Papers by Ladija Triana Dewi

Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) adalah yayasan non profit yang bergerak dalam bidang seni dan b... more Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) adalah yayasan non profit yang bergerak dalam bidang seni dan budaya sebagai upaya dalam menjaga keberlangsungan perhelatan BJ secara berkala. Latar peneltian ini adalah Pameran Biennale Jogja XV Equator #5 dengan tema “Do We Live In The Same Playground?” Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis penerapan praktik Manajemen Sumber Daya Manusia yang telah dilakukan. Metode penelitian menggunakan kualitatif desriptif dengan menggunakan acuan kerangka Teori Manajemen SDM yang terdiri dari Analisis Pekerjaan, Deskripsi Pekerjaan, Spesifikasi Pekerjaan dan Perencanaan Pengadaan Personel SDM serta Evaluasi Penilaian Kinerja. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan tiga metode yaitu observasi partisipan, wawancara, dan penggunaan dokumen. Temuan-temuan fenomena yang terjadi di lapangan di antaranya sudah mengaplikasikan aspek manajemen SDM sesuai pada teori, namun terdapat beberapa aspek manajemen yang belum diaplikasikan. Hasil penelitian d...

Karya seni merupakan hal yang kompleks. Bukan saja perihal konsep gagasan
yang diusung oleh seni... more Karya seni merupakan hal yang kompleks. Bukan saja perihal konsep gagasan
yang diusung oleh seniman, atau nilai estetik pada tampilan visual, namun proses
dibalik layar sebelum karya tersebut disajikan untuk publik. Selama karya tersebut
ditampilkan di ruang pamer, bisa dikatakan publik “memiliki” karya tersebut untuk
diapresiasi. Hingga pada saatnya karya tersebut berpindah tangan menuju ruang
koleksi. Durasi waktu dari mulai karya tersebut dibuat di studio seniman, kemudian
dipamerkan di ruang galeri, kemudian menjadi karya koleksi diperlukan rantai
komunikasi dari berbagai pihak. Tanpa disadari, terdapat peran penting dari sebuah
profesi di balik sajian karya seni ini yang selalu hadir pada setiap rangkaian proses.
Dia adalah Art Handler atau dalam bahasa Indonesia berarti Penangan Seni, profesi
yang bertugas menangani karya (Art Handling). Profesi ini dibutuhkan selama proses
hulu ke hilir kepemilikan karya seni, mulai dari dipamerkan di Galeri untuk “dimiliki”
publik hingga dikoleksi oleh Museum atau Kolektor Pribadi. Secara singkat, tahap
tahap pekerjaan yang dilakukan Art Handler ini meliputi pengemasan karya,
pendistribusian karya, pemasangan dan penurunan karya, hingga pemeliharaan dan
penyimpanan karya. Pada praktiknya, sinergi antara pihak-pihak terkait yang saling
berkelindan, dimana Art Handler salah satunya merupakan hal penting demi menjaga
nilai karya seni itu sendiri.
Kata kunci : Penangan Seni, Penanganan Seni, Galeri, Museum

Ladija Triana Dewi, 2019
Kehidupan manusia yang melalui berbagai perkembangan meninggalkan jejak-jejak peradaban yang tela... more Kehidupan manusia yang melalui berbagai perkembangan meninggalkan jejak-jejak peradaban yang telah dilalui. Perkembangan cara hidup dan semua aspek yang berkaitan dengan kehidupan itu sendiri, salah satunya adalah pola berfikir. Manusia mulai mengerti pentingnya proses dokumentasi, pengarsipan, dan konservasi pada setiap perkembangan jamannya. Kegiatan ini bisa merujuk pada berbagai bidang keilmuan, namun pada tulisan ini penulis akan berfokus pada bidang seni dan budaya.
Perkembangan seni budaya dari masa ke masa selalu meninggalkan jejak peristiwa ataupun jejak kemahsyuran. Dalam berbagai era perkembangan seni, terdapat satu dua tokoh yang menjadi panutan, yang namanya tidak lekang oleh jaman. Sudah pasti karya seni yang dihasilkan tokoh-tokoh tersebut bernilai tinggi dan diperlukan penjagaan serta perawatan, kendati sudah seharusnya semua karya diperlakukan dengan sama tanpa harus melihat sang pembuatnya.
Konservasi memiliki arti aktivitas pemeliharaan. Terdapat konservasi cagar alam, cagar budaya dan dalam ranah seni budaya, aktivitas pemeliharaan ini bisa digolongkan menjadi 2 jenis mencangkup bidang kebendaan dan bidang bergerak. Bidang kebendaan yang dimaksud adalah karya yang bersifat benda, bisa disentuh. Adapun bidang bergerak adalah karya yang berada di wilayah seni pertunjukan misalnya.

Ladija Triana Dewi, 2018
Setiap negara memiliki kearifan lokal maupun fenomena sosial yang saling berkait dan membentuk se... more Setiap negara memiliki kearifan lokal maupun fenomena sosial yang saling berkait dan membentuk sebuah budaya. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki kearifan lokal budaya yang sangat beragam. Lokalitas budaya di setiap tempat memiliki sejarahnya sendiri beriringan dengan fenomena sosial yang melatarbelakangi konsepsi lokalitas tersebut. Sebagai negara ketiga dan masuk dalam kategori negara berkembang, fenomena sosial yang terjadi di Indonesia sangatlah kompleks, begitupun yang terjadi di negara-negara tetangga. Tak jarang fenomena sosial yang terjadi ini menjadi ide dari konsep karya seni. Kemunculan aktivitas berkesenian dan produk-produk lokalitas budaya di Indonesia memiliki segmentasi yang berlapis begitupun dengan citra yang ditampilkan di setiap daerah juga beragam. Konsep karya seni yang ditampilkan seringkali mewakili lapisan masyarakat tertentu. Kesenjangan sosial ekonomi dianggap melatar belakangi segementasi tersebut, akan tetapi hal ini tidak begitu menjadi masalah bagi mayoritas masyarakat sebagai penikmat seni yang memposisikan karya seni tersebut hanya untuk hiburan. Menyadari akan besarnya perhatian masyarakat dunia kepada seni budaya Indonesia membuat pemerintah lebih fokus untuk merancang konsep diplomasi seni budaya melalui beberapa hal diantara nya adalah konsep yang bergerak pada bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan seni budaya itu sendiri.

Ladija Triana Dewi, 2018
Manusia sebagai makhluk individu maupun sosial seringkali meniadakan proses ‘membuka diri’ dalam ... more Manusia sebagai makhluk individu maupun sosial seringkali meniadakan proses ‘membuka diri’ dalam melihat dan memaknai kehadirannya di dunia. Manusia terlahir dengan sistem dan struktur sosial yang sudah begitu tertata, tumbuh dengan membawa stigma, dan beranjak dengan ragam paradigma. Hanya sebagian kecil dari masyarakat yang mau keluar dari turunan eksistensinya untuk mencari keaslian eksistensinya sendiri. Pilihan dan kemungkinan berjajar masuk pada orang-orang yang entah bisa dikatakan ‘terpilih’ atau tersesat ini, karena dengan keputusannya untuk ‘membuka diri’ akan mengantarkannya pada sebuah kesadaran baru yang belum tentu sesuai dan dapat diterima oleh pemahaman lamanya.
Terjadi ambiguitas, ketika masyarakat modern rupanya tidak lantas menjadi masyarakat yang lebih terbuka. Seni dalam pikiran mereka hanya seputar menggambar, bernyanyi dan menari. Untuk pendekatan ini, masyarakat mau menerima dan mengapresiasi, namun tetap tidak sedikit yang masih mengamini sterotype untuk pelaku seni. Dapat dilihat bahwa perkembangan jaman tidak selalu dibarengi dengan kesadaran untuk menerima hal-hal yang baru. Masyarakat modern masih terbayang akan paradigma yang diwarisi dari turunannya

Ladija Triana Dewi, 2018
Kreasi tari Didik Ninik Thowok yang menjadi ciri khas adalah tari topengnya dengan menampilkan pe... more Kreasi tari Didik Ninik Thowok yang menjadi ciri khas adalah tari topengnya dengan menampilkan peran sebagai wanita. Didik menyebutnya dengan istilah tari Cross Gender karena menurutnya di Indonesia belum ada istilah untuk female impersonaltor dimana laki-laki membawakan peran wanita begitupun sebaliknya. Tari topeng memiliki kesan Mystical Gender, karena yang ditampilkan di panggung sangat berbeda dengan sosok dalam kehidupan nyata. Tarian Cross Gender sebagai identitas Didik ini memiliki sejarah perjalanan yang panjang. Memulai tari Cross Gender pada tahun 1974 dan pada tahun 1985 membawa tarian ini ke panggung luar negri. Beberapa tarian cross gender yang dibawakan Didik Ninik Thowok adalah tari Golek lambengsari dari Kraton jogja dan tari Lengger Banyumas. Tari Golek Lambengsari diadaptasi dari babad Mangkunegara yang menceritakan bahwa pada jaman Sultan Hamengku Buwana VII, Pangeran Admiro dikirim untuk menari Golek Lambengsari. Di dalam catatan tembang diceritakan bahwa tarian tersebut benar-benar menyerupai wanita, sehingga penoton terkecoh dan mengiranya sebagai penari wanita.
“...Tarian Cross Gender ini pada awalnya berasal dari Kraton Jogja pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono I. Kraton Jogja yang memeluk agama Islam melarang adegan berpelukan dan gendongan apabila pemainnya tidak mukhrim, oleh karenanya pemainnya terdiri dari laki-laki semua. Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwana I terdapat pula tari Bedoyo Kakung, karena pada mulanya penari laki-laki ini sebagai antisipasi jika penari perempuan sedang menstruasi...”

Ladija Triana Dewi, 2018
Pameran bertajuk Jogja Punya Siapa ini merupakan wujud dari ragam pertanyaan mengenai problematik... more Pameran bertajuk Jogja Punya Siapa ini merupakan wujud dari ragam pertanyaan mengenai problematika kota Jogja. Predikat kota pelajar dan kota budaya, serta identitas keistimewaannya memberikan magnet kepada masyarakat untuk singgah dan tinggal di kota Jogja. Arus urbanisasi dengan gelombang pendatang bukan menjadi poin yang dirisaukan, bukan pula mempermasalahkan Jogja Punya Siapa dalam perspektif pendatang maupun warga asli, melainkan mempertanyakan dampak dari upaya kota dalam mengikuti arus perkembangan jaman. Sampai jargon "Jogja Berhati Nyaman" diubah menjadi "Jogja Berhenti Nyaman". Fenomena ini ditangkap Bodhi IA selaku kurator untuk menghadirkan rekam jejak perkembangan kota Jogja beserta problemnya melalui sebuah pameran. Bertempat di Loops Station, Festagama selaku penyelenggara memanfaatkan ruang pamer yang berada di kawasan titik nol Jogja untuk menarik pengunjung yang sebagian besar adalah wisatawan yang masih awam dengan dunia seni. Salah satu seniman yang terlibat dalam pameran bersama ini adalah Dede Cipon. Seniman yang masih menempuh pendidikan Seni Murni Grafis di ISI Yogyakarta ini juga terlibat aktif dalam kolektif lintas disiplin seni. Cipon menghadirkan karya instalasi berupa keset. Karya instalasi ini menggunakan media keset dengan material karet bewarna merah, berukuran 60 x 35 cm dan disemprot dengan cat putih bertuliskan "Welcome".
Uploads
Papers by Ladija Triana Dewi
yang diusung oleh seniman, atau nilai estetik pada tampilan visual, namun proses
dibalik layar sebelum karya tersebut disajikan untuk publik. Selama karya tersebut
ditampilkan di ruang pamer, bisa dikatakan publik “memiliki” karya tersebut untuk
diapresiasi. Hingga pada saatnya karya tersebut berpindah tangan menuju ruang
koleksi. Durasi waktu dari mulai karya tersebut dibuat di studio seniman, kemudian
dipamerkan di ruang galeri, kemudian menjadi karya koleksi diperlukan rantai
komunikasi dari berbagai pihak. Tanpa disadari, terdapat peran penting dari sebuah
profesi di balik sajian karya seni ini yang selalu hadir pada setiap rangkaian proses.
Dia adalah Art Handler atau dalam bahasa Indonesia berarti Penangan Seni, profesi
yang bertugas menangani karya (Art Handling). Profesi ini dibutuhkan selama proses
hulu ke hilir kepemilikan karya seni, mulai dari dipamerkan di Galeri untuk “dimiliki”
publik hingga dikoleksi oleh Museum atau Kolektor Pribadi. Secara singkat, tahap
tahap pekerjaan yang dilakukan Art Handler ini meliputi pengemasan karya,
pendistribusian karya, pemasangan dan penurunan karya, hingga pemeliharaan dan
penyimpanan karya. Pada praktiknya, sinergi antara pihak-pihak terkait yang saling
berkelindan, dimana Art Handler salah satunya merupakan hal penting demi menjaga
nilai karya seni itu sendiri.
Kata kunci : Penangan Seni, Penanganan Seni, Galeri, Museum
Perkembangan seni budaya dari masa ke masa selalu meninggalkan jejak peristiwa ataupun jejak kemahsyuran. Dalam berbagai era perkembangan seni, terdapat satu dua tokoh yang menjadi panutan, yang namanya tidak lekang oleh jaman. Sudah pasti karya seni yang dihasilkan tokoh-tokoh tersebut bernilai tinggi dan diperlukan penjagaan serta perawatan, kendati sudah seharusnya semua karya diperlakukan dengan sama tanpa harus melihat sang pembuatnya.
Konservasi memiliki arti aktivitas pemeliharaan. Terdapat konservasi cagar alam, cagar budaya dan dalam ranah seni budaya, aktivitas pemeliharaan ini bisa digolongkan menjadi 2 jenis mencangkup bidang kebendaan dan bidang bergerak. Bidang kebendaan yang dimaksud adalah karya yang bersifat benda, bisa disentuh. Adapun bidang bergerak adalah karya yang berada di wilayah seni pertunjukan misalnya.
Terjadi ambiguitas, ketika masyarakat modern rupanya tidak lantas menjadi masyarakat yang lebih terbuka. Seni dalam pikiran mereka hanya seputar menggambar, bernyanyi dan menari. Untuk pendekatan ini, masyarakat mau menerima dan mengapresiasi, namun tetap tidak sedikit yang masih mengamini sterotype untuk pelaku seni. Dapat dilihat bahwa perkembangan jaman tidak selalu dibarengi dengan kesadaran untuk menerima hal-hal yang baru. Masyarakat modern masih terbayang akan paradigma yang diwarisi dari turunannya
“...Tarian Cross Gender ini pada awalnya berasal dari Kraton Jogja pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono I. Kraton Jogja yang memeluk agama Islam melarang adegan berpelukan dan gendongan apabila pemainnya tidak mukhrim, oleh karenanya pemainnya terdiri dari laki-laki semua. Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwana I terdapat pula tari Bedoyo Kakung, karena pada mulanya penari laki-laki ini sebagai antisipasi jika penari perempuan sedang menstruasi...”
yang diusung oleh seniman, atau nilai estetik pada tampilan visual, namun proses
dibalik layar sebelum karya tersebut disajikan untuk publik. Selama karya tersebut
ditampilkan di ruang pamer, bisa dikatakan publik “memiliki” karya tersebut untuk
diapresiasi. Hingga pada saatnya karya tersebut berpindah tangan menuju ruang
koleksi. Durasi waktu dari mulai karya tersebut dibuat di studio seniman, kemudian
dipamerkan di ruang galeri, kemudian menjadi karya koleksi diperlukan rantai
komunikasi dari berbagai pihak. Tanpa disadari, terdapat peran penting dari sebuah
profesi di balik sajian karya seni ini yang selalu hadir pada setiap rangkaian proses.
Dia adalah Art Handler atau dalam bahasa Indonesia berarti Penangan Seni, profesi
yang bertugas menangani karya (Art Handling). Profesi ini dibutuhkan selama proses
hulu ke hilir kepemilikan karya seni, mulai dari dipamerkan di Galeri untuk “dimiliki”
publik hingga dikoleksi oleh Museum atau Kolektor Pribadi. Secara singkat, tahap
tahap pekerjaan yang dilakukan Art Handler ini meliputi pengemasan karya,
pendistribusian karya, pemasangan dan penurunan karya, hingga pemeliharaan dan
penyimpanan karya. Pada praktiknya, sinergi antara pihak-pihak terkait yang saling
berkelindan, dimana Art Handler salah satunya merupakan hal penting demi menjaga
nilai karya seni itu sendiri.
Kata kunci : Penangan Seni, Penanganan Seni, Galeri, Museum
Perkembangan seni budaya dari masa ke masa selalu meninggalkan jejak peristiwa ataupun jejak kemahsyuran. Dalam berbagai era perkembangan seni, terdapat satu dua tokoh yang menjadi panutan, yang namanya tidak lekang oleh jaman. Sudah pasti karya seni yang dihasilkan tokoh-tokoh tersebut bernilai tinggi dan diperlukan penjagaan serta perawatan, kendati sudah seharusnya semua karya diperlakukan dengan sama tanpa harus melihat sang pembuatnya.
Konservasi memiliki arti aktivitas pemeliharaan. Terdapat konservasi cagar alam, cagar budaya dan dalam ranah seni budaya, aktivitas pemeliharaan ini bisa digolongkan menjadi 2 jenis mencangkup bidang kebendaan dan bidang bergerak. Bidang kebendaan yang dimaksud adalah karya yang bersifat benda, bisa disentuh. Adapun bidang bergerak adalah karya yang berada di wilayah seni pertunjukan misalnya.
Terjadi ambiguitas, ketika masyarakat modern rupanya tidak lantas menjadi masyarakat yang lebih terbuka. Seni dalam pikiran mereka hanya seputar menggambar, bernyanyi dan menari. Untuk pendekatan ini, masyarakat mau menerima dan mengapresiasi, namun tetap tidak sedikit yang masih mengamini sterotype untuk pelaku seni. Dapat dilihat bahwa perkembangan jaman tidak selalu dibarengi dengan kesadaran untuk menerima hal-hal yang baru. Masyarakat modern masih terbayang akan paradigma yang diwarisi dari turunannya
“...Tarian Cross Gender ini pada awalnya berasal dari Kraton Jogja pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono I. Kraton Jogja yang memeluk agama Islam melarang adegan berpelukan dan gendongan apabila pemainnya tidak mukhrim, oleh karenanya pemainnya terdiri dari laki-laki semua. Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwana I terdapat pula tari Bedoyo Kakung, karena pada mulanya penari laki-laki ini sebagai antisipasi jika penari perempuan sedang menstruasi...”