Papers by Suprihatin Suprihatin

Jurnal Nomosleca, 2019
The issue of violence against women can be found in abundance within the mass media news. Quoting... more The issue of violence against women can be found in abundance within the mass media news. Quoting the Indonesia's National Committee on Violence Against Women (National Committee of Women) in 2017, there were 348,446 cases of violence against women. The data from National Committee of Women shows that there is a high percentage of sexual abuse within the domain of domestic or personal violence as well as community and public violence. The volume of news related to sexual abuses have been rising ever since the Police-General Tito Karnavian gave a controversial statement in October of 2017. As quoted from BBC Indonesia in an exclusive interview with Tito Karnavian, Tito said that in cases of rape accusations, the police sometimes must ask if the victim feels comfortable. This statement sparked a reaction from the public. Women activists highlighted Tito's statement and consider the questions to be insensitive because they ignore victims' psychological condition. Online news portal Titro.id actively discuss the development of Tito's controversial statement. Not only does Tirto.id presents the news on the subject matter, they also conduct deep investigations involving both parties: the police force and the survivors of sexual abuses. Tirto.id was also present in a funding night to support the work of sexual abuse survivors in 11 November 2017 in Kantor Dagang Serikat Islam, Central Jakarta. The report was written by a journalist of Tirto.id in the "In Depth" rubric or exhaustive reports in the form of information gathered from attending the event. In order to research this topic, the researcher used the critical discourse analysis technique. This research will be analyzed using Norman Fairclough's scalpel. The outcome of this research shows that, within the textual analysis, both lexically and grammatically, Tirto.id uses dictions that imply supportive attitude towards the victims and survivors of sexual abuse, for example, the use of "tegas" or "firm". Tirto.id also chooses negative adjectives such as "bereaksi keras" ("reacted violently") and "perilaku kasar bahkan kejam" ("violent or even cruel behavior") to be associated with the perpetrators of sexual violence. The use of active sentences indicates that Tirto.id reinforces the presence of actors of sexual violence from the text. Which often media ignored when reported of sexual violence.

Facebook sering dimanfaatkan penggunanya untuk mengunggah persoalan mengenai pelayanan publik. Ma... more Facebook sering dimanfaatkan penggunanya untuk mengunggah persoalan mengenai pelayanan publik. Maraknya unggahan berisikan informasi semacam itu, adalah potret kualitas pelayanan publik di negeri ini. Kenyataan itu bisa jadi adalah indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Parahnya, yang mengalami keadaan itu lebih banyak dari kalangan masyarakat yang tidak beruntung secara ekonomi. Besarnya tuntutan masyarakat terhadap kualitas profesionalisme penyelenggara pelayan publik, dapat ditengarai sebagai pertanda berkembangnya pemahaman masyarakat terhadap hak-haknya sebagai warga negara. Hal itu bisa berdampak pada perbaikan kinerja birokrasi dalam rangka memberikan pelayanan. Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang, nomor 25 Tahun 2009, tentang Pelayanan Publik. Pelayanan publik adalah kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disedia...

Abstrak Belakangan ini, sapaan ‘sobat ambyar’ begitu akrab di telinga. Istilah ini digunakan untu... more Abstrak Belakangan ini, sapaan ‘sobat ambyar’ begitu akrab di telinga. Istilah ini digunakan untuk menyebut penggemar penyanyi lagu-lagu campursari—Didi Kempot. Mereka adalah generasi Z yang sebelumnya lebih menggilai lagu-lagu Barat karena dianggap merepresentasi kelas sosial tertentu. Anak-anak muda itu kini membangun komunitas virtual penggila lagu-lagu Lord Didi, sapaan sang penyanyi selain jejuluk The Godfather of Broken Heart yang disematkan oleh penggemarnya. Di banyak konser, generasi Z dengan antusias hadir, menyanyi, berjoget dan larut dalam suasana yang emosional dari lirik-lirik lagu Didi Kempot yang umumnya berkisah tentang patah hati. ‘Patah hati, tapi nggak cengeng’. Begitu sanjungan para ‘sobat ambyar’ tentang lagu penyanyi idolanya itu. Mereka juga menjuluki dirinya sebagai sadboy dan sadgirl untuk melegitimasi kesedihan yang mereka hayati dari lirik-lirik lagu Didi Kempot. Menarik untuk mengkaji apakah terjadi akulturasi budaya Jawa melalui lirik-lirik lagu yang...

Penelitian ini hendak menggali informasi dari informan jurnalis perempuan yang pernah menjadi kor... more Penelitian ini hendak menggali informasi dari informan jurnalis perempuan yang pernah menjadi korban pelecehan seksual. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data tentang jenis pelecehan seksual, pola pelaku, dampak, dan tindak lanjut dari pelecehan yang terjadi. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan teknik pengumpulan data berupa wawancara dan focus group discussion (FGD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat korban mengalami pelecehan verbal yang mengarah pada pelecehan fisik. Dari aspek pelaku, ketiga korban mengatakan bahwa pelaku pelecehan seksual adalah narasumber yang hendak diwawancarai, sementara satu informan lain mengatakan bahwa pelaku pelecehan seksual adalah atasannya di kantor. Dari aspek dampak, keempat informan mengatakan bahwa mereka mengalami trauma meski tidak berkepanjangan. Keempat informan juga menyatakan bahwa mereka memilih tidak melanjutkan kasus yang dialaminya ke ranah hukum.

Jurnal Pawitra Komunika, 2020
ABSTRAK Facebook sering dimanfaatkan penggunanya untuk mengunggah persoalan mengenai pelayanan pu... more ABSTRAK Facebook sering dimanfaatkan penggunanya untuk mengunggah persoalan mengenai pelayanan publik. Maraknya unggahan berisikan informasi semacam itu, adalah potret kualitas pelayanan publik di negeri ini. Kenyataan itu bisa jadi adalah indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Parahnya, yang mengalami keadaan itu lebih banyak dari kalangan masyarakat yang tidak beruntung secara ekonomi. Besarnya tuntutan masyarakat terhadap kualitas profesionalisme penyelenggara pelayan publik, dapat ditengarai sebagai pertanda berkembangnya pemahaman masyarakat terhadap hak-haknya sebagai warga negara. Hal itu bisa berdampak pada perbaikan kinerja birokrasi dalam rangka memberikan pelayanan. Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang, nomor 25 Tahun 2009, tentang Pelayanan Publik. Pelayanan publik adalah kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Unggahan di Facebook seputar masalah pelayanan publik menjadi fokus persoalan dalam penelitian ini. Penelitian ini juga bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis motif yang melatari pengguna Facebook untuk mengunggah keluhan tentang penyelenggaraan pelayanan publik. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Untuk menghimpun data, peneliti melakukan wawancara kepada sejumlah pengguna Facebook, selain mengamati teks-teks yang diunggah di akun Facebook terkait isu pelayanan publik. Dari hasil wawancara terhadap tiga pengguna FB yang mengunggah keluhan atas pelayanan publik, ketiga informan memiliki motif yang sama dalam mengunggah postingan. Yaitu menarik perhatian publik dan berharap mendapatkan respon dari instansi yang dituju. Menurut salah satu informan, postingan tersebut diharapkan dapat membangun kesadaran publik atas hak layanan publik yang seharusnya diterima. Kata kunci: Motif, Facebook, Pelayanan Publik. ABSTRACT Facebook is often used by users to upload issues regarding public services. The rise of uploads containing such information is a portrait of the quality of public services in this country. That fact could be an indicator of the low quality of public services in Indonesia. Worse, who experienced the situation more than the people who are economically disadvantaged. The large demand of the community for the professionalism of the quality of public service providers can be seen as a sign of

Jurnal Spektrum Komunikasi Stikosa-AWS, 2018
The issue of violence against women can be found in abundance within the mass media news. Quoting... more The issue of violence against women can be found in abundance within the mass media news. Quoting the Indonesia’s National Committee on Violence Against Women (National Committee of Women) in 2017, there were 348,446 cases of violence against women. The data from National Committee of Women shows that there is a high percentage of sexual abuse within
the domain of domestic or personal violence as well as community and public violence. The volume of news related to sexual abuses have been rising ever since the Police-General Tito Karnavian gave a controversial statement in October of 2017. As quoted from BBC Indonesia in an exclusive interview with Tito Karnavian, Tito said that in cases of rape accusations, the police sometimes must ask if the victim feels comfortable. This statement sparked a reaction from the public. Women activists highlighted Tito’s statement and consider the questions to be insensitive because they ignore victims’ psychological condition. Online news portal Titro.id actively discuss the development of Tito’s controversial statement. Not only does Tirto.id presents the news on the subject matter, they also conduct deep investigations involving both parties: the police force and the survivors of sexual abuses. Tirto.id was also present in a funding night to support the work of sexual abuse survivors in 11 November 2017 in Kantor Dagang Serikat Islam, Central Jakarta. The report was written by a journalist of Tirto.id in the “In Depth” rubric or exhaustive reports in the form of information gathered from attending the event. In order to research this topic, the researcher used the critical discourse analysis technique. This research will be analyzed using Norman Fairclough’s scalpel. The outcome of this research shows that, within the textual analysis, both lexically and grammatically, Tirto.id uses dictions that imply supportive attitude towards the victims and survivors of sexual abuse, for example, the use of “tegas” or “firm”. Tirto.id also chooses negative adjectives such as “bereaksi keras” (“reacted violently”) and “perilaku kasar bahkan kejam” (”violent or even cruel behavior”) to be associated with the perpetrators of sexual violence. The use of active sentences indicates that Tirto.id reinforces the presence of actors of sexual violence from the text. Which often media ignored when reported of sexual violence.
Kasus pelecehan seksual yang dialami pedangdut Via Vallen membuka kesadaran kita bahwa modernitas... more Kasus pelecehan seksual yang dialami pedangdut Via Vallen membuka kesadaran kita bahwa modernitas belum mampu mengubah dunia yang patriarkal. Diperlukan lebih banyak keberanian untuk melawan pelecehan.

Harian Jawa Pos edisi 6 Februari memuat berita tentang Kampanya Peduli Anak yang dilakukan secara... more Harian Jawa Pos edisi 6 Februari memuat berita tentang Kampanya Peduli Anak yang dilakukan secara serentak di sejumlah titik di Surabaya. Aksi kampanye tersebut dilakukan oleh ratusan siswa dan organisasi perangkat daerah Pemerintah Kota Surabaya pada hari sebelumnya (5/2). Kampanye tersebut sebagaimana diberitakan bertujuan memotivasi masyarakat untuk peduli pada anak-anak. Sebab belakangan kasus-kasus kekerasan yang berkaitan dengan anak semakin marak. Menjadi menarik ketika media sekelas Jawa Pos bersedia menyediakan ruang pemberitaan bagi kegiatan-kegiatan positif semacam ini. Artinya, media massa memiliki kepedulian terhadap isu-isu yang tidak seksi semacam berita-berita politik. Ini penting, mengingat media memiliki kekuatan untuk mengubah pandangan masyarakat dan pemerintah. Sementara banyak media yang lebih memilih mengedepankan aspek bisnis ketimbang menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat karena tuntutan kepentingan ekonomi. Baru-baru ini dalam perjalanan pariwisata dari Surabaya-Bali-Surabaya, saya tertegun ketika di dalam bus dari agen perjalanan memutarkan video lagu-lagu dangdut. Bukan. Bukan soal seronoknya gaya busana atau goyangan penyanyi, yang saya anggap sudah sering saya temui dalam video lagu-lagu dangdut. Saya tak mampu bicara apa-apa ketika saya melihat bahwa penyanyi dangdut yang berkostum seksi dan berdandan menor itu ternyata… anak-anak. Awalnya saya berpikir itu hanya halusinasi. Mungkin karena sudah tidak ada lagi yang bisa saya kritik. Tetapi ketika saya berkesempatan ngobrol dengan salah satu kawan dosen di bus itu, ternyata dugaan saya benar. Saya tidak tahu diksi apa yang tepat menggambarkan perasaan saya saat itu. Antara marah-sedih-kecewa. Dalam bus yang sarat penumpang itu, tidak ada seorang pun kecuali kami berdua, yang membicarakan video-video itu. Rata-rata penumpang asyik turut berdendang, atau memilih bermain gawai. Saya jadi berpikir, sebenarnya saya yang terlalu kritis, atau mereka yang apatis? Bagi saya, tidak menjadi masalah anak-anak menyanyikan lagu dangdut. Tetapi menjadi masalah ketika anak-anak itu diberi topeng make up dengan gaya busana orang dewasa yang sangat tidak sepatutnya. Lagu-lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu dewasa. Indikasinya tentu dari lirik lagu yang sarat dengan tema cinta, perkawinan, perceraian, perselingkuhan, dsb. Selain itu, sang vokalis yang kurang lebih saya taksir berusia 10-12 tahun, didampingi oleh penyanyi lain, pria dewasa. Bagi saya, ini adalah salah satu bentuk eksploitasi anak yang mengerikan. Bukan saja anak-anak itu dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, namun anak-anak itu dimutasi menjadi perempuan dewasa dengan 'menjajakan' tubuh mereka sebagai objek tontonan. Hal ini makin pelik ketika penonton, yang notabene orang dewasa, tidak menganggapnya sebagai persoalan. Mereka asyik menikmatinya sebagai sebuah kewajaran. Di mana hati nurani kita sebagai orang tua yang mungkin juga memiliki anak seusia mereka? Atau kepekaan kita sudah terkikis oleh tontonan dan budaya populer yang tidak lagi mengindahkan etika dan norma susila?

Abstrak Untuk melihat bagaimana kondisi kemerdekaan pers di Indonesia, Dewan Pers mengadakan surv... more Abstrak Untuk melihat bagaimana kondisi kemerdekaan pers di Indonesia, Dewan Pers mengadakan survei indeks kemerdekaan pers. Survei dilakukan di 24 provinsi di Indonesia, yang dipilih berdasarkan pertimbangan keterwakilan atau representasi daerah, atau catatan tentang kasus pers yang pernah terjadi di daerah itu. Survei dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa kuisioner tertutup yang diisi oleh para informan ahli dan kemudian hasilnya divalidasi dalam kegiatan diskusi kelompok terfokus. Hasil dari survei menunjukkan bahwa indeks kemerdekaan pers saat ini berada dalam posisi sedang. Di beberapa daerah catatan indeks kemerdekaan pers masih rendah. Tercatat lima [5] indikator utama yang dianggap oleh para informan berpotensi mengancam kemerdekaan pers yaitu (a) independensi media dari kelompok kepentingan [56.14] (b) tata kelola perusahaan [57.63], (c) independensi lembaga peradilan [59.33] (d) etika pers [60.85] dan (e) kehadiran lembaga penyiaran publik [61.25]. Kata kunci: kemerdekaan pers, survei, dewan pers. Abstract In mid of 2017, Dewan Pers Indonesia conducted a survey of Indonesian press freedom index. The survey was conducted in 24 provinces in Indonesia, selected based on consideration of representation or regional representation, or press cases that have occurred in the area. Surveys were conducted using questionnaire instrument filled by expert and then the results validated in two times focus group discussions. The results of the survey show that the press freedom index is currently in a sufficient position. In some regions the index of press freedom is still low. Listed five [5] main indicators considered by informants have the potential to threaten the freedom of the press are: (a) media independence of interest groups [56.14] (b) internal factor: corporate governance of the media [57.63] (c) independence of the judiciary [59.33] (d) ethics of the press [60.85] and (e) the presence of public broadcasters [61.25].

Sebagai sebuah platform yang awalnya hanya dirancang sebagai media komunikasi terbatas bagi komun... more Sebagai sebuah platform yang awalnya hanya dirancang sebagai media komunikasi terbatas bagi komunitas mahasiswa, Facebook kini mendunia. Beberapa hasil penelitian menyebutkan tingginya penetrasi penggunaan akun Facebook termasuk di Indonesia. Pada Januari 2010, Indonesia disebut sebagai negara dengan pengguna FB nomor empat terbanyak di dunia. Sebuah peringkat konsumsi yang cukup fantastis. Facebook bahkan berhasil mengalahkan Google dan Yahoo sebagai situs yang paling banyak diakses oleh pengguna internet. Fenomena ini kemudian menarik ketika muncul anggapan bahwa penggunaannya tidaklah produktif. Facebook membuat orang kecanduan dan kehilangan identitas diri. Facebook merusak relasi sosial di dunia nyata. Benarkah demikian? Bukankah seharusnya perkembangan teknologi diciptakan untuk membantu kehidupan manusia? Lantas bagaimana seharusnya? Artikel ini mencoba mengkaji fenomen Facebook sebagai sebuah diskursus termasuk tentang bagaimana cara menggunakannya dengan baik dan benar.
Kata kunci: internet, facebook, teknologi

Seks, selalu menarik diperbincangkan. Seks, adalah komoditas. Bertahun-tahun. Pada hari Rabu, 1 M... more Seks, selalu menarik diperbincangkan. Seks, adalah komoditas. Bertahun-tahun. Pada hari Rabu, 1 Mei 2013, tanah air twitter diramaikan dengan tweet dari admin @Durex_Love. Dalam tweetnya, admin @Durex_Love menulis bahwa pesta seks merupakan ajang yang tepat untuk mencari jodoh. Sontak, tweet ini menimbulkan kehebohan di kalangan stalker. Tak sampai 5 menit, banyak orang sudah me-retweet dan tweet serupa berhamburan di beranda-beranda para pengguna twitter. Respon orang bermacam-macam. Mulai dari yang netral (jarang), pro (sedikit), hingga yang kontra (paling banyak). Mereka yang pro merasa bahwa seks tidak lagi tabu dibicarakan. Apalagi dalam konteks marketing produk kondom. Sementara mereka yang kontra merasa bahwa apa yang dilakukan admin Durex melanggar nilai-nilai kesusilaan. Dalam konteks ini kita bisa melihat bahwa seks merupakan komoditas. Seks menjadi diskursus yang memunculkan diskursus yang lain.
Kata Kunci: Seks, Diskursus, Durex

Abstrak Berdasarkan Survei Data Global Web Index, Indonesia adalah negara yang memiliki pengguna ... more Abstrak Berdasarkan Survei Data Global Web Index, Indonesia adalah negara yang memiliki pengguna sosial media yang paling aktif di Asia. Indonesia memiliki 79,7% pengguna aktif di media sosial mengalahkan Filipina 78%, Malaysia 72%, Cina 67%. Angka ini sejalan dengan pertumbuhan statistik tentang perkembangan internet di Indonesia yang mencapai 15% atau 38,191,873 pengguna internet dari total populasi kita 251,160,124. Dari jumlah pengguna internet tersebut sejumlah 74% mengakses media sosial melalui mobile/smartphone dengan durasi penggunaan sekitar 2-3 jam per hari. Masih dari sumber data yang sama, Facebook masih merajai media sosial di Indonesia dengan jumlah pengguna mencapai 25% atau sekitar 62.000.000 orang. Setelah itu menyusul Twitter, Google Plus dan Linkedin. Data-data ini memperlihatkan kepada kita perubahan pola manusia mengonsumsi dan menggunakan media. Perubahan pola konsumsi dan penggunaan media ini pada akhirnya berkaitan dengan perubahan kebiasaan atau budaya membaca. Sejak mula, budaya membaca di negeri ini belum berada pada level yang signifikan. Budaya membaca hanya dimiliki kalangan tertentu dan kelas sosial tertentu. Penyebabnya bisa karena ketidakbiasaan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sebagian besar berada di level menengah ke bawah. Selain itu harga buku yang cenderung mahal turut berperan. Gegap gempita pengguna media sosial niscaya menyebabkan perubahan pola/kebiasaan membaca. Pembatasan karakter di media sosial yang hanya 140 karakter membuat pengguna terbiasa membaca pendek-pendek. Kebiasaan ini jika dilakukan terus menerus pada akhirnya akan menjadi pola, yang kemudian menjadi budaya. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji apakah hipotesis ini benar adanya. Dari hasil penelitian tersebut dapat dikembangkan cara-cara untuk mengembangkan budaya literasi yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan teknologi. Kata kunci: media sosial (socmed), budaya, membaca. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut Oberzaucher, Grammer, dan Schmehl (2011:237), tindakan berkomunikasi melalui internet terdiri atas dua domain: berkomunikasi dengan mesin dan berkomunikasi antar manusia melalui mesin. Keduanya terlihat sangat berbeda namun memiliki kesamaan dalam hal efesiensi. Pada awalnya, internet hanya digunakan oleh sekelompok kecil ilmuwan untuk berkomunikasi yaitu melalui surat elektronik (email) dan bulletin. Dibandingkan dengan telepon
Conference Presentations by Suprihatin Suprihatin

ABSTRAK Di Indonesia, gerakan literasi media lahir sebagai bentuk keprihatinan atas tayangan dan ... more ABSTRAK Di Indonesia, gerakan literasi media lahir sebagai bentuk keprihatinan atas tayangan dan produk media yang dinilai mengabaikan fungsi mendidik. Beberapa kelompok media menjadikan hiburan sebagai program utama karena memenuhi selera rendah pasar. Kekerasan, pornografi, dan ketidakpatutan kerapkali menjadi keluhan konsumen. Beberapa tahun lalu lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang pemantauan media bertumbuhan. Namun karena terkendala biaya operasional, kegiatan ini mati suri. Literasi media menjadi gerakan parsial yang muncul di momen-momen tertentu dan kalah oleh bombardir media massa. Belum selesai dengan urusan literasi media, kita harus menghadapi derasnya perkembangan penggunaan internet dan teknologi informasi. Tahun 2011, Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) Jakarta mengadakan penelitian terhadap 250 siswa SMP-SMA di Kotamadya Depok, Jawa Barat tentang penggunaan internet di kalangan remaja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hampir 60% siswa mengenal internet sejak mereka kelas 4-6 SD. Situs favorit mereka adalah facebook, twitter, Youtube, dan online games. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh informasi tentang efek positif dan negatif dari penggunaan internet. Dari aspek negatif, dampak yang dirasakan berupa gangguan konsentrasi belajar, telat makan, dan mengantuk. Sementara siswa yang aktif di media sosial dan game online mengaku hal tersebut mengganggu kehidupan sosial mereka terutama dalam hubungan relasional dengan keluarga dan teman. Melihat fenomena ini, diperlukan sebuah upaya baik media maupun digital literasi yang padu, terus menerus dan konsisten. Stikosa-AWS sebagai sekolah tinggi di bidang ilmu komunikasi berkomitmen menjadikan media dan digital literasi sebagai program di bidang pengabdian kepada masyarakat. Penerapannya dilakukan melalui mata kuliah KKL (Kuliah Kerja Lapangan), program media outlook, dan penelitian tentang penggunaan media. Kata Kunci: remaja, literasi media, internet, media massa
Drafts by Suprihatin Suprihatin

Pendahuluan Sejarah akan mencatat tanggal 22 Juni 2019 sebagai momen penting bagi pergerakan buru... more Pendahuluan Sejarah akan mencatat tanggal 22 Juni 2019 sebagai momen penting bagi pergerakan buruh secara internasional. Di hari itu, kekerasan berbasis gender yang terjadi di dunia kerja mendapat pengakuan secara internasional melalui Konvensi ILO 190. Dalam konvensi tersebut, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga diakui telah memberi dampak di tempat kerja bagi para korban. Sebagaimana kita baca atau dengar atau bahkan mungkin kita alami sendiri, diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan terjadi di mana saja, kapan saja termasuk di dunia kerja. Semua tempat memiliki potensi menjadi saksi atas terjadinya kasus-kasus pelecehan dan kekerasan dari sejak di rumah, di jalan, di sarana transportasi, di tempat kerja, saat pelatihan, termasuk ketika dalam wawancara kerja dsb. Menurut catatan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2001-2012, sedikitnya sebanyak 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari. Pada tahun 2012, terjadi 4,336 kasus kekerasan seksual yang tercatat, di mana 2,920 kasus di antaranya terjadi di ranah publik/komunitas, dengan mayoritas kekerasan berbentuk perkosaan dan pencabulan (1620). Setahun berikutnya yakni pada 2013, kasus kekerasan seksual meningkat menjadi 5.629 kasus. Artinya setiap 3 jam, rata-rata 2 perempuan mengalami kekerasan seksual. Di level usia, Komnas Perempuan mencatat bahwa yang paling banyak ditemukan menjadi korban berada di rentang usia antara 13-18 tahun dan 25-40 tahun 2. Kasus kekerasan seksual, sejatinya tidak hanya menimpa perempuan. Anak-anak dan laki-laki pun rentan terpapar. Namun, kondisinya menjadi lebih pelik dan kompleks ketika korbannya adalah perempuan. Kekerasan Seksual menjadi lebih sulit untuk diungkap dan ditangani dibanding kekerasan terhadap perempuan lainnya karena adanya stereotip dan label yang disematkan kepada perempuan berkaitan dengan nilai-nilai moralitas. Perempuan dimitoskan sebagai lambang kesucian dan kehormatan. Alih-alih meninggikan derajat dan harkat perempuan, mitos ini justru menjadikan perempuan sebagai korban simbolik ketika perempuan mengalami kekerasan seksual apalagi sampai menjadi korban perkosaan. Bahkan kerap kali, perempuan yang sudah menjadi korban malah dianggap bersalah dengan menempatkan perempuan sebagai 1 Penulis adalah dosen tetap di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS). 2 "Kekerasan Seksual, Kenali dan Tangani", dikeluarkan oleh Komnas Perempuan 2012
Eh, mudik tanggal berapa? Jadinya mudik kemana? Wah asyik dong ya bakal ketemu mantan. Ti-ati loh... more Eh, mudik tanggal berapa? Jadinya mudik kemana? Wah asyik dong ya bakal ketemu mantan. Ti-ati loh ya, kecantol kenangan…

ABSTRAK Peristiwa politik selalu menyita perhatian media massa. Bukan saja karena peristiwa polit... more ABSTRAK Peristiwa politik selalu menyita perhatian media massa. Bukan saja karena peristiwa politik memiliki nilai berita (news value) yang cukup tinggi, namun dalam era sekarang ini, politik sudah memasuki era mediasi (politics in the age mediation). Aksi damai 212 yang berlangsung di seputar Monumen Nasional (Monas), Jakarta, 2 Desember 2016 lalu, merupakan salah satu peristiwa yang menyita perhatian media. Aksi yang diklaim diikuti sekitar tiga juta orang ini diliput oleh hampir seluruh media televisi mainstreams seperti SCTV, INDOSIAR, RCTI, TV ONE, KOMPAS TV dan METROTV, secara langsung (live). Ketika sebuah peristiwa disiarkan secara langsung (live), berarti peristiwa tersebut dianggap penting. Hal ini berkaitan dengan penggunaan teknologi yang pada akhirnya berimbas pada persoalan biaya (cost). Peliputan aksi damai 2 Desember 2016 itu, menjadi menarik, ketika massa mengusir reporter Metro TV yang sedang melaksanakan siaran langsung (live) di dua lokasi yang berbeda di Jakarta. Mereka menilai, laporan reporter Metro TV, tidak objektif dan tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Benarkah Metro TV berpihak? Apakah berita-berita yang diproduksi dan ditayangan Metro TV bias dan tidak berimbang? Bagaimana ideologi Metro TV diinternalisasi dalam berita-berita politiknya? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab melalui penelitian dengan menggunakan metode analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis). Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana sebagai bentuk dari praktik sosial. Ada hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi dan struktur sosial yang membentuknya. Melalui CDA, peneliti akan melihat wacana yang terbentuk melalui tiga dimensi: teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam konteks ini penelitian dibatasi pada berita-berita politik selama bulan November 2016 sebelum terjadinya aksi damai 212. Kata Kunci: media televisi, objektifitas pemberitaan, Metro TV, analisis wacana kritis.
Thesis Chapters by Suprihatin Suprihatin

Kita tidak literer!" Begitulah premis atau simpulan dari banyak paper atau artikel tentang budaya... more Kita tidak literer!" Begitulah premis atau simpulan dari banyak paper atau artikel tentang budaya literasi di masyarakat Indonesia. Sejumlah data yang dilansir beberapa lembaga penelitian atau media massa dianggap mendasari premis tersebut. Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) sebagaimana dilansir oleh Republika.co.id, menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia, menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Tak kalah perih, data statistik UNESCO 2012 menyebutkan bahwa indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001. Artinya, dari setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sebagai bahan perbandingan angka melek huruf orang dewasa di negara Malaysia mencapai 86,4 persen. Data-data ini memperkuat keyakinan bahwa negara ini menghadapi persoalan rendahnya tingkat literasi. Menariknya, di saat yang bersamaan ada data yang menyebutkan bahwa orang Indonesia paling 'ceriwis' di media sosial. Country Business Head Twitter Indonesia, Roy Simangunsong sebagaimana dikutip oleh liputan6.com mengatakan, jumlah cuitan orang Indonesia selama Januari hingga Desember 2016 mencapai 4,1 miliar tweet. Data statistik ini mendudukkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah cuitan (tweet) terbanyak di dunia selama tahun 2016. Jumlah pengguna twitter di Indonesia bahkan mencapai 77 persen dari seluruh pengguna twitter di dunia.
Uploads
Papers by Suprihatin Suprihatin
the domain of domestic or personal violence as well as community and public violence. The volume of news related to sexual abuses have been rising ever since the Police-General Tito Karnavian gave a controversial statement in October of 2017. As quoted from BBC Indonesia in an exclusive interview with Tito Karnavian, Tito said that in cases of rape accusations, the police sometimes must ask if the victim feels comfortable. This statement sparked a reaction from the public. Women activists highlighted Tito’s statement and consider the questions to be insensitive because they ignore victims’ psychological condition. Online news portal Titro.id actively discuss the development of Tito’s controversial statement. Not only does Tirto.id presents the news on the subject matter, they also conduct deep investigations involving both parties: the police force and the survivors of sexual abuses. Tirto.id was also present in a funding night to support the work of sexual abuse survivors in 11 November 2017 in Kantor Dagang Serikat Islam, Central Jakarta. The report was written by a journalist of Tirto.id in the “In Depth” rubric or exhaustive reports in the form of information gathered from attending the event. In order to research this topic, the researcher used the critical discourse analysis technique. This research will be analyzed using Norman Fairclough’s scalpel. The outcome of this research shows that, within the textual analysis, both lexically and grammatically, Tirto.id uses dictions that imply supportive attitude towards the victims and survivors of sexual abuse, for example, the use of “tegas” or “firm”. Tirto.id also chooses negative adjectives such as “bereaksi keras” (“reacted violently”) and “perilaku kasar bahkan kejam” (”violent or even cruel behavior”) to be associated with the perpetrators of sexual violence. The use of active sentences indicates that Tirto.id reinforces the presence of actors of sexual violence from the text. Which often media ignored when reported of sexual violence.
Kata kunci: internet, facebook, teknologi
Kata Kunci: Seks, Diskursus, Durex
Conference Presentations by Suprihatin Suprihatin
Drafts by Suprihatin Suprihatin
Thesis Chapters by Suprihatin Suprihatin
the domain of domestic or personal violence as well as community and public violence. The volume of news related to sexual abuses have been rising ever since the Police-General Tito Karnavian gave a controversial statement in October of 2017. As quoted from BBC Indonesia in an exclusive interview with Tito Karnavian, Tito said that in cases of rape accusations, the police sometimes must ask if the victim feels comfortable. This statement sparked a reaction from the public. Women activists highlighted Tito’s statement and consider the questions to be insensitive because they ignore victims’ psychological condition. Online news portal Titro.id actively discuss the development of Tito’s controversial statement. Not only does Tirto.id presents the news on the subject matter, they also conduct deep investigations involving both parties: the police force and the survivors of sexual abuses. Tirto.id was also present in a funding night to support the work of sexual abuse survivors in 11 November 2017 in Kantor Dagang Serikat Islam, Central Jakarta. The report was written by a journalist of Tirto.id in the “In Depth” rubric or exhaustive reports in the form of information gathered from attending the event. In order to research this topic, the researcher used the critical discourse analysis technique. This research will be analyzed using Norman Fairclough’s scalpel. The outcome of this research shows that, within the textual analysis, both lexically and grammatically, Tirto.id uses dictions that imply supportive attitude towards the victims and survivors of sexual abuse, for example, the use of “tegas” or “firm”. Tirto.id also chooses negative adjectives such as “bereaksi keras” (“reacted violently”) and “perilaku kasar bahkan kejam” (”violent or even cruel behavior”) to be associated with the perpetrators of sexual violence. The use of active sentences indicates that Tirto.id reinforces the presence of actors of sexual violence from the text. Which often media ignored when reported of sexual violence.
Kata kunci: internet, facebook, teknologi
Kata Kunci: Seks, Diskursus, Durex