Papers by Abdullah Azzam, SH
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN
PENGGELEDAHAN RUMAH DALAM BERKAS PERKARA
PENYALAHGUNAAN NAR... more TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN
PENGGELEDAHAN RUMAH DALAM BERKAS PERKARA
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (STUDI KASUS
PERKARA ATAS NAMA TERSANGKA HAERUN TANGKA
ALAM ALIAS HAERUN BIN MUSTAMIR YANG
MELANGGAR PASAL 114 AYAT (2) DAN ATAU PASAL 112
AYAT (2) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA)
H. Ujang Abdullah, SH. M.Si

Diangkat menjadi pegawai tetap mungkin menjadi impian setiap karyawan kontrak, apalagi jika yang ... more Diangkat menjadi pegawai tetap mungkin menjadi impian setiap karyawan kontrak, apalagi jika yang bersangkutan sudah bekerja selama lebih dari satu tahun di satu perusahaan. Namun bagi karyawan yang baru masuk, nampaknya status sebagai karyawan kontrak tak bisa dihindari. Perusahaan biasanya merasa perlu untuk melihat kinerja seorang karyawan selama tiga bulan hingga setahun sebelum memutuskan untuk mengangkatnya menjadi karyawan tetap. Bagi perusahaan, pengangkatan karyawan tetap membawa beberapa keuntungan tersendiri. Yang pasti, moral dan etos kerja sang karyawan akan terdongkrak, karena merasa lebih terikat dengan aman di tempat kerjanya. Bagi karyawan, tentu saja keuntungannya adalah hak-haknya sebagai pekerja menjadi kuat. Namun tetap saja, sebelum ada surat pengangkatan, karyawan tersebut masih berstatus karyawan kontrak, kecuali kontrak kerjanya berupa Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Undang-Undang Ketenagakerjaan mengkualifikasikan perjanjian kerja menjadi dua macam, masingmasing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu sedangkan PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Penerapan sistem PKWT lebih banyak digunakan oleh perusahaan dinilai sangat efektif dan efisien bagi pengusaha yaitu demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar dimana biaya dikeluarkan pengusaha untuk pekerjaan menjadi lebih kecil karena pengusaha tidak harus memiliki tenaga kerja/pekerja dalam jumlah yang banyak. Apabila diketahui pengusaha memiliki pekerja yang banyak, maka pengusaha harus memberikan berbagai tunjangan untuk kesejahteraan para pekerja seperti tunjangan pemeliharaan kesehatan, tunjangan pemutusan hubungan kerja (PHK), tunjangan penghargaan kerja dan sebagainya dalam arti kata mempekerjakan tenaga kerja dengan PKWT, maka biaya tersebut dapat ditekan.1Akan tetapi, bagi pekerja kontrak sendiri mengenai kebijakan penggunaan dalam PKWT dinilai kurang menguntungkan karena mereka merasa tidak memiliki kepastian dalam hal jangka waktu kerja dalam pengangkatan sebagai karyawan tetap yang mempengaruhi jenjang karir, status atau kedudukan sebagai pekerja, dan pesangon pada saat kontrak akan berakhir.
secara konkret dalam masyarakat tidak terhindar dari adanya perceraian, akibat perceraian tersebu... more secara konkret dalam masyarakat tidak terhindar dari adanya perceraian, akibat perceraian tersebut merupakan peristiwa hukum yang menyebabkan akibat hukum berupa pembagian hak dalam pembagian harta gono gini, dalam legal opinion ini penulis menjelaskan mengenai hak hak serta kewajiban yang timbul akibat terdapat peristiwa hukum tersebut, dengan harapan pembaca dapat memahami regulasi serta hak hak serta kewajiban yang di ti,bulkan akibat perceraian
surat kuasa khusus penggugat perkara PTUN
surat kuasa khusus penggugat, tergugat, jawaban

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam Pasal 28H ayat (1) menjamin hak setiap o... more Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam Pasal 28H ayat (1) menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Salah satu bentuk untuk mewujudkan pembangunan kesehatan ialah melalui pembentukan regulasi yang ketat untuk menekan jumlah perokok atau upaya pengamanan Zat Adiktif yang diatur dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 116 dan Pasal 199 UU No. 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 menyatakan bahwa Produk Tembakau merupakan Zat Adiktif.1 Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan peringatan yang jelas dan benar atas dampak yang ditimbulkan akibat merokok. Walaupun lebih dari 90% (sembilan puluh persen) masyarakat pernah membaca peringatan kesehatan berbentuk tulisan di bungkus Rokok, hampir separuhnya tidak percaya dan 26% (dua puluh enam persen) tidak termotivasi berhenti merokok. Gencarnya iklan, promosi, dan sponsor rokok berdampak pada semakin meningkatnya prevalensi merokok pada anak-anak. Perokok remaja berpendapat bahwa merokok adalah menarik, memudahkan pergaulan, mudah konsentrasi dan membuat hidup lebih mudah2. Alasan yang sama seperti citra yang disampaikan oleh industri tembakau melalui iklan rokok. Teknik pengiklanan menggunakan subliminal advertising yaitu mengekspos individu pada gambaran produk, nama dagang atau rangsangan produk dagang lainnya dimana individu tidak menyadari bahwa dirinya terekspos. Teknik ini antara lain ditandai dengan pemanfaatan unsur emosi yang kuat dan pembentukan hubungan yang irasional antara diri dengan produk yang diiklankan. Penelitian yang dilakukan oleh UHAMKA dan Komnas Perlindungan Anak tahun 2007 menunjukkan bahwa 68% remaja memiliki kesan positif terhadap iklan rokok, 52% dapat menyebut lebih dari tiga slogan iklan rokok dan separuh dari remaja merasa dirinya lebih percaya diri seperti dicitrakan oleh iklan rokok. Hal ini menunjukan pengaturan iklan sebagaimana diatur sebelumnya dalam PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, belum optimal untuk mencegah meningkatnya perokok pemula.

Hak atas tanah sebagai salah satu hak penguasaan atas tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Ta... more Hak atas tanah sebagai salah satu hak penguasaan atas tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No. 104 – TLNRI No. 2043, yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960. Undang-Undang ini lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Tujuan diundangkan UUPA disebutkan dalam Penjelasan Umum UUPA, yaitu: Pertama, meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; Kedua, meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam Hukum Pertanahan; dan Ketiga, meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai negara atas tanah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat(1) UUPA, yaituatasdasarhakmenguasainegara ditentukan macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum. Atas dasar hak menguasai, negara menetapkan macam-macam hak atas permukaan bumi atau hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain yang berasal dari warga negara Indonesia atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Urip Santoso menyatakan bahwa hak atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan dan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki. Perkataan menggunakan mengandung pengertian bahwa hak atas tanah untuk keperluan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan mengambil manfaat mengandung pengertian bahwa hak atas tanah untuk keperluan pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.. Wewenang dalam hak atas tanah ditetapkan dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA, yaitu menggunakan tanah yang bersangkutan, termasuk pula tubuh bumi dan ruang serta ruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Terjadinya hak atas tanah oleh perseorangan atau badan hukum dapat melalui 2 (dua) cara, yaitu: Pertama, originair. Perolehan hak atas tanah ini terjadi untuk pertama kali melalui Penetapan Pemerintah, atau karena ketentuan Undang-Undang (penegasan Konversi). Hak atas tanah yang lahir melalui Penetapan Pemerintah adalah Hak Milik yang berasal dari tanah negara, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atas tanah negara, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai atas tanah negara, dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, Hak atas tanah yang lahir karena ketentuan Undang-Undang (penegasan konversi) adalah Hak Milik yang berasal dari konversi bekas tanah milik adat. Kedua, derivatif. Perolehan hak atas tanah ini terjadi dari tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh pihak lain melalui peralihan hak atas tanah. Perolehan hak atas tanah dapat terjadi melalui pemindahan hak atas tanah dalam bentuk jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
Uploads
Papers by Abdullah Azzam, SH
PENGGELEDAHAN RUMAH DALAM BERKAS PERKARA
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (STUDI KASUS
PERKARA ATAS NAMA TERSANGKA HAERUN TANGKA
ALAM ALIAS HAERUN BIN MUSTAMIR YANG
MELANGGAR PASAL 114 AYAT (2) DAN ATAU PASAL 112
AYAT (2) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA)
PENGGELEDAHAN RUMAH DALAM BERKAS PERKARA
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (STUDI KASUS
PERKARA ATAS NAMA TERSANGKA HAERUN TANGKA
ALAM ALIAS HAERUN BIN MUSTAMIR YANG
MELANGGAR PASAL 114 AYAT (2) DAN ATAU PASAL 112
AYAT (2) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA)
sebagai pelaku pidana yang harus dipenjara, namun lebih dipandang
sebagai korban penyalahguna narkotika. Perubahan paradigma ini tentunya
berdampak pada pola treatment-nya. Sebagai konsekuensi atas pandangan
tersebut maka pelaku penyalahguna narkotika pola penanganannya lebih
tepat apabila mendapatkan rehabilitasi dan bukan dihukum penjara. Ini
sejalan dengan semangat penerapan keadilan restoratif narkotika, yaitu
semangat untuk memulihkan keadaan seperti semula korban tindak pidana
dengan turut mempertimbangkan asas ultimum remedium serta asas peradilan
cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Namun pada kenyataannya, penanganan perkara penyalahguna narkotika
masih berorientasi pada hukuman penjara terhadap pelaku penyalahguna
narkotika sehingga terjadi inkonsistensi penerapan hukum. Sebagai bentuk
keseriusan untuk mengatasi hal-hal tersebut serta upaya mewujudkan peran
sentral Jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis), Kejaksaan telahmenerbitkan Pedoman Kejaksaan Nomor 11 Tahun 2021 tentang
Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika dan/atau Tindak Pidana
Prekursor Narkotika serta Pedoman Kejaksaan Nomor 18 Tahun 2021
tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika melalui Rehabilitasi dengan pendekatan Keadilan Restoratif.
Dengan hadirnya kebijakan tersebut, diharapkan penerapan keadilan
restoratif dapat semakin optimal serta inkonsistensi penerapan hukum dapat
dihindari. Sehingga diharapkan kedepan melalui kebijakan restorative justice
pelaku pengguna narkotika, tidak lagi dijatuhi pidana penjara melainkan direhabilitasi untuk disembuhkan dari ketergantungan narkotika.
kamar kepada seluruh pemangku kepentingan, Kepaniteraan
Mahkamah Agung mengkompilasi rumusan hukum hasil pleno
kamar dan menerbitkannya dalam sebuah buku. Sistematika buku
disusun secara tematik berdasarkan masing-masing kesepakatan
kamar yang disajikan mengikuti kronologis tahun penyelenggaraan pleno kamar. Penerbitan buku “Kompilasi Rumusan Hasil
Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung RI” dilakukan dalam versi
cetak maupun secara elektronik. Versi elektronik dari rumusan
kamar selain tersedia dalam buku elektronik juga diinput ke dalam
data base Direktori Putusan sehingga dapat diakses lebih mudah.
Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah edisi ke 10
tahun 2024. Informasi terbaru yang kami tambahkan dalam edisi
ini adalah rumusan hasil pleno kamar tahun 2023. Kami berharap
kehadiran buku ini memperkaya khazanah pengetahuan hukum
bagi hakim dan aparatur peradilan Indonesia.