Contemporary Thought

The history of mankind has been marred with violence and bloodbaths committed in the Name of the God. The Crusade, Anti-Semitism, Palestine Conflict, the September 11th attack, etc. were dubbed the holy wars on behalf of God. Locally, the Ambon tragedies, Gereja Huria Kristen incident, Ahmadiyah, Syi'ah Sampang etc. were the case the conflict of religion (intern and extern) in Indonesia.

Nowadays, the world suffers a deep concern because faced to a complex crisis. The crisis has implicated to the live of all earth inhabitants, without exception, through the state boundaries, ethnic, ideology, culture, and religion. This is the crisis of environment, which in the scientific-philosophical discussion is also called "ecological crisis". The crisis cover the entire of ecological system on the earth, included matters related to human beings: the air to be breathed, the food to be eaten, the water to be drunk, and also a system in our body.

Kajian epistemologi dewasa ini kembali merajai kancah filsafat. Fenomena ini merupakan reaksi dari menyulutnya api pertikaian antar ideologi dan isme yang tak kunjung padam. Pertarungan dahsyat antar mazhab pemikiran didasarkan pada basis epistemologis yang mereka anut. Oleh karena itu, kajian epistemologi yang menjunjung tinggi kebenaran (realitas) dengan jalan damai merupakan angin surga bagi perkembangan filsafat.

Pluralism is the one of interesting subject in contemporary era. Many scholars concern on pluralism discourse because it relates to human life. Based on Mr. Bagir explanation, pluralism is recognition of truth understanding on thought, civilization, culture, religion, etc. In other words, pluralism is the view that response diversity. He emphasized on pluralism is not relativism, but the encounter of commitments.

Science and religion are two entities which have graced in the history of human life. According to me, both of them contributed to build civilization. In other word, science and religion are important element to support the existence of civilization. Discussion about them But, the discourse of the term "science and religion", on relation between them, becomes something dangerous.

Pada era 70-an, Nurcholis Madjid (Cak Nur) menggulirkan gagasan-gagasan terkait dengan pembaruan pemikiran Islam. Hal tersebut, tidak dapat dipungkiri, berdampak pada kebebasan berpikir dan kemunculan sikap keterbukaan di kalangan umat Islam Indonesia. Adapun alasan Cak Nur menekankan pentingnya diadakan pembaharuan didasari pada ersoalan yang dihadapi kaum muslim Indonesia pada konteks itu. Menurutnya, pembaharuan harus dimulai dengan dua tindakan, yaitu melepaskan diri dari nilai tradisional dan mencari nilai baru yang berorientasi ke masa depan. Dalam kaitan ini munculah ide "sekularisasi" yang sangat kontroversial.

Wujud merupakan pembahasan esensial dalam dunia Filsafat Islam. Hal itu tercermin dari diskursus dalam school of Philosophy, seperti Peripatetik, Iluminasionis, dan Hikmah Muta"aliyah. Seluruh mazhab (aliran) Filsafat tersebut mengetengahkan pembahasan "Wujud" pada fondasi yang mengantarkan pada pembahasan filosofis lainnya. Terlebih lagi karena pada hakikatnya setiap maujud mengandung wujud. Para filosof aliran peripatetik, yang menekankan pada rasio, membahas "wujud". Adapun tokoh garda depan yang mengetengahkan diskursus ini adalah Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam pandangan mereka, wujud merupakan elemen yang lebih utama daripada esensi. Atas dasar itu, maka beberapa pengkaji filsafat Islam menyatakan bahwa kedua tokoh peripatetik tersebut merupakan filosof Islam yang mengajukan filsafat wujudiah (eksistensialisme) pertama kali. 1 Walaupun, sesungguhnya pada masa itu belul bergulir diskursus mengenai "Ashalat" terkait dengan "Wujud" atau "Mahiyyah" yang lebih utama. Tapi, kecenderungan Al-Farabi dan Ibnu Sina pada Ashalah al-Wujud secara implisit. Adapun pembahasan wujud yang paling penting dalam filsafat peripatetik adalah "pembagian wujud". Dalam makalah ini, penulis akan mengusung pembahasan mengenai Wajib al-Wujud, Mumkin al-Wujud, dan Mumtani" al-Wujud. Terdapat perbedaan esensial pada filosof Peripatetik terkait dengan "Mumtani al-Wujud" yang akan dibahas sekilas pada tulisan ini.

Dalam tradisi filsafat moral, etika keutamaan (virtue ethics) yang diusung oleh Aristoteles tidak tergerus oleh perkembangan zaman. Seiring dengan kelahiran berbagai aliran etika, seperti relativisme etika, deontologi atau utilitarianisme, tidak serta merta menggeser buah pemikiran Aristoteles tersebut. Bahkan pendulum pemikiran etika kontemporer kembali berkiblat ke arah Yunani, khususnya kepada etika keutamaan Aristoteles. Hal itu karena etika Aristoteles tidak hanya mementingkan pengetahuan tentang nilai-nilai kebaikan, tapi juga keutamaan etis mengejawantah ke dalam, serta sebagai prasyarat bagi tindakantindakan moral. Sehingga, etika lebih menekankan pada seni hidup daripada aturan-aturan kategoris yang hitam-putih. Aristoteles telah menguraikan pendiriannya tentang etika dalam tiga karya yaitu Ethica Nicomachea, Ethica Eudemia dan Magna Moralia. Karya terakhir ini umumnya tidak dianggap otentik. Otentisitas Ethica Eudemia pada awalnya sering kali dipersoalkan, tetapi sekarang sudah tercapai konsensus antara para ahli mengenai otentisitasnya. Ethica Nicomachea agaknya ditulis Aristoteles pada usia lebih tua daripada Ethica Eudemia, sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam Ethica Nicomachea merupakan buah karya dari pemikiran Aristoteles yang lebih matang dan komprehensif dalam bidang etika. Pada makalah ini, kami bermaksud mengetengahkan pembahasan mengenai Etika Nikomakea (Nicomachean Ethics) atau Ta Ethika. Karya ini merupakan salah satu tulisan Aristoteles terkait dengan etika. Buku tersebut menekankan pada diskursus tentang kebajikan dan karakter moral. SesungguhnyaNicomachean Ethics terdiri dari 10 buah yang berdasarkan pada catatan dari kuliah Aristoteles 2 di Lyceumda. Para pakar percaya bahwa Etika Nikomakea dipersembahkan untuk anak laki-laki dan murid Aristoteles, Nikomakus. 1