Papers by Savran Billahi

1306454725 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 2016 A. Pendahuluan Bagi umat I... more 1306454725 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 2016 A. Pendahuluan Bagi umat Islam, ajaran Islam merupakan suatu norma universal yang dapat beradaptasi sepanjang zaman. Untuk itu, umat Islam sejatinya memiliki kewajiban untuk menempatkan Islam dalam setiap konteks zaman. Artinya, tidak sekadar terjebak pada romantisisme masa lalu, namun umat Islam juga tidak alpa mengkaji maupun melakukan upaya tajdid atau pembaruan, yang mendudukkan masa lalu sebagai suatu media untuk memunculkan kesadaran identitas. Salah satu cendekia muslim yang melakukan upaya itu adalah Hassan Hanafi. Cendekia muslim kelahiran Kairo, 13 Februari 1935 ini mashyur dengan kajian mengenai tema-tema kebangkitan Islam. Berbeda dengan wacana kebangkitan Islam yang diusung oleh kalangan "neo-rivalis", yang lebih mengedepankan apologi ideologis dan simbol-simbol keagamaan, Hassan Hanafi mengedepankan proyek at-turas wa at-tajdid (tradisi dan pembaruan). 1 Bagi Hanafi, wacana tersebut, selain dapat menghidupkan kembali identitas Islam, juga mampu mendekonstruksi wacana terhadap dominasi Barat. Pada tahap ini, Hassan Hanafi tampak ingin mengakhiri mitos Barat sebagai representasi dunia. Dengan wacana-wacana tersebut, Hassan Hanafi mengajak umat untuk menganalisis kembali realitas dunia Islam. B. Bagian dari Fundamentalisme Islam, Mengenal Hassan Hanafi Secara terang-terangan, dalam karyanya, Hassan Hanafi mengungkapkan dirinya sebagai bagian dari fundamentalisme Islam. Bahkan ia mengungkapkan, "saya adalah anak fundamentalisme Islam". 2 "Pengakuan" ini penting dikemukakan di awal, karena dengan itu pemikiran Hassan Hanafi mengenai kebangkitan Islam akan lebih mudah dipahami. Dalam arti, masyarakat tidak akan terjebak dalam menempatkan sikap dan ideologi Hassan Hanafi. Sebab, bagi kalangan progresif kiri, Hassan Hanafi dituding sebagai bagian dari Ikhwanul Muslimin tulen, sementara bagi kalangan Islam ekstrem, Hassan Hanafi dianggap sebagai seorang komunis. Untuk mendamaikan pandangan-pandangan tersebut, Hassan Hanafi mengungkapkan dirinya sebagai bagian dari fundamentalisme Islam. Agar masyarakat tidak kembali terjebak atas pengakuannya itu, Hassan Hanafi mengungkapkan bahwa fundamentalisme Islam tidak dapat diartikan sempit sebagai konservatif, terbelakang, dan menentang peradaban modern atau diidentikkan sebagai sifat fanatisme, berwawasan sempit, menolak dialog, dan eksklusif. 3 Fundamentalisme Islam, menurutnya, justru suatu proyeksi wacana dalam mencanangkan pembentukan pribadi yang sempurna untuk mengemban misi persatuan umat yang menyeluruh, mendidik masyarakat, mendirikan negara umat, dan mempertahankan identitasnya. 4 Untuk mencapai tahap itu perlu penyinergian beragam metode dan teori; metodologi sosial, analisis psikologis, pemikiran teoritis, dan historis dalam memahami fundamentalisme Islam. Dalam hal ini, Hassan Hanafi menempatkan fundamentalisme Islam sebagai suatu wacana pemikiran Islam yang holistik. Lebih jauh, Hassan Hanafi memposisikan sikap Islam secara jelas; Islam harus progresif, bukan konservatif, Islam harus menang, bukan kalah, Islam harus ofensif, bukan defensif. 5 Bahkan Hassan Hanafi menyatakan bahwa Islam datang bukan sebagai sesuatu yang asing, hal yang kontradiktif dengan hadits, "Islam datang dalam kondisi asing, dan akan kembali asing seperti semula, maka beruntunglah orang-orang asing di antara umatku". Kebangkitan Islam, menurutnya, merupakan fenomena sejarah atas dasar hukum sejarah, sehingga kebangkitan Islam adalah sesuatu yang tidak asing, karena hukum sejarah menjadikannya pasti terjadi. Wacana pemikiran fundamentalisme Islam, atau tujuannya; kebangkitan Islam, Hassan Hanafi erat dengan semangat kesadaran nasionalisme, yang merupakan refleksi dari kolonialisme di dunia Arab dan Muslim kala itu. 6 Hal tersebut dipengaruhi oleh persentuhan Hassan Hanafi dengan paham nasionalistiksosialistik-populistik yang berkembang di Mesir pada awal dasawarsa 1960-an. 7 Saat masih muda, Hassan Hanafi juga mengaku kagum dengan aktivitas orangorang komunis, Ikhwanul Muslimin atau Wafdian yang sering menjadi 3 Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritits Pemikiran Hassan Hanafi, terjemah: M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, (Yogyakarta: LKiS, 2007), xi. menggunakan setiap fenomena dan faktor-faktor yang memicu kebangkitan Islam dalam lintasan waktu tertentu. Bagi Hassan Hanafi, Islam bukan sekadar agama namun juga sebuah tatanan budaya, sehingga Islam bukan merupakan hasil pemikiran yang statis, namun sebuah kreativitas yang dinamis dalam rentang perjalanan sejarah. Sebagai suatu hukum perulangan, sejarah digunakan oleh Hassan Hanafi untuk melihat Islam lebih luas. Menurutnya, seperti budaya, Islam hidup, berkembang, sirna, dan hidup kembali, dan sepanjang sejarah dunia, Islam menempatkan posisi penting dalam dinamika dunia. Untuk itu, dunia menjadi wahana bagi tumbuh-berkembangnya Islam. Dari abad ke-7 sampai abad ke-14, kebudayaan Islam berbenah diri, sehingga menampakkan dirinya sebagai role model peradaban dunia. Memasuki abad ke-15 hingga abad ke-21, perlahan kebudayaan Islam menyurut, dan akhirnya mengerucut menjadi komunitas inferior. Pada masa itulah, di saat kehancuran meluas, kekalahan terjadi bertubi-tubi, kerusakan dimana-mana, maka nostalgia pada masa lalu menjadi tema sentral yang dibicarakan. 11 Romantisisme masa lalu itu demikian hebat mencengkram pikiran sampai-sampai gerakan Salafiah berhaluan konservatif-puritanisme ingin meninggalkan pesawat terbang dan peluru kendali, dan mengajak umat untuk kembali naik onta dan kuda. 12 Mereka menganggap dirinya sebagai sekolompok "autentitas Islam", yang apabila kaum cendekia mengeksplorasi suatu pemikiran, mereka, terutama para fuqaha, segera merespons dan mengkritiknya, bahkan menolaknya. Begitulah Hassan Hanafi memandang daya kreativitas umat Islam pada kurun abad ke-15 hingga abad ke-21; berada dalam titik yang stagnan. Ketika kreativitas umat Islam berada pada stagnansi itu, menyadur kreasi-kreasi pada zaman dahulu adalah cara untuk menjaga eksistensi Islam. Upaya ini, menurut Hassan Hanafi, adalah "kedok" umat Islam untuk menjaga keberadaan dirinya dari Barat yang superior. Padahal di sisi lain, Barat sedang bekreasi lebih kreatif dengan berbagai kedok agar citra tentang Islam terdistorsi. Budaya Islam benar-benar dibuat terbelenggu, dan akhirnya ke-mandeg-an kreativitas Islam semakin langgeng. Berbagai citra negatif mengenai Islam 11 Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer, (Yogayakarta: Jendela Grafika, 2001), 6. 12 Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, 117. mencuat, misal, citra mengenai ugly Arab di London yang sering memborong isi supermarket dalam satu hari dengan dikelilingi harem-harem, atau leading opini, bahwa dunia Islam, terutama di daerah Asia dan Afrika adalah dunia yang tidak berkembang, atau yang paling ekstrem, menggiring kaum akademis muslim pada pandangan untuk meragukan kesucian nabi, dalam arti nabi hanya dianggap sebagai seorang manusia biasa. Ironinya, citra tersebut semakin melekat dan menjadi terlihat riil tanpa ada indikasi perubahan. 13 Untuk menguraikan kerancuan ini, Hassan Hanafi mengambil asumsi awal, bahwa perpektif historis tidak termanifestasikan secara efektif dan signifikan oleh umat Islam, baik dalam tataran personal maupun komunal. Asumsi tersebut membawa Hassan Hanafi kepada tiga pertanyaan 14 : pertama, apakah kesadaran sejarah dalam kesadaran kontemporer kita hilang meskipun kita merupakan bangsa yang menyejarah? kedua, mengapa kesadaran sejarah dalam tradisi lama kita tidak ada, apakah ketiadaan tersebut bertanggung jawab atas ketiadaanya di masa kini? ketiga, mengapa tidak muncul pada kita filsafat-filsafat sejarah yang didasarkan pada konsep kemajuan (progresifitas) dan periodisasi, yang memberikan prioritas terhadap masa depan daripada masa lalu? Menurutnya, dalam tradisi keislaman, ilmu-ilmu yang mendominan adalah ilmu-ilmu aqliyyah-naqliyyah, aqliyyah murni, dan naqliyyah murni. Dalam ilmuilmu aqliyyah-naqliyyah, ada empat ilmu yang berkembang, antara lain, Ilmu Usuludin, Ilmu Usul Fikih, Ilmu Hikmah, dan Ilmu Tasawuf. Ilmu-ilmu ini nyaris kosong dari kesadaran sejarah sebagai progresifitas ke depan. 15 Hal tersebut yang membuat kesadaran sejarah lenyap dari emosi kultural masyarakat muslim kontemporer. Apalagi ketika paham-paham tertentu diadopsi oleh negara, sedangkan paham-paham lain tidak, bahkan dikucilkan hingga dijustifikasi sesat. Hal tersebut membuat kesadaran sejarah tanpa sadar semakin lenyap. Kehendak ilahiah pun menjadi batas masyarakat muslim dalam berkreativitas, apalagi ditambahi bumbu-bumbu cerita yang terkesan menghilangkan upaya manusia, seperti keselamatan Nuh dari azab-Nya merupakan kehendak ilahi, kekalahan pasukan Abrahah dalam menyerang 13 Ibid., 17. 14 Hassan Hanafi, Oposisi Pasca Tradisi, (Yogyakarta, Syarikat Indonesia, 2003), 75-76. 15 Ibid.
Di Depok, di Margo City, ada sebuah bioskop yang sekali beli tiket pengelola mematok harga 30-50 ... more Di Depok, di Margo City, ada sebuah bioskop yang sekali beli tiket pengelola mematok harga 30-50 ribu. Sebagian besar pembelinya adalah mahasiswa sekitar wilayah itu. Di Yogyakarta, di beberapa diskutik yang tersebar di sana, anak muda adalah pengunjung mayoritas. Hampir setiap hari, selain lantunan DJ, pengunjung disuguhi sexy dancer yang ber-rok minimalis seperempat paha dan berpakaian terbuka. Terkadang, mereka menambah keasyikan dengan mengikuti kontes dance atau pemilihan putri kafe yang diadakan pengelola. Setidaknya, kita dapat beranggapan mereka adalah pemuda beruntung yang lahir menjadi bagian kelas menengah.

Penelitian ini membahas jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang melatarb... more Penelitian ini membahas jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang melatarbelakangi negara dan sejumlah kekuatan politik menggunakan isu-isu Islam dalam percaturan politik di Indonesia. Penelitian ini juga menganalisasi proses politik islamisasi itu berlangsung dan implikasi dari model kebijakan politik islamisasi itu bagi perkembangan demokrasi, kebebasan sipil dan prinsip bernegara yang pluralis. Dalam proses pembentukan negara bangsa (nation building) seperti Indonesia, politik yang menggunakan preferensi Islam dan cita-cita Islam menjadi persoalan serius di Indonesia sebagai negara majemuk, baik agama, suku, maupun bahasa. Indonesia menghadapi masalah fundamental dalam menentukan arah bangsa, yakni perumusan dasar negara. Persoalan mendasar itu lebih lagi dihadapkan dengan varian corak pemikiran mengenai rumusan bangsa, yang kemudian mengerucut menjadi polarisasi, dan perdebatan pemikiran atas pilihan menggabungkan Islam atau kebangsaan dalam suatu konstitusi negara. Tak terbantahkan, bahwa mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam. Agama samawi terakhir ini menjadi identitas masyarakat Indonesia yang tidak bisa dipisah dari identitas keindonesiaan. Karenanya wajar bila kekuatan-kekuatan sosial dan politik, termasuk negara, menjadikan Islam untuk menjustifikasi dasar perjuangan dan kepentingannya dalam pergulatan politik. Para pemimpin bangsa, baik pada masa Orde Lama (Soekarno), Orde Baru (Soeharto), maupun Orde Reformasi (B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo), telah berupaya mencarikan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah fundamental krusial itu. Dengan varian yang berbeda-beda, mereka mengeluarkan kebijakan politik islamisasi yang kadang memojokkan dan kadang menguntungkan umat Islam. Islam, dan T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy di dalam Lasjkar Islam. Bahkan Natsir, tokoh yang menjadi "teman" berdebat Soekarno, mengkritisi ulasan Soekarno melalui beberapa tulisan yang mengulas persatuan agama dan negara. 9

Crime at sea is a phenomenon which has been existing throughout the Middle Ages and has been prol... more Crime at sea is a phenomenon which has been existing throughout the Middle Ages and has been prolonging to contemporary time. In the 16 th century to the 17 th century, several reports, either sultanates or colonial, noted regarding crimes in the Nusantara Sea, especially piracy. At that time, a conception of Nusantara Sea space had been integral to political imaginaries. There was a common policy in maritime security which was signed by the sultanates. This study looks at the cooperation among sultanates, which was located on the east coast of Sumatra to Sulu Sea's coast to secure the sea at 16 th and 17 th century as a concept which can be used during the recent for solving crimes in the Nusantara Sea. Therefore, interdisciplinary perspectives used in this study. This study analyzed the form of sultanate's cooperation in the past to be contextualized with contemporary time. The research finds that a form of local-regional cooperation among sultanates in the 16 th and 17 th century had been lost and being replaced with macro cooperation among countries. Furthermore, this study raises a question about how to contextualize the sultanate's local-regional cooperation of Nusantara in the past to secure sea in contemporary time.
![Research paper thumbnail of Integrasi Pesantren dan Madrasah: Peran K.H. Ahmad Rifa’i Mendirikan Pondok Pesantren Daar el-Qolam Sebagai Pembaharuan Pesantren di Banten (International Young Scholars of Humanities and Arts [Inusharts] 2017).docx](https://attachments.academia-assets.com/53644367/thumbnails/1.jpg)
Abstrak: Artikel ini membahas upaya Kyai Rifa’i dalam mengintegrasikan pesantren dan madrasah di ... more Abstrak: Artikel ini membahas upaya Kyai Rifa’i dalam mengintegrasikan pesantren dan madrasah di Banten sebagai suatu sistem melalui pendirian Pondok Pesantren Daar el-Qolam pada 1968. Pengintegrasian itu merupakan tonggak penting dalam perubahan kondisi pesantren di Banten. Sebelum dekade 1960, pesantren di Banten hanya menjadi representatif lembaga pendidikan Islam tradisional dan belum terintegrasi dengan madrasah sebagai representatif lembaga pendidikan Islam modern. Dua hal yang melatarbelakangi upaya Kyai Rifa’i itu adalah gagasan orangtuanya, Kyai Ahmad Qashad Mansur yang tidak ingin mendikotomikan pesantren dan madrasah serta transformasi pembaharuan pesantren yang didapatkan Kyai Rifa’i di Pondok Modern Darussalam Gontor. Berdasarkan penelitian ini, upaya Kyai Rifa’i dalam mengintegrasikan pesantren dan madrasah membawa perubahan yang signifikan bagi perkembangan pesantren di Banten.
Kata kunci: Banten, Integrasi Pesantren dan Madrasah, Kyai Rifa’i, Pondok Pesantren Daar el-Qolam
Masalah ras dan etnisitas dalam perkembangan Amerika Serikat merupakan persoalan kompleks dan men... more Masalah ras dan etnisitas dalam perkembangan Amerika Serikat merupakan persoalan kompleks dan mendapatkan perhatian yang cukup signifikan. Perbedaan warna kulit antara orang pendatang dari Eropa (berkulit putih) dan pendatang dari Afrika (berkulit hitam atau kulit berwarna) adalah hal yang mendasar dari permasalahan ras dan etnisitas itu. Ditinjau secara historis, keduanya (bangsa Eropa dan Afrika) bukanlah penduduk asli, yang sebenarnya menduduki dan menempati tanah orang Amerika (Indian). Namun secara garis waktu, bangsa Eropa lebih dahulu datang daripada pendatang dari Afrika. Hal itu kemudian berdampak terhadap stigma keduanya (orang-orang berkulit putih dan berwarna).
Dalam menelusuri bentuk sistem dan suksesi pemerintahan di Sumenep pada periode pra-Islam, tahap ... more Dalam menelusuri bentuk sistem dan suksesi pemerintahan di Sumenep pada periode pra-Islam, tahap awal dan satu hal yang perlu dipahami, yaitu menghubungkan periode yang berlaku secara nasional mengenai periode pra-Islam di kepulauan Nusantara dengan raja-raja Sumenep yang berkuasa pada periode itu, yang tercatat pada sumber-sumber sejarah yang ada. Dari sana dapat dilacak pola sistem dan suksesi pemerintahan pada zaman pra-Islam di kerajaan Sumenep.
Tulisan ini merupakan ulasan singkat dari buku yang berjudul Space, Difference, Everyday Life Rea... more Tulisan ini merupakan ulasan singkat dari buku yang berjudul Space, Difference, Everyday Life Reading Henri Lefebvre. Buku ini terdiri dari 17 bab yang merupakan kumpulan esai dari berbagai penulis tentang pemikiran Henri Lefebvre (selanjutnya: Lefebvre). Pada ulasan ini, masing-masing judul bab ditulis
menggunakan judul yang asli dalam bahasa Inggris. Hal ini dilakukan karena ada kekuatiran ,imuncul degradasi pemahaman dari makna yang sesungguhnya ditulis pada
setiap judul. Urutan ulasan buku ini mengikuti nomor urut masing-masing bab, berikut ulasan masing-masing bab itu:
Book Reviews by Savran Billahi
Talks by Savran Billahi
Uploads
Papers by Savran Billahi
Kata kunci: Banten, Integrasi Pesantren dan Madrasah, Kyai Rifa’i, Pondok Pesantren Daar el-Qolam
menggunakan judul yang asli dalam bahasa Inggris. Hal ini dilakukan karena ada kekuatiran ,imuncul degradasi pemahaman dari makna yang sesungguhnya ditulis pada
setiap judul. Urutan ulasan buku ini mengikuti nomor urut masing-masing bab, berikut ulasan masing-masing bab itu:
Book Reviews by Savran Billahi
Talks by Savran Billahi
Kata kunci: Banten, Integrasi Pesantren dan Madrasah, Kyai Rifa’i, Pondok Pesantren Daar el-Qolam
menggunakan judul yang asli dalam bahasa Inggris. Hal ini dilakukan karena ada kekuatiran ,imuncul degradasi pemahaman dari makna yang sesungguhnya ditulis pada
setiap judul. Urutan ulasan buku ini mengikuti nomor urut masing-masing bab, berikut ulasan masing-masing bab itu: