Teologi

Ak-pole in this paper is a regular planar map withk vertices. Poles with even degrees were first enumerated by Tutte [9] in 1962 where he obtained a very simple and elegant expression. Using Brown's quadratic method, Bender and Canfield [2] derived two algebraic equations for the generating function of the poles. But the equations seem to be quite complicated for the odd degree case, and so far no progress has been seen in utilizing these equations to derive any result for the number of poles with odd degree. In this paper, we use hypergeometric functions to enumerate poles. We will show that the odd degree case is indeed very different from, and much more complicated than, the even degree case.

Cekungan sedimen yang jumlahnya berkisar antara 60 hingga sekitar 283 buah tersebut tersebar di seluruh pelosok tanah air baik di daratan maupun di lepas pantai. Dari ke 60 cekungan yang ada, 35 telah dieksplorasi yang di antaranya 14 telah berproduksi, 8 buah telah terbukti mengandung hidrokarbon. Dua puluh lima buah cekungan yang belum dieksplorasi SEJARAH PERMINYAKAN INDONESIA BTCO http://www.oilgastra Pengusahaan secara modern minyak bumi dunia terjadi pada saat pemboran minyak bersejarah yang dilakukan oleh Kolonel William Drake di Titusvile, Pennsylvania, Amerika Serikat pada tahun 1859, yang menemukan minyak pada kedalaman 69 kaki. Pemboran minyak pertama di Indonesia telah dilaksanakan pada tahun 1871 di desa Maja, Majalengka, Jawa Barat oleh seorang pengusaha Belanda benama Jan Reerink, namun sumur ini gagal menghasilkan minyak. Titik balik Industri minyak di Indonesia terjadi ketika pada tahun 1885, A.J. Zijkler, seorang pemimpin perkebunan tembakau Belanda berhasil menemukan sumur Telaga Tunggal I yang bernilai komersial di daerah Telaga Said, Pangkalan Brandan, Sumatera Utara.

Setelah zaman para rasuli, Gereja mula-mula terus bergumul dalam upaya untuk memahami dan memformulasikan konsep Allah Tritunggal di tengah konteks polemik dengan pemahaman heretic yang berkembang pada masa itu. Pemahaman konsep Allah Tritunggal secara lengkap seperti yang kita miliki sekarang belum di jumpai dalam tulisan Bapa-bapa Rasuli, antara lain Clement dari Roma, Ignatius, Polycarp.  Konsep Allah Tritunggal baru mulai terlihat dalam tulisan Bapa-bapa Gereja pada abad ke-2 dan ke-3 seperti Justin Martyr, Irenaeus dan Tertullian. Dalam sejarah perkembangan doktrin Allah Tritunggal dari abad ke-2 sampai abad ke-5, pada awalnya perdebatan teologis berlangsung antara Gereja dengan ajaran heretic modalisme, yang berpandangan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus adalah satu pribadi Allah dengan tiga peran. Ajaran ini dilawan oleh Tertullian. Pada tahap berikutnya Gereja berhadapan dengan ajaran heretic Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati, sehingga terselenggara Konsili di Nicaea (325), yang kemudian merumuskan Pengakuan Iman Nicaea. Salah seorang Bapa Gereja yang berperan penting dalam konsili Nicaea adalah Athanasius. Di dalam Pengakuan Nicaea ditegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, Allah sejati dari Allah sejati, yang mempunyai substansi yang sama dengan Allah Bapa.

Setelah Konsili Nicaea, ternyata Arianisme tetap berkembang dan di dalam periode ini Bapa-bapa Kapadokia meneruskan perjuangan Athanasius. Pertikaian teologis dengan Arianisme berakhir di dalam Konsili Konstantinopel (381). Pada masa yang sama, perdebatan teologis lainnya yang dihadapi oleh Gereja adalah dengan ajaran heretic Macedonianisme, yang tidak percaya bahwa Roh Kudus juga adalah Allah sejati. Perdebatan ini juga diselesaikan dalam Konsili Konstantinopel. Perdebatan teologis berikutnya berlangsung ketika Gereja harus menghadapi ajaran heretic Apollinarisme, yang menyangkal bahwa Yesus Kristus mempunyai jiwa manusia (human soul). Apollinarisme juga juga ditolak dalam Konsili Konstantinopel

Sesudah itu, Gereja bergumul untuk memahami natur dan pribadi Kristus. Pergumulan ini dipicu oleh ajaran heretic Nestorianisme yang berpandangan bahwa Yesus Kristus mempunyai dua pribadi dan dua natur yang terpisah serta natur gabungan Allah dan manusia di dalam diriNya. Ajaran heretic ini ditolak di dalam konsili Efesus (431). Dan terakhir, Gereja menghadapi ajaran heretic monofisit yang berpandangan bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu natur. Ajaran ini kemudian ditentang di dalam Konsili Chalcedon (451), dimana para Bapa Gereja mencapai pemahaman serta perumusan final mengenai dua natur (Allah dan manusia) di dalam satu Pribadi Yesus Kristus, yang diyakini oleh Gereja Universal hingga hari ini.

Pada pertengahan masa antara Konsili Nicaea dan Konsili Konstantinopel, hiduplah seorang Bapa Gereja Agustinus (354-430), yang memformulasikan doktrin Allah Tritunggal secara lebih rinci dan komprehensif di dalam bukunya, On the Trinity. Dengan demikian Gereja Universal kini memiliki warisan mengenai doktrin Allah Tritunggal dari Agustinus dan mengenai dua natur Kristus dari Konsili Chalcedon.

Buku ini adalah hasil pergumulan pribadi saya dengan sakit mental dan dalam isu medis dan dunia psikiatri. Saya bergumul lama dengan penyakit psikis yang saya derita sejak tahun 1998. Beberapa kali sampai 5x, saya harus mengalami fase mania dan gejala psikotik yang cukup berat sejak dari tahun 1998-2011. Selama 10 tahun lebih ini saya bergumul dengan depresi, kekacauan mental, keletihan, dan di saat fase mania saya mengalami delusi dan gejala psikotik. Tetapi periode penderitaan ini bukan terus menerus di dalam fase gelap. Ada kalanya saya mengalami keadaan yang cukup lumayan di dalam kondisi pikiran dan emosi.

Pada tahun 2000 ketika mengalami keadaan fase psikotik, saya pernah didiagnosa oleh satu psikiater di Australia bahwa penyakit psikis yang saya derita adalah Schizo Affective Disorder. Label dan definisi penyakit ini sempat lama mengganggu dan menghantui hidup saya. Tahun 2003 saya mengalami kondisi mental yang kacau kembali yang terjadi setelah masa 6 bulan obat-obatan psikiatrik saya diberhentikan secara mendadak tanpa penurunan bertahap. Kemudian tahun 2008 adalah salah satu periode terparah ketika saya mengalami keadaan fase mania dan saya baru mengetahui dari satu psikiater di Indonesia bahwa sebenarnya yang saya alami adalah bukan Schizo Affective Disorder tetapi lebih tepat Bipolar Disorder dengan gejala psikotik.

Sebagai orang Kristen yang percaya, saya bergumul di dalam mengerti apa yang terjadi di dalam hidup saya. Saya terus mencari tahu apa yang salah dengan diri saya. Saya pernah mengira ini adalah karena kuasa gelap. Saya bergumul dan mencari gereja yang berhubungan dengan pengusiran roh jahat. Tetapi semua ini tidak menolong bahkan menyesatkan. Saya kemudian juga dibukakan satu realita bahwa saya memerlukan obat psikiatrik. Tetapi sayapun tidak gampang terima begitu saja. Beberapa kali saya menghentikan pemakaian obat psikiatrik saya dan akhirnya harus kembali ke kondisi yang parah. Tetapi di samping itu di dalam pencarian saya akan jawaban, saya dibukakan satu wawasan dari Konseling Biblika mengenai masalah-masalah yang ada dengan dunia psikiatri.

Buku kecil ini hendak menjelaskan pergumulan saya di dalam bergumul dengan masalah yang saya hadapi dengan dunia psikiatri. Saya menyadari dan percaya bahwa bila seseorang yang bergumul dengan penyakit psikis hanya melihat masalah dirinya dengan label dari dunia psikiatri maka hidup orang itu akan ada di dalam ikatan definisi itu. Hidup akan dikotakkan dan dibelenggu oleh label yang diterima. Dan ini mematikan bagi pemahaman dan pengalaman saya. Saya percaya bahwa tanpa melihat diri sebagai gambar dan rupa Allah yang ada nilai mulia dan dignitas, penderita sakit psikis akan kehilangan makna dan nilai hidupnya.

Ketika pemahaman ilmu di dunia psikiatri sebenarnya bermasalah di dalam presuposisinya yang anti Kristen namun bukan berarti ilmu ini tidak berguna dan tidak menolong bagi penderita sakit psikis. Ketika penderita psikis yang membutuhkan medis namun menolak medis maka sebenarnya dia tidak menggunakan anugerah umum yang Tuhan berikan. Tetapi ketika penderita psikis memeluk semua pemahaman dunia psikiatri tanpa mempunyai pemahaman yang bersifat menebus ( redeem ) dan tanpa bisa memilah pengertiannya maka hal ini juga berbahaya.

Buku ini ditulis untuk membukakan kita apa itu realita dunia psikiatri dan masalahnya dan bagaimana kita harus melihat isu medis dari perspektif Konseling Biblika.

Semoga buku ini boleh menjadi berkat bagi yang membacanya.

Jeffrey Lim

www.limpingen.org

Setelah zaman para rasuli, Gereja mula-mula terus bergumul dalam upaya untuk memahami dan memformulasikan konsep Allah Tritunggal di tengah konteks polemik dengan pemahaman heretic yang berkembang pada masa itu. Pemahaman konsep Allah Tritunggal secara lengkap seperti yang kita miliki sekarang belum di jumpai dalam tulisan Bapa-bapa Rasuli, antara lain Clement dari Roma, Ignatius, Polycarp. Konsep Allah Tritunggal baru mulai terlihat dalam tulisan Bapa-bapa Gereja pada abad ke-2 dan ke-3 seperti Justin Martyr, Irenaeus dan Tertullian. Dalam sejarah perkembangan doktrin Allah Tritunggal dari abad ke-2 sampai abad ke-5, pada awalnya perdebatan teologis berlangsung antara Gereja dengan ajaran heretic modalisme, yang berpandangan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus adalah satu pribadi Allah dengan tiga peran. Ajaran ini dilawan oleh Tertullian. Pada tahap berikutnya Gereja berhadapan dengan ajaran heretic Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati, sehingga terselenggara Konsili di Nicaea (325), yang kemudian merumuskan Pengakuan Iman Nicaea. Salah seorang Bapa Gereja yang berperan penting dalam konsili Nicaea adalah Athanasius. Di dalam Pengakuan Nicaea ditegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, Allah sejati dari Allah sejati, yang mempunyai substansi yang sama dengan Allah Bapa. Setelah Konsili Nicaea, ternyata Arianisme tetap berkembang dan di dalam periode ini Bapa-bapa Kapadokia meneruskan perjuangan Athanasius. Pertikaian teologis dengan Arianisme berakhir di dalam Konsili Konstantinopel (381). Pada masa yang sama, perdebatan teologis lainnya yang dihadapi oleh Gereja adalah dengan ajaran heretic Macedonianisme, yang tidak percaya bahwa Roh Kudus juga adalah Allah sejati. Perdebatan ini juga diselesaikan dalam Konsili Konstantinopel. Perdebatan teologis berikutnya berlangsung ketika Gereja harus menghadapi ajaran heretic Apollinarisme, yang menyangkal bahwa Yesus Kristus mempunyai jiwa manusia (human soul). Apollinarisme juga juga ditolak dalam Konsili Konstantinopel Sesudah itu, Gereja bergumul untuk memahami natur dan pribadi Kristus. Pergumulan ini dipicu oleh ajaran heretic Nestorianisme yang berpandangan bahwa Yesus Kristus mempunyai dua pribadi dan dua natur yang terpisah serta natur gabungan Allah dan manusia di dalam diriNya. Ajaran heretic ini ditolak di dalam konsili Efesus (431). Dan terakhir, Gereja menghadapi ajaran heretic monofisit yang berpandangan bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu natur. Ajaran ini kemudian ditentang di dalam Konsili Chalcedon (451), dimana para Bapa Gereja mencapai pemahaman serta perumusan final mengenai dua natur (Allah dan manusia) di dalam satu Pribadi Yesus Kristus, yang diyakini oleh Gereja Universal hingga hari ini. Pada pertengahan masa antara Konsili Nicaea dan Konsili Konstantinopel, hiduplah seorang Bapa Gereja Agustinus (354-430), yang memformulasikan doktrin Allah Tritunggal secara lebih rinci dan komprehensif di dalam bukunya, On the Trinity. Dengan demikian Gereja Universal kini memiliki warisan mengenai doktrin Allah Tritunggal dari Agustinus dan mengenai dua natur Kristus dari Konsili Chalcedon.

Setelah zaman para rasuli, Gereja mula-mula terus bergumul dalam upaya untuk memahami dan memformulasikan konsep Allah Tritunggal di tengah konteks polemik dengan pemahaman heretic yang berkembang pada masa itu. Pemahaman konsep Allah Tritunggal secara lengkap seperti yang kita miliki sekarang belum di jumpai dalam tulisan Bapa-bapa Rasuli, antara lain Clement dari Roma, Ignatius, Polycarp. Konsep Allah Tritunggal baru mulai terlihat dalam tulisan Bapa-bapa Gereja pada abad ke-2 dan ke-3 seperti Justin Martyr, Irenaeus dan Tertullian. Dalam sejarah perkembangan doktrin Allah Tritunggal dari abad ke-2 sampai abad ke-5, pada awalnya perdebatan teologis berlangsung antara Gereja dengan ajaran heretic modalisme, yang berpandangan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus adalah satu pribadi Allah dengan tiga peran. Ajaran ini dilawan oleh Tertullian. Pada tahap berikutnya Gereja berhadapan dengan ajaran heretic Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati, sehingga terselenggara Konsili di Nicaea (325), yang kemudian merumuskan Pengakuan Iman Nicaea. Salah seorang Bapa Gereja yang berperan penting dalam konsili Nicaea adalah Athanasius. Di dalam Pengakuan Nicaea ditegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, Allah sejati dari Allah sejati, yang mempunyai substansi yang sama dengan Allah Bapa. Setelah Konsili Nicaea, ternyata Arianisme tetap berkembang dan di dalam periode ini Bapa-bapa Kapadokia meneruskan perjuangan Athanasius. Pertikaian teologis dengan Arianisme berakhir di dalam Konsili Konstantinopel (381). Pada masa yang sama, perdebatan teologis lainnya yang dihadapi oleh Gereja adalah dengan ajaran heretic Macedonianisme, yang tidak percaya bahwa Roh Kudus juga adalah Allah sejati. Perdebatan ini juga diselesaikan dalam Konsili Konstantinopel. Perdebatan teologis berikutnya berlangsung ketika Gereja harus menghadapi ajaran heretic Apollinarisme, yang menyangkal bahwa Yesus Kristus mempunyai jiwa manusia (human soul). Apollinarisme juga juga ditolak dalam Konsili Konstantinopel Sesudah itu, Gereja bergumul untuk memahami natur dan pribadi Kristus. Pergumulan ini dipicu oleh ajaran heretic Nestorianisme yang berpandangan bahwa Yesus Kristus mempunyai dua pribadi dan dua natur yang terpisah serta natur gabungan Allah dan manusia di dalam diriNya. Ajaran heretic ini ditolak di dalam konsili Efesus (431). Dan terakhir, Gereja menghadapi ajaran heretic monofisit yang berpandangan bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu natur. Ajaran ini kemudian ditentang di dalam Konsili Chalcedon (451), dimana para Bapa Gereja mencapai pemahaman serta perumusan final mengenai dua natur (Allah dan manusia) di dalam satu Pribadi Yesus Kristus, yang diyakini oleh Gereja Universal hingga hari ini. Pada pertengahan masa antara Konsili Nicaea dan Konsili Konstantinopel, hiduplah seorang Bapa Gereja Agustinus (354-430), yang memformulasikan doktrin Allah Tritunggal secara lebih rinci dan komprehensif di dalam bukunya, On the Trinity. Dengan demikian Gereja Universal kini memiliki warisan mengenai doktrin Allah Tritunggal dari Agustinus dan mengenai dua natur Kristus dari Konsili Chalcedon.

Setelah zaman para rasuli, Gereja mula-mula terus bergumul dalam upaya untuk memahami dan memformulasikan konsep Allah Tritunggal di tengah konteks polemik dengan pemahaman heretic yang berkembang pada masa itu. Pemahaman konsep Allah Tritunggal secara lengkap seperti yang kita miliki sekarang belum di jumpai dalam tulisan Bapa-bapa Rasuli, antara lain Clement dari Roma, Ignatius, Polycarp. Konsep Allah Tritunggal baru mulai terlihat dalam tulisan Bapa-bapa Gereja pada abad ke-2 dan ke-3 seperti Justin Martyr, Irenaeus dan Tertullian. Dalam sejarah perkembangan doktrin Allah Tritunggal dari abad ke-2 sampai abad ke-5, pada awalnya perdebatan teologis berlangsung antara Gereja dengan ajaran heretic modalisme, yang berpandangan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus adalah satu pribadi Allah dengan tiga peran. Ajaran ini dilawan oleh Tertullian. Pada tahap berikutnya Gereja berhadapan dengan ajaran heretic Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati, sehingga terselenggara Konsili di Nicaea (325), yang kemudian merumuskan Pengakuan Iman Nicaea. Salah seorang Bapa Gereja yang berperan penting dalam konsili Nicaea adalah Athanasius. Di dalam Pengakuan Nicaea ditegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, Allah sejati dari Allah sejati, yang mempunyai substansi yang sama dengan Allah Bapa. Setelah Konsili Nicaea, ternyata Arianisme tetap berkembang dan di dalam periode ini Bapa-bapa Kapadokia meneruskan perjuangan Athanasius. Pertikaian teologis dengan Arianisme berakhir di dalam Konsili Konstantinopel (381). Pada masa yang sama, perdebatan teologis lainnya yang dihadapi oleh Gereja adalah dengan ajaran heretic Macedonianisme, yang tidak percaya bahwa Roh Kudus juga adalah Allah sejati. Perdebatan ini juga diselesaikan dalam Konsili Konstantinopel. Perdebatan teologis berikutnya berlangsung ketika Gereja harus menghadapi ajaran heretic Apollinarisme, yang menyangkal bahwa Yesus Kristus mempunyai jiwa manusia (human soul). Apollinarisme juga juga ditolak dalam Konsili Konstantinopel Sesudah itu, Gereja bergumul untuk memahami natur dan pribadi Kristus. Pergumulan ini dipicu oleh ajaran heretic Nestorianisme yang berpandangan bahwa Yesus Kristus mempunyai dua pribadi dan dua natur yang terpisah serta natur gabungan Allah dan manusia di dalam diriNya. Ajaran heretic ini ditolak di dalam konsili Efesus (431). Dan terakhir, Gereja menghadapi ajaran heretic monofisit yang berpandangan bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu natur. Ajaran ini kemudian ditentang di dalam Konsili Chalcedon (451), dimana para Bapa Gereja mencapai pemahaman serta perumusan final mengenai dua natur (Allah dan manusia) di dalam satu Pribadi Yesus Kristus, yang diyakini oleh Gereja Universal hingga hari ini. Pada pertengahan masa antara Konsili Nicaea dan Konsili Konstantinopel, hiduplah seorang Bapa Gereja Agustinus (354-430), yang memformulasikan doktrin Allah Tritunggal secara lebih rinci dan komprehensif di dalam bukunya, On the Trinity. Dengan demikian Gereja Universal kini memiliki warisan mengenai doktrin Allah Tritunggal dari Agustinus dan mengenai dua natur Kristus dari Konsili Chalcedon.

Setelah zaman para rasuli, Gereja mula-mula terus bergumul dalam upaya untuk memahami dan memformulasikan konsep Allah Tritunggal di tengah konteks polemik dengan pemahaman heretic yang berkembang pada masa itu. Pemahaman konsep Allah Tritunggal secara lengkap seperti yang kita miliki sekarang belum di jumpai dalam tulisan Bapa-bapa Rasuli, antara lain Clement dari Roma, Ignatius, Polycarp. Konsep Allah Tritunggal baru mulai terlihat dalam tulisan Bapa-bapa Gereja pada abad ke-2 dan ke-3 seperti Justin Martyr, Irenaeus dan Tertullian. Dalam sejarah perkembangan doktrin Allah Tritunggal dari abad ke-2 sampai abad ke-5, pada awalnya perdebatan teologis berlangsung antara Gereja dengan ajaran heretic modalisme, yang berpandangan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus adalah satu pribadi Allah dengan tiga peran. Ajaran ini dilawan oleh Tertullian. Pada tahap berikutnya Gereja berhadapan dengan ajaran heretic Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati, sehingga terselenggara Konsili di Nicaea (325), yang kemudian merumuskan Pengakuan Iman Nicaea. Salah seorang Bapa Gereja yang berperan penting dalam konsili Nicaea adalah Athanasius. Di dalam Pengakuan Nicaea ditegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, Allah sejati dari Allah sejati, yang mempunyai substansi yang sama dengan Allah Bapa. Setelah Konsili Nicaea, ternyata Arianisme tetap berkembang dan di dalam periode ini Bapa-bapa Kapadokia meneruskan perjuangan Athanasius. Pertikaian teologis dengan Arianisme berakhir di dalam Konsili Konstantinopel (381). Pada masa yang sama, perdebatan teologis lainnya yang dihadapi oleh Gereja adalah dengan ajaran heretic Macedonianisme, yang tidak percaya bahwa Roh Kudus juga adalah Allah sejati. Perdebatan ini juga diselesaikan dalam Konsili Konstantinopel. Perdebatan teologis berikutnya berlangsung ketika Gereja harus menghadapi ajaran heretic Apollinarisme, yang menyangkal bahwa Yesus Kristus mempunyai jiwa manusia (human soul). Apollinarisme juga juga ditolak dalam Konsili Konstantinopel Sesudah itu, Gereja bergumul untuk memahami natur dan pribadi Kristus. Pergumulan ini dipicu oleh ajaran heretic Nestorianisme yang berpandangan bahwa Yesus Kristus mempunyai dua pribadi dan dua natur yang terpisah serta natur gabungan Allah dan manusia di dalam diriNya. Ajaran heretic ini ditolak di dalam konsili Efesus (431). Dan terakhir, Gereja menghadapi ajaran heretic monofisit yang berpandangan bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu natur. Ajaran ini kemudian ditentang di dalam Konsili Chalcedon (451), dimana para Bapa Gereja mencapai pemahaman serta perumusan final mengenai dua natur (Allah dan manusia) di dalam satu Pribadi Yesus Kristus, yang diyakini oleh Gereja Universal hingga hari ini. Pada pertengahan masa antara Konsili Nicaea dan Konsili Konstantinopel, hiduplah seorang Bapa Gereja Agustinus (354-430), yang memformulasikan doktrin Allah Tritunggal secara lebih rinci dan komprehensif di dalam bukunya, On the Trinity. Dengan demikian Gereja Universal kini memiliki warisan mengenai doktrin Allah Tritunggal dari Agustinus dan mengenai dua natur Kristus dari Konsili Chalcedon.

Setelah zaman para rasuli, Gereja mula-mula terus bergumul dalam upaya untuk memahami dan memformulasikan konsep Allah Tritunggal di tengah konteks polemik dengan pemahaman heretic yang berkembang pada masa itu. Pemahaman konsep Allah Tritunggal secara lengkap seperti yang kita miliki sekarang belum di jumpai dalam tulisan Bapa-bapa Rasuli, antara lain Clement dari Roma, Ignatius, Polycarp. Konsep Allah Tritunggal baru mulai terlihat dalam tulisan Bapa-bapa Gereja pada abad ke-2 dan ke-3 seperti Justin Martyr, Irenaeus dan Tertullian. Dalam sejarah perkembangan doktrin Allah Tritunggal dari abad ke-2 sampai abad ke-5, pada awalnya perdebatan teologis berlangsung antara Gereja dengan ajaran heretic modalisme, yang berpandangan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus adalah satu pribadi Allah dengan tiga peran. Ajaran ini dilawan oleh Tertullian. Pada tahap berikutnya Gereja berhadapan dengan ajaran heretic Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati, sehingga terselenggara Konsili di Nicaea (325), yang kemudian merumuskan Pengakuan Iman Nicaea. Salah seorang Bapa Gereja yang berperan penting dalam konsili Nicaea adalah Athanasius. Di dalam Pengakuan Nicaea ditegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, Allah sejati dari Allah sejati, yang mempunyai substansi yang sama dengan Allah Bapa. Setelah Konsili Nicaea, ternyata Arianisme tetap berkembang dan di dalam periode ini Bapa-bapa Kapadokia meneruskan perjuangan Athanasius. Pertikaian teologis dengan Arianisme berakhir di dalam Konsili Konstantinopel (381). Pada masa yang sama, perdebatan teologis lainnya yang dihadapi oleh Gereja adalah dengan ajaran heretic Macedonianisme, yang tidak percaya bahwa Roh Kudus juga adalah Allah sejati. Perdebatan ini juga diselesaikan dalam Konsili Konstantinopel. Perdebatan teologis berikutnya berlangsung ketika Gereja harus menghadapi ajaran heretic Apollinarisme, yang menyangkal bahwa Yesus Kristus mempunyai jiwa manusia (human soul). Apollinarisme juga juga ditolak dalam Konsili Konstantinopel Sesudah itu, Gereja bergumul untuk memahami natur dan pribadi Kristus. Pergumulan ini dipicu oleh ajaran heretic Nestorianisme yang berpandangan bahwa Yesus Kristus mempunyai dua pribadi dan dua natur yang terpisah serta natur gabungan Allah dan manusia di dalam diriNya. Ajaran heretic ini ditolak di dalam konsili Efesus (431). Dan terakhir, Gereja menghadapi ajaran heretic monofisit yang berpandangan bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu natur. Ajaran ini kemudian ditentang di dalam Konsili Chalcedon (451), dimana para Bapa Gereja mencapai pemahaman serta perumusan final mengenai dua natur (Allah dan manusia) di dalam satu Pribadi Yesus Kristus, yang diyakini oleh Gereja Universal hingga hari ini. Pada pertengahan masa antara Konsili Nicaea dan Konsili Konstantinopel, hiduplah seorang Bapa Gereja Agustinus (354-430), yang memformulasikan doktrin Allah Tritunggal secara lebih rinci dan komprehensif di dalam bukunya, On the Trinity. Dengan demikian Gereja Universal kini memiliki warisan mengenai doktrin Allah Tritunggal dari Agustinus dan mengenai dua natur Kristus dari Konsili Chalcedon.

Setelah zaman para rasuli, Gereja mula-mula terus bergumul dalam upaya untuk memahami dan memformulasikan konsep Allah Tritunggal di tengah konteks polemik dengan pemahaman heretic yang berkembang pada masa itu. Pemahaman konsep Allah Tritunggal secara lengkap seperti yang kita miliki sekarang belum di jumpai dalam tulisan Bapa-bapa Rasuli, antara lain Clement dari Roma, Ignatius, Polycarp. Konsep Allah Tritunggal baru mulai terlihat dalam tulisan Bapa-bapa Gereja pada abad ke-2 dan ke-3 seperti Justin Martyr, Irenaeus dan Tertullian. Dalam sejarah perkembangan doktrin Allah Tritunggal dari abad ke-2 sampai abad ke-5, pada awalnya perdebatan teologis berlangsung antara Gereja dengan ajaran heretic modalisme, yang berpandangan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus adalah satu pribadi Allah dengan tiga peran. Ajaran ini dilawan oleh Tertullian. Pada tahap berikutnya Gereja berhadapan dengan ajaran heretic Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati, sehingga terselenggara Konsili di Nicaea (325), yang kemudian merumuskan Pengakuan Iman Nicaea. Salah seorang Bapa Gereja yang berperan penting dalam konsili Nicaea adalah Athanasius. Di dalam Pengakuan Nicaea ditegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, Allah sejati dari Allah sejati, yang mempunyai substansi yang sama dengan Allah Bapa. Setelah Konsili Nicaea, ternyata Arianisme tetap berkembang dan di dalam periode ini Bapa-bapa Kapadokia meneruskan perjuangan Athanasius. Pertikaian teologis dengan Arianisme berakhir di dalam Konsili Konstantinopel (381). Pada masa yang sama, perdebatan teologis lainnya yang dihadapi oleh Gereja adalah dengan ajaran heretic Macedonianisme, yang tidak percaya bahwa Roh Kudus juga adalah Allah sejati. Perdebatan ini juga diselesaikan dalam Konsili Konstantinopel. Perdebatan teologis berikutnya berlangsung ketika Gereja harus menghadapi ajaran heretic Apollinarisme, yang menyangkal bahwa Yesus Kristus mempunyai jiwa manusia (human soul). Apollinarisme juga juga ditolak dalam Konsili Konstantinopel Sesudah itu, Gereja bergumul untuk memahami natur dan pribadi Kristus. Pergumulan ini dipicu oleh ajaran heretic Nestorianisme yang berpandangan bahwa Yesus Kristus mempunyai dua pribadi dan dua natur yang terpisah serta natur gabungan Allah dan manusia di dalam diriNya. Ajaran heretic ini ditolak di dalam konsili Efesus (431). Dan terakhir, Gereja menghadapi ajaran heretic monofisit yang berpandangan bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu natur. Ajaran ini kemudian ditentang di dalam Konsili Chalcedon (451), dimana para Bapa Gereja mencapai pemahaman serta perumusan final mengenai dua natur (Allah dan manusia) di dalam satu Pribadi Yesus Kristus, yang diyakini oleh Gereja Universal hingga hari ini. Pada pertengahan masa antara Konsili Nicaea dan Konsili Konstantinopel, hiduplah seorang Bapa Gereja Agustinus (354-430), yang memformulasikan doktrin Allah Tritunggal secara lebih rinci dan komprehensif di dalam bukunya, On the Trinity. Dengan demikian Gereja Universal kini memiliki warisan mengenai doktrin Allah Tritunggal dari Agustinus dan mengenai dua natur Kristus dari Konsili Chalcedon.

Abstrak: Menurut kaum pluralis agama dalam paradigma lama, respon manusia yang beragam terhadap yang absolut, yang satu itu. Itulah yang melahirkan pluralitas agama-agama. Tak ada agama yang superior dan inferior, semua agama pada hakikatnya adalah sama. Jika agama-agama yang beragam tersebut berasal dari sumber yang sama, maka tentu ada jalan kembali kepada yang satu itu. Jalan kembali itu bagi kaum pluralisme agama paradigma lama merupakan, ortodoksi kontemporer.Tulisan ini akan mengkritisi pandangan tersebut, kegagalannya, dan kemudian menawarkan konsep pluralisme agama dalam paradigma baru. Kata Kunci: Pluralitas, pluralisme agama, paradigma lama, baru, ortodoksi kontemporer, keselamatan.

Di Indonesia khususnya, 'politik identitas' mendapatkan ruang secara hukum, kebebasan dalam membangun partai agama diklaim sebagai perwujudan hak kebebasan yang tidak boleh diberangus. Tetapi jika kebebasan tersebut akhirnya akan membawa Indonesia pada jurang kehancuran, yaitu terciptanya pemerintahan yang absolutis dan membelenggu kebebasan, maka bisa jadi kebebasan tidak lagi menjadi kebebasan, karena ia akan menjerumuskan manusia ke dalam jurang yang jauh dari kebebasan. Dan jika kriteria diatas dipadukan dengan "hegemoni agama" maka akan menjadi suatu ancaman bagi kesatuan suatu bangsa majemuk. Hegemoni agama merupakan sesuatu yang berbahaya bagi demokrasi, sebagaimana terjadi dalam abad pertengahan, ketika agama dan negara mengalami penyatuan dan melahirkan negara yang tunduk kepada gereja, lalu lahirlah 'pemerintahan despotis.' Dan jika kriteria diatas dipadukan maka akan menjadi suatu ancaman bagi kesatuan bangsa yang majemuk ini.

Atas nama stabilitas politik, Tito Karnavian melabrak ketetapan pendahulunya dengan menempatkan salah seorang Cagub Jakarta menjadi tersangka. Panglima TNI Gatot Nurmantyo sempat mengingatkan bahwa kebijakan tersebut bisa menjadi preseden buruk pada Pemilihan Kepala Daerah yang sedang masuk masa kampanye. Polisi bisa disibukkan dengan banyaknya tuntutan kelompokkelompok dengan tujuan memenangkan "jagoannya".

Dissertation entitled "Policy Evaluation Indonesian National Qualifications Framework for Higher Education Sector" focused on the evaluation of the formulation of national qualifications frameworks Indonesian higher education. This study examined the law in addition to the policies of the Indonesian National Qualification Framework set also researching colleges response to the policy of the Indonesian national Qualifications Framework conducted at three universities in Jakarta and Tangerang. Data were collected through interview, observation given questionnaire and documents, as well as a variety of sources. The results of this study indicate that the formulation of national policies Qualifications Framework Indonesia

Artikel yang berjudul "Ambiguitas Diferensiasi Agama dan Negara di Indonesia" ini fokus membahas mengenai bagaimanakah hubungan agama dan negara yang tidak saling menaklukkan. Pertama-tama dipaparkan mengenai riset-riset mutakhir mengenai hubungan agama dan negara, dan dasar teori yang mendasarinya, kemudian dipaparkan teori pembedaan agama dan negara sebagai jalan tengah terbaik dari hubungan agama dan negara yang tidak saling menaklukkan. Setelah itu dipaparkan konsep diferensiasi agama dan negara menurut Pancasila, dan ambiguitas yang terjadi terhadap kebijakan pembedaan agama dan negara di Indonesia. Tulisan ini menemukan bahwa pembedaan Agama dan Negara menurut Pancasila memiliki dasar teori yang kuat, dan relevan untuk Indonesia, hanya saja ambiguitas pembedaan agama dan negara itu masih terjadi deskriminasi terhadap agama tertentu masih berlangsung. Kata kunci: Agama, Negara, Pancasila, pembedaan agama dan negara Pendahuluan Konflik antar agama dan negara, agama dan agama adalah realitas pada banyak negara. Negara sekular yang mendasari pandangannya pada keyakinan bahwa pelan-pelan agama akan kehilangan perngaruhnya ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Hingga saat ini agama terus memiliki pengaruh dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Sebaliknya negara agama yang menempatkan agama tertentu sebagai agama negara terbukti telah mendeskriminasikan agama tertentu. Agama dan negara tampaknya tidak dapat dipisahkan, namun agama dan negara juga tidak bisa saling menaklukkan. Hubungan antara agama dan negara yang tidak saling menaklukkan ini tampak dalam hubungan agama dan negara di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Apalagi hubungan antara agama dan negara ini merupakan sebuah kesepakatan Bersama. Pertanyaanya kemudian apakah ada dasar teori hubungan agama dan negara yang didasarkan sebuah kompromi bersama sebagaimana ditetapkannya Pancasila sebagai dasar hubungan agama dan negara yang tidak saling menaklukkan?

Abstrak. Artikel yang berjudul Evaluasi terhadap Rumusan Pernyataan Pastoral Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) 28 Mei 2016 tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transjender) fokus pada evaluasi terhadap rumusan Pernyataan Pastoral MPH PGI yang berisi hinbauan terhadap gereja-gereja di bawah PGI, masyarakat dan negara. Evaluasi ini didasarkan pada konteks gereja-gereja di bawah PGI yang terbagi dua, yakni gereja-gereja yang menolak orientasi seksual LGBT, dan sebagian lagi yang menerima orientasi seksual LGBT. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode evaluasi rumusan kebijakan, secara khusus tentang bagaimana proses perumusan kebijakan itu dihasilkan, dan isi dari rumusan kebijakan tersebut. Temuan tulisan ini adalah Pernyataan Pastoral MPH-PGI tentang LGBT merupakan rumusan kebijakan elite MPL-PGI yang lebih berpihak kepada kelompok-kelompok yang menerima orientasi seksual LGBT dan kurang memperhatikan pandangan mereka yang menolak orientasi seksual LGBT. Kajian ini juga menemukan bahwa Pernyataan Pastoral MPL-PGI kurang memahami konteks yakni gereja-gereja anggota PGI, sehingga Pernyataan Pastoral itu bukannya menjadi solusi, sebaliknya telah menimbulkan kontroversi dikalangan gereja-gereja PGI itu sendiri. Kurangnya pemahaman MPL-PGI terhadap konteks agama-agama di Indonesia secara lebih luas terlihat pada himbauan terhadap negara untuk menerima orientasi seksual LGBT.

This article with a title, "Evaluation of the Formulation of Pastoral Statement from CCI's (Church Council of Indonesia) Body of Committees", dated May 28th, 2016, about LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) focuses on the evaluation of the formulation of Pastoral Statement from CCI's BoC which contains an appeal to the member churches of CCI, the society, and the nation. This valuation is based on the context of the member churches of CCI which is divided into two, first, churches which reject LGBT sexual orientation, and some others which receive LGBT sexual orientation. The research methodology which is being used here is the method of evaluation of the policy formulation, especially about how the process of policy formulation is being produced, and the content of that policy formulation. The finding of this writing is that the Pastoral Statement of CCI's BoC about LGBT is a policy formulation of the CCI's BoC elite which tends to take on side with those who receive LGBT sexual orientation, and does not really pay particular attention to the view of those who reject LGBT sexual orientation. This study also finds that the Pastoral Statement of CCI's BoC does not really understand the context of CCI's member churches, and instead of becoming a solution, this Pastoral Statement on the contrary has triggered a controversy among CCI's member churches themselves. The lack