Papers by Max Rooyackers

Mozaik, Jul 7, 2024
Penelitian ini memperdalam bagaimana wacana emansipasi perempuan terwujud dalam surat kabar De Ex... more Penelitian ini memperdalam bagaimana wacana emansipasi perempuan terwujud dalam surat kabar De Expres yang diredaksi oleh E.F.E. Douwes Dekker dan H.C. Kakebeeke. Tiga aspek diperhatikan dalam keseluruhan wacana perempuan, yaitu berita lokal dan nasional, internasional, serta sastra. Masing-masing aspek memiliki peran tersendiri dalam membentuk wacana perempuan. Berita nasional menawarkan esai kritis dalam konteks lokal, sedangkan berita internasional menawarkan esai kritis dalam konteks yang berbeda. Sastra juga menawarkan konteks lokal, namun dalam bentuk yang lebih ringan dan santai. Meskipun ciricirinya berbeda, terdapat hubungan antara ketiga aspek dalam membangun wacana perempuan yang kokoh dan konsisten. Berita dan sastra tidak secara acak digunakan, melainkan dengan tujuan menyampaikan gagasan. Emansipasi perempuan diperjuangkan melalui peningkatan kedudukan perempuan dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Emansipasi ini harus disesuaikan dengan latar belakang budaya perempuan, baik mereka Eropa, Indo-Eropa, atau Nusantara. Beberapa anggota redaksi seperti Tjipto Mangoenkoesoemo menulis esai kritis untuk menyampaikan itu, sedangkan Douwes Dekker menggunakan komentar terhadap peristiwa di seluruh dunia dan sastra. Penelitian historis mengenai wacana perempuan pada umumnya hanya memperhatikan aspek berita nasional tanpa memperhatikan aspek berita internasional dan sastra. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sejarah Kuntowijoyo untuk mengungkapkan proses dan wujud pembentukan wacana perempuan yang progresif pada zamannya.

International Journal of Humanity Studies (IJHS), Mar 15, 2024
This paper aims to analyze with the historical method how literature from the Dutch East Indies w... more This paper aims to analyze with the historical method how literature from the Dutch East Indies written by an Indo-European, a person from mixed Asian and European ancestors, attempted to educate the Dutch overseas in Europe. The early 20 th century saw several technological developments which raised interest in Asia in the Netherlands and caused a spike in immigrants in the Indies. The Dutch were interested in reading about life in their colonial holdings overseas, especially those who were contemplating making a trip to the Indies. Many writings emerged to teach, warn, or push potential immigrants who wished to go to the Indies. However, those were mainly written by Dutch people who had lived or were living in the Indies temporarily. Indo-European writers had different concerns and interests from the Dutch, which pushed them to also write literary works that were partly aimed at the Dutch overseas. They hoped their writings would help them understand life in Java and to prepare properly. J.E. Jasper, an Indo-European colonial official, was the most outspoken critic of his literature. His work, heavily influenced by the Ethical Policy while developing his thoughts reminded and taught the Dutch about what was important about life in the Indies.

Jurnal Sejarah Citra Lekha, 2024
This study investigates the integration and assimilation trajectories of Indonesian citizens of E... more This study investigates the integration and assimilation trajectories of Indonesian citizens of European descent in the aftermath of the national revolution. Focusing on the Partai Indo Nasional (PIN) and the Indo-Eenheids Verbond (IEV), later transformed into the Gabungan Indo untuk Kesatuan Indonesia (GIKI-IEV), the research explores the divergent strategies adopted by these two prominent organizations to navigate their post-colonial identity. While both groups sought integration into Indonesian society, their approaches varied significantly. PIN prioritized legal assimilation without imposing cultural uniformity, whereas GIKI-IEV emphasized social work and education as avenues for both integration and cultural adaptation. Despite facing numerous internal and external challenges, the assimilation process accelerated after 1959, coinciding with the dissolution of both organizations. Their contrasting perspectives on national culture and integration fostered internal divisions and influenced the broader contours of Indo-European assimilation in Indonesia.

Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah, 2024
Penelitian ini memperdalam bagaimana wacana emansipasi perempuan terwujud dalam surat kabar De Ex... more Penelitian ini memperdalam bagaimana wacana emansipasi perempuan terwujud dalam surat kabar De Expres yang diredaksi oleh E.F.E. Douwes Dekker dan H.C. Kakebeeke. Tiga aspek diperhatikan dalam keseluruhan wacana perempuan, yaitu berita lokal dan nasional, internasional, serta sastra. Masing-masing aspek memiliki peran tersendiri dalam membentuk wacana perempuan. Berita nasional menawarkan esai kritis dalam konteks lokal, sedangkan berita internasional menawarkan esai kritis dalam konteks yang berbeda. Sastra juga menawarkan konteks lokal, namun dalam bentuk yang lebih ringan dan santai. Meskipun ciricirinya berbeda, terdapat hubungan antara ketiga aspek dalam membangun wacana perempuan yang kokoh dan konsisten. Berita dan sastra tidak secara acak digunakan, melainkan dengan tujuan menyampaikan gagasan. Emansipasi perempuan diperjuangkan melalui peningkatan kedudukan perempuan dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Emansipasi ini harus disesuaikan dengan latar belakang budaya perempuan, baik mereka Eropa, Indo-Eropa, atau Nusantara. Beberapa anggota redaksi seperti Tjipto Mangoenkoesoemo menulis esai kritis untuk menyampaikan itu, sedangkan Douwes Dekker menggunakan komentar terhadap peristiwa di seluruh dunia dan sastra. Penelitian historis mengenai wacana perempuan pada umumnya hanya memperhatikan aspek berita nasional tanpa memperhatikan aspek berita internasional dan sastra. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sejarah Kuntowijoyo untuk mengungkapkan proses dan wujud pembentukan wacana perempuan yang progresif pada zamannya.

International Journal of Humanity Studies, 2024
This paper aims to analyze with the historical method how literature from the Dutch East Indies w... more This paper aims to analyze with the historical method how literature from the Dutch East Indies written by an Indo-European, a person from mixed Asian and European ancestors, attempted to educate the Dutch overseas in Europe. The early 20th century saw several technological developments which raised interest in Asia in the Netherlands and caused a spike in immigrants in the Indies. The Dutch were interested in reading about life in their colonial holdings overseas, especially those who were contemplating making a trip to the Indies. Many writings emerged to teach, warn, or push potential immigrants who wished to go to the Indies. However, those were mainly written by Dutch people who had lived or were living in the Indies temporarily. Indo-European writers had different concerns and interests from the Dutch, which pushed them to also write literary works that were partly aimed at the Dutch overseas. They hoped their writings would help them understand life in Java and to prepare properly. J.E. Jasper, an Indo-European colonial official, was the most outspoken critic of his literature. His work, heavily influenced by the Ethical Policy while developing his thoughts reminded and taught the Dutch about what was important about life in the Indies.
Bandar Maulana: Jurnal Sejarah Kebudayaan
Penelitian ini mendalami makna Islam bagi orang Indo-Eropa nasionalis selama awal kemerdekaan Rep... more Penelitian ini mendalami makna Islam bagi orang Indo-Eropa nasionalis selama awal kemerdekaan Republik Indonesia. Melalui pengamatan terhadap dua tokoh yang terlibat dalam perdebatan tentang kewarganegaraan, tulisan ini menguraikan bahwa terdapat dua kubu dengan pandangan bertentangan mengenai makna Islam dan menjadi warga Indonesia. De Roock, atau Agus Daruch, memimpin organisasi Indonesia Merdeka yang mendukung asimilasi terbatas, sedangkan P.F. Dahler dan kawan-kawannya mewakili pihak yang bersikap keras dan menuntut asimilasi total dari kaum Indo-Eropa. Kedua pihak mengaku secara langsung atau tidak bahwa Islam memang simbol penting dari nasionalisme, namun tidak setuju bahwa perlu memeluk agama Islam untuk menjadi Warga Negara Indonesia yang baik dan benar.
Max Rooyackers, 2022
Penelitian ini mendalami makna Islam bagi orang Indo-Eropa nasionalis selama awal kemerdekaan Rep... more Penelitian ini mendalami makna Islam bagi orang Indo-Eropa nasionalis selama awal kemerdekaan Republik Indonesia. Melalui pengamatan terhadap dua tokoh yang terlibat dalam perdebatan tentang kewarganegaraan, tulisan ini menguraikan bahwa terdapat dua kubu dengan pandangan bertentangan mengenai makna Islam dan menjadi warga Indonesia. De Roock, atau Agus Daruch, memimpin organisasi Indonesia Merdeka yang mendukung asimilasi terbatas, sedangkan P.F. Dahler dan kawan-kawannya mewakili pihak yang bersikap keras dan menuntut asimilasi total dari kaum Indo-Eropa. Kedua pihak mengaku secara langsung atau tidak bahwa Islam memang simbol penting dari nasionalisme, namun tidak setuju bahwa perlu memeluk agama Islam untuk menjadi Warga Negara Indonesia yang baik dan benar.
Conference Presentations by Max Rooyackers

Max Rooyackers, 2023
This research uses the historical method to delve into the religious work of 2 Indo-European wome... more This research uses the historical method to delve into the religious work of 2 Indo-European women that lived around Banyumas and Purworejo in Central Java during the second half of the 19th century. Before there was any official evangelistic mission assigned or even allowed, they spread Christianity with their own way and means. Highly regarded because of their positions and Dutch-Javanese background, they used a special method that was adapted to the needs and traditions of the Javanese around them. This allowed them to develop a small Christian community, which gave rise to Sadrach’s Kristen Djawi which emerged after them. They played an essential role in the rise of Christianity and the development of Kristen Djawi. Even though as women from Eurasian backgrounds, they were regarded low by Dutch social standards. Mrs. Van Oostrum and her sister-in-law Mrs. Philips would read from the Bible in Malaysian or Javanese Kromo to their servants. They would hold sacred services on Sunday with them, tell them about their interpretations from the Bible in the aforementioned languages and teach them about the principles of Christian faith. Mrs. Philips would even go from village to village with her Javanese helpers. This lead eventually to the rise of a community with more than 1000 people that had been baptized during a 10-year period. The community would grow even quicker beneath Sadrach’s guidance, a principal helper and student from Mrs. Philips, into the Kristen Djawi community around the end of the 19th century.
Books by Max Rooyackers

REFLEKSI HISTORIOGRAFI INDONESIA: KUMPULAN ESSAY ILMIAH TENTANG SEJARAH LOKAL DAN SOSIAL, 2022
Penelitian ini mengkaji tentang usaha orang Indo-Eropa pro kemerdekaan
Indonesia waktu akhir zama... more Penelitian ini mengkaji tentang usaha orang Indo-Eropa pro kemerdekaan
Indonesia waktu akhir zaman kolonial untuk membangun sebuah jembatan antara orang Indo-Eropa, sering disebut ‘sana’ oleh kelompok nasionalis, dan kelompok‘sini’, para pejuang nasionalisme Indonesia. Setelah pembubaran Nationale Indische Partij atau Sarekat Hindia (NIP-SH) yang dipimpin oleh E.F.E. Douwes Dekker pada tahun 1923, tidak lagi ada kedekatan apapun antara kedua kelompok ini secara organisasi politik. Douwes Dekker sendiri untuk sementara mundur dari panggung pergerakan, hingga betul-betul ada jurang besar antara orang Indo-Eropa
dari organisasi besar Indo-Europeesch Verbond (IEV) dan para partai nasionalis. Hanya beberapa nasionalis Indo-Eropa seperti J.J.E. Teeuwen dan P.F. Dahler lanjut berjuang untuk membangun jembatan antara kedua pihak. Penelitian ini mengangkat tentang sejauh mana mereka berhasil dalam mendekati keduanya, karena meskipun gerakan-gerakan baru setelah NIP-SH tidak pernah ada makna ataupun massa besar, kita dapat melihat bahwa ‘sana’ dan ‘sini’ semakin mendekat lagi sebelum kedatangan Jepang. Salah satu contoh adalah dukungan IEV terhadap
petisi Soetardjo pada tahun 1936. Selama periode ini ada beberapa organisasi nasionalis milik orang Indo-Eropa yang didirikan, seperti Indische Staatspartij (1933), Nationaal Indische Beweging (1935) dan Insulinde (1938). Beberapa tokoh yang sangat berjasa adalah Teeuwen dan Dahler, dua orang Indo-Eropa nasionalis anggota bekas Insulinde (1908) dan penerusnya NIP-SH. Organisasi-organisasi ini tidak pernah mencapai massa yang berarti, melainkan menarik untuk diteliti apakah
mereka berdampak kepada proses pendekatan orang Indo-Eropa dan nasionalis. Jika organisasi ini memang berdampak, maka perlu dipertanyakan sejauh mana dampak perjuangannya terhadap proses tersebut.
Kata kunci: Insulinde, Nationaal Indische Beweging, Indische Staatspartij, J.J.E. Teeuwen, P.F. Dahler
Uploads
Papers by Max Rooyackers
Conference Presentations by Max Rooyackers
Books by Max Rooyackers
Indonesia waktu akhir zaman kolonial untuk membangun sebuah jembatan antara orang Indo-Eropa, sering disebut ‘sana’ oleh kelompok nasionalis, dan kelompok‘sini’, para pejuang nasionalisme Indonesia. Setelah pembubaran Nationale Indische Partij atau Sarekat Hindia (NIP-SH) yang dipimpin oleh E.F.E. Douwes Dekker pada tahun 1923, tidak lagi ada kedekatan apapun antara kedua kelompok ini secara organisasi politik. Douwes Dekker sendiri untuk sementara mundur dari panggung pergerakan, hingga betul-betul ada jurang besar antara orang Indo-Eropa
dari organisasi besar Indo-Europeesch Verbond (IEV) dan para partai nasionalis. Hanya beberapa nasionalis Indo-Eropa seperti J.J.E. Teeuwen dan P.F. Dahler lanjut berjuang untuk membangun jembatan antara kedua pihak. Penelitian ini mengangkat tentang sejauh mana mereka berhasil dalam mendekati keduanya, karena meskipun gerakan-gerakan baru setelah NIP-SH tidak pernah ada makna ataupun massa besar, kita dapat melihat bahwa ‘sana’ dan ‘sini’ semakin mendekat lagi sebelum kedatangan Jepang. Salah satu contoh adalah dukungan IEV terhadap
petisi Soetardjo pada tahun 1936. Selama periode ini ada beberapa organisasi nasionalis milik orang Indo-Eropa yang didirikan, seperti Indische Staatspartij (1933), Nationaal Indische Beweging (1935) dan Insulinde (1938). Beberapa tokoh yang sangat berjasa adalah Teeuwen dan Dahler, dua orang Indo-Eropa nasionalis anggota bekas Insulinde (1908) dan penerusnya NIP-SH. Organisasi-organisasi ini tidak pernah mencapai massa yang berarti, melainkan menarik untuk diteliti apakah
mereka berdampak kepada proses pendekatan orang Indo-Eropa dan nasionalis. Jika organisasi ini memang berdampak, maka perlu dipertanyakan sejauh mana dampak perjuangannya terhadap proses tersebut.
Kata kunci: Insulinde, Nationaal Indische Beweging, Indische Staatspartij, J.J.E. Teeuwen, P.F. Dahler
Indonesia waktu akhir zaman kolonial untuk membangun sebuah jembatan antara orang Indo-Eropa, sering disebut ‘sana’ oleh kelompok nasionalis, dan kelompok‘sini’, para pejuang nasionalisme Indonesia. Setelah pembubaran Nationale Indische Partij atau Sarekat Hindia (NIP-SH) yang dipimpin oleh E.F.E. Douwes Dekker pada tahun 1923, tidak lagi ada kedekatan apapun antara kedua kelompok ini secara organisasi politik. Douwes Dekker sendiri untuk sementara mundur dari panggung pergerakan, hingga betul-betul ada jurang besar antara orang Indo-Eropa
dari organisasi besar Indo-Europeesch Verbond (IEV) dan para partai nasionalis. Hanya beberapa nasionalis Indo-Eropa seperti J.J.E. Teeuwen dan P.F. Dahler lanjut berjuang untuk membangun jembatan antara kedua pihak. Penelitian ini mengangkat tentang sejauh mana mereka berhasil dalam mendekati keduanya, karena meskipun gerakan-gerakan baru setelah NIP-SH tidak pernah ada makna ataupun massa besar, kita dapat melihat bahwa ‘sana’ dan ‘sini’ semakin mendekat lagi sebelum kedatangan Jepang. Salah satu contoh adalah dukungan IEV terhadap
petisi Soetardjo pada tahun 1936. Selama periode ini ada beberapa organisasi nasionalis milik orang Indo-Eropa yang didirikan, seperti Indische Staatspartij (1933), Nationaal Indische Beweging (1935) dan Insulinde (1938). Beberapa tokoh yang sangat berjasa adalah Teeuwen dan Dahler, dua orang Indo-Eropa nasionalis anggota bekas Insulinde (1908) dan penerusnya NIP-SH. Organisasi-organisasi ini tidak pernah mencapai massa yang berarti, melainkan menarik untuk diteliti apakah
mereka berdampak kepada proses pendekatan orang Indo-Eropa dan nasionalis. Jika organisasi ini memang berdampak, maka perlu dipertanyakan sejauh mana dampak perjuangannya terhadap proses tersebut.
Kata kunci: Insulinde, Nationaal Indische Beweging, Indische Staatspartij, J.J.E. Teeuwen, P.F. Dahler