjaga nilai-nilai luhur yang sudah ada sejak lama. 1 Dengan mengaku sebagai bangsa yang sama, muncullah istilah nasionalisme yang menurut Renan dapat menghubungkan individu dengan negaranya. Nasionalisme juga membuat hubungan antar individu semakin erat karena mereka terikat secara emosional dengan tanah air. Mereka juga merasa mempunyai identitas yang sama sehingga timbul kesadaran untuk saling membantu saudara sebangsanya. Dalam pemaparannya, Renan juga menekankan bahwa nasionalisme adalah sebuah 'proses' yang tidak akan berhenti. Di luar apa yang disampaikan oleh Renan, terdapat banyak perbedaan pandangan dalam melihat asal-usul atau konsep dari nasionalisme itu sendiri. Maka dalam memahaminya, ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan, tiga di antaranya adalah perspektif primordialisme, kontekstual/instrumentalisme, dan konstruktifme.

Sebagai sebuah organisasi ekonomi, koperasi di Indonesia dimiliki dan dijalankan oleh sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama dan dilandaskan pada prinsip-prinsip ekonomi rakyat, utamanya asas kekeluargaan. Di Indonesia, prinsip-prinsip koperasi secara khusus tersurat dalam UU No.12 Tahun 1967 dan UU No.25 Tahun 1992. Prinsip-prinsipnya antara lain, keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; pengelolaannya dijalankan secara demokrasi; SHU dibagi secara adil; pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; kemandirian; pendidikan perkoperasian; dan kerja sama antar koperasi. Adapun fungsi dan peranan koperasi adalah untuk mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota dan masyarakat, berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat, memperkuat perekonomian rakyat, mengembangkan

The book reviewed in this paper examines the concept of human security, which is an expanded perspective of state security. This book by Hara, Suyani and Trihartono offers a comprehensive exploration of the global perspective of human security. While detailing the human security perspectives of the UNDP, Japan, Canada and the European Union, the book also highlights Indonesia's unique position. The book emphasizes the role of Religious Non-State Actors (RNSAs) in addressing human security issues. Using primary data in its final chapter, the book advocates for a reinterpretation of human security in Indonesia that is adapted to diverse social and historical contexts. In addition, this review finds that the in-depth interpretations in this book provide opportunities for further exploration or study for future researchers.