Papers by Gde Aditya Widyatama
14/368472/SP/26431 JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS GA... more 14/368472/SP/26431 JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2016
Korupsi telah menjadi permasalahan yang melanda seluruh negara di dunia. 1

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGY... more JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan isu gender kini kian kencang terdengar gaungnya seiring dengan semangat penegekan hak asasi manusia yang semakin gencar disuarakan. Convention on the Elimination of All of Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) pun kemudian hadir menjadi salah satu batu penyangga kesetaraan antar gender yang dimaksud -konvensi ini secara spesifik berfokus pada hak perempuan yang kerap kali dikesampingkan dalam berbagai sektor, baik politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Didorong oleh keberadaan norma dan hukum internasional yang ada, menjadi sebuah tuntutan kolektif kemudian bagi negara-negara di dunia untuk turut berpartisipasi dalam ratifikasi konvensi tersebut. Jepang ialah satu dari sekian negara yang turut ambil peran dalam peratifikasian konvensi. Namun demikian, realitas politik domestik Jepang masih dinilai kurang merefleksikan, ataupun memenuhi obyektif-obyektif yang diingin dicapai melalui keberadaan CEDAW. Jepang nyatanya masih terjebak oleh permasalahan ketimpangan gender, baik itu dalam bidang sosial, politik, maupun ekonomi. Kesenjangan yang ada, pun tak lain disebabkan oleh budaya lokal yang kerap kali meletakkan perempuan pada posisi subordinan. Perempuan pada banyak kesempatan disudutkan pada posisi inferior akibat dianggap tidak setara dengan laki-laki. Polemik ini jelas terlihat, bukan hanya di sistem masyarakat Jepang, tetapi juga di sistem pemerintahan yang ada -dalam hal ini terkait dengan proporsionalitas dalam parlemen. Persentasi representasi perempuan di dalam parlemen Negeri Sakura ini terbilang masih sangat kecil secara numerik. Tak heran, Jepang hanya menempati peringkat 104 dari total 142 negara dalam indeks gender gap -hanya naik satu angka dari tahun 2013, yakni peringkat 105 1 . Hal ini tentu menjadi sebuah ironi mengingat Jepang terlihat sangat jauh tertinggal dari negara-negara maju lainnya, yang dalam konteks kesetaraan gender sudah secara gradual tercipta. Keadaan tersebut tidak hanya terasa antagonis ketika dikorelasikan dengan fakta bahwa Jepang meratifikasi konvensi kemanusiaan terkait hak perempuan, tetapi juga akibat Konstitusi Jepang sendiri yang sudah memiliki dilakukan secara lebih komprehensif menggunakan landasan konseptual yang ada.
disusun oleh: Gde Aditya Widyatama 14/368472/SP/26431 JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILM... more disusun oleh: Gde Aditya Widyatama 14/368472/SP/26431 JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2015
Mahasiswa merupakan salah satu aktor penting yang mempengaruhi perkembangan politik dalam suatu n... more Mahasiswa merupakan salah satu aktor penting yang mempengaruhi perkembangan politik dalam suatu negara. Mahasiswa yang juga merupakan bagian dari masyarakat tentunya memiliki hak yang setara dengan masyarakat pada umumnya. Mahasiswa memiliki kebebasan untuk berpendapat dan mengutarakannya secara luwes, tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Mereka juga bebas dalam melakukan pergerakan, yang dianggap sebagai reaksi dari kebijakan lembaga pemerintahan. Mereka juga sering dianggap sebagai perwakilan dari masyarakat dalam mengemukakan pendapat atau keluhan terhadap pemerintah 1 . Dapat dikatakan bahwa mahasiswa adalah perpanjangan tangan dari masyarakat luas. Secara garis besar, mahasiswa berperan penting dalam pengambilan keputusan dari pemerintah, karena mahasiswa sendiri dianggap sebagai perwakilan dari masyarakat umum.

Dalam kajian ilmu hubungan internasional, terdapat tiga bentuk interaksi antar negara, yaitu coex... more Dalam kajian ilmu hubungan internasional, terdapat tiga bentuk interaksi antar negara, yaitu coexistence, cooperation, dan conflict. Namun, dari keseluruhan bentuk interaksi tersebut, perang dan konflik merupakan suatu fenomena yang tidak dapat terhindarkan akibat adanya perbedaan kepentingan antar negara. Isu mengenai perang dan konflik bersenjata terus dipelajari sebagai bentuk penggunaan kekuatan militer untuk meraih kepentingan politik suatu negara. Dalam rangka untuk mencapai kepentingan tersebut, suatu negara dapat melakukan intervensi terhadap aktor-aktor internasional lain, termasuk terhadap aktor negara yangmempunyai kedaulatan atau kekuasaan tertinggi atas wilayahnya. Konflik antar negara yang terjadi pun tidak jarang melibatkan dan merugikan non kombatan, dalam hal ini penduduk sipil, ataupun kombatan terutama dalam hal kemanusiaan. Hukum Humaniter Internasional terkait dengan hal tersebut hadir dalam rangka sebagai jembatan antara kepentingan negara untuk mewujudkan kepentingan melalui perang serta kebutuhan untuk melindungi hak-hak kemanusiaan pihak-pihak yang tidak terlibat dalam konflik yang terjadi.
Hukum Humaniter Internasional menjadi penting untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat adanya perang, dengan mengatur perlindungan terhadap kombatan dan non kombatan serta mengatur penggunaan alat dan cara untuk berperang dalam situasi perang dan konflik bersenjata. Untuk mewujudkan penerapan Hukum Humaniter Internasional, dibutuhkan peran dan dukungan berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang terlibat langsung dalam perang atau konflik. Selain itu, institusi-insitusi yang menegakkan Hukum Humaniter Internasional seperti International Committee of the Red Cross dan International Criminal Court pun dibutuhkan dalam menerapkan Hukum Humaniter Internasional, baik memberikan bantuan kemanusiaan pada saat situasi perang maupun memberikan sanksi hukuman bagi pelanggar berat Hukum Humaniter Internasional. Namun, apabila melihat kenyataan yang terjadi, prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional seringkali diabaikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dimana pihak-pihak tersebut terkesan mengutamakan pencapaian kepentingan masing-masing.
Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II merupakan konflik yang melibatkan Republik Chechnya dan Federasi Rusia, yang disebut sebagai konflik paling parah setelah Perang Dingin. Chechnya merupakan wilayah yang terletak di Kaukasus Utara dan menjadi bagian dari Federasi Rusia, yaitu wilayah otonom dengan berbagai macam etnis. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, akibat dari Perang Chechnya telah menjadikan Chechnya menjadi wilayah yang paling hancur lebur di muka bumi. Dalam hal ini, Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II dapat diidentifikasi sebagai konflik bersenjata non internasional, dimana Chechnya merupakan suatu entitas negara yang telah menyatakan kemerdekaan setelah perpecahan Uni Soviet pada bulan Oktober 1991. Hal tersebut yang kemudian menjadi faktor pemicu terjadinya konflik, yaitu bahwa Federasi Rusia kemudian masih memiliki anggapan bahwa Republik Chechnya merupakan bagian dari wilayah negara tersebut setelah tiga tahun menjalankan pemerintahan di luar pemerintahan Federasi Rusia. Perang Chechnya I kemudian pecah pada tahun 1994 hingga 1996, yang diselesaikan melalui Plan of Peaceful Conflict Resolution in Chechnya pada bulan Maret 1996 yang diajukan oleh Presiden Rusia, Boris Yeltsin. Adanya persetujuan tersebut pada akhirnya menandakan pengakuan terhadap Chechnya secara de facto. Meskipun begitu, konflik antara Republik Chechnya dengan Federasi Rusia kembali terjadi dengan adanya upaya serangan oleh pemberontak Dagestan, yaitu Islamic International Brigade. Hal tersebut menyebabkan Federasi Rusia kemudian mengirimkan pasukan pada 1 Oktober 1999 ke wilayah Republik Chechnya. Konflik di antara kedua pihak tersebut berlangsung hingga bulan April 2009, yaitu dalam jangka waktu sepuluh tahun dikarenakan adanya faktor penyebab yang dapat dikatakan kompleks. Adanya pernyataan kemenangan oleh Federasi Rusia yang menyatakan telah menghilangkan gerakan pemberontak menyebabkan pemerintahan Republik Chechnya berakhir. Menurut Richard Sakwa dalam Chechnya: From Past to Future, jumlah korban Perang Chechnya I diperkirakan mencapai 80.000-120.000 orang, sedangkan Perang Chechnya II mengakibatkan adanya 25.000-50.000 orang. Meskipun begitu, jumlah korban baik kombatan maupun non kombatan yang berasal baik dari pemberontak Chechnya maupun angkatan bersenjata Rusia tidak dapat ditentukan sebagai akibat berbagai bentuk pelanggaran Hukum Humaniter Internasional sepert serangan militer, penyiksaan, cleansing, pemerkosaan, bahkan penggunaan tentara anak dan human shield.
Sepak bola dari masa ke masa terus mengalami perkembangan. Olahraga paling digemari di dunia ini ... more Sepak bola dari masa ke masa terus mengalami perkembangan. Olahraga paling digemari di dunia ini dapat diterima di seluruh kalangan, baik pria maupun wanita. Klub sepak bola semakin lama semakin bertambah banyak. Selain banyaknya penggemar sepak bola, pertumbuhan jumlah klub ini juga dipengaruhi faktor ekonomi. Keuntungan yang diraup oleh pemilik klub sangat besar dan jelas menjadi motivasi orang lain untuk mendirikan klub pula.
Book Reviews by Gde Aditya Widyatama

Kuomintang, sebuah partai nasionalis yang berperan dominan di Cina pada abad 19. Kuomintang diang... more Kuomintang, sebuah partai nasionalis yang berperan dominan di Cina pada abad 19. Kuomintang dianggap sebagai partai yang dapat menerjemahkan keadaan pemerintahan Cina sejak tahun 1912. Hal ini disebabkan karena partai ini sangat mendominasi pergerakan pemerintahan Cina. Di era kontemporer ini mungkin kita akan menemukan kesamaan dengan dominasi LDP di pemerintahan Jepang. Pergerakan Kuomintang di beberapa sektor sangat bersifat signifikan dan sangat mendominasi. Industri, biaya perang, dan pajak negeri Cina menjadi beberapa faktor pendorong dalam dominasi Kuomintang, dalam kasus ini merupakan faktor ekonomi. Namun ternyata Kuomintang mendapat banyak penolakan dari masyarakat Cina. Berbagai protes dilancarkan kepada pemerintah Cina disertai rasa ketidakpuasan terhadap kinerja Kuomintang. Hal ini membuat dukungan masyarakat kepada Kuomintang semakin menurun. Masyarakat menganggap pemerintahan Cina gagal untuk menciptakan kepemimpinan yang dinamis. Pada September 1937, Kuomintang dan Kelompok Komunisme membentuk Barisan Nasional. Pembentukan Barisan Nasional ini tidak lain adalah untuk membendung invasi Jepang. Jepang yang memang pada saat itu memiliki pergerakan yang agresif dalam melakukan invasi patut dijadikan perhitungan dan diawasi oleh negara sekitarnya, tidak terkecuali Cina. Namun singkat cerita Barisan Nasional ini tidak berjalan baik. Akhirnya badan tersebut terpaksa untuk mundur. Kemunduran dari Barisan Nasional ini berdampak langsung terhadap kepemimpinan Nasionalis di Cina. Kepemimpinan Nasionalis kembali dipertanyakan dan mendapat keluhan dari masyarakat yang memuncak pada kasus kemunduran Barisan Nasional ini. Banyaknya masyarakat Cina yang ingin kepemimpinan Nasionalis untuk mundur membuat banyak anggota Kuomintang yang melarikan diri. Hal ini menimbulkan adanya pergantian kekuasaan di Cina, dari Kuomintang menjadi Komunisme. Kaum Komunisme memunculkan diri mereka sebagai pahlawan mengikuti mundurnya Kuomintang dari pemerintahan Cina. Kaum Komunisme membawa banyak gagasan perubahan, mulai dari cara memrintah, strategi ekonomi, dan lain-lain. Perubahan yang paling dianggap oleh masyarakat Cina sebagai perubahan yang drastis adalah perubahan perlakuan masyarakat luas, khususnya petani, dengan lebih baik dibandingkan apa yang dilakukan oleh Kuomintang pada saat menguasai Cina. Hal ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat Cina sendiri yang tentunya membuat dukungan terhadap Kaum Komunisme meningkat. Gde Aditya Widyatama 14/368472/SP/26431 3 bahwa AS dan Inggris tidak ingin ada negara lain yang memiliki paham Komunis, berhubung pada saat itu kubu Nasionalis dan Komunis di Cina sedang bersitegang. Setelah pertemuan tersebut, Presiden Roosevelt mengindikasikan bahwa keadaan dalam negeri Cina tidak akan bertahan sampai Perang Dunia II berakhir. Untuk mengatasi hal tersebut, AS membentuk Dixxie Mission yang bertugas untuk mengintai operasi Komunis di Cina. Wakil Presiden AS, Henry A. Wallace, juga dikirim ke Cina untuk meyakinkan Chiang Kai-sek dalam hal pentingnya memprioritaskan serangan ke Jepang. Mulai disinilah terjadi sedikit ketegangan antara Cina dan AS. Komandan Stilwell ingin merombak ulang Kuomintang Forces dan beralasan untuk menjaga efektifitas militer Cina. Pendapat Stilwell ini bentrok dengan pendapat Komandan Claire Chennault yaitu memenangkan perang melalui jalur udara, atnpa merombak Kuomintang Forces. Chiang Kai-sek sebagai pemegang keputusan akhir ternyata lebih memilih saran dari Claire Chennault. Hal ini membuat hubungan antara Chiang dan Stilwell sedikit memburuk. Pada Agustus 1944, Presiden Roosevelt mengutus Jenderal Patrick J. Hurley untuk memperbaiki hubungan antara kedua pihak. Terjadi beberapa perubahan dan pergantian kedudukan setelah Patrick J. Hurley datang ke Cina. Salah satunya adalah Albert C. Wedemeyer yang akhirnya ditunjuk untuk menggantikan peran Stilwell di Cina, pada Oktober 1944. Bersamaan dengan hal ini, Jenderal Patrick J. Hurley menggantikan peran Clarence E. Gauss yang berstatus sebagai ambassador Cina pada saat itu. Jepang sebagai negara Asia Timur juga tidak lepas dari dampak Perang Dunia II. Sedikit sama dengan Cina, Jepang juga ingin membentuk negara yang kuat. Namun Jepang dianggap memiliki ekspetasi yang terlalu tinggi terhadap hasil Perang Pasifik. Berbeda dengan Cina yang memilih untuk membangun negaranya dari dalam, Jepang lebih memilih jalur ekspansi kekuasaan. Jepang memiliki ambisi untuk merebut bekas jajahan bangsa barat dengan membentuk pemerintahan independen di masing-masing negaranya. Jepang ingin membangun pemerintahan yang totalitarian yang kuat agar mampu mengorganisir kekaisaran besar yang ingin dibangun oleh Jepang. Namun pada saat itu memang kondisi sebelum dan saat perang dipengaruhi oleh negara-negara Eropa. Walaupun begitu kondisi dan penyelesaian masalah sudah memakai cara Jepang. Pada tahun 1931-1941 terjadi perubahan pemerintahan Jepang yang cukup signifikan. Beberapa hasil penting terjadi dalam upaya perubahan pemerintahan ini. Pertama, bertambahnya jumlah dan pengaruh agensi birokratik Jepang. Lalu terjadi juga penambahan
Thesis Chapters by Gde Aditya Widyatama
Uploads
Papers by Gde Aditya Widyatama
Hukum Humaniter Internasional menjadi penting untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat adanya perang, dengan mengatur perlindungan terhadap kombatan dan non kombatan serta mengatur penggunaan alat dan cara untuk berperang dalam situasi perang dan konflik bersenjata. Untuk mewujudkan penerapan Hukum Humaniter Internasional, dibutuhkan peran dan dukungan berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang terlibat langsung dalam perang atau konflik. Selain itu, institusi-insitusi yang menegakkan Hukum Humaniter Internasional seperti International Committee of the Red Cross dan International Criminal Court pun dibutuhkan dalam menerapkan Hukum Humaniter Internasional, baik memberikan bantuan kemanusiaan pada saat situasi perang maupun memberikan sanksi hukuman bagi pelanggar berat Hukum Humaniter Internasional. Namun, apabila melihat kenyataan yang terjadi, prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional seringkali diabaikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dimana pihak-pihak tersebut terkesan mengutamakan pencapaian kepentingan masing-masing.
Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II merupakan konflik yang melibatkan Republik Chechnya dan Federasi Rusia, yang disebut sebagai konflik paling parah setelah Perang Dingin. Chechnya merupakan wilayah yang terletak di Kaukasus Utara dan menjadi bagian dari Federasi Rusia, yaitu wilayah otonom dengan berbagai macam etnis. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, akibat dari Perang Chechnya telah menjadikan Chechnya menjadi wilayah yang paling hancur lebur di muka bumi. Dalam hal ini, Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II dapat diidentifikasi sebagai konflik bersenjata non internasional, dimana Chechnya merupakan suatu entitas negara yang telah menyatakan kemerdekaan setelah perpecahan Uni Soviet pada bulan Oktober 1991. Hal tersebut yang kemudian menjadi faktor pemicu terjadinya konflik, yaitu bahwa Federasi Rusia kemudian masih memiliki anggapan bahwa Republik Chechnya merupakan bagian dari wilayah negara tersebut setelah tiga tahun menjalankan pemerintahan di luar pemerintahan Federasi Rusia. Perang Chechnya I kemudian pecah pada tahun 1994 hingga 1996, yang diselesaikan melalui Plan of Peaceful Conflict Resolution in Chechnya pada bulan Maret 1996 yang diajukan oleh Presiden Rusia, Boris Yeltsin. Adanya persetujuan tersebut pada akhirnya menandakan pengakuan terhadap Chechnya secara de facto. Meskipun begitu, konflik antara Republik Chechnya dengan Federasi Rusia kembali terjadi dengan adanya upaya serangan oleh pemberontak Dagestan, yaitu Islamic International Brigade. Hal tersebut menyebabkan Federasi Rusia kemudian mengirimkan pasukan pada 1 Oktober 1999 ke wilayah Republik Chechnya. Konflik di antara kedua pihak tersebut berlangsung hingga bulan April 2009, yaitu dalam jangka waktu sepuluh tahun dikarenakan adanya faktor penyebab yang dapat dikatakan kompleks. Adanya pernyataan kemenangan oleh Federasi Rusia yang menyatakan telah menghilangkan gerakan pemberontak menyebabkan pemerintahan Republik Chechnya berakhir. Menurut Richard Sakwa dalam Chechnya: From Past to Future, jumlah korban Perang Chechnya I diperkirakan mencapai 80.000-120.000 orang, sedangkan Perang Chechnya II mengakibatkan adanya 25.000-50.000 orang. Meskipun begitu, jumlah korban baik kombatan maupun non kombatan yang berasal baik dari pemberontak Chechnya maupun angkatan bersenjata Rusia tidak dapat ditentukan sebagai akibat berbagai bentuk pelanggaran Hukum Humaniter Internasional sepert serangan militer, penyiksaan, cleansing, pemerkosaan, bahkan penggunaan tentara anak dan human shield.
Book Reviews by Gde Aditya Widyatama
Thesis Chapters by Gde Aditya Widyatama
Hukum Humaniter Internasional menjadi penting untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat adanya perang, dengan mengatur perlindungan terhadap kombatan dan non kombatan serta mengatur penggunaan alat dan cara untuk berperang dalam situasi perang dan konflik bersenjata. Untuk mewujudkan penerapan Hukum Humaniter Internasional, dibutuhkan peran dan dukungan berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang terlibat langsung dalam perang atau konflik. Selain itu, institusi-insitusi yang menegakkan Hukum Humaniter Internasional seperti International Committee of the Red Cross dan International Criminal Court pun dibutuhkan dalam menerapkan Hukum Humaniter Internasional, baik memberikan bantuan kemanusiaan pada saat situasi perang maupun memberikan sanksi hukuman bagi pelanggar berat Hukum Humaniter Internasional. Namun, apabila melihat kenyataan yang terjadi, prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional seringkali diabaikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dimana pihak-pihak tersebut terkesan mengutamakan pencapaian kepentingan masing-masing.
Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II merupakan konflik yang melibatkan Republik Chechnya dan Federasi Rusia, yang disebut sebagai konflik paling parah setelah Perang Dingin. Chechnya merupakan wilayah yang terletak di Kaukasus Utara dan menjadi bagian dari Federasi Rusia, yaitu wilayah otonom dengan berbagai macam etnis. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, akibat dari Perang Chechnya telah menjadikan Chechnya menjadi wilayah yang paling hancur lebur di muka bumi. Dalam hal ini, Perang Chechnya I dan Perang Chechnya II dapat diidentifikasi sebagai konflik bersenjata non internasional, dimana Chechnya merupakan suatu entitas negara yang telah menyatakan kemerdekaan setelah perpecahan Uni Soviet pada bulan Oktober 1991. Hal tersebut yang kemudian menjadi faktor pemicu terjadinya konflik, yaitu bahwa Federasi Rusia kemudian masih memiliki anggapan bahwa Republik Chechnya merupakan bagian dari wilayah negara tersebut setelah tiga tahun menjalankan pemerintahan di luar pemerintahan Federasi Rusia. Perang Chechnya I kemudian pecah pada tahun 1994 hingga 1996, yang diselesaikan melalui Plan of Peaceful Conflict Resolution in Chechnya pada bulan Maret 1996 yang diajukan oleh Presiden Rusia, Boris Yeltsin. Adanya persetujuan tersebut pada akhirnya menandakan pengakuan terhadap Chechnya secara de facto. Meskipun begitu, konflik antara Republik Chechnya dengan Federasi Rusia kembali terjadi dengan adanya upaya serangan oleh pemberontak Dagestan, yaitu Islamic International Brigade. Hal tersebut menyebabkan Federasi Rusia kemudian mengirimkan pasukan pada 1 Oktober 1999 ke wilayah Republik Chechnya. Konflik di antara kedua pihak tersebut berlangsung hingga bulan April 2009, yaitu dalam jangka waktu sepuluh tahun dikarenakan adanya faktor penyebab yang dapat dikatakan kompleks. Adanya pernyataan kemenangan oleh Federasi Rusia yang menyatakan telah menghilangkan gerakan pemberontak menyebabkan pemerintahan Republik Chechnya berakhir. Menurut Richard Sakwa dalam Chechnya: From Past to Future, jumlah korban Perang Chechnya I diperkirakan mencapai 80.000-120.000 orang, sedangkan Perang Chechnya II mengakibatkan adanya 25.000-50.000 orang. Meskipun begitu, jumlah korban baik kombatan maupun non kombatan yang berasal baik dari pemberontak Chechnya maupun angkatan bersenjata Rusia tidak dapat ditentukan sebagai akibat berbagai bentuk pelanggaran Hukum Humaniter Internasional sepert serangan militer, penyiksaan, cleansing, pemerkosaan, bahkan penggunaan tentara anak dan human shield.