Published Papers by Gumilar Ganjar

Jurnal Tata Kelola Seni, 2022
Bandung, as an aesthetic discourse, has been frequently discussed in the history of Indonesian Ar... more Bandung, as an aesthetic discourse, has been frequently discussed in the history of Indonesian Art. Bandung is often imagined to be particular and peculiar to the general practice of the mainstream. A means by which those particular characteristics were frequently discussed, mediated, and emphasized is through exhibition-making. To examine one of the most recent efforts of reframing Bandung, this article will analyze the premises, approaches, and methods explored in Bandung Contemporary (2013) and contextualize it within Indonesian contemporaneity. BC brought its own 'problematic' context: it was conducted during the downfall of market interest and after Bandung's contemporaneity had been 'identified' by the art public. Given this context and condition, how would BC remain inventive and novel in its exhibitionary discourse? Through curatorial studies, this article will discuss how Bandung Contemporary utilized a sociological perspective to reframe, mediate, and promote their newest talents during those unproductive times. Rather than proposing an 'aesthetic solution' to a sociological problem, BC proposed to respond with a sociological solution: emphasizing and utilizing an exhibition's discourse production and promotional agenda.

Bahasa dan Seni, Aug 2022
Understanding the dialogic relation between tradition and modernity in our current cultural dynam... more Understanding the dialogic relation between tradition and modernity in our current cultural dynamic remains an ‘incomplete project’ that requires careful examination. Approaching and thoroughly interpreting both roles in our society, mainly in how they influenced our current paradigm of culture, continue to pose risks and challenges. This article will explore the works of Gregorius Sidharta Soegijo, a renowned maestro of Bandung modern art, whose conversa¬tional practice proposes a particular means of harmonizing these antagonistic tensions and various derivatives issues that might later follow. By using art criticism as its primary modalities while simultaneously cross-referencing both modern and contemporary aesthetic paradigms, this article will demonstrate how Sidharta’s inclusive and deliberate approach might provide a dialogic site for various antagonist polarities—mainly tradition and moderni¬ty—to coexist within a democratic, horizontal, and productive axis. His audacity in contempla¬ting inward and resorting to his idiosyncrasy would also be highlighted for its contributive nature as the pretext of his attempt to reconcile, resolve, and synthesize the long-desirable harmony between tradition and modernity. These gestures have undergone a consistent, gradual process of internal reflection that touched upon his personal experiences, particularly his encounter with multitudes of cultural values, perspectives, and paradigms that each proposes their significance.
Exhibition Text & Catalogue by Gumilar Ganjar

Telah selama tiga dekade kita percaya bahwa representasi yang melandasi pluralisme itu membawa pr... more Telah selama tiga dekade kita percaya bahwa representasi yang melandasi pluralisme itu membawa praktik seni rupa menjadi lebih produktif dan demokratis. Janji inklusivitas yang diwujudkannya tak jarang membuat kita ‘terlena’ untuk urung mencermati atau bercermin pada tantangan yang mungkin terkandung. Hingga akhirnya terbukti, ia beresiko untuk meretak keterhubungan dan melebarkan pemisahan; tergelincir dalam relativisme nilai yang tak lagi menawarkan sikap toleran yang sebelumnya dibayangkan. Siapa pernah menyangka, sebuah peristiwa seni skala besar sekalipun dapat menjadi arena dimana resiko dan kecelakaan itu terjadi?
Mungkin, yang menjadi sumber persoalan adalah hasrat kita untuk berkuasa mengatur makna—kemudian kenyataan—yang semata dilandaskan pada logika serta bahasa manusia. Kita syaratkan semuanya untuk terlingkup dalam jangkauan dan ukuran kita, dan sementaranya sering tak kita anggap signifikan. Karya seni pun tak bedanya demikian: kita dekatinya sebagai sistem bahasa visual yang dipercaya mewakilkan sebuah hal; menyusul kemudian apresiasi, justifikasi, hingga konsumsi yang ditelusuri dari ragam pencanggihan yang ditawarkan para seniman. Dalam basis operasinya, akurasi dan aktualitas representasi visual yang ditampilkan sering ditangani sebagai kanal tunggal pemaknaan. Terlepas dari nyatanya ragam jasa yang dipetik dan dirasakan dari semangat keberagaman hingga sekarang, bukan berarti pencermatan ulang dan pengembangan menjadi tak relevan untuk dilakukan. Sebagaimana pameran ini hendak mengupayakan, melihat kemungkinan seni kontemporer untuk melampaui fungsi umumnya dalam menghantarkan persoalan, yang lwir-ada, yang seperti ada; untuk mengarah satu kondisi yang jika boleh diajukan, menuju paska representasi.
Setelah yang Lirada telah menghimpun sejumlah karya dari 13 seniman yang operasi representasinya tak lagi ‘konvensional’. Beberapa ‘berlarian’ mewujud seperti bentuk signifikan, beberapa berkelindan dengan abstraksi digital, beberapa bertolak dari intensi dan idiosinkrasi personal, beberapa mempersoalkan alih perwujudan, dan lain sebagainya. Mudah untuk ‘mengira’ karya-karya ini mengetengahkan keutamaan unsur formal, untuk selanjutnya dilabeli abstrak dengan segala turunannya, namun seringkali intensinya tidak selalu demikian. Di baliknya masih tersimpan niatan untuk merespon dan merepresentasikan persoalan, berbagi motivasi dengan karya-karya yang ‘masih‘ representasional. Pendekatan ini menjadikan mereka untuk hadir dalam teritori spekulatif dimana representasi dan non-representasi dapat beririsan hadir bersamaan, menuntut cara-cara baru untuk mendekati dan mengapresiasinya. Tanpa upaya itu, karya-karya tersebut akan terdampar sebagai penanda mengambang yang kemenjadian maknanya terlalu manasuka.
Dalam kondisi yang spekulatif ini, perlu ditawarkan semacam alternatif pendekatan dengan membuka beragam peluang akses pemaknaan. Dengan melampaui mediasi makna representasi visual, terbukalah kemungkinan untuk merangkul aspek, agen, dan aktor lain yang perannya bolehjadi tak kalah signifikan, namun tak secara eksplisit tertampil di permukaan. Melaluinya beragam aktor seperti intuisi seniman, intensi bentuk yang dihadirkan, ‘semesta’ medium dan material, proses penciptaan, pelataran personal, hingga ketaksebangunan aluran sejarah, menemukan strata untuk secara layak turut dipertimbangkan. Di situ perlu dibayangkan adanya semacam gabungan, antara beragam aktor yang berkaitan, yang konfigurasi atas permutasinya dapat perlahan mengantarkan kita mendekati sepenuhnya makna kesenian. Terakhirnya, seluruh gabungan itu perlu pula ‘bergabung’ dengan diri kita selaku apresian, mengharap adanya semacam keterbukaan tentang apa-apa yang mungkin ada di luar jangkauan, praduga, serta penilaian. Nilai guna atas spekulasi ini bolehjadi tak hanya relevan pada karya-karya yang demikian, pada karya yang ‘konvensional’ pun masih ada pengkayaan yang dijanjikan, melengkapi dan memberi ruang pada beragam hal yang tak sempat dan tak perlu dihadirkan, namun tetap sama penting dan berkaitan. Bukankah dalam perkembangan keilmuan paling ‘saintifik’ sekalipun, kebermanfaatan atas spekulasi ini juga mulai dipertimbangkan? Perlu dibayangkannya deka-dimensi sebagai landasan kemenjadian ‘benang’ yang menghubungkan beragam hal yang sebelumnya tak secara empiris dapat dikaitkan? Mengapa seni tak juga mengambil manfaat darinya?

Ganjar Gumilar, 2022
Meski kita hidup di dalamnya, sering kita melihat bahwa alam semesta adalah entitas yang terpisah... more Meski kita hidup di dalamnya, sering kita melihat bahwa alam semesta adalah entitas yang terpisah dari manusia. Banyak pencerminan didapatkan dalam relasi di antaranya. Semula kita merengkuh dan memujanya dalam perasaan kekerdilan, untuk kemudian merasa dapat berkuasa di atasnya hingga menimbulkan kerusakan. Sekarang, pertalian horizontal yang berkesinambungan menjadi hal yang kita upayakan. Semuanya dilakukan sebagai cara mendekati sekaligus memaknai posisi alam bersamaan dengan pengaruhnya terhadap kemanusiaan.
Manusia modern adalah mereka yang paling memberi jarak dengan alam. Seni rupa dan budayanya pun menunjukkan demikian. Mereka merasa hanya melalui cipta yang artifisial, bentuk formalis yang kultural itu dapat dikonstruksikan. Sementara alam yang natural dilihatnya hanya menunjukkan konsekuensi insidental: yang tak-bentuk (formless) - tak cukup kualifikasinya untuk disandingkan dengan yang terbentuk (formalis). Sekian lama potensi dari otonomi tak-bentuk ini ditampik, untuk belakangan dapat kembali dipertimbangkan dalam semangat kemutakhiran yang lebih reflektif terhadap kemanusiaan, termasuk pada beragam ukuran yang dirumuskan, yang salah satunya tentang keterhubungan manusia terhadap semesta dan kenyataan. Beberapa seniman, mulai melihat nilai-guna dari tak bentuk dan meleburnya dalam penciptaan yang berkesejajaran.
Pameran ini akan kemudian lebih jauh menelisik nilai guna dari tak-bentuk itu dalam mencerminkan keterhubungan semesta alam dan manusia. Para seniman di sini, disadari atau tidak, diniatkan atau bukan, dalam penciptaannya membuka peluang untuk melampaui bahasa dalam penunjukkan pertaliannya: melalui pelapisan metafora, dialog internal dengan alam material, peleburan seni bersamaan dengan pengalaman, serta penjangkauan pandangan yang melampaui batasan perseptual. Melalui tak-bentuk ini pun sebetulnya kita dapat mempertimbangkan kemungkinan seni post- representasional: seni yang melampaui dikotomi bentuk dan representasi, seni yang terasa abstrak di permukaan namun masih mempersoalkan di kedalaman, sebuah gejala yang mungkin dapat disebut formalisme mutakhir.

Ganjar Gumilar, 2022
Selama hampir 3 dekade, seni rupa kontemporer kita telah begitu tersaturasi dengan representasi p... more Selama hampir 3 dekade, seni rupa kontemporer kita telah begitu tersaturasi dengan representasi persoalan, sebuah gestur yang dibayangkan dapat membuat seni untuk lebih bertanggung jawab terhadap kondisi sosiokultural masyarakat mutakhir. Paradigma ini mendorong seni untuk menjadi cair, inklusif, kontekstual, sekaligus plural. Hampir semua persoalan dapat dibicarakan melaluinya. Namun boleh dibayangkan, hegemoni ini sebetulnya beresiko menjadi terlampau determinan, mengandung resiko untuk menggeser keutamaan seni pada persoalan yang direpresentasikan alih-alih pada objek seninya sendiri.
Di sisi lain, representasi seni sebetulnya tidak sepenuhnya bisa menjelaskan seluruh fenomena seni kontemporer, ada beberapa gejala dan terobosan dari aktivitas artistik seniman yang menyikapi representasi dengan mendua, menyangsikan, atau melampauinya. Alih-alih benar-benar dimaknai, karya-karya yang beroperasi di batasan atau di luaran representasi seni kemudian ‘dituding’ (salah satunya) untuk menjadi abstrak, yang tentunya canggung dibicarakan dalam kerangka seni kontemporer karena keduanya bertolak dan beroperasi dalam paradigma seni yang berbeda.. Menengarai adanya gejala dan kemungkinan ini, perlu adanya upaya untuk mendekati dan memaknai karya-karya yang boleh jadi menunjukkan sensibilitas pos-representasional, pos-tekstual, atau pos-literal ini. Penyelenggaraan pameran ini pun kemudian, berupaya untuk mencoba berkorespondensi dengannya.
Dari beragam kemungkinan pendekatan, on Representation / Menyoal yang Lirada akan mencoba mengajukan satu solusi untuk memaknai karya-karya yang demikian, yakni dengan sebelumnya memilah dan melerai komponen serta elemen yang membangun dan mengitari karya dan secara emansipatif mendekatinya tanpa hierarki, untuk kemudian melihat potensi-potensi gabungan diantaranya untuk secara gradual sampai kepada makna. Melalui asumsi dan ‘spekulasi’ yang demikian, beberapa problema pemaknaan seperti idiosinkrasi seniman dan nirmakna bentuk murni, dapat sedikitnya lebih terjelaskan.

Ganjar Gumilar, 2021
Persoalan, tekanan, dan masalah adalah hal yang niscaya dalam hidup. Seringkali ia menawarkan ban... more Persoalan, tekanan, dan masalah adalah hal yang niscaya dalam hidup. Seringkali ia menawarkan banyak nilai pemahaman, meski tak jarang proses melaluinya kadang tak menyenangkan. Kita sebetulnya dihadapkan pada beragam pilihan dan cara untuk menyikapinya: untuk tenggelam terbawa dalam kerumitan dan tekanan persoalan, atau menghadapinya dengan keterbukaan dan perasaan lapang. Bagimanapun, problema adalah hal yang sebetulnya mendewasakan.
Mulyana punya cerita tentang hal itu. Belum lama ini ia menerima undangan untuk melakukan residensi di Korea Selatan dan tentunya, perlu mengalami proses karantina dalam kurun waktu yang relatif tidak sebentar. Tak pula ia bayangkan sebelumnya, keterbatasan yang dihadapinya kemudian akan menjadi beban, bahkan pada hal yang sebelumnya begitu 'terberi' seperti makanan, keterbatasan tersebut seperti terasa kian nyata. Dalam situasi yang demikian, Mulyana memilih untuk mensisasatinya melalui hal yang selama ini ia tekuni: menjadikan potensi terapeutik dari penciptaan seni sebagai pijakan menavigasi diri dalam kepungan dan tekanan-tekanan kehidupan yang kadang tak terduga. Alih-alih tenggelam dan terbawa pada persoalan, ia memilih untuk sejenak mengunjungi ambang sadarnya untuk melepaskan segala kepenatan. Ia bermain dengan 'keterbatasan' yang ada di sekitar, yakni makanan, membuatnya menjadi semacam permainan, mewujudkan monster-monster makanan yang alih-alih menyeramkan justru malah menyenangkan, untuk kemudian ia sadari lebih bahkan hingga diangkat menjadi inspirasi untuk karya-karya terbarunya, yang kemudian ditampilkan dalam pameran ini. Sejatinya, psikodinamika yang dilalui dalam proses tersebut sebetulnya tidak sesederhana apa yang semula. Di dalamnya, beragam pertautan antara rasio dan perasaan, dorongan hasrat dan moralitas, resistensi dan keteguhan, bahkan hingga inspirasi dan kreativitas.
Proses mencipta karya yang dihadirkan dalam pameran ini, ‘Bento, Please Cheer Me Up’ menjadi semacam 'peristiwa' yang menemaninya dalam proses karantina yang tidak menyenangkan. Mulyana menggunakan humor dan parodi sebagai salah satu strategi dalam menghadapi persoalan. Ia juga sebetulnya mengajak kita untuk melihat persoalan dalam cara yang lebih ringan, bukan berarti menjadi abai dan apati, namun sebagai pola resistensi yang boleh jadi memberikan ruang pada pikiran sekaligus mempersiapkan diri, untuk nantinya benar-benar melerai dan menyelesaikan persoalan.

Ganjar Gumilar, 2021
Sebagai sebuah paradigma, pluralisme telah begitu baik diterima jika bukan dirayakan oleh masyara... more Sebagai sebuah paradigma, pluralisme telah begitu baik diterima jika bukan dirayakan oleh masyarakat mutakhir. Bagaimana tidak? Ia menolak pemikiran yang hegemonik, mempromosikan kesejajaran, bersifat demokratis, serta terbuka dan akomodatif terhadap (hampir) segalanya. Dalam praktik seni kontemporer, pluralisme menjadi manifestasi dari kembalinya seni pada peradaban, menjadi tempat dimana ragam persoalan kemanusiaan bersama-sama dibicarakan secara bersamaan. Pluralisme dibayangkan membawa sikap toleran yang merangkul, netral yang tanpa prasangka, dan menghargai segala kepentingan. Dilandasinya seni kemudian menjadi sarana untuk mengadvokasikan kepentingan: politik identitas, perjuangan kelas, juga advokasi bagi yang ‘Liyan’.
Apa benar pluralisme itu demikian? Jika ia netral dan tidak pernah memihak, apa semua penilaian menjadi serba relatif? Bukankan premis ‘semua serba relatif’ menganulir dirinya sendiri dengan menjadi absolut? Pluralisme boleh jadi menerima dan menghargai segala perbedaan, namun melaluinya menyatakan ‘kebenaran’ kemudian menjadi beresiko, ia dapat menjadi kabur dan tanpa acuan. Bagaimana mungkin satu hal menjadi benar ketika negasinya tidak bisa menjadi salah? Semenjak di titik terjauhnya konteks apapun dapat dibangun untuk melegitimasi (secara relatif) sebuah versi kebenaran. Bukan berarti bahwa monisme kemudian perlu ditegakkan, bukan pula mengajukan dualisme antagonis sebagai jawaban, namun mendekati kenyataan dengan pluralisme pun sepertinya tidak sepenuhnya menjelaskan.
Sebuah pameran tentunya memiliki keterbatasan jangkauan pembahasan, dan persoalan yang sebelumnya diulas pun belum pula dapat tuntas dibicarakan. Influx: Extended berupaya untuk setidaknya dapat membuka tabir persoalan sehingga perbincangan lanjutan dapat mulai dilakukan. Dalam pameran ini, keberagaman patut diakui masih disikapi secara ‘diplomatis’ dengan menjadi deskriptif melakukan penjangkaran kontekstual pada landasan sosio-kultural-lingkungan dari tiap-tiap unit perkembangan. Setidaknya melalui deskripsi ini sebuah dinamika dapat terbaca, untuk kemudian didalami dan ditelusuri, jika bukan menggambarkan perkembangan seni rupa kontemporer kita selama kurang lebih tiga dekade terakhir.
Terdapat setidaknya 4 ragam gejala, atau sensibilitas estetik yang cukup mengemuka dari karya-karya yang dihadirkan: pertama adalah upaya ‘kembali ke estetika’ dalam ekspresi idiosinkratik paska fenomena seni pembebasan sosial di akhir dekade 1990an, kemudian representasi seni yang masih menjadi dominan pada dekade 2000an, kemudian eksplorasi seni media yang ditopang perkembangan teknologi di dekade yang sama, dan terakhir adalah gejala seni paska representasi yang termanifestasikan dalam bentuk abstrak kontemporer akhir-akhir ini.
Terlihat adanya satu siklus dimana relevansi estetika pada kebudayaan terus menjadi hal yang dibicarakan dan dipentingkan: sempat diutamakan dalam semangat penerimaan modernitas, ditampik mengabdi pada isu sosial dalam krisis politik, menelusup ke dalam individualitas seniman seraya membongkar persoalan kultural dan kontekstual di era pembebasan, hingga kembali direnungkan di tataran fundamental ketika representasi menjadi dominan. Ini menunjukkan bagaimana praktik seni rupa kontemporer, terlepas dari keberagaman yang terasa begitu nyata, sebetulnya tidak berjalan statis tenggelam dalam bentuk eksplorasi tak terbatas dengan mengikuti keberpihakan masing-masing seniman, melainkan terus berkait, berkelindan, dan berdialog dengan arus perkembangan zaman.

Ganjar Gumilar, 2020
Saya rasa, kita menyepakati bahwa karya seni menempati posisi yang penting dalam kebudayaan. Ia d... more Saya rasa, kita menyepakati bahwa karya seni menempati posisi yang penting dalam kebudayaan. Ia dapat menjadi sumber pengetahuan. Menciptakannya perlu didahului riset yang tidak sembarangan. Kendati demikian, penciptaan seni dalam konteks produksi dan ekstraksi pengetahuan masih belum dianggap signifikan. Padahal, dalam proses penciptaan karya, beberapa keutamaan riset sangat mungkin hadir. Seniman melakukan identifikasi masalah pada karya yang juga berfungsi sebagai media presentasi data dan penarikan kesimpulan sekaligus. Penciptaan seni juga merangkul intuisi dan subjektivitas dan menghadirkannya secara bertanggung-jawab, melampaui sentimen ‘konvensional’ atas keduanya yang acapkali dipinggirkan dalam penelitian. Apa ini bukan sebuah kekhususan?
Aulia Ibrahim Yeru, dalam Vial mencoba untuk merespon persoalan ini dengan mengimplementasikan metode ilmiah terstandardisasi dalam praktik penciptaan karyanya. Aul mengangkat konteks sungai Citarum sebagai sebuah ruang, yang dilihat tidak hanya dari paradigma ekologi dan geografi, melainkan juga sosiokultural. Vial dalam konteks pameran ini menjadi sebagai sebuah metafor dari karyanya, yang juga menyimpan dan memerangkap material mikro dari aliran air sungai Citarum, sebagai residu dari manifestasi fisik atas keterhubungan manusia dan ruang yang mengitarinya. Setelahnya, Aul kemudian ‘melaburnya’ dengan pigmen natural dari tanaman tarum (indigofera tinctoria), yang secara ‘manasuka’ ditambatkan pada sungai Citarum, sebagai sebuah fenomena bahasa yang juga kultural.
Meski terlihat menunjukkan kualitas formal yang sederhana nan sublim, karya Aul sejatinya tetap berfungsi sebagai representasi yang bekerja di tataran saintifik sekaligus estetik, menawarkan sebuah potensi dan menjadi bukti dari keutamaan penciptaan seni dalam menghadapi persoalan, dan pada gilirannya, produksi pengetahuan.

Ganjar Gumilar, 2020
Situasi normal baru dimungkingkan melalui beragam aturan dan arahan yang sifatnya membatasi - jik... more Situasi normal baru dimungkingkan melalui beragam aturan dan arahan yang sifatnya membatasi - jika bukan memaksa - dan terkesan menyiratkan jika: ‘Anda turut maka anda selamat’ - yang kadang tidak menyisakan pilihan. Bukan berarti bahwa hal ini kemudian mengurangi kedaulatan dan kebebasan seseorang, namun tetap, kita perlu merenungkan dan mendalaminya lebih jauh. Terutama tentang bagaimana pandemi ini akan melahirkan beragam perubahan, pergeseran di segala lini dan bidang, dan pada gilirannya terhadap kemanusiaan itu sendiri. Pandemi adalah sebuah fenomena global yang dampak turunannya dirasakan di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Sejatinya, pertautan dengan ‘yang global' ini bukan baru kali ini saja kita rasakan, yang kadang begitu saja kita terima. Barangkali jarang diantar kita mau bercermin bahwa: Maukah anda menjalani proses globalisasi dunia? Menerima secara sah seni rupa global? Atau sekarang: menerima pandemi global dengan lapang dada dan hidup dalam situasi ‘normal’ yang berbeda dari biasanya?
Seni seringkali dilihat tanggap pada dinamika zaman. Lantas, bagaimana seni rupa dapat meresponnya? Pameran ini mencoba untuk menyikapi perubahan tersebut dengan melihat dampak apa yang dirasakan seniman dan manifestasi estetik (jika ada) yang muncul dari kondisi yang demikian. Pada pameran ini, ditambatkan imbuhan pasca (post) yang sejatinya dimaksudkan sebagai upaya pencerminan sekaligus melakukan proyeksi di masa yang akan datang, bukan menyatakan bahwa kondisi ini sudah selesai. Bercermin sekaligus menginventarisir proyeksi, adalah sikap dari pameran ini dalam kembali merunut dan mendefinisikan ulang tentang wacana ‘kesekarangan (contemporaeinity) sebagai spirit dari seni rupa saat ini. There and Then, atau ‘di sana dan kemudian’ adalah cara pameran ini dalam menyikapi jargon ‘here and now’ yang mengutamakan pengalaman langsung sebagai hal yang paling esensial. Lantas bagaimana ia tetap relevan jika saat ini seni dialami melalui layar dan beragam ‘simulasi virtual’? - bukan lagi pada apresiasi dan pengalaman langsung sebagaimana sebelumnya?
Sepertinya bagi seniman Bandung, keutamaan nilai ‘here and now’ ini menjadi hal yang cukup diyakini. Pasalnya, mereka adalah seniman yang memiliki kedalaman khusus pada pendalaman dan sensibilitas bentuk. Bagi mereka, deskripsi tekstual dan kuratorial tidak dapat sepenuhnya menjelaskan karya-karya mereka, baik ketika hadir dengan nuansa abstrak yang kuat maupun ketika bersifat representasional. Pun juga pada sifatnya sebagai representasi, seni bagi mereka tidak dapat benar-benar mewakili realitas. Anda kemudian harus ‘mengalami’ seni mereka secara langsung - mengapresiasi dan menelusuri muatan makna simbolik dan muslihat pengungkapan yang terkandung dalam bentuk-bentuk yang dihadirkan. Hidup selalu menyembunyikan ‘sesuatu’, dan melalui pergulatan dengan ekspresi bentuk-bentuk itulah seniman menghadapi tantangan pencarian dan pengungkapan misteri pengalaman hidup. Terhadap para seniman, pameran ‘There and Then’ mengajak merek untuk kembali mencerminkan persoalan yang dialami sebelumnya, sekaligus melihat dan menuju pada hal yang belum ada di sini dan dalam hadir saat ini.

Ganjar Gumilar, 2020
Matter Matters: New Media, Materiality, and The Artworld mencoba untuk mengetengahkan persoalan s... more Matter Matters: New Media, Materiality, and The Artworld mencoba untuk mengetengahkan persoalan sirkulasi karya-karya media baru dalam konteks komodifikasi seni yang mengandung problematikanya sendiri. Satu hal yang dinilai cukup melatari persoalan tersebut adalah sifat dan gejala dematerial media baru yang tidak selalu sesuai dengan paradigma pasar yang umumnya bersandar pada artefaktualitas dan materialitas konvensional. Pameran ini kemudian berupaya untuk menjadi survey dengan menampilkan pilihan karya dari sejumlah seniman yang cukup dikenal mengeksplorasi modus media baru dan cukup konsisten terlibat dalam aktivitas pasar serta melibatkan kolektor untuk memilih dan memamerkan salah satu koleksinya. Sepilihan karya ini kemudian menjadi bahan dari pembacaan dan penelusuran lebih lanjut.
Terdapat sejumlah poin pembacaan yang patut digarisbawahi dari kecenderungan karya yang dihadirkan. Pertama, problema dematerial ‘diatasi’ dengan secara langsung menampilkan material kongkrit seperti objek dan piranti sebagai bagian atau jejak dari karya. Kehadiran konvensi, utamanya dalam karya-karya video, juga menjadi variabel yang cukup mensiasati problematika tersebut. Dari sisi tema sendiri, lingkup persoalan yang direspon masih berkutat pada poros kultural-kemanusiaan alih-alih dalam kompleks kultural-teknologi-kemanusiaan yang sejatinya merupakan potensi eksklusif dari media baru. Sementara poin terakhir yang patut disebutkan adalah tentang posisi elemen digital dari media baru yang nampak belum sepenuhnya disadari dan menjadi persoalan yang diutamakan oleh para seniman.
Melalui survey ringkas yang dijelaskan di atas, kekongkretan material nampaknya masih menjadi hal yang penting dan relevan dalam eksplorasi media baru. Secara sosiologis, kekongkretan material ini masih menjadi karakter yang terkesan ‘mandatoris’ agar karya dapat tersirkulasi dalam aktivitas medan. Kehadiran konvensi yang dibangun secara institusional pun lambat laun mulai melerai materialitas semu media baru untuk kemudian dapat diwadahi. Dari segi pewacanaan sendiri, material dinilai sebagai hal yang dapat memfasilitasi persepsi seni jika bukan sebagai prasyarat manifestasi, dan tidak selalu harus mewujud sebagai substansi fisik. Meninjau ragam pandangan, kecenderungan, dan fenomena yang disebutkan sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa material dalam eksplorasi media baru, bagaimanapun, masih menjadi penting.
College Assignments by Gumilar Ganjar

Tanggapan untuk artilkel e-flux.com/journal/art-without-artists Artikel Art Without Artist yang d... more Tanggapan untuk artilkel e-flux.com/journal/art-without-artists Artikel Art Without Artist yang ditulis oleh Anton Vidolke dalam jurnal e-flux, issue 136, merupakan butir-butir pemikiran Vidolke seputar sejumlah problematika dalam praktik kekuratoran independen secara umum dan dalam konteks global. Judu " seni tanpa seniman " , terutama dengan fokus pemabahasan dalam praktik kekuratoran, mengingatkan penulis pada problematika autorship dalam praktik seni kontemporer. Dalam pengalaman penulis pribadi, isu ini merupakan isu yang tidak baru kali ini diutarakan. Tarik menarik seputar mana yang lebih dominan antara makna karya seni dan pembacaan kuratorial dalam sebuah pameran, dalam ruang seni kontemporer, sepertinya akan terus mencuat ke permukaan selama praktik pameran terus bergulir. Fenomena kekuratoran independen dan penyelenggaraan pameran-pameran seni maupun projek seni yang sifatnya temporer semenjak dekade 1970-an hingga saat ini mendorong kurator untuk menjadi figur yang signifikan dalam praktik seni, dan pada kasus tertentu bahkan menjadi pencipta (author). Jika ditinjau lebih lanjut, fenomena ini menyebabkan posisi kurator menjadi tumpang tindih dengan seniman sebagai figur sentral dalam aspek produksi karya seni. Menurut Vidokle (dan dalam perspektif sosiologis), kurator sebaiknya dipahami sebagai intermediary, sebagai agen mediasi yang bertanggung jawab melakukan perantaraan seni untuk publik dan menggunakan retorika kuratorial sebagai penekanan dan kendaraan bagi publik untuk mampu menginterpretasi karya dengan cukup baik. Dengan memilah kedua hal ini, penulis merasa bahwa aspek authorship dalam kekuratoran dapat dipahami berbeda dengan praktik authorship seniman. Meskipun dipicu dengan judul yang disebutkan sebelumnya, artikel ini sebenarnya membahas 4 poin / fenomena lain yang Vidolke tinjau nampak dalam praktik kekuratoran yang masih membahas kaitan antara kurator dan seniman. Fenomena
Uploads
Published Papers by Gumilar Ganjar
Exhibition Text & Catalogue by Gumilar Ganjar
Mungkin, yang menjadi sumber persoalan adalah hasrat kita untuk berkuasa mengatur makna—kemudian kenyataan—yang semata dilandaskan pada logika serta bahasa manusia. Kita syaratkan semuanya untuk terlingkup dalam jangkauan dan ukuran kita, dan sementaranya sering tak kita anggap signifikan. Karya seni pun tak bedanya demikian: kita dekatinya sebagai sistem bahasa visual yang dipercaya mewakilkan sebuah hal; menyusul kemudian apresiasi, justifikasi, hingga konsumsi yang ditelusuri dari ragam pencanggihan yang ditawarkan para seniman. Dalam basis operasinya, akurasi dan aktualitas representasi visual yang ditampilkan sering ditangani sebagai kanal tunggal pemaknaan. Terlepas dari nyatanya ragam jasa yang dipetik dan dirasakan dari semangat keberagaman hingga sekarang, bukan berarti pencermatan ulang dan pengembangan menjadi tak relevan untuk dilakukan. Sebagaimana pameran ini hendak mengupayakan, melihat kemungkinan seni kontemporer untuk melampaui fungsi umumnya dalam menghantarkan persoalan, yang lwir-ada, yang seperti ada; untuk mengarah satu kondisi yang jika boleh diajukan, menuju paska representasi.
Setelah yang Lirada telah menghimpun sejumlah karya dari 13 seniman yang operasi representasinya tak lagi ‘konvensional’. Beberapa ‘berlarian’ mewujud seperti bentuk signifikan, beberapa berkelindan dengan abstraksi digital, beberapa bertolak dari intensi dan idiosinkrasi personal, beberapa mempersoalkan alih perwujudan, dan lain sebagainya. Mudah untuk ‘mengira’ karya-karya ini mengetengahkan keutamaan unsur formal, untuk selanjutnya dilabeli abstrak dengan segala turunannya, namun seringkali intensinya tidak selalu demikian. Di baliknya masih tersimpan niatan untuk merespon dan merepresentasikan persoalan, berbagi motivasi dengan karya-karya yang ‘masih‘ representasional. Pendekatan ini menjadikan mereka untuk hadir dalam teritori spekulatif dimana representasi dan non-representasi dapat beririsan hadir bersamaan, menuntut cara-cara baru untuk mendekati dan mengapresiasinya. Tanpa upaya itu, karya-karya tersebut akan terdampar sebagai penanda mengambang yang kemenjadian maknanya terlalu manasuka.
Dalam kondisi yang spekulatif ini, perlu ditawarkan semacam alternatif pendekatan dengan membuka beragam peluang akses pemaknaan. Dengan melampaui mediasi makna representasi visual, terbukalah kemungkinan untuk merangkul aspek, agen, dan aktor lain yang perannya bolehjadi tak kalah signifikan, namun tak secara eksplisit tertampil di permukaan. Melaluinya beragam aktor seperti intuisi seniman, intensi bentuk yang dihadirkan, ‘semesta’ medium dan material, proses penciptaan, pelataran personal, hingga ketaksebangunan aluran sejarah, menemukan strata untuk secara layak turut dipertimbangkan. Di situ perlu dibayangkan adanya semacam gabungan, antara beragam aktor yang berkaitan, yang konfigurasi atas permutasinya dapat perlahan mengantarkan kita mendekati sepenuhnya makna kesenian. Terakhirnya, seluruh gabungan itu perlu pula ‘bergabung’ dengan diri kita selaku apresian, mengharap adanya semacam keterbukaan tentang apa-apa yang mungkin ada di luar jangkauan, praduga, serta penilaian. Nilai guna atas spekulasi ini bolehjadi tak hanya relevan pada karya-karya yang demikian, pada karya yang ‘konvensional’ pun masih ada pengkayaan yang dijanjikan, melengkapi dan memberi ruang pada beragam hal yang tak sempat dan tak perlu dihadirkan, namun tetap sama penting dan berkaitan. Bukankah dalam perkembangan keilmuan paling ‘saintifik’ sekalipun, kebermanfaatan atas spekulasi ini juga mulai dipertimbangkan? Perlu dibayangkannya deka-dimensi sebagai landasan kemenjadian ‘benang’ yang menghubungkan beragam hal yang sebelumnya tak secara empiris dapat dikaitkan? Mengapa seni tak juga mengambil manfaat darinya?
Manusia modern adalah mereka yang paling memberi jarak dengan alam. Seni rupa dan budayanya pun menunjukkan demikian. Mereka merasa hanya melalui cipta yang artifisial, bentuk formalis yang kultural itu dapat dikonstruksikan. Sementara alam yang natural dilihatnya hanya menunjukkan konsekuensi insidental: yang tak-bentuk (formless) - tak cukup kualifikasinya untuk disandingkan dengan yang terbentuk (formalis). Sekian lama potensi dari otonomi tak-bentuk ini ditampik, untuk belakangan dapat kembali dipertimbangkan dalam semangat kemutakhiran yang lebih reflektif terhadap kemanusiaan, termasuk pada beragam ukuran yang dirumuskan, yang salah satunya tentang keterhubungan manusia terhadap semesta dan kenyataan. Beberapa seniman, mulai melihat nilai-guna dari tak bentuk dan meleburnya dalam penciptaan yang berkesejajaran.
Pameran ini akan kemudian lebih jauh menelisik nilai guna dari tak-bentuk itu dalam mencerminkan keterhubungan semesta alam dan manusia. Para seniman di sini, disadari atau tidak, diniatkan atau bukan, dalam penciptaannya membuka peluang untuk melampaui bahasa dalam penunjukkan pertaliannya: melalui pelapisan metafora, dialog internal dengan alam material, peleburan seni bersamaan dengan pengalaman, serta penjangkauan pandangan yang melampaui batasan perseptual. Melalui tak-bentuk ini pun sebetulnya kita dapat mempertimbangkan kemungkinan seni post- representasional: seni yang melampaui dikotomi bentuk dan representasi, seni yang terasa abstrak di permukaan namun masih mempersoalkan di kedalaman, sebuah gejala yang mungkin dapat disebut formalisme mutakhir.
Di sisi lain, representasi seni sebetulnya tidak sepenuhnya bisa menjelaskan seluruh fenomena seni kontemporer, ada beberapa gejala dan terobosan dari aktivitas artistik seniman yang menyikapi representasi dengan mendua, menyangsikan, atau melampauinya. Alih-alih benar-benar dimaknai, karya-karya yang beroperasi di batasan atau di luaran representasi seni kemudian ‘dituding’ (salah satunya) untuk menjadi abstrak, yang tentunya canggung dibicarakan dalam kerangka seni kontemporer karena keduanya bertolak dan beroperasi dalam paradigma seni yang berbeda.. Menengarai adanya gejala dan kemungkinan ini, perlu adanya upaya untuk mendekati dan memaknai karya-karya yang boleh jadi menunjukkan sensibilitas pos-representasional, pos-tekstual, atau pos-literal ini. Penyelenggaraan pameran ini pun kemudian, berupaya untuk mencoba berkorespondensi dengannya.
Dari beragam kemungkinan pendekatan, on Representation / Menyoal yang Lirada akan mencoba mengajukan satu solusi untuk memaknai karya-karya yang demikian, yakni dengan sebelumnya memilah dan melerai komponen serta elemen yang membangun dan mengitari karya dan secara emansipatif mendekatinya tanpa hierarki, untuk kemudian melihat potensi-potensi gabungan diantaranya untuk secara gradual sampai kepada makna. Melalui asumsi dan ‘spekulasi’ yang demikian, beberapa problema pemaknaan seperti idiosinkrasi seniman dan nirmakna bentuk murni, dapat sedikitnya lebih terjelaskan.
Mulyana punya cerita tentang hal itu. Belum lama ini ia menerima undangan untuk melakukan residensi di Korea Selatan dan tentunya, perlu mengalami proses karantina dalam kurun waktu yang relatif tidak sebentar. Tak pula ia bayangkan sebelumnya, keterbatasan yang dihadapinya kemudian akan menjadi beban, bahkan pada hal yang sebelumnya begitu 'terberi' seperti makanan, keterbatasan tersebut seperti terasa kian nyata. Dalam situasi yang demikian, Mulyana memilih untuk mensisasatinya melalui hal yang selama ini ia tekuni: menjadikan potensi terapeutik dari penciptaan seni sebagai pijakan menavigasi diri dalam kepungan dan tekanan-tekanan kehidupan yang kadang tak terduga. Alih-alih tenggelam dan terbawa pada persoalan, ia memilih untuk sejenak mengunjungi ambang sadarnya untuk melepaskan segala kepenatan. Ia bermain dengan 'keterbatasan' yang ada di sekitar, yakni makanan, membuatnya menjadi semacam permainan, mewujudkan monster-monster makanan yang alih-alih menyeramkan justru malah menyenangkan, untuk kemudian ia sadari lebih bahkan hingga diangkat menjadi inspirasi untuk karya-karya terbarunya, yang kemudian ditampilkan dalam pameran ini. Sejatinya, psikodinamika yang dilalui dalam proses tersebut sebetulnya tidak sesederhana apa yang semula. Di dalamnya, beragam pertautan antara rasio dan perasaan, dorongan hasrat dan moralitas, resistensi dan keteguhan, bahkan hingga inspirasi dan kreativitas.
Proses mencipta karya yang dihadirkan dalam pameran ini, ‘Bento, Please Cheer Me Up’ menjadi semacam 'peristiwa' yang menemaninya dalam proses karantina yang tidak menyenangkan. Mulyana menggunakan humor dan parodi sebagai salah satu strategi dalam menghadapi persoalan. Ia juga sebetulnya mengajak kita untuk melihat persoalan dalam cara yang lebih ringan, bukan berarti menjadi abai dan apati, namun sebagai pola resistensi yang boleh jadi memberikan ruang pada pikiran sekaligus mempersiapkan diri, untuk nantinya benar-benar melerai dan menyelesaikan persoalan.
Apa benar pluralisme itu demikian? Jika ia netral dan tidak pernah memihak, apa semua penilaian menjadi serba relatif? Bukankan premis ‘semua serba relatif’ menganulir dirinya sendiri dengan menjadi absolut? Pluralisme boleh jadi menerima dan menghargai segala perbedaan, namun melaluinya menyatakan ‘kebenaran’ kemudian menjadi beresiko, ia dapat menjadi kabur dan tanpa acuan. Bagaimana mungkin satu hal menjadi benar ketika negasinya tidak bisa menjadi salah? Semenjak di titik terjauhnya konteks apapun dapat dibangun untuk melegitimasi (secara relatif) sebuah versi kebenaran. Bukan berarti bahwa monisme kemudian perlu ditegakkan, bukan pula mengajukan dualisme antagonis sebagai jawaban, namun mendekati kenyataan dengan pluralisme pun sepertinya tidak sepenuhnya menjelaskan.
Sebuah pameran tentunya memiliki keterbatasan jangkauan pembahasan, dan persoalan yang sebelumnya diulas pun belum pula dapat tuntas dibicarakan. Influx: Extended berupaya untuk setidaknya dapat membuka tabir persoalan sehingga perbincangan lanjutan dapat mulai dilakukan. Dalam pameran ini, keberagaman patut diakui masih disikapi secara ‘diplomatis’ dengan menjadi deskriptif melakukan penjangkaran kontekstual pada landasan sosio-kultural-lingkungan dari tiap-tiap unit perkembangan. Setidaknya melalui deskripsi ini sebuah dinamika dapat terbaca, untuk kemudian didalami dan ditelusuri, jika bukan menggambarkan perkembangan seni rupa kontemporer kita selama kurang lebih tiga dekade terakhir.
Terdapat setidaknya 4 ragam gejala, atau sensibilitas estetik yang cukup mengemuka dari karya-karya yang dihadirkan: pertama adalah upaya ‘kembali ke estetika’ dalam ekspresi idiosinkratik paska fenomena seni pembebasan sosial di akhir dekade 1990an, kemudian representasi seni yang masih menjadi dominan pada dekade 2000an, kemudian eksplorasi seni media yang ditopang perkembangan teknologi di dekade yang sama, dan terakhir adalah gejala seni paska representasi yang termanifestasikan dalam bentuk abstrak kontemporer akhir-akhir ini.
Terlihat adanya satu siklus dimana relevansi estetika pada kebudayaan terus menjadi hal yang dibicarakan dan dipentingkan: sempat diutamakan dalam semangat penerimaan modernitas, ditampik mengabdi pada isu sosial dalam krisis politik, menelusup ke dalam individualitas seniman seraya membongkar persoalan kultural dan kontekstual di era pembebasan, hingga kembali direnungkan di tataran fundamental ketika representasi menjadi dominan. Ini menunjukkan bagaimana praktik seni rupa kontemporer, terlepas dari keberagaman yang terasa begitu nyata, sebetulnya tidak berjalan statis tenggelam dalam bentuk eksplorasi tak terbatas dengan mengikuti keberpihakan masing-masing seniman, melainkan terus berkait, berkelindan, dan berdialog dengan arus perkembangan zaman.
Aulia Ibrahim Yeru, dalam Vial mencoba untuk merespon persoalan ini dengan mengimplementasikan metode ilmiah terstandardisasi dalam praktik penciptaan karyanya. Aul mengangkat konteks sungai Citarum sebagai sebuah ruang, yang dilihat tidak hanya dari paradigma ekologi dan geografi, melainkan juga sosiokultural. Vial dalam konteks pameran ini menjadi sebagai sebuah metafor dari karyanya, yang juga menyimpan dan memerangkap material mikro dari aliran air sungai Citarum, sebagai residu dari manifestasi fisik atas keterhubungan manusia dan ruang yang mengitarinya. Setelahnya, Aul kemudian ‘melaburnya’ dengan pigmen natural dari tanaman tarum (indigofera tinctoria), yang secara ‘manasuka’ ditambatkan pada sungai Citarum, sebagai sebuah fenomena bahasa yang juga kultural.
Meski terlihat menunjukkan kualitas formal yang sederhana nan sublim, karya Aul sejatinya tetap berfungsi sebagai representasi yang bekerja di tataran saintifik sekaligus estetik, menawarkan sebuah potensi dan menjadi bukti dari keutamaan penciptaan seni dalam menghadapi persoalan, dan pada gilirannya, produksi pengetahuan.
Seni seringkali dilihat tanggap pada dinamika zaman. Lantas, bagaimana seni rupa dapat meresponnya? Pameran ini mencoba untuk menyikapi perubahan tersebut dengan melihat dampak apa yang dirasakan seniman dan manifestasi estetik (jika ada) yang muncul dari kondisi yang demikian. Pada pameran ini, ditambatkan imbuhan pasca (post) yang sejatinya dimaksudkan sebagai upaya pencerminan sekaligus melakukan proyeksi di masa yang akan datang, bukan menyatakan bahwa kondisi ini sudah selesai. Bercermin sekaligus menginventarisir proyeksi, adalah sikap dari pameran ini dalam kembali merunut dan mendefinisikan ulang tentang wacana ‘kesekarangan (contemporaeinity) sebagai spirit dari seni rupa saat ini. There and Then, atau ‘di sana dan kemudian’ adalah cara pameran ini dalam menyikapi jargon ‘here and now’ yang mengutamakan pengalaman langsung sebagai hal yang paling esensial. Lantas bagaimana ia tetap relevan jika saat ini seni dialami melalui layar dan beragam ‘simulasi virtual’? - bukan lagi pada apresiasi dan pengalaman langsung sebagaimana sebelumnya?
Sepertinya bagi seniman Bandung, keutamaan nilai ‘here and now’ ini menjadi hal yang cukup diyakini. Pasalnya, mereka adalah seniman yang memiliki kedalaman khusus pada pendalaman dan sensibilitas bentuk. Bagi mereka, deskripsi tekstual dan kuratorial tidak dapat sepenuhnya menjelaskan karya-karya mereka, baik ketika hadir dengan nuansa abstrak yang kuat maupun ketika bersifat representasional. Pun juga pada sifatnya sebagai representasi, seni bagi mereka tidak dapat benar-benar mewakili realitas. Anda kemudian harus ‘mengalami’ seni mereka secara langsung - mengapresiasi dan menelusuri muatan makna simbolik dan muslihat pengungkapan yang terkandung dalam bentuk-bentuk yang dihadirkan. Hidup selalu menyembunyikan ‘sesuatu’, dan melalui pergulatan dengan ekspresi bentuk-bentuk itulah seniman menghadapi tantangan pencarian dan pengungkapan misteri pengalaman hidup. Terhadap para seniman, pameran ‘There and Then’ mengajak merek untuk kembali mencerminkan persoalan yang dialami sebelumnya, sekaligus melihat dan menuju pada hal yang belum ada di sini dan dalam hadir saat ini.
Terdapat sejumlah poin pembacaan yang patut digarisbawahi dari kecenderungan karya yang dihadirkan. Pertama, problema dematerial ‘diatasi’ dengan secara langsung menampilkan material kongkrit seperti objek dan piranti sebagai bagian atau jejak dari karya. Kehadiran konvensi, utamanya dalam karya-karya video, juga menjadi variabel yang cukup mensiasati problematika tersebut. Dari sisi tema sendiri, lingkup persoalan yang direspon masih berkutat pada poros kultural-kemanusiaan alih-alih dalam kompleks kultural-teknologi-kemanusiaan yang sejatinya merupakan potensi eksklusif dari media baru. Sementara poin terakhir yang patut disebutkan adalah tentang posisi elemen digital dari media baru yang nampak belum sepenuhnya disadari dan menjadi persoalan yang diutamakan oleh para seniman.
Melalui survey ringkas yang dijelaskan di atas, kekongkretan material nampaknya masih menjadi hal yang penting dan relevan dalam eksplorasi media baru. Secara sosiologis, kekongkretan material ini masih menjadi karakter yang terkesan ‘mandatoris’ agar karya dapat tersirkulasi dalam aktivitas medan. Kehadiran konvensi yang dibangun secara institusional pun lambat laun mulai melerai materialitas semu media baru untuk kemudian dapat diwadahi. Dari segi pewacanaan sendiri, material dinilai sebagai hal yang dapat memfasilitasi persepsi seni jika bukan sebagai prasyarat manifestasi, dan tidak selalu harus mewujud sebagai substansi fisik. Meninjau ragam pandangan, kecenderungan, dan fenomena yang disebutkan sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa material dalam eksplorasi media baru, bagaimanapun, masih menjadi penting.
College Assignments by Gumilar Ganjar
Mungkin, yang menjadi sumber persoalan adalah hasrat kita untuk berkuasa mengatur makna—kemudian kenyataan—yang semata dilandaskan pada logika serta bahasa manusia. Kita syaratkan semuanya untuk terlingkup dalam jangkauan dan ukuran kita, dan sementaranya sering tak kita anggap signifikan. Karya seni pun tak bedanya demikian: kita dekatinya sebagai sistem bahasa visual yang dipercaya mewakilkan sebuah hal; menyusul kemudian apresiasi, justifikasi, hingga konsumsi yang ditelusuri dari ragam pencanggihan yang ditawarkan para seniman. Dalam basis operasinya, akurasi dan aktualitas representasi visual yang ditampilkan sering ditangani sebagai kanal tunggal pemaknaan. Terlepas dari nyatanya ragam jasa yang dipetik dan dirasakan dari semangat keberagaman hingga sekarang, bukan berarti pencermatan ulang dan pengembangan menjadi tak relevan untuk dilakukan. Sebagaimana pameran ini hendak mengupayakan, melihat kemungkinan seni kontemporer untuk melampaui fungsi umumnya dalam menghantarkan persoalan, yang lwir-ada, yang seperti ada; untuk mengarah satu kondisi yang jika boleh diajukan, menuju paska representasi.
Setelah yang Lirada telah menghimpun sejumlah karya dari 13 seniman yang operasi representasinya tak lagi ‘konvensional’. Beberapa ‘berlarian’ mewujud seperti bentuk signifikan, beberapa berkelindan dengan abstraksi digital, beberapa bertolak dari intensi dan idiosinkrasi personal, beberapa mempersoalkan alih perwujudan, dan lain sebagainya. Mudah untuk ‘mengira’ karya-karya ini mengetengahkan keutamaan unsur formal, untuk selanjutnya dilabeli abstrak dengan segala turunannya, namun seringkali intensinya tidak selalu demikian. Di baliknya masih tersimpan niatan untuk merespon dan merepresentasikan persoalan, berbagi motivasi dengan karya-karya yang ‘masih‘ representasional. Pendekatan ini menjadikan mereka untuk hadir dalam teritori spekulatif dimana representasi dan non-representasi dapat beririsan hadir bersamaan, menuntut cara-cara baru untuk mendekati dan mengapresiasinya. Tanpa upaya itu, karya-karya tersebut akan terdampar sebagai penanda mengambang yang kemenjadian maknanya terlalu manasuka.
Dalam kondisi yang spekulatif ini, perlu ditawarkan semacam alternatif pendekatan dengan membuka beragam peluang akses pemaknaan. Dengan melampaui mediasi makna representasi visual, terbukalah kemungkinan untuk merangkul aspek, agen, dan aktor lain yang perannya bolehjadi tak kalah signifikan, namun tak secara eksplisit tertampil di permukaan. Melaluinya beragam aktor seperti intuisi seniman, intensi bentuk yang dihadirkan, ‘semesta’ medium dan material, proses penciptaan, pelataran personal, hingga ketaksebangunan aluran sejarah, menemukan strata untuk secara layak turut dipertimbangkan. Di situ perlu dibayangkan adanya semacam gabungan, antara beragam aktor yang berkaitan, yang konfigurasi atas permutasinya dapat perlahan mengantarkan kita mendekati sepenuhnya makna kesenian. Terakhirnya, seluruh gabungan itu perlu pula ‘bergabung’ dengan diri kita selaku apresian, mengharap adanya semacam keterbukaan tentang apa-apa yang mungkin ada di luar jangkauan, praduga, serta penilaian. Nilai guna atas spekulasi ini bolehjadi tak hanya relevan pada karya-karya yang demikian, pada karya yang ‘konvensional’ pun masih ada pengkayaan yang dijanjikan, melengkapi dan memberi ruang pada beragam hal yang tak sempat dan tak perlu dihadirkan, namun tetap sama penting dan berkaitan. Bukankah dalam perkembangan keilmuan paling ‘saintifik’ sekalipun, kebermanfaatan atas spekulasi ini juga mulai dipertimbangkan? Perlu dibayangkannya deka-dimensi sebagai landasan kemenjadian ‘benang’ yang menghubungkan beragam hal yang sebelumnya tak secara empiris dapat dikaitkan? Mengapa seni tak juga mengambil manfaat darinya?
Manusia modern adalah mereka yang paling memberi jarak dengan alam. Seni rupa dan budayanya pun menunjukkan demikian. Mereka merasa hanya melalui cipta yang artifisial, bentuk formalis yang kultural itu dapat dikonstruksikan. Sementara alam yang natural dilihatnya hanya menunjukkan konsekuensi insidental: yang tak-bentuk (formless) - tak cukup kualifikasinya untuk disandingkan dengan yang terbentuk (formalis). Sekian lama potensi dari otonomi tak-bentuk ini ditampik, untuk belakangan dapat kembali dipertimbangkan dalam semangat kemutakhiran yang lebih reflektif terhadap kemanusiaan, termasuk pada beragam ukuran yang dirumuskan, yang salah satunya tentang keterhubungan manusia terhadap semesta dan kenyataan. Beberapa seniman, mulai melihat nilai-guna dari tak bentuk dan meleburnya dalam penciptaan yang berkesejajaran.
Pameran ini akan kemudian lebih jauh menelisik nilai guna dari tak-bentuk itu dalam mencerminkan keterhubungan semesta alam dan manusia. Para seniman di sini, disadari atau tidak, diniatkan atau bukan, dalam penciptaannya membuka peluang untuk melampaui bahasa dalam penunjukkan pertaliannya: melalui pelapisan metafora, dialog internal dengan alam material, peleburan seni bersamaan dengan pengalaman, serta penjangkauan pandangan yang melampaui batasan perseptual. Melalui tak-bentuk ini pun sebetulnya kita dapat mempertimbangkan kemungkinan seni post- representasional: seni yang melampaui dikotomi bentuk dan representasi, seni yang terasa abstrak di permukaan namun masih mempersoalkan di kedalaman, sebuah gejala yang mungkin dapat disebut formalisme mutakhir.
Di sisi lain, representasi seni sebetulnya tidak sepenuhnya bisa menjelaskan seluruh fenomena seni kontemporer, ada beberapa gejala dan terobosan dari aktivitas artistik seniman yang menyikapi representasi dengan mendua, menyangsikan, atau melampauinya. Alih-alih benar-benar dimaknai, karya-karya yang beroperasi di batasan atau di luaran representasi seni kemudian ‘dituding’ (salah satunya) untuk menjadi abstrak, yang tentunya canggung dibicarakan dalam kerangka seni kontemporer karena keduanya bertolak dan beroperasi dalam paradigma seni yang berbeda.. Menengarai adanya gejala dan kemungkinan ini, perlu adanya upaya untuk mendekati dan memaknai karya-karya yang boleh jadi menunjukkan sensibilitas pos-representasional, pos-tekstual, atau pos-literal ini. Penyelenggaraan pameran ini pun kemudian, berupaya untuk mencoba berkorespondensi dengannya.
Dari beragam kemungkinan pendekatan, on Representation / Menyoal yang Lirada akan mencoba mengajukan satu solusi untuk memaknai karya-karya yang demikian, yakni dengan sebelumnya memilah dan melerai komponen serta elemen yang membangun dan mengitari karya dan secara emansipatif mendekatinya tanpa hierarki, untuk kemudian melihat potensi-potensi gabungan diantaranya untuk secara gradual sampai kepada makna. Melalui asumsi dan ‘spekulasi’ yang demikian, beberapa problema pemaknaan seperti idiosinkrasi seniman dan nirmakna bentuk murni, dapat sedikitnya lebih terjelaskan.
Mulyana punya cerita tentang hal itu. Belum lama ini ia menerima undangan untuk melakukan residensi di Korea Selatan dan tentunya, perlu mengalami proses karantina dalam kurun waktu yang relatif tidak sebentar. Tak pula ia bayangkan sebelumnya, keterbatasan yang dihadapinya kemudian akan menjadi beban, bahkan pada hal yang sebelumnya begitu 'terberi' seperti makanan, keterbatasan tersebut seperti terasa kian nyata. Dalam situasi yang demikian, Mulyana memilih untuk mensisasatinya melalui hal yang selama ini ia tekuni: menjadikan potensi terapeutik dari penciptaan seni sebagai pijakan menavigasi diri dalam kepungan dan tekanan-tekanan kehidupan yang kadang tak terduga. Alih-alih tenggelam dan terbawa pada persoalan, ia memilih untuk sejenak mengunjungi ambang sadarnya untuk melepaskan segala kepenatan. Ia bermain dengan 'keterbatasan' yang ada di sekitar, yakni makanan, membuatnya menjadi semacam permainan, mewujudkan monster-monster makanan yang alih-alih menyeramkan justru malah menyenangkan, untuk kemudian ia sadari lebih bahkan hingga diangkat menjadi inspirasi untuk karya-karya terbarunya, yang kemudian ditampilkan dalam pameran ini. Sejatinya, psikodinamika yang dilalui dalam proses tersebut sebetulnya tidak sesederhana apa yang semula. Di dalamnya, beragam pertautan antara rasio dan perasaan, dorongan hasrat dan moralitas, resistensi dan keteguhan, bahkan hingga inspirasi dan kreativitas.
Proses mencipta karya yang dihadirkan dalam pameran ini, ‘Bento, Please Cheer Me Up’ menjadi semacam 'peristiwa' yang menemaninya dalam proses karantina yang tidak menyenangkan. Mulyana menggunakan humor dan parodi sebagai salah satu strategi dalam menghadapi persoalan. Ia juga sebetulnya mengajak kita untuk melihat persoalan dalam cara yang lebih ringan, bukan berarti menjadi abai dan apati, namun sebagai pola resistensi yang boleh jadi memberikan ruang pada pikiran sekaligus mempersiapkan diri, untuk nantinya benar-benar melerai dan menyelesaikan persoalan.
Apa benar pluralisme itu demikian? Jika ia netral dan tidak pernah memihak, apa semua penilaian menjadi serba relatif? Bukankan premis ‘semua serba relatif’ menganulir dirinya sendiri dengan menjadi absolut? Pluralisme boleh jadi menerima dan menghargai segala perbedaan, namun melaluinya menyatakan ‘kebenaran’ kemudian menjadi beresiko, ia dapat menjadi kabur dan tanpa acuan. Bagaimana mungkin satu hal menjadi benar ketika negasinya tidak bisa menjadi salah? Semenjak di titik terjauhnya konteks apapun dapat dibangun untuk melegitimasi (secara relatif) sebuah versi kebenaran. Bukan berarti bahwa monisme kemudian perlu ditegakkan, bukan pula mengajukan dualisme antagonis sebagai jawaban, namun mendekati kenyataan dengan pluralisme pun sepertinya tidak sepenuhnya menjelaskan.
Sebuah pameran tentunya memiliki keterbatasan jangkauan pembahasan, dan persoalan yang sebelumnya diulas pun belum pula dapat tuntas dibicarakan. Influx: Extended berupaya untuk setidaknya dapat membuka tabir persoalan sehingga perbincangan lanjutan dapat mulai dilakukan. Dalam pameran ini, keberagaman patut diakui masih disikapi secara ‘diplomatis’ dengan menjadi deskriptif melakukan penjangkaran kontekstual pada landasan sosio-kultural-lingkungan dari tiap-tiap unit perkembangan. Setidaknya melalui deskripsi ini sebuah dinamika dapat terbaca, untuk kemudian didalami dan ditelusuri, jika bukan menggambarkan perkembangan seni rupa kontemporer kita selama kurang lebih tiga dekade terakhir.
Terdapat setidaknya 4 ragam gejala, atau sensibilitas estetik yang cukup mengemuka dari karya-karya yang dihadirkan: pertama adalah upaya ‘kembali ke estetika’ dalam ekspresi idiosinkratik paska fenomena seni pembebasan sosial di akhir dekade 1990an, kemudian representasi seni yang masih menjadi dominan pada dekade 2000an, kemudian eksplorasi seni media yang ditopang perkembangan teknologi di dekade yang sama, dan terakhir adalah gejala seni paska representasi yang termanifestasikan dalam bentuk abstrak kontemporer akhir-akhir ini.
Terlihat adanya satu siklus dimana relevansi estetika pada kebudayaan terus menjadi hal yang dibicarakan dan dipentingkan: sempat diutamakan dalam semangat penerimaan modernitas, ditampik mengabdi pada isu sosial dalam krisis politik, menelusup ke dalam individualitas seniman seraya membongkar persoalan kultural dan kontekstual di era pembebasan, hingga kembali direnungkan di tataran fundamental ketika representasi menjadi dominan. Ini menunjukkan bagaimana praktik seni rupa kontemporer, terlepas dari keberagaman yang terasa begitu nyata, sebetulnya tidak berjalan statis tenggelam dalam bentuk eksplorasi tak terbatas dengan mengikuti keberpihakan masing-masing seniman, melainkan terus berkait, berkelindan, dan berdialog dengan arus perkembangan zaman.
Aulia Ibrahim Yeru, dalam Vial mencoba untuk merespon persoalan ini dengan mengimplementasikan metode ilmiah terstandardisasi dalam praktik penciptaan karyanya. Aul mengangkat konteks sungai Citarum sebagai sebuah ruang, yang dilihat tidak hanya dari paradigma ekologi dan geografi, melainkan juga sosiokultural. Vial dalam konteks pameran ini menjadi sebagai sebuah metafor dari karyanya, yang juga menyimpan dan memerangkap material mikro dari aliran air sungai Citarum, sebagai residu dari manifestasi fisik atas keterhubungan manusia dan ruang yang mengitarinya. Setelahnya, Aul kemudian ‘melaburnya’ dengan pigmen natural dari tanaman tarum (indigofera tinctoria), yang secara ‘manasuka’ ditambatkan pada sungai Citarum, sebagai sebuah fenomena bahasa yang juga kultural.
Meski terlihat menunjukkan kualitas formal yang sederhana nan sublim, karya Aul sejatinya tetap berfungsi sebagai representasi yang bekerja di tataran saintifik sekaligus estetik, menawarkan sebuah potensi dan menjadi bukti dari keutamaan penciptaan seni dalam menghadapi persoalan, dan pada gilirannya, produksi pengetahuan.
Seni seringkali dilihat tanggap pada dinamika zaman. Lantas, bagaimana seni rupa dapat meresponnya? Pameran ini mencoba untuk menyikapi perubahan tersebut dengan melihat dampak apa yang dirasakan seniman dan manifestasi estetik (jika ada) yang muncul dari kondisi yang demikian. Pada pameran ini, ditambatkan imbuhan pasca (post) yang sejatinya dimaksudkan sebagai upaya pencerminan sekaligus melakukan proyeksi di masa yang akan datang, bukan menyatakan bahwa kondisi ini sudah selesai. Bercermin sekaligus menginventarisir proyeksi, adalah sikap dari pameran ini dalam kembali merunut dan mendefinisikan ulang tentang wacana ‘kesekarangan (contemporaeinity) sebagai spirit dari seni rupa saat ini. There and Then, atau ‘di sana dan kemudian’ adalah cara pameran ini dalam menyikapi jargon ‘here and now’ yang mengutamakan pengalaman langsung sebagai hal yang paling esensial. Lantas bagaimana ia tetap relevan jika saat ini seni dialami melalui layar dan beragam ‘simulasi virtual’? - bukan lagi pada apresiasi dan pengalaman langsung sebagaimana sebelumnya?
Sepertinya bagi seniman Bandung, keutamaan nilai ‘here and now’ ini menjadi hal yang cukup diyakini. Pasalnya, mereka adalah seniman yang memiliki kedalaman khusus pada pendalaman dan sensibilitas bentuk. Bagi mereka, deskripsi tekstual dan kuratorial tidak dapat sepenuhnya menjelaskan karya-karya mereka, baik ketika hadir dengan nuansa abstrak yang kuat maupun ketika bersifat representasional. Pun juga pada sifatnya sebagai representasi, seni bagi mereka tidak dapat benar-benar mewakili realitas. Anda kemudian harus ‘mengalami’ seni mereka secara langsung - mengapresiasi dan menelusuri muatan makna simbolik dan muslihat pengungkapan yang terkandung dalam bentuk-bentuk yang dihadirkan. Hidup selalu menyembunyikan ‘sesuatu’, dan melalui pergulatan dengan ekspresi bentuk-bentuk itulah seniman menghadapi tantangan pencarian dan pengungkapan misteri pengalaman hidup. Terhadap para seniman, pameran ‘There and Then’ mengajak merek untuk kembali mencerminkan persoalan yang dialami sebelumnya, sekaligus melihat dan menuju pada hal yang belum ada di sini dan dalam hadir saat ini.
Terdapat sejumlah poin pembacaan yang patut digarisbawahi dari kecenderungan karya yang dihadirkan. Pertama, problema dematerial ‘diatasi’ dengan secara langsung menampilkan material kongkrit seperti objek dan piranti sebagai bagian atau jejak dari karya. Kehadiran konvensi, utamanya dalam karya-karya video, juga menjadi variabel yang cukup mensiasati problematika tersebut. Dari sisi tema sendiri, lingkup persoalan yang direspon masih berkutat pada poros kultural-kemanusiaan alih-alih dalam kompleks kultural-teknologi-kemanusiaan yang sejatinya merupakan potensi eksklusif dari media baru. Sementara poin terakhir yang patut disebutkan adalah tentang posisi elemen digital dari media baru yang nampak belum sepenuhnya disadari dan menjadi persoalan yang diutamakan oleh para seniman.
Melalui survey ringkas yang dijelaskan di atas, kekongkretan material nampaknya masih menjadi hal yang penting dan relevan dalam eksplorasi media baru. Secara sosiologis, kekongkretan material ini masih menjadi karakter yang terkesan ‘mandatoris’ agar karya dapat tersirkulasi dalam aktivitas medan. Kehadiran konvensi yang dibangun secara institusional pun lambat laun mulai melerai materialitas semu media baru untuk kemudian dapat diwadahi. Dari segi pewacanaan sendiri, material dinilai sebagai hal yang dapat memfasilitasi persepsi seni jika bukan sebagai prasyarat manifestasi, dan tidak selalu harus mewujud sebagai substansi fisik. Meninjau ragam pandangan, kecenderungan, dan fenomena yang disebutkan sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa material dalam eksplorasi media baru, bagaimanapun, masih menjadi penting.