Papers by Adeng Muchtar Ghazali

Jurnal Ilmiah Pendidikan Fisika Al-BiRuNi , 2018
Scientific literacy is the ability to use scientific knowledge, identify problems, and draw
concl... more Scientific literacy is the ability to use scientific knowledge, identify problems, and draw
conclusions based on evidence, in order to understand and make decisions about nature and changes that
occur in nature as a result of human activity. This study aims to determine the development of physics teacher
candidates’ scientific literacy. This is important to prepare the physics teachers in the future. The method
used was ex-post facto. The subjects of this research were all students of physics education Department of
UIN Sunan Gunung Djati Bandung from the first to the last semester. The data collection used was essayed
tests which contained the context of science, the content of science, the process of science, and the attitude
of science. Data analysis was done qualitatively and quantitatively. Based on the results of this study, it
indicates that the scientific literacy ability possessed by physics teacher candidate students experiencing a
continuous development in terms of the context of science, science content, the process of science, and
attitude to science. The result of this research may be applied by the Physics Department to make a decision
or rule on how to improve the physics student’ literacy level.

Posted by: amgy | December 11, 2012 (edit) TOLERANSI DAN PERMASALAHANNYA Analisis terhadap fenome... more Posted by: amgy | December 11, 2012 (edit) TOLERANSI DAN PERMASALAHANNYA Analisis terhadap fenomena kehidupan beragama Adeng Muchtar Ghazali Dasar Pemikiran Dalam pendekatan budaya, sosial dan politik, istilah toleransi merupakan simbol kompromi beberapa kekuatan yang saling tarik-menarik atau saling berkonfrontasi untuk kemudian bahu-membahu membela kepentingan bersama, menjaganya dan memperjuangkannya. Demikianlah yang bisa kita simpulkan dari celotehan para tokoh budaya, tokoh sosial politik dan tokoh agama diberbagai negeri, khususnya di Indonesia . Maka toleransi itu adalah kerukunan sesama warga negara dengan saling menenggang berbagai perbedaan yang ada diantara mereka. Sampai batas ini, toleransi masih bisa dibawa kepada pengertian syariah islamiyah. Tetapi setelah itu, sejalan dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat, maka pengertian toleransi bergeser semakin menjauh dari batasan-batasan Islam, sehingga cenderung mengarah kepada sinkretisme agama-agama, bahkan dinilai "semua agama sama baiknya". Tentu saja, prinsip ini menolak kemutlakan doktrin agama-agama, yang menurut doktrin Islam menyatakan bahwa kebenaran hanya ada dalam Islam. Kalau pun ada perbedaan antara kelompok Islam dengan kelompok non muslim, maka segera dikatakan bahwa perkara agama adalah perkara yang sangat pribadi sehingga dalam rangka kebebasan, setiap orang merasa berhak berpendapat tentang agama ini, mana yang diyakini sebagai kebenaran. Tuntutan terhadap toleransi beragama tidak hanya berasal dari pertimbangan-pertimbangan teologis maupun relijius, tetapi juga merupakan tuntutan yang dikedepankan ketika keseluruhan struktur masyarakat berada dalam situasi kritis, kemudian berbagai teori dikembangkan untuk membangun sebuah masyarakat baru, meninggalkan sistem sosial lama yang tradisional agar lebih bebas menciptakan masyarakat baru yang lebih modern. Oleh karena itu, membicarakan toleransi beragama atau toleransi dan kebebasan beragama dengan sendirinya menggiring kita masuk ke dalam wilayah pemikiran konstitusional dan sosial pada permulaan zaman modern. Penggunaan istilah modern dalam konteks toleransi dan kebebasan beragama, sebagaimana pandangan Schumann di atas, memiliki pengertian tersendiri. Menurutnya, istilah "modern" harus dikaitkan dengan society dan bukan pada lingkup kemajuan ilmu pengetahuan mutakhir. Tetapi yang dibicarakan disini dalam konteks progress, yang berarti kemajuan dan bukan modernitas. Seseorang yang menggunakan teknologi maju tidak selalu berarti menjadi manusia modern. Para diktator yang mempertahankan cara hidup kuno dan tradisional seringkali mempergunakan peralatan-peralatan maju. Namun tidak dengan sendirinya mereka dianggap sebagai manusia modern. Istilah modern mengandung pengertian kepada "perubahan sikap mental dan cara berfikir". Modernitas berkaitan dengan kemanusiaan dan bukan teknologi. Oleh karena itu, persoalan toleransi dan kebebasan beragama membawa pada persoalan mendasar tentang kemanusiaan atau antropologi. Melalui pertimbangan ini, maka persoalan kebebasan dan toleransi beragama menjadi permasalahan teologis. Supaya tercipta kerukunan, maka persoalan toleransi beragama harus didekati dari dua aspek, yaitu dari aspek praktis dan teoritis. Secara praktis, toleransi berkenaan dengan kehidupan nyata, bahwa kehidupan masyarakat adalah majemuk yang didalamnya semua anggotanya diterima meski memiliki agama, kepercayaan, dan afiliasi yang berbeda. Ini adalah awal dari kelahiran konsep kewarganegaraan modern. Sedangkan aspek teoritisnya, berkaitan dengan penekanan utama dari gerakan pencerahan yang bertujuan membentuk sebuah masyarakat baru. Hal ini bisa terwujud jika seluruh anggota masyarakat memberikan kontribusi dengan keyakinan dan dedikasi yang tulus. Sebagai masyarakat yang majemuk termasuk didalamnya masalah keberagamaan, sudah seharusnya masyarakat lebih terbuka dan dewasa dalam berfikir, dan semangat lebih toleran dalam hidup bersama. Di sinilah makna sebenarnya dari toleransi beragama, yaitu suasana sejuk, saling memelihara, dan mendukung dalam suasana kemajemukan. Toleransi semakin baik, maka terbangun dialog konstruktif dan berdayaguna yang mampu menumbuhkan sikap dan atmosfir keberagamaan yang semakin terbuka, plural, dan inklusif. Pemahaman keagamaan para penganut agama akan semakin kritis dan bertanggung jawab; sebaliknya, pemahaman yang eksklusif, tertutup, dan bahkan sempit, justru menyebabkan saling menjauh antara satu dengan yang lain, bahkan tidak menutup kemungkinan muncul konflik dan menyuburkan sentimen keagamaan. Sangat disayangkan, yang seharusnya agama membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi manusia, sering dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi dan kelompok. Olaf Schumann menyebutkan adanya lima dimensi toleransi antarumat beragama yang satu sama lainnya saling berkaitan, yaitu : 1. Dimensi praktis sosial; keterbukaan untuk menerima secara empatetis keberadaan dan aktifitas umat beragama lain di segala lapangan kehidupan yang diarahkan oleh ajaran-ajaran etis-moral masing-masing agama. 2. Dimensi ritual religius; keterbukaan untu menerima secara empatetis cara-cara dan bentuk-bentuk ekspresi ritual simbolik kehidupan beragama dari umat beragama lain. 3. Dimensi doktrinal/ajaran; keterbukaan memahami secara empatetis pernyataan-pernyataan dan klaim-klaim doktrinal/akidah yang dipercaya umat beragama lain, yang bersumber dari kitab suci dan tradisi-tradisi keagamaan masing-masing yang terus mengalami aktualisasi dan perkembangan. 4. Dimensi perziarahan kehidupan beriman; keterbukaan untuk mengakui secara timbal balik bahwa setiap umat beragama sedang menempuh ziarah atau perjalanan kehidupan beriman, yang dimulai dari generasi-generasi perdana setiap umat yang bersangkutan dalam sejarah di dalam konteks sosial masing-masing, dan dilanjutkan secara kreatif dan dinamis oleh setiap umat beragama kontemporer dalam konteks sosial masing-masing. 5. Dimensi spiritualitas dan religiositas; setiap pihak dalam relasi antar umat beragama perlu mengalami perjumpaan yang akrab dan intim dengan Realitas lain yang transenden, Realitas Spiritual, yang menjadi pusat batiniah yang dari dalamnya muncul motivasi untuk hidup dalam kebajikan dan cinta kepada sesama manusia -motivasi yang membuat toleransi antarumat beragama menjadi suatu tugas panggilan spiritual. Melalui aktualisasi ke dalam dunia sosial-historis, lima dimensi agama di atas menjadi fungsional, yaitu bisa mempengaruhi atau memberi dampak pada masyarakat. Tercipta atau tidaknya toleransi antarumat beragama dapat memberikan dampak teretentu pada masyarakat yang bergantung pada dua faktor, yaitu faktor internal dalam agama itu sendiri, dan faktor eksternal di dalam masyarakat. Setelah menganalisis dasar-dasar teologis dan sosial tentang toleransi sebagaimana dikemukakan di atas, maka bagi umat beragama, khususnya umat Islam berkewajiban, baik secara moral maupun sosial, untuk melakukan tindakan-tindakan toleransi. Sepantasnya, penanaman nilai-nilai, pembiasaan tindakan-tindakan rukun dan toleran, harus menjadi warna dalam pergaulan sosial, termasuk ditanamkan (salah satunya) melalui pendidikan formal. Sebab, pendidikan bisa menjadi alat yang paling tepat untuk menghindari nirtoleransi, dan melalui pendidikan pula bisa mengajar orang-orang tentang hak-hak dan kebebasan bersama untuk saling menghormati dan melindungi. Tentu saja, dalam proses pendidikannya, diperlukan metode dan materi pembelajaran kerukunan dan toleransi yang sistimatis dan rasional, sehingga nilai-nilai kerukunan dan toleransi antar umat beragama bukan hanya tindakan-tindakan berdasarkan kepentingan "stabilitas keamanan" semata, tetapi jauh dari itu, tindakan kerukunan dan toleransi harus berdasarkan atas 'kesadaran dalam beragama'. Dalam tulisan ini, penulis akan menyoroti beberapa faktor yang menjadi penyebab sekaligus hambatan terwujudnya toleransi, terutama menyoroti dari kalangan internal penganut agama yang berpengaruh terhadap pergaulan antar umat beragama. Pemahaman Agama Seringkali persoalan keagamaan yang muncul adalah terletak pada problem penafsiran, atau pemahaman, bukan pada benar tidaknya agama dan wahyu Tuhan itu sendiri . Sehingga, masalah kerukunan keagamaan termasuk didalamnya dialog antar umat beragama harus menjadi wacana sosiologis dengan menempatkan doktrin keagamaan sebagai dasar pengembangan pemuliaan kemanusiaan. Menurut Ninian Smart, bertambahnya pengetahuan atau pemahaman akan berakibat melunakkan permusuhan, dan dalam tahap ini berarti meningkatkan kesepakatan.

Posted by: amgy | December 11, 2012 (edit) TOLERANSI DAN PERMASALAHANNYA Analisis terhadap fenome... more Posted by: amgy | December 11, 2012 (edit) TOLERANSI DAN PERMASALAHANNYA Analisis terhadap fenomena kehidupan beragama Adeng Muchtar Ghazali Dasar Pemikiran Dalam pendekatan budaya, sosial dan politik, istilah toleransi merupakan simbol kompromi beberapa kekuatan yang saling tarik-menarik atau saling berkonfrontasi untuk kemudian bahu-membahu membela kepentingan bersama, menjaganya dan memperjuangkannya. Demikianlah yang bisa kita simpulkan dari celotehan para tokoh budaya, tokoh sosial politik dan tokoh agama diberbagai negeri, khususnya di Indonesia . Maka toleransi itu adalah kerukunan sesama warga negara dengan saling menenggang berbagai perbedaan yang ada diantara mereka. Sampai batas ini, toleransi masih bisa dibawa kepada pengertian syariah islamiyah. Tetapi setelah itu, sejalan dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat, maka pengertian toleransi bergeser semakin menjauh dari batasan-batasan Islam, sehingga cenderung mengarah kepada sinkretisme agama-agama, bahkan dinilai "semua agama sama baiknya". Tentu saja, prinsip ini menolak kemutlakan doktrin agama-agama, yang menurut doktrin Islam menyatakan bahwa kebenaran hanya ada dalam Islam. Kalau pun ada perbedaan antara kelompok Islam dengan kelompok non muslim, maka segera dikatakan bahwa perkara agama adalah perkara yang sangat pribadi sehingga dalam rangka kebebasan, setiap orang merasa berhak berpendapat tentang agama ini, mana yang diyakini sebagai kebenaran. Tuntutan terhadap toleransi beragama tidak hanya berasal dari pertimbangan-pertimbangan teologis maupun relijius, tetapi juga merupakan tuntutan yang dikedepankan ketika keseluruhan struktur masyarakat berada dalam situasi kritis, kemudian berbagai teori dikembangkan untuk membangun sebuah masyarakat baru, meninggalkan sistem sosial lama yang tradisional agar lebih bebas menciptakan masyarakat baru yang lebih modern. Oleh karena itu, membicarakan toleransi beragama atau toleransi dan kebebasan beragama dengan sendirinya menggiring kita masuk ke dalam wilayah pemikiran konstitusional dan sosial pada permulaan zaman modern. Penggunaan istilah modern dalam konteks toleransi dan kebebasan beragama, sebagaimana pandangan Schumann di atas, memiliki pengertian tersendiri. Menurutnya, istilah "modern" harus dikaitkan dengan society dan bukan pada lingkup kemajuan ilmu pengetahuan mutakhir. Tetapi yang dibicarakan disini dalam konteks progress, yang berarti kemajuan dan bukan modernitas. Seseorang yang menggunakan teknologi maju tidak selalu berarti menjadi manusia modern. Para diktator yang mempertahankan cara hidup kuno dan tradisional seringkali mempergunakan peralatan-peralatan maju. Namun tidak dengan sendirinya mereka dianggap sebagai manusia modern. Istilah modern mengandung pengertian kepada "perubahan sikap mental dan cara berfikir". Modernitas berkaitan dengan kemanusiaan dan bukan teknologi. Oleh karena itu, persoalan toleransi dan kebebasan beragama membawa pada persoalan mendasar tentang kemanusiaan atau antropologi. Melalui pertimbangan ini, maka persoalan kebebasan dan toleransi beragama menjadi permasalahan teologis. Supaya tercipta kerukunan, maka persoalan toleransi beragama harus didekati dari dua aspek, yaitu dari aspek praktis dan teoritis. Secara praktis, toleransi berkenaan dengan kehidupan nyata, bahwa kehidupan masyarakat adalah majemuk yang didalamnya semua anggotanya diterima meski memiliki agama, kepercayaan, dan afiliasi yang berbeda. Ini adalah awal dari kelahiran konsep kewarganegaraan modern. Sedangkan aspek teoritisnya, berkaitan dengan penekanan utama dari gerakan pencerahan yang bertujuan membentuk sebuah masyarakat baru. Hal ini bisa terwujud jika seluruh anggota masyarakat memberikan kontribusi dengan keyakinan dan dedikasi yang tulus. Sebagai masyarakat yang majemuk termasuk didalamnya masalah keberagamaan, sudah seharusnya masyarakat lebih terbuka dan dewasa dalam berfikir, dan semangat lebih toleran dalam hidup bersama. Di sinilah makna sebenarnya dari toleransi beragama, yaitu suasana sejuk, saling memelihara, dan mendukung dalam suasana kemajemukan. Toleransi semakin baik, maka terbangun dialog konstruktif dan berdayaguna yang mampu menumbuhkan sikap dan atmosfir keberagamaan yang semakin terbuka, plural, dan inklusif. Pemahaman keagamaan para penganut agama akan semakin kritis dan bertanggung jawab; sebaliknya, pemahaman yang eksklusif, tertutup, dan bahkan sempit, justru menyebabkan saling menjauh antara satu dengan yang lain, bahkan tidak menutup kemungkinan muncul konflik dan menyuburkan sentimen keagamaan. Sangat disayangkan, yang seharusnya agama membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi manusia, sering dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi dan kelompok. Olaf Schumann menyebutkan adanya lima dimensi toleransi antarumat beragama yang satu sama lainnya saling berkaitan, yaitu : 1. Dimensi praktis sosial; keterbukaan untuk menerima secara empatetis keberadaan dan aktifitas umat beragama lain di segala lapangan kehidupan yang diarahkan oleh ajaran-ajaran etis-moral masing-masing agama. 2. Dimensi ritual religius; keterbukaan untu menerima secara empatetis cara-cara dan bentuk-bentuk ekspresi ritual simbolik kehidupan beragama dari umat beragama lain. 3. Dimensi doktrinal/ajaran; keterbukaan memahami secara empatetis pernyataan-pernyataan dan klaim-klaim doktrinal/akidah yang dipercaya umat beragama lain, yang bersumber dari kitab suci dan tradisi-tradisi keagamaan masing-masing yang terus mengalami aktualisasi dan perkembangan. 4. Dimensi perziarahan kehidupan beriman; keterbukaan untuk mengakui secara timbal balik bahwa setiap umat beragama sedang menempuh ziarah atau perjalanan kehidupan beriman, yang dimulai dari generasi-generasi perdana setiap umat yang bersangkutan dalam sejarah di dalam konteks sosial masing-masing, dan dilanjutkan secara kreatif dan dinamis oleh setiap umat beragama kontemporer dalam konteks sosial masing-masing. 5. Dimensi spiritualitas dan religiositas; setiap pihak dalam relasi antar umat beragama perlu mengalami perjumpaan yang akrab dan intim dengan Realitas lain yang transenden, Realitas Spiritual, yang menjadi pusat batiniah yang dari dalamnya muncul motivasi untuk hidup dalam kebajikan dan cinta kepada sesama manusia -motivasi yang membuat toleransi antarumat beragama menjadi suatu tugas panggilan spiritual. Melalui aktualisasi ke dalam dunia sosial-historis, lima dimensi agama di atas menjadi fungsional, yaitu bisa mempengaruhi atau memberi dampak pada masyarakat. Tercipta atau tidaknya toleransi antarumat beragama dapat memberikan dampak teretentu pada masyarakat yang bergantung pada dua faktor, yaitu faktor internal dalam agama itu sendiri, dan faktor eksternal di dalam masyarakat. Setelah menganalisis dasar-dasar teologis dan sosial tentang toleransi sebagaimana dikemukakan di atas, maka bagi umat beragama, khususnya umat Islam berkewajiban, baik secara moral maupun sosial, untuk melakukan tindakan-tindakan toleransi. Sepantasnya, penanaman nilai-nilai, pembiasaan tindakan-tindakan rukun dan toleran, harus menjadi warna dalam pergaulan sosial, termasuk ditanamkan (salah satunya) melalui pendidikan formal. Sebab, pendidikan bisa menjadi alat yang paling tepat untuk menghindari nirtoleransi, dan melalui pendidikan pula bisa mengajar orang-orang tentang hak-hak dan kebebasan bersama untuk saling menghormati dan melindungi. Tentu saja, dalam proses pendidikannya, diperlukan metode dan materi pembelajaran kerukunan dan toleransi yang sistimatis dan rasional, sehingga nilai-nilai kerukunan dan toleransi antar umat beragama bukan hanya tindakan-tindakan berdasarkan kepentingan "stabilitas keamanan" semata, tetapi jauh dari itu, tindakan kerukunan dan toleransi harus berdasarkan atas 'kesadaran dalam beragama'. Dalam tulisan ini, penulis akan menyoroti beberapa faktor yang menjadi penyebab sekaligus hambatan terwujudnya toleransi, terutama menyoroti dari kalangan internal penganut agama yang berpengaruh terhadap pergaulan antar umat beragama. Pemahaman Agama Seringkali persoalan keagamaan yang muncul adalah terletak pada problem penafsiran, atau pemahaman, bukan pada benar tidaknya agama dan wahyu Tuhan itu sendiri . Sehingga, masalah kerukunan keagamaan termasuk didalamnya dialog antar umat beragama harus menjadi wacana sosiologis dengan menempatkan doktrin keagamaan sebagai dasar pengembangan pemuliaan kemanusiaan. Menurut Ninian Smart, bertambahnya pengetahuan atau pemahaman akan berakibat melunakkan permusuhan, dan dalam tahap ini berarti meningkatkan kesepakatan.
Komarudin Hidayat menyebutkan adanya lima tipologi sikap keberagamaan, yakni "eksklusivisme, inkl... more Komarudin Hidayat menyebutkan adanya lima tipologi sikap keberagamaan, yakni "eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme, eklektivisme, dan universalisme". Kelima tipologi ini tidak berarti masing-masing lepas dan terputus dari yang lain dan tidak pula permanen, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah kecenderungan menonjol, mengingat setiap agama maupun sikap keberagamaan senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan kelima sikap di atas.
Untuk bisa menjelaskan implikasi taqwa terhadap pendidikan, penulis menempuhnya melalui tiga cara... more Untuk bisa menjelaskan implikasi taqwa terhadap pendidikan, penulis menempuhnya melalui tiga cara, yaitu : Pertama; mengumpulkan ayat-ayat Alqur'an yang berkenaan dengan taqwa, mengelompokkan dan memberi makna berdasarkan tema, kemudian mengambil inti sari (essensi) makna taqwa. Kedua; memahami landasan filosofis, teoritis, dan hakekat pendidikan; dan ketiga, menjelaskan hubungan makna taqwa yang dimaksud dalam Alqur'an dengan yang menjadi prinsip dasar atau hakekat pendidikan. Berdasarkan tiga langkah dan alur pikir inilah penulis menyusun makalah ini.

: Ratnanengsih Pendahuluan Istilah "peradaban Islam" merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu a... more : Ratnanengsih Pendahuluan Istilah "peradaban Islam" merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu al-Hadharah al-Islamiyyah. Istilah Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan "kebudayaan Islam". Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata : "kebudayaan" (Arab/al-tsaqafah dan culture/Inggris) dengan "peradaban" (civilization/Inggris dan al-hadharah/Arab) sebagai istilah baku kebudayaan. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasimanifestasi kemajuan tekhnis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak di reflesikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi. Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Peradaban dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para sahabat (Khulafaur Rasyidin),dan sejarah kekhalifahan Islam sampai kehidupan umat Islam sekarang.

Dalam kontek sosiologis, mengutip Hendropuspito, pendidikan (Islam) termasuk fenomena dan masalah... more Dalam kontek sosiologis, mengutip Hendropuspito, pendidikan (Islam) termasuk fenomena dan masalah sosial, sehingga dalam kelembagaannya tidak lepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Disebut demikian, karena didalamnya terdapat suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sangsi hukum guna tercapainya kebutuhan-lebutuhan sosial dasar. Dalam prosesnya, tentu saja pendidikan selalu berkembang, dinamis dan mengalami perubahan. Karena itulah, Mansour Fakih menegaskan, bahwa tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap sistem dan " ideologi yang dominan " yang tengah berlaku di masyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Tugas ini, dimanifetasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil. Konsekwensi dari pemikiran ini, tentu saja bahwa pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa netral, obyektif maupun " detachment " dari kondisi kehidupan masyarakat. Netralitas pendidikan dalam memahami situasi itu, salah satunya, tergantung dari proses pendidikan itu sendiri. Kata Paulo Freire, bahwa pendidikan harus berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif, tetapi harus kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang obyektif. Al-Ghazali mengatakan bahwa " pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan, sesuai dengan Hadits: "Dia yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhan," dan sebagaimana yang tertulis di dalam al-Qur'an: "akan Kami tunjukkan ayat-ayat kami di dunia ini dan di dalam diri mereka, agar kebenaran tampak bagi mereka." Dengan demikian, tidak ada yang lebih dekat kepada kita kecuali diri kita sendiri. Jika kita tidak mengetahui diri anda sendiri, bagaimana kita bisa mengetahui segala sesuatu yang lain. Gambaran teoritis yang telah dipaparkan baik olah Fakih maupun Freire di atas, seolah bertolak belakang dengan gambaran nyata dalam fenomena pendidikan di sekitar kita. Pendidikan yang sedang dijalani oleh bangsa ini lebih menggambarkan sebagai sebuah proses peminggiran rasa kemanusiaan karena peserta didik diposisikan sebagai " obyek " yang siap " digarap " oleh perangkat pendidikan untuk dijadikan manusia-manusia " mekanik ". Antara materi yang diajarkan dengan problem realitas terdapat kesenjangan yang luar biasa. Akibatnya peserta didik menjadi terasing dengan realitasnya dan mereka menjelma sebagai sosok yang menguasai teori tetapi gagap dalam melakukan transformasi masyarakat. Inilah yang diingatkan oleh H. Ahmad Tafsir bahwa tujuan pendidikan sebenarnya adalah " memanusiakan manusia, menjadi manusia

Adanya dinamika dan perkembangan Islam mengidentifikasikan pula adanya dinamika dan perkembangan ... more Adanya dinamika dan perkembangan Islam mengidentifikasikan pula adanya dinamika dan perkembangan pemikiran Islam itu sendiri. Oleh karena itu, pemikiran Islam merupakan refleksi teologis seseorang dalam memahami situasi sosial, kultural, politik, ekonomi, dan lain sebagainya, sebagai aktualisasi pemahaman keislamannya. Lebih tepatnya, pemikiran Islam itu merupakan upaya ijtihadi seseorang atau sekelompok orang dalam memahami teks suci Alqur'an dan As-Sunnah sejalan dengan perkembangan dan situasi sosial kultural, ekonomi, dan politik dimana Islam itu berkembang. Tentu saja, kapasitas intelektual dan persyaratan 'akademik' yang harus dimiliki seseorang dalam berijtihad, adalah mutlak diperlukan. Pemikiran Islam telah diawali sejak masa Rasulullah. Ketika Rasulullah bertindak, bersikap maupun berbicara, adalah sedang dalam proses pengungkapan kewahyuan yang diterimanya dari Allah dalam memahami 'situasi' umat pada waktu itu. Oleh karena itu, pemikiran Islam yang terjadi pada masa Rasulullah dan para sahabat, menunjukkan adanya upaya ijtihadi itu. Hanya dalam proses ijtihadinya, baik Rasulullah maupun para sahabat sangat berbeda. Rasulullah, dalam melakukan proses ijtihadi itu langsung dibawah bimbingan wahyu Allah, sehingga pemikiran Rasulullah tidak mungkin salah, kalaupun salah, maka Allah langsung menegur kesalahan itu dengan wahyunya. Adapun proses ijtihadi pada masa sahabat setelah Rasulullah wafat, mereka memahami langsung teks Alquran dan As-Sunnah (al Hadits), kecuali, ketika para sahabat itu masih bersama-sama dengan Rasulullah, maka setiap ada persoalan yang dihadapi, para sahabat langsung bertanya pada Rasulullah. Jawaban Rasulullah adalah wahyu. Dengan demikian, yang menjadi sumber pemikiran Rasulullah adalah wahyu. Sepeninggal Rasulullah,maka yang menjadi sumber pemikiran umat Islam adalah Alqur'an dan As-Sunnah.

Aliran Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, dan juga Syi'ah, tak dipungkiri sebagai aliran-aliran... more Aliran Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, dan juga Syi'ah, tak dipungkiri sebagai aliran-aliran besar dalam sejarah pemikiran Kalam. Disebut sebagai " aliran-aliran besar " , paling tidak, saya dapat mengemukakan beberapa alasan akademis berikut : Pertama, secara metodologis, keempat aliran tersebut telah meletakkan dasar-dasar 'metode keilmuan' dalam memahami dan mempertahankan prinsip-prinsip dasar keyakinan Islam. Sekalipun metode-metode itu berasal dari 'metode berfikir' filsafat Yunani,-dimana semua disiplin ilmu apa pun namanya tidak lepas dari kerangka berfikir filsafat ini – namun, keempat aliran tersebut telah berhasil merumuskan sebuah bangunan pemikiran keislaman yang sistimatis, obyektif, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga menjadi sebuah pemikiran teologis yang khas; Kedua, sebagai suatu aliran teologis, pemikiran keislaman keempat aliran tersebut mewarnai dan memberi pengaruh besar terhadap pola dan trend pemikiran umat Islam sampai sekarang; Ketiga, berkaitan dengan alasan pertama dan kedua di atas, maka tidak heran keempat aliran tersebut menjadi obyek penelitian dan referensi para ilmuwan Islam maupun non-Islam di bidang pemikiran teologi Islam. Keempat, karena alasan-alasan itulah, maka di beberapa perguruan tinggi Islam, keempat aliran tersebut dimasukkan dalam kurikulum/silabi Pemikiran Modern Dalam Islam maupun Ilmu Kalam itu sendiri. Di luar alasan-alasan di atas, Arkoun (Lihat; Amin Abdullah, 1997) dan Fazlur Rahman (1993) mengemukakan alasan-alasan politis dan sosial kultural berkenaan dengan trend dan kemapanan pemikiran Kalam. Secara politis, menurut Arkoun, bahwa teologi Islam ortodoks selalu bernasib baik, sehubungan corak pemikirannya selalu dimanfaatkan oleh para penguasa sejak abad kedua belas Miladiah untuk menjaga stabilitas negara. Dalam hal ini, teologi Asy'ariyah jauh lebih diutamakan daripada usaha-usaha yang bersipat inovatif, reformatif, dan transformatif. Implikasinya adalah, masyarakat Muslim bersikap apatis dan menerima apa adanya tanpa ada usaha evaluasi kritik terhadap bentuk teologi yang sudah terlanjur mapan tersebut. Secara sosial kultural, menurut Fazlur Rahman, dan alasan ini ada hubungannya dengan alasan politis di atas, bahwa adanya kemandegan kreatifitas berfikir umat Islam disebabkan mereka

Istilah ''Islam Politik'' akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan terutama di berbagai kalangan... more Istilah ''Islam Politik'' akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan terutama di berbagai kalangan masyarakat Muslim. Istilah ini pada intinya adalah untuk menjelaskan dua kata yang ketika di gabung memiliki makna penguatan satu sama lain. Adanya kekuatan masyarakat Islam dalam politik, atau sebaliknya adanya kekuatan politik pada masyarakat Islam. Dua kekuatan ini, bagaimanapun berpangkal dari tidak terpisahkannya agama (Islam) dengan politik. Kita akan melihat hubungan ini dalam perjalanan umat Islam di Indonesia. Sering kita jumpai, komentar-komentar orang Barat mengenai hubungan antara agama dan politik di Indonesia umumnya terfokuskan pada politik. Bahkan tidak sedikit tulisan-tulisan yang membahas agama, ternyata hanya membicarakan manifestasi sosio-politisnya; sedangkan agama sebagai agama, sebagai matra otonom, sangat jarang dimunculkan. Pandangan ini bisa dikatakan benar ataupun sebaliknya, jika melihat keadaan dinamika hubungan umat Islam dengan negara memiliki perkembangan yang begitu pluktuatif. Pasang surut hubungan Islam, dalam pengertian kekuatan politik, dengan negara dalam kurun waktu tiga dekade (30 tahun) belakangan setidaktidaknya dipengaruhi oleh : pertama, besarnya tingkat keterwakilan (representativeness) umat Islam dalam negara; kedua, terintegrasinya umat Islam ke dalam negara melalui saluran-saluran eksekutif, legislatif dan yudikatif ; ketiga, pelembagaan idiom Islam atau dipakainya idiomidiom Islam dalam proses penyelenggaraan negara . Dari ketiga hubungan ini bisa dilihat bagaimana pola hubungan Islam dengan negara itu terbentuk, mungkin memiliki kecenderungan akomodatif atau sebaliknya, vis-à-vis. Proses "pembentukan" Islam Politik Islam, sebagai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, melalui para pemimpinnya sepandangan bahwa negara (kekuasaan politik) amat diperlukan sebagai instrumen untuk menjamin dan melaksanakan ajaran-ajarannya dalam kehidupan kolektif. Mengutip Ibnu Taymiyah, Ahmad Syafi'i Maarif menyatakan bahwa "wilayah (organisasi politik) bagi (kehidupan kolektif) manusia merupakan keperluan agama yang terpenting. Tanpa topangannya agama tidak akan tegak dengan kukuh . Sedangkan hal ini tidak mempertimbangkan kenyataan

Abstrak Kebenaran ajaran Islam yang selama ini kita yakini sebagai Rahmatan lil alamin, mungkin h... more Abstrak Kebenaran ajaran Islam yang selama ini kita yakini sebagai Rahmatan lil alamin, mungkin hanya berlaku bagi sekelompok orang yang benar-benar meyakini secara menyeluruh tentang keagungan Islam itu sendiri sehingga bisa mengikat semua niat, ucapan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tauhid secara kontinyu dan konsekwen, dengan ruh yang bernafaskan Asma Allah. Seharusnya hati dipenuhi dengan pikiran dan makna Al-Qur'an, sedangkan tingkah laku penuh dengan makna Hadist Nabi, akan tetapi justru tidak semua orang yang beragama Islam itu mengetahui secara hakiki semua nilai kebenaran ajarannya Islam itu sendiri. A. Islam dan Kehadiran Agama-agama Lain Masing-masing agama memiliki klaim-klaim eksklusif, atau truth claim, sebaliknya, masing-masing agama pun memiliki pesan-pesan inklusif (inklusivisme keagamaan). Segi eksklusifitas ini, nampak pada masing-masing agama melakukan penyebaran misinya. Dalam Islam, penyebaran misi ini melalui " tugas " atau " panggilan " dakwah. Islam mewajibkan kepada para pemeluknya untuk menyampaikan pesan-pesan Islam melalui dakwah, suatu panggilan kepada kebenaran agar manusia yang bersngkutan dapat mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Karena dakwah merupakan " panggilan " , konsekuensinya adalah bahwa ia tidak harus melibatkan pemaksaan – la ikraha fi al-din. Dengan demikian, Islam mengakui hak hidup agama-agama lain, dan membenarkan para pemeluk agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran agama masing-masing. Di sini terdapat dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama. Toleransi yang saya pahamai adalah tidak diartikan sebagai sikap masa bodoh terhadap agamanya, atau bahkan tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakininya itu. Oleh karena itu, setiap orang yang beriman senantiasa terpanggil untuk menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya, tetapi harus berpegang teguh pada etika dan tatakrama sosial serta tetap menghargai hak-hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara sukarela. Sebab, pada hakekatnya hanya di tangan Tuhanlah pengadilan atau penilaian sejati akan dilaksanakan. Pengakuan akan adanya kebenaran yang dianut memang harus dipertahankan. Tetapi, pengakuan itu harus memberi tempat pula pada agama lain sebagai sebuah kebenaran yang diakui secara mutlak oleh para pemeluknya. Berkaitan dengan toleransi beragama itu, dalam perspektif teologi Islam, kerukanan hidup antar agama – dan konsekuensinya, antara umat beragama – tentu saja berkaitan erat dengan doktrin Islam tentang hubungan antara sesama manusia dan hubungan antara Islam dengan agama
Muchtar Ghazali (makalah disampaikan dalam sarasehan KNPI Kota Bogor di auditorium RRI Bogor, 26 ... more Muchtar Ghazali (makalah disampaikan dalam sarasehan KNPI Kota Bogor di auditorium RRI Bogor, 26 Januari 2008)

Abstrak Agama merupakan sesuatu yang diyakini dan dipahami oleh manusia.Suatu keyakinan bisa tamp... more Abstrak Agama merupakan sesuatu yang diyakini dan dipahami oleh manusia.Suatu keyakinan bisa tampak manakala diekspresikan dalam berbagai tindakan. Tindakan manusia beragama itu merupakan penerapan konkrit dari nilai-nilai yang dimiliki manusia. Oleh karena itulah, Smith mencoba memahami dan sekaligus " mempersoalkan " agama berdasarkan apa yang diyakini dan diperbuat oleh manusia beragama, sebab, kebenaran itu justru muncul berdasarkan apa yang dipahami dan dilakukan oleh manusia. Atas dasar itu, keberagamaan seseorang bagaimanapun akan di-pengaruhi oleh struktur sosial, po-litik dan kultural setempat dimana agama itu hidup dan berkembang. Dalam konteks ini, misalnya, kenapa " perwujudan " Islam di Indonesia bisa dibedakan dengan Islam di Arab Saudi, Pakistan, Mesir, atau di tempat lainnya ? Demikian juga, kenapa Hindu di India berbeda dengan Hindu di Bali ? Dari sinilah, maka setiap agama tidak dapat dipisahkan dari cirinya yang " kompromistis " atau " akomodatif ". Sifat akomodatif terletak pada penghampiran manusia terhadap agamanya yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial, kultur dan politis dimana ia hidup. Tentu saja, pandangan itu lebih bersipat sosial antropologis. Sebaliknya, sebagai sistem keyakinan, agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan suatu masyarakat dan menjadi pendorong tindakan-tindakan anggota masyarakat supaya tetap berjalan sesuai dengan niali-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya. Berdasarkan fakta historis, bahwa tindakan-tindakan beragama akan berhadapan dengan realitas-realitas keyakinan yang beragam. Oleh karena itu, maka, bagaimana keyakinan seseorang mendefinisikan diri di tengah-tengah agama-agama lain. Dan, semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme agama, maka berkembang pula suatu paham teologia religionum, yaitu suatu faham yang menekankan pentingnya dewasa ini untuk berteologi dalam konteks agama-agama. Dalam konteks itulah, penelitian ini berusaha untuk memahami dan mendeskripsikan landasan etis dan normatif dialog kerukunan. Termasuk didalamnya mendeskripsikan seperangkat

Pengantar Makalah ini untuk menganalisis hubungan budaya dan agama pada masyarakat. Apakah agama ... more Pengantar Makalah ini untuk menganalisis hubungan budaya dan agama pada masyarakat. Apakah agama mempengaruhi terhadap budaya, begitu pula sebaliknya, apakah budaya mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam kajian sosiologis, baik agama maupun budaya merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kebudayaan yang hidup pada suatu masyarakat, pada dasarnya merupakan gambaran dari pola pikir, tingkah laku, dan nilai yang di anut oleh masyarakat yang bersangkutan. Dari sudut pandang ini, agama di satu sisi memberikan kontribusi terhadap nilai-nilai budaya yang ada, sehingga agama pun bisa berjalan atau bahkan akomodatif dengan nilai-nilai budaya yang sedang dianutnya. Pada sisi lain, karena agama sebagai wahyu dan memiliki kebenaran yang mutlak, maka agama tidak bisa disejajarkan dengan nilai-nilai budaya setempat, bahkan agama harus menjadi sumber nilai bagi kelangsungan nilai-nilai budaya itu. Di sinilah terjadi hubungan timbal balik antara agama dengan budaya. Persoalannya adalah, apakah nilai-nilai agama lebih dominan dalam mempengaruhi budaya setempat, atau sebaliknya, budaya lebih dominan dalam kehidupan masyarakat itu? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang akan kita bahasa dalam diskusi sekarang ini. Kebudayaan dan Tradisi Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Sementara, menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain. Demikian pula, Edward B. Tylor berpendapat, bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sejalan dengan pengertian tersebut di atas, Parsudi Suparlan secara lebih spesifik menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan cetak biru bagi kehidupan, atau pedoman bagi kehidupan masyarakat, yaitu merupakan perangkat-perangkat acuan yang berlaku umum dan menyeluruh dalam menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan para warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Dari pengertian kebudayaan itu, dapat diperoleh kesimpulan bahwa kebudayaan itu merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,

Nama "Ibrahim" banyak menarik perhatian para sarjana. Ada yang mengatakan bahwa nama itu diambil ... more Nama "Ibrahim" banyak menarik perhatian para sarjana. Ada yang mengatakan bahwa nama itu diambil dari suatu kata-kata dalam bahasa Semitik kuno di Babilonia yang mengandung arti "menyeberang" atau "mengembara". Karena itu anak turunnya pun disebut bangsa Habiru atau Ibrani (Arab: Ibrani, Inggris: Hebrew), yang menunjukkan pengertian sebagai bangsa pengembara atau nomad. Dan kata-kata Arab 'Ibrani' adalah satu akar dengan kata-kata 'abara' yang artinya "menyeberang" atau "melintas". Disebut orang Habiru atau Ibrani, karena Ibrahim mengembara, meninggalkan tumpah darahnya, yaitu Kaldea di kawasan Babilonia (di lembah Mesopotamia atau dua sungai, yaitu Efrat dan Tigris, Irak sekarang). 1 [1] 1 Sedangkan dalam Encyclopedia of Religion, nama Ibrahim (atau, nama Ibrani :Avraham) menunjukkan leluhur bangsa Ibrani dari garis Ishak dan Ya'qub serta leluhur bangsa Arab dari garis Isma'il. 2 [2] Ibrahim pertama kali mengembara menuju ke utara dan untuk beberapa lama tinggal di kota Harran, sebuah kota dekat perbatasan Irak dan Turki sekarang ini. Karena dimusuhi oleh penduduk setempat, sehubungan tantangannya kepada syirik, ia mengembara lagi menuju ke barat sampai akhirnya di Palestina selatan atau Kana'an, menetap dan berkeluarga di sana, sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di suatu tempat yang dinamai menurut namanya sendiri atau nama suku yang dilahirkannya, yaitu Hebron, tidak di al-Quds atau Yerusalem. Dari sudut kedekatan kebahasaan itu sudah nampak pertalian erat antara bangsa-bangsa Semit, khususnya Arab dan Ibrani. 3 [3] Dalam pandangan Islam (Alqur'an) Ibrahim adalah satu-satunya nabi, selain Muhammad, yang namanya disebut dalam shalat. Karena mengandung makna kesejarahan wahyu yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul, maka nama Ibrahim didalam Alquran disebut sebanyak 69 kali dalam 24 surat. Sekalipun demikian, nama Musa lebih banyak lagi, disebut sebanyak 136 kali, tetapi, tidak sebagaimana Ibrahim, nama Musa tidak disebut sebagai nama atau judul sebuah surat. 4 [4]

This article aims to discuss comprehensively the concept of tolerance in Islam later thought in s... more This article aims to discuss comprehensively the concept of tolerance in Islam later thought in such a way that the concept can be applied operationally in Islamic educational institutions such as madrassas, Islamic boarding schools and colleges. Methods and approaches used to address this issue are philosophical (phenomenological) and the sociology of education, one of which is the theory of inclusivism Mircea Eliade. In Islam, different thoughts, tribes, and even religion (adherents) refer to fitrah and sunnatullāh of God " s will. For this reason, then, tasāmuh (tolerance) becomes an important doctrine in every religion treatise, including in Islamic education system i.e; 1) to have responsive toward modernization which has been existed in general school institutions under Ministry of Education; 2) to develop sensitive character toward the change through apporiate learning strtategy and developing children psycho-social condition, modernizing learning facilities, environment, and other supporting factors including the involevement of parents, government, society and other education stakeholder; 3) to implement a model to strengthen inclusive Islamic education system which is opened, dialogic, and student-centered; 4) to bear a strong and tough human reseource with high tolerance who will act to occupy and create new civilization emphasizing on religion, spritual and humanism values; 5) to develop networking and corporation both national and international to expand informationn access, funding, and other international supports. ABSTRAK [Artikel ini bertujuan membahas secara komprehensif konsep toleransi dalam Islam kemudian berpikir sedemikian rupa bahwa konsep dapat diterapkan secara operasional di lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pondok pesantren dan perguruan tinggi. Metode dan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah ini adalah filsafat (fenomenologi) dan sosiologi pendidikan, salah satunya adalah teori inklusivisme Mircea Eliade. Dalam Islam, pemikiran yang berbeda, suku, dan bahkan agama (penganut) mengacu pada fitrah dan sunnatullah dari kehendak Tuhan. Untuk alasan ini, maka, tasāmuh (toleransi) menjadi doktrin penting dalam setiap risalah agama, termasuk dalam sistem pendidikan Islam yaitu; 1) responsif terhadap modernisasi yang telah ada di lembaga sekolah umum di bawah Departemen Pendidikan; 2) mengembangkan karakter sensitif terhadap perubahan melalui apporiate strtategy belajar dan mengembangkan anak-anak kondisi psiko-sosial, modernisasi fasilitas belajar, lingkungan, dan faktor pendukung lainnya termasuk involevement orang tua, pemerintah,
Uploads
Papers by Adeng Muchtar Ghazali
conclusions based on evidence, in order to understand and make decisions about nature and changes that
occur in nature as a result of human activity. This study aims to determine the development of physics teacher
candidates’ scientific literacy. This is important to prepare the physics teachers in the future. The method
used was ex-post facto. The subjects of this research were all students of physics education Department of
UIN Sunan Gunung Djati Bandung from the first to the last semester. The data collection used was essayed
tests which contained the context of science, the content of science, the process of science, and the attitude
of science. Data analysis was done qualitatively and quantitatively. Based on the results of this study, it
indicates that the scientific literacy ability possessed by physics teacher candidate students experiencing a
continuous development in terms of the context of science, science content, the process of science, and
attitude to science. The result of this research may be applied by the Physics Department to make a decision
or rule on how to improve the physics student’ literacy level.
conclusions based on evidence, in order to understand and make decisions about nature and changes that
occur in nature as a result of human activity. This study aims to determine the development of physics teacher
candidates’ scientific literacy. This is important to prepare the physics teachers in the future. The method
used was ex-post facto. The subjects of this research were all students of physics education Department of
UIN Sunan Gunung Djati Bandung from the first to the last semester. The data collection used was essayed
tests which contained the context of science, the content of science, the process of science, and the attitude
of science. Data analysis was done qualitatively and quantitatively. Based on the results of this study, it
indicates that the scientific literacy ability possessed by physics teacher candidate students experiencing a
continuous development in terms of the context of science, science content, the process of science, and
attitude to science. The result of this research may be applied by the Physics Department to make a decision
or rule on how to improve the physics student’ literacy level.